Kisi kisi UAS 2010 Print F4.docx

(1)

1. Agustinus: gagasan civitas dei & civitas terrena sebagai model Gereja; beda keduanya!

‘Civitas Dei’ (Kota Allah) analogi. Titik tolak dari gagasan civitas pada umumnya. Semua unsur umum hadir dalam civitas Dei, namun arti dan nilai berbeda. Istilah ‘civitas’=‘societas’(masyarakat)&‘populus’(umat/bangsa). Pembahasan eklesiologisnya bersifat apologetis (pembelaan).

a. Setiap ‘civitas’ atau ‘societas’ berasal dari suatu “kepentingan bersama”. civitas Dei, dipertentangkan dengan civitas terrena. ‘CD’ dari cinta kasih akan Allah, sedangkan ‘CT’ dari cinta kasih akan makhluk (diri). Perbedaan mengenai:

- pemimpin. CT oleh iblis, sebagai civitas diaboli. Karena iblislah pertama menolak cinta kasih Allah dan memusatkannya pada diri sendiri serta membujuk malaikat dan orang lain. Sebaliknya, CD dipimpin Allah, bukan hanya karena Dialah yang paling dicintai, melainkan paling mencintai.

- bawahan atau anggota. Pada CT= mereka yang terikat cinta akan barang duniawi lebih kuat dari cinta kasih ilahi. Anggota CD=semua yang sudah memilih Allah  objek pertama & terutama cinta kasih. - ‘tempat tinggal’. definitifnya CD =surga, CT (civitas

diaboli)=neraka.

- doktrin dan simbol. Warga CT tidak peduli kebenaran dan meremehkan doktrin apapun. warga CD siap sedia mempertaruhkan nyawa demi kebenaran & kuat pertahankan doktrin Kristus.

- nilai-nilai. Tampaknya keduanya mencari nilai-nilai sama, yakni keadilan dan damai, tetapi pengetian nilai-nilai tersebut berlainan. Warga CT mencari yang duniawi (pusat=cinta akan makhluk) secara eksklusif, sedangkan warga CD mencari yg surgawi (cinta akan Allah).

- ibadat. Warga CT menyembah dewa-dewa yang dibuat tangan sendiri, sedangkan warga CD menyembah Allah yang telah menciptakan segalanya.

b. Ada perbedaan tegas keduanya, tapi kenyataan, di dunia kedua civitas itu tidak dapat dipisahkan, saling berjalinan (perplexae). Kenyataan ini  perumpamaan lalang di antara gandum. Jadi, Gereja tidak =CD (hanya orang kudus), tapi =‘societas mixta’ (societas orang kudus dan berdosa). c. Harus diakui model Gereja= CD tidak mampu ungkapkan seluruh misteri

Gereja yang amat besar. Model ini dapat melukiskan secara efektif apa yang bedakan Gereja dengan semua umat/bangsa lain. Kita sulit menjelaskan hubungan sangat dalam antar anggota G; antara anggota G dengan Kepalanya, yakni Yesus Kristus. Hubungan itu dijelaskan dengan model lain: tubuh, pokok anggur, mempelai dll.


(2)

2. Bernardus Clairvaux: tentang wewenang / kompetensi Paus?

Dalam tulisannya, dilukiskan ministeria (tugas-tugas) yang menjadi wewenang atau kompetensi Paus. Tugas Paus utama=potestas (kekuasaan) universal di atas seluruh Gereja, ministerium servitium (pelayanan). 3 macam pelayanan seorang Paus agar Gereja semakin pantas menjadi mempelai Kristus:

- Pelayanan kepada ‘veritas’ (kebenaran), artinya mewartakannya kepada mereka yang kurang mengenalnya dan khususnya kepada orang kafir; dan karena itu kegiatan misioner, tugas utama Gereja dijalankan kembali, sesudah beberapa abad ditinggalkan. Pelayanan pada kebenaran=pertahankannya melawan kesalahan, terutama dari bidaah.

- Pelayanan kepada ‘hierarchia’ (hierarki): hubungan Paus dengan segala tingkat hierarki, khususnya dengan para Uskup, harus juga dijiwai semangat pelayanan. Paus tidak boleh menindih peran & fungsi bawahan.

- Pelayanan kepada ‘disciplina ecclesiastica’ (disiplin gerejawi), artinya menuntut agar anggota-anggota Gereja mematuhi segala ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Konsili-konsili. Tugas ini tidak mudah dijalankan, namun tetap merupakan pelayanan Paus kepada Gereja.

Agar seorang Paus dapat menjalankan secara pantas tugas sebagai gembala universal Gereja diperlukan beberapa keutamaan: “model kebenaran, cermin kesucian, teladan cinta kasih, corong kebenaran, pembela iman, dll.

Di samping otoritas tertinggi Paus, di dalam civitas christiana ada otoritas tertinggi kedua: otoritas Kaisar, dengan dua tugas pokok:

mengusahakan kedamaian bagi bawahannya & pertahankan mahkotanya,

membela Gereja dengan mempertahankan dan melindungi kebebasannya.

 Di dalam civitas christiana (populus christianus), kekaisaran dan imamat harus bersatu dan bekerjasama guna menghasilkan kedamaian & keselamatan, keadilan & cinta kasih, agar Kerajaan Allah semakin nyata.

3. Thomas Aquino: jelaskan Gereja model somatis (tubuh mistik Kristus) & hubungannya dengan ciri khas (notae) Gereja Kristus!

Dalam karya Thomas Aquino (“Doctor Angelicus”), tidak ada traktat khusus tentang Gereja: eklesiologinya dalam konteks kristologi. Punya nilai “emblematis” (lambang, simbol)= lukiskan matangnya kesadaran eklesiologis Gereja Katolik pada fase emas civitas christiana. Juga punya nilai abadi (segi


(3)

spekulatif); pendalaman Gereja model somatis: tubuh Kristus yang adalah kepalanya.

Dalam Expositio in Symbolum; Thomas pakai model somatis (tubuh mistik Kristus) menjabarkan misteri Gereja: manusia=1 jiwa & 1 tubuh Gereja Katolik juga: 1 tubuh & banyak anggota. Jiwa yang hidupkan tubuh itu: Roh Kudus.

Model somatis (corpus, caput, anima) sebagai metafor (secundum metaphoram) presis sebagai analogi metaforis (per transumptionem), didasarkan atas peran, sikap, cara bertindak dan bukan atas adanya subjek sendiri. Kristus, baik kodrat manusiawi maupun keberadaanNya secara menyeluruh adalah Kepala Gereja. Sebagai Kepala punya prioritas rangkap tiga atas bagian tubuh lainnya: pengatur (ordinem), kesempurnaan (perfectionem) dan kekuasaan/keutamaan (virtutem). Tiga prioritas ini dimiliki Kristus secara spiritual:

- prioritas pengatur, rahmat Kristus karena kedekatanNya dengan Allah lebih tinggi supaya semua orang menerima rahmatNya.

- prioritas kesempurnaan, Kristus memiliki kepenuhan segala rahmat. - prioritas keutamaan, Kristus memiliki kekuasaan/keutamaan

komunikasikan rahmatNya kepada semua anggota Gereja. Dengan demikian jelas bahwa Kristus adalah Kepala Gereja.

Thomas menggunakan model somatis lukiskan “kelima” ciri khas (notae) Gereja Kristus, yaitu: kesatuan (unitas), kekudusan (sanctitas), kekatolikan (catholicitas), kekokohan (firmitas) dan keapostolikan (apostolicitas).

 Gereja adalah satu; kesatuan ini disebabkan 3 unsur: 1 iman: tubuh Gereja percaya realitas yang sama. 2), 1 pengharapan: sama capai hidup kekal. 3), 1 cinta kasih: semua dipersatukan dalam cinta Allah & cinta akan sesama.  Gereja adalah kudus & bergantung dari 3 hal: pertama, fakta bahwa kaum

beriman dicuci atau dibersihkan oleh darah Kristus. Kedua, pengurapan roh yang diterima kaum beriman agar menjadi kudus. Ketiga, dari kehadiran Tritunggal Mahakudus.

 Gereja adalah katolik, artinya universal, karena 3 alasan: pertama, alasan tempat, tersebar di seluruh dunia. Kedua, kondisi para anggotanya, karena tidak dibedakan antara tuan, hamba, laki-laki & perempuan. Ketiga, waktu, karena Gereja berawal dalam zaman Abel & berlangsung sampai akhir zaman.

 Gereja adalah kokoh. Fondasi utama Gereja: Kristus, fondasi sekunder: para Rasul dan ajaran mereka. Karena itu dikatakan Gereja adalah apostolik.

4. Reformasi Martin Luther dari suatu pengertian baru tentang keselamatan. Jelaskan pengertian keselamatan menurutnya & apakah akibatnya bagi Gereja?


(4)

a. keselamatan hanya tergantung pada karya Allah, semata-mata, melulu tanpa partisipasi/kerja sama dari manusia; sola fides (hanya iman), sola scriptura (hanya Kitab Suci) dan sola gratia (hanya rahmat).

- Sesudah dosa Adam, kodrat manusia dan kebebasannya rusak sama sekali, dan manusia sama sekali tidak bisa bekerjasama dengan Allah mencapai keselamatan. Dalam keadaan tersebut “sola fides” (hanya iman saja) dapat menyelamatkan manusia.

