1. Masalah krisis sumberdaya hutan
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC
2
pada tahun 2009 telah menyimpulkan setidaknya tiga hal penting, pertama bahwa ada indikasi sangat kuat temperatur
bumi terus meningkat dengan penyebab utama adalah emisi gas rumah kaca pemanasan global. Kedua, ada kemungkinan kuat
pemanasan global tersebut akan berdampak pada pola cuaca, bencana,
kesehatan dan
lingkungan hidup.
Ketiga, kecenderungan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dapat
dikurangi jika
pemerintah dan
masyarakat bertindak
mengendalikan emisi gas rumah kaca tersebut Jhamtani, 2012:110. Hal inilah yang kemudian dikenal oleh masyarakat
sebagai isu perubahan iklim. Faktanya, tidak semua ilmuwan sepakat dengan
penyebab pemanasan global ini. Mereka yang tidak sepakat, misalnya yang tertuang dalam laporan Nongovernmental
International Panel on Climate Change NIPCC, menganggap bahwa peran peningkatan pemanasan global terhadap
perubahan iklim tersebut belum terbukti. Inilah yang kemudian menyebabkan perundingan tentang iklim termasuk protokol
Kyoto berlangsung sangat alot karena terkait dengan kepentingan ekonomi negara-negara industri maju. Bagaimana
dengan sikap kita?
Terlepas dari posisi kita apakah sepakat atau tidak dengan krisis pemanasan global dan perubahan iklim diatas,
fakta bahwa banyak sumber daya alam di planet bumi telah rusak adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Logika dan nalar
masyarakat awam tentu tidak memerlukan suatu penjelasan ilmiah yang rumit, tetapi cukup mampu menyimpulkan dari apa
yang setiap hari dilihat dan dirasakan. Cuaca yang tidak
2
IPCC adalah sebuah panel antarpemerintah yang terdiri dari ilmuwan dan ahli dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia. Tugasnya menyediakan data-data
ilmiah terkini yang menyeluruh, tidak berpihak dan transparan mengenai informasi teknis, sosial, dan ekonomi yang berkaitan dengan isu perubahan
iklim. Termasuk informasi mengenai sumber penyebab perubahan iklim, dampak yang ditimbulkan serta strategi yang perlu dilakukan dalam hal
pengurangan emisi, pencegahan, dan adaptasi. IPCC bersekretariat di Jenewa Swiss dan bertemu satu tahun sekali di sebuah rapat pleno yang membahas
tiga hal utama: 1 informasi ilmiah mengenai perubahan iklim; 2 dampak, adaptasi dan kerentanan; 3 mitigasi perubahan iklim Wardana Lisa, 2007:2
menentu, bencana yang semakin masif, pencemaran yang terus meningkat, hingga kehidupan yang terasa semakin sesak ini
telah menandakan ada yang salah dengan lingkungan kita. Dengan demikian, kalaupun perubahan iklim tersebut tidak
terbukti benar, hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak membenahi
berbagai aktivitas
manusia yang
merusak lingkungan. Apalagi jika perubahan iklim memang benar-benar
didepan mata, maka harus dicari berbagai alternatif jalan keluar dari krisis tersebut.
Salah satu cara untuk mengurangi dampak pemanasan global adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Di
Indonesia, penyumbang terbesar dalam emisi gas rumah kaca ini adalah deforestasi dan ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil, seperti batu bara dan minyak bumi. Kondisi menjadi lebih buruk ketika penggunaan bahan bakar fosil ini masih diberikan
subsidi oleh pemerintah, sehingga sulit bagi sumber-sumber energi terbarukan untuk bersaing Greenpeace, 2011:10.
Sedangkan deforestasi, misalnya, masih banyak disebabkan oleh perilaku korporasi-korporasi seperti perusahaan pulp dan paper,
perkebunan sawit, dan lain sebagainya yang notabene merupakan pemasok utama dalam jaringan industri perdagangan
dunia Greenpeace, 2011III:4. Saat ini, 70 hutan Indonesia dalam kondisi yang rusak dan bahkan hilang akibat penetrasi
industri Greenpeace, 2012 II:8. Deforestasi ini telah menempatkan Indonesia menjadi negara terbesar ketiga sebagai
penyumbang emisi gas rumah kaca. Ditambah kerugian terbesar
lainnya – sebagai pemilik hutan hujan tropis
3
– adalah punahnya beragam spesies seiring dengan penghancuran habitat mereka
tersebut. Agresi dan ekspansi perkebunan kelapa sawit pada lahan
gambut di Asia Tenggara – khususnya Indonesia dan Malaysia - adalah salah satu penyebab utama dari meningkatnya emisi gas
karbon dioksida CO
₂, metana CH₄ dan nitrogen oksida N₂O
ke udara. Selain itu, lahan gambut di Indonesia total 21 juta hektar, terbesar di dunia saat ini mengalami kerusakan yang
sangat parah akibat dari berbagai kegiatan manusia yang kurang
3
Hampir 13 spesies unik di dunia dapat ditemui di hutan Indonesia ini. terdiri dari 10 jenis tumbuh-tumbuhan, 12 mamalia, 16 reptilia dan amfibi, dan 17
unggas yang hanya ada di Indonesia Greenpeace, II-2012:8.
