Keragaman Curah Hujan di Indonesia

Sumber : http:www.deptan.go.id Gambar 5. Peta pengembangan kelapa sawit di Indonesia produksi.

2.2. Keragaman Curah Hujan di Indonesia

Curah hujan memiliki keragaman yang sangat besar dalam ruang dan waktu. Menurut ruang, keragaman sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum dan letak lintang. Menurut waktu, curah hujan dipandang dalam hubungannya dengan regim-regim hujan tahunan, musiman atau bulanan. Karena besar pengaruhnya, kejadian penyimpangan iklim selalu dikaitkan dengan variasi curah hujan. Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh kawasan laut pasifik. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional Hadley dan sirkulasi zonal Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Selain itu karena posisi matahari berpindah dari 23.5 LS ke 23.5 LU sepanjang tahun, aktifitas monsoon juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Kerena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan topografi yang sangat beragam, maka sistem golakan lokal juga cukup dominan dan pengaruhnya terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat diabaikan. Salah satu penyebab terjadinya gangguan pada sirkulasi Walker adalah fenomena ENSO. Pengaruh ENSO terhadap keragaman curah hujan di Indonesia sangat bervariasi. Tetapi besar kecilnya pengaruh itu beragam dari satu tempat ke tempat lain. Pengaruh itu : sangat besar pada daerah yang memiliki pola monsun, kecil pada daerah yang memiliki pola ekuatorial dan tidak jelas pada daerah yang memilki pola lokal Tjasyono 1997. 2.3. El Nino Southern Oscillation ENSO Kondisi iklim yang menyimpang dari normal seringkali menimbulkan dampak yang negatif. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya penyimpangan iklim di Indonesia ialah fenomena ENSO El-Nino Southern O scillation . Kejadian El Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau kekeringan sedangkan La-Nina berasosiasi dengan kejadian banjir. Kawasan pengamatan El Nino di seluruh duania dibagi dalam empat wilayah yaitu : Nino 1,2 0°-10° LS dan 60°-90° BB; Nino 3 5° LU - 5° LS dan 90°-150° BB; Nino 4 5° LU-5° LS dan 150° BB-160° BT; Nino 3,4 5° LU-5° LS dan 120°-170° BB yang ditunjukkan pada Gambar 5. Daerah Nino 1 dan Nino 2 berguna untuk melihat indikasi awal penyimpangan iklim karena wilayahnya tepat berada di pantai barat benua Amerika bagian Selatan. Daerah Nino 3 untuk melihat indikasi penyimpangan iklim dan Nino 4 untuk melihat tingkat keparahan penyimpangan iklim karena terletak paling barat dibandingkan Nino lainnya. Daerah yang dijadikan indikator terjadinya El Nino dan diamati suhu muka lautnya adalah daerah Nino 3,4. hal ini dikarenakan daerah ini masih dipengaruhi oleh angin pasat pada saat kecepatannya melemah. Gambar 6. Sirkulasi Walker Gambar 7. Kawasan Pengamatan El Nino Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan gejala El Nino adalah terjadinya perubahan suhu muka laut di kawasan pasifik atau meningkatnya perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi dari normal nilai rata-rata jangka panjang. Gejala El Nino dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti dibawah tekanan udara di Darwin SOI bernilai negatif sehingga angin barat bertiup lebih kuat dan memperlemah angin pasat yang menyebabkan massa air panas di kawasan pasifik bagian barat mengalir kearah timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas dan konveksi di pasifik bagian timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi, sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan jumlah hujan yang jauh di bawah normal. Kejadian El Nino lemah terjadi setiap 2-3 tahun sekali, El Nino kuat terjadi setiap 8-11 tahun sekali. Lama berlangsungnya fenomena yaitu 12-18 bulan. Gambar 8. Sirkulasi angin pada kondisi El Nino Fenomena La Nina merupakan periode dengan kondisi suhu permukaan laut Pasifik Timur lebih dingin dari normalnya yang terjadi diantara periode-periode dengan suhu muka laut lebih panas. Akibatnya terbentuk awan dan hujan, serta kemungkinan menyebabkan banjir.

2.4. Indian Ocean Dipole IOD Indian Ocean Dipole IOD

Dokumen yang terkait

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)pada Berbagai Perbandingan Media Tanam Sludge dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) di Pre Nursery

4 102 53

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kompos Sampah Pasar dan Pupuk NPKMg (15:15:6:4) di Pre Nursery

6 79 69

Respon Morfologi dan Fisiologi Pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Aplikasi Pupuk Magnesium Dan Nitrogen

3 97 84

Pengaruh Pemberian Limbah Kalapa sawit (Sludge) dan Pupuk Majemuk NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guinsensis Jacq) di Pembibitan Awal

0 25 95

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq) Terhadap Pupuk Cair Super Bionik Pada Berbagai Jenis Media Tanam di Pembibitan Utama

0 30 78

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Main Nursery Terhadap Komposisi Media Tanam dan Pemberian Pupuk Posfat

6 92 114

Ketahanan Papan Komposit Dari Limbah Batang Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) dan Plastik Polipropilena Terhadap Cuaca

1 54 74

Kemampuan AntiFungi Bakteri Endofit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Ganoderma boninenese Pat

5 53 66

Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Kebun Tanah Raja Perbaungan PT. Perkebunan Nusantara III

6 91 53

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

8 70 75