34
diperlukan, seperti izin kawin, dispensasi kawin, izin poligami, izin panglima TNIMenteri HANKAM bagi anggota TNI dan Kapolri bagi
anggota Polri. Kepada suami dan isteri yang telah melangsungkan perkawinan diberikan kutipan akta nikah yang berbentuk buku dan
disebut dengan “Buku Nikah”. Kutipan akta perkawinan inilah yang menjadi bukti autentik bagi suami dan isteri, apabila pencatatan sudah
selesai maka petugas pencatat nikah segera menyerahkan kutipan akta nikah yang disebut buku nikah kepada pria dan juga untuk mempelai
wanita. Buku nikah tersebut harus diteliti dengan seksama apakah buku nikah itu telah diisi dan ditulis dengan benar, telah dipasang pas
foto kedua mempelai dan sudah ditandatangani oleh yang berwenang.
2.3 AKIBAT HUKUM PERKAWINAN
1. Kedudukan Suami dan Isteri
Menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Pasal 31 UU NO.1 Tahun 1974 mengatur tentang
kedudukan suami dan isteri dalam rumah tangga dan masyarakat sebagai berikut:
1 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang degan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat Pasal 31 ayat 1 UUP.
2 Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Setelah keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 31963
35
yang menganggap tidak berlaku lagi Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata, maka seorang isteri dalam suatu perkawinan, sekarang
ini mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum dan menghadap dimuka sidang pengadilan. Pasal 31 ayat 2 UUP.
3 Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
Pasal 31 ayat 3 UUP. Pasal 32 UU NO.1 Tahun 1974 mengatakan bahwa suami isteri
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Sedangkan Pasal 33 UUNO.1 Tahun 1974 yakni suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang lain.
2. Terhadap Harta Kekayaan
Menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 37 dan
Pasal 65 UU NO.1 Tahun 1974, perjanjian kawin Pasal 29 sebagai berikut:
Pasal 35 UU NO.1 Tahun 1974 yakni: 1
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2 Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepangjang para pihak tidak
menentukan lain. Pasal 36 UU NO.1 Tahun 1974
36
1 Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. 2
Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya. Pasal 37 UU NO.1 Tahun 1974 “Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing”. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu orang maka Pasal 65 UU NO.I Tahun
1974 menentukan: 1
Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
2 Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi.
3 Semua isteri mempunyai hak-hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Perjanjian perkawinan disebutkan dalam Pasal 29 UU NO.1 Tahun
1974 yakni: 1
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
37
2 Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum,agama dan kesusilaan. 3
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4
Selama perjanjian berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini R.Subekti 1994:37, menyatakan bahwa “baik
KUHPerdata maupun Undang-Undang mengenal apa yang dinamakan perjanjian mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan mereka,
yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang- Undang”. Peraturan pelaksanaan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana
tentang perjanjian perkawinan dimaksud, hanya disebutkan bahwa kalau ada perjanjian perkawinan harusdimuat didalam akta perkawinan Pasal12
huruf h PP Nomor 9 Tahun 1975. Sementara itu, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia KHI
mengatur panjang lebar mengenai perjanjian perkawinan tersebut dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Penulis hanya mengutip Pasal 47 KHI
Yang berbunyi sebagai berikut: 1
Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai
Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
38
2 Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
3 Disamping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 diatas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harata pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.
3. Terhadap Kedudukan Anak