- pengertian Protestan tentang misteri Gereja (eklesiologi) juga berubah: model-model sebelumnya (politis, hierarkis, somatis) diganti dengan model kerygmatis (berdasarkan Sabda Allah dan pewartaannya). Pandangan soteriologis Luther: di antara sarana-sarana keselamatan, tempat pertama diduduki oleh Sabda Allah. Kita akan diselamatkan hanya apabila kita menerima Sabda-Nya dengan rendah hati.

b. konsekuensi pemahaman justificatio itu (pembenaran/penyucian) hanya karya Allah yang langsung & semata-mata  segala struktur Gereja Roma yang tujuannya mengantar kepada keselamatan tidak berguna lagi.

- Paus, para Uskup, para imam, para rahib, semua orang kudus, segala “reliquiae” dan indulgensi tidak diperlukan lagi.

- dari 7 sakramen, hanya 2 sakramen saja yang patut dipertahankan, yaitu: pembaptisan dan perjamuan Tuhan (ekaristi), dengan fungsi beda: bukan sarana rahmat lagi (“gratiam quidem conferunt”), tapi simbol menunjuk kepada rahmat yang sudah ada. Yang penting bukan ritus atau “materia” yang dipakai, tapi kata-kata yang mewartakan keselamatan yang dijanjikan Allah.

c. Martin Luther tidak menyangkal bahwa untuk menjembatani “Allah-yang-menyelamatkan” & “manusia-yang-diselamatkan” semestinya ada “seorang pengantara”, yaitu Yesus Kristus. Namun, Kristus – menurut Luther – bukan Pengantara melainkan Allah sendiri yang mengenakan rupa manusia guna menyampaikan kepada manusia SabdaNya yang menyelamatkan.

d. Akibatnya sangat negatif bagi teologi dan eklesiologi khususnya.

- Reformasi=banyak temuan; para teolog Katolik ketinggalan zaman, karena tidak sempat merumuskan model Gereja yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kultur dan masyarakat modern itu. Mereka tidak sempat memperkembangkan eklesiologi berdasarkan model civitas atau populus, sebagai ragi injili di dunia modern.

- Para teolog Katolik terpaksa berkarya menurut model benteng, pertahankan & menyelamatkan harta bendanya (warisan iman) yang sangat berharga itu. Namun, karya menurut model benteng merintangi para teolog Katolik berjalan sejajar dengan sejarah.


(5)

5. EKLESIOLOGI KONSILI TRENTE: menanggapai teologi & eklesiologi

Martin Luther!

a. Gereja Katolik Roma bereaksi keras lawan inovasi radikal bidang teologi & eklesiologi mereka melalui Konsili Trente (1544-1564). Hasil: Gereja mengobservasi semua point yang ditentang oleh “para reformator” & pecahkan segalanya dalam terang KS & Tradisi.

Konsili Trente meneguhkan kembali doktrin tradisional Gereja Katolik. Tanpa meremehkan, Gereja memperlengkapi nilai-nilai dengan unsur-unsur yang disangkal Luther, yakni:

- selain iman (“sola fides”) ada atau perlu juga perbuatan-perbuatan baik.

- selain Kitab Suci (“sola scriptura”) ada juga Tradisi dan sakramen-sakramen; sakramen bukan hanya tanda keselamatan (“sola signa”), tapi juga sarana yang memberikan rahmat (“conferunt gratiam ex opere operato” dan “causa efficax” atau “causa instrumentalis”). - selain Sang Pengantara (“solus mediator”), ada juga

pengantara-pengantara lain yang dipilih Allah untuk teruskan & hadirkan keselamatan Yesus Kristus. (Mereka: Perawan Maria, para Malaikat, orang kudus & Gereja.)

b. Penting bagi eklesiologi. Konsili Trente sebenarnya tidak mau bahas doktrin Gereja secara menyeluruh. Konsili Trente punya pandangan jelas tentang Gereja. Dalam dokumen Konsili ini [Catechismus Tridentinus, secara konstan eklesiologi tetap hadir, kebanyakan hanya secara implisit, juga ada eksplisit, khususnya berhubungan dengan model-model Gereja] c. Model kerygmatis Martin Luther dan Calvin, dijawab oleh Konsili

dengan dua model Gereja, (aspek kelihatan dari Gereja lebih ditekankan), yaitu: model politis, artinya civitas/populus (perbedaan Gereja dengan societas lain) & model somatis, (tubuh Kristus)Kristus (Kepala) & umat beriman (anggota tubuh)  primat Paus.

d. Konsili Trente tidak hanya berusaha untuk memelihara harta kekayaan Gereja dan eklesiologi Katolik, tapi menerima juga tuntutan biblis dan tuntutan kristosentris.

- eksklusivisme biblis (“sola Scriptura”) ditolak, tapi Konsili Trente tempatkan KS =pusat ajaran Katolik. Tugas utama Uskup= mewartakan Injil Yesus Kristus.

- Eksklusivisme soteriologis (“sola fides” dan “solus mediator”) ditolak, namun tegaskan bahwa peran semua pengantara disubordinasikan kepada Kristus.

6. Skema “De Ecclesia Christi” & Konstitusi “Pastor Aeternus”! Bagaimana Konstitusi ini