memperhatikan keberlanjutan lingkungan, seperti pembukaan pembakaran lahan untuk perkebunan, penebangan hutan
gambut untuk diambil kayunya, pembangunan drainase yang berlebihan, serta konversi lahan gambut untuk perkebunan,
industri, pemukiman dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan reservoir dan
penyerap sequester karbon, sebagai daerah resapan air yang mampu mencegah banjir di musim hujan dan instrusi air asin di
musim kemarau Harsono, 2012:20-21. Menurut data Sawit Watch, setidaknya ada 500.000-800.000 hektar hutan, lahan
gambut dan lahan kelola masyarakat telah dikonversi menjadi perkebunan sawit sejak tahun 2008 Saragih, 2012:56. Tentu
saja bukan hanya dampak emisi gas karbon saja yang meningkat, tetapi juga diiringi oleh dampak sosial konflik
perebutan lahan antara perusahaan, masyarakat adat dan buruh dan
dampak lingkungan
kabut asap
dan hilangnya
keanekaragaman hayati yang tidak kalah mahalnya dibanding dengan kemilau bisnis “emas hijau” itu sendiri
4
. Perlu dicatat, masalah lingkungan dan sumber daya alam
tidak hanya terjadi di hutan, namun juga di lautan. Data menunjukkan bahwa lautan yang merupakan 71 bagian
permukaan bumi ini juga sedang mengalami krisis yang diakibatkan oleh praktek eksploitasi sumber daya laut yang tidak
berkelanjutan. Kapasitas penangkapan ikan di dunia saat ini telah dua kali lebih banyak dari apa yang disarankan secara ilmiah.
Setiap tahun, lebih dari 100 juta hewan laut mati akibat industri penangkapan ikan, 90 predator lautan seperti tuna, ikan
pedang dan merlin dilaporkan telah hilang. Dan faktanya, 80 penikmat produk perikanan ini adalah negara-negara maju
Greenpeace,
2012I:6. Selain
itu, dampak
langsung pemanasan global terhadap lautan adalah masalah kenaikan
permukaan air laut. Jika air laut naik 1 meter saja maka akan berdampak pada 1,3 persen penduduk dunia dan merugikan
senilai 1,3 persen Produk Domestik Bruto
5
PDB dunia, 1 persen
4
Pada tahun 2010, Indonesia mengeskpor CPO 15,5 juta ton dan menghasilkan devisa 122,7 triliun rupiah Saragih, 2012:53.
5
PDB adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB ini biasanya digunakan sebagai salah satu metode
untuk menghitung pendapatan nasional suatu negara.
wilayah kota dan 0,4 persen lahan pertanian Disgupta, 2007 dalam Satria, 2009:59.
Kenaikan permukaan ini juga akan merusak ekosistem mangrove. Pemanasan global bukan hanya akan meningkatkan
permukaan air laut tetapi juga akan meningkatkan suhu air laut. Jika saja air laut meningkat 1,5-2,5°celcius, maka kondisi ini akan
mengancam 20-30 spesies hewan dan tumbuhan Satria, 2009:61. Barangkali kerusakan di laut tidak begitu nampak oleh
pandangan kita, tetapi kerusakan air permukaan di daratan tentu menjadi
pemandangan akrab
keseharian kita.
Data mengungkapkan, 73 sumur di Jawa telah tercemar amoniak.
Kasus pencemaran di sungai Citarum misalnya, dimana 250.000 m
3
limbah domestik dibuang ke Citarum setiap tahunnya. Selain itu, 280 ton limbah kimia dibuang ke Citarum setiap harinya.
Lebih dari 700 pabrik 70 nya adalah industri tekstil yang membuang limbahnya ke sungai ini. Hanya 10 dari jumlah itu
yang menerapkan standar baku pengolahan limbah. Padahal, ada kurang lebih 40 juta orang yang tergantung pada sungai
Citarum ini untuk kebutuhan hidup sehari-harinya Greenpeace, 2012I:13.
2. Sejarah pengelolaan dan kerusakan hutan di Indonesia