Gambar 7. Kawasan Pengamatan El Nino Indikator yang umum digunakan untuk
menunjukkan gejala El Nino adalah terjadinya perubahan suhu muka laut di kawasan pasifik
atau meningkatnya perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi dari normal nilai
rata-rata jangka panjang. Gejala El Nino dimulai dengan menurunnya tekanan udara di
Tahiti dibawah tekanan udara di Darwin SOI bernilai negatif sehingga angin barat bertiup
lebih kuat dan memperlemah angin pasat yang menyebabkan massa air panas di kawasan
pasifik bagian barat mengalir kearah timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya
terjadi akumulasi massa air panas dan konveksi di pasifik bagian timur dan
subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat
pertumbuhan awan konveksi, sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi
penurunan jumlah hujan yang jauh di bawah normal.
Kejadian El Nino lemah terjadi setiap 2-3 tahun sekali, El Nino kuat terjadi setiap 8-11
tahun sekali. Lama berlangsungnya fenomena yaitu 12-18 bulan.
Gambar 8. Sirkulasi angin pada kondisi El Nino
Fenomena La Nina merupakan periode dengan kondisi suhu permukaan laut Pasifik
Timur lebih dingin dari normalnya yang terjadi diantara periode-periode dengan suhu
muka laut lebih panas. Akibatnya terbentuk awan dan hujan, serta kemungkinan
menyebabkan banjir.
2.4. Indian Ocean Dipole IOD Indian Ocean Dipole IOD
merupakan osilasi yang terjadi di Samudera Hindia yang
ditandai dengan adanya anomali suhu permukaan laut positif di wilayah samudera
Hindia bagian Barat Pantai Timur Afrika dan anomali suhu muka laut negatif di bagian
timur barat Sumatera.
IOD berkembang di wilayah subtropika selatan Samudera Hindia selama musim
panas. Inisiasinya adalah perubahan angin permukaan di atas Sumatera ke arah tenggara
yang menyebabkan upwelling lokal,
mengangkat termoklin dan menurunkan suhu permukaan laut. Perairan yang lebih dingin di
Samudera Hindia bagian timur menyebabkan berkembangnya angin timuran di sepanjang
ekuator sehingga meningkatkan pendinginan di Samudera Hindia equatorial bagian timur
dan meningkatkan pemanasan Samudera Hindia bagian barat. Pemanasan di bagian
barat tersebut menyebabkan pembentukan daerah Ekman di sekitar 10°LS yang
kemudian mnyebar ke arah barat Webster dalam Santinira, 2004.
Indeks yang digunakan untuk mengidentifikasi kejadian DME Dipole Mode
Event atau IOD Indian Ocean Dipole
adalah DMI Dipole Mode Index. Intensitas IOD diwakili dengan anomali gradien SPL
antara bagian barat kuatorial Samudera Hindia 50°-70°BT dan 10°LS-10°LU dan bagian
tenggara ekuatorial Samudera Hindia 90°- 110°BT dan 10°LS-0°. Gradien inilah yang
disebut DMI. Secara sistematis dinyatakan sebagai berikut :
Perbedaan SB
SH Tenggara
ASPL SH
Barat ASPL
DMI −
=
ASPL Barat SH merupakan Anomali Suhu Permukaan Laut di bagian Samudera
Hindia, ASPL Tenggara SH merupakan Anomali Suhu Permukaan Laut di bagian
tenggara Samudera Hindia, SB Perbedaan merupakan Simpangan Baku dari perbedaan
anomali di kedua tempat.
Sumber : Rao et al, 2001
Gambar 9 a. IOD positif
Ketika DMI positif, maka fenomenanya disebut dengan Dipole Mode Event positif
atau Indian Ocean Dipole positif. Gambar 9 memperlihatkan diagram anomali SPL merah
= pemanasan; biru = pendinginan selama IOD positif dan IOD negatif. Daerah warna
putih mengindikasikan peningkatan aktivitas koneksi, panah menunjukkan arah angin.
Terjadinya IOD sangat bergantung pada kekuatan angin di selatan wilayah Indonesia
pada saat monsun tenggara, apabila monsun tenggara kuat, maka berpeluang untuk
terjadinya IOD. Kejadian IOD tahun 1972, 1994 dan 1997 bersamaan dengan awal El
Nino pada saat monsun timur Mei- September, sehingga di samudera Hindia
sebelah barat Sumatera terjadi penguatan angin yang berhembus dari tenggara
Indonesia, akibatnya Indonesia menjadi sangat kering Mihardja et al., 2002.
Sumber : Rao et al, 2001
Gambar 9b. IOD negatif Selama 127 tahun terakhir, terdapat 14
kejadian IOD positif dan 19 kejadian IOD negatif yang kuat didefinisikan sebagai tahun
yang memiliki rataan tahunan DMI melebihi satu standar deviasi, dan hanya 5 IOD positif
serta 7 IOD negatif yang terjadi bersamaan dengan ENSO Rao et al, 2002.
Hubungan Kejadian Penyimpangan Iklim Dengan Curah Hujan di Sumatera
Hasil-hasil penelitian
terdahulu menjelaskan bahwa tidak semua stasiun curah
hujan di Indonesia berkaitan erat dengan kejadian penyimpangan iklim El Nino dan La
Nina. Pengaruh dan keterkaitan anomali SST Nino 3,4 dengan anomali curah hujan di
Indonesia sangat beragam. Stasiun curah hujan yang hanya berkorelasi nyata pada satu
musim tertentu saja, pada musim yang lain lebih dipengaruhi oleh perubahan atau
dinamika atmosfer dan kondisi fisik spesifik lokal.
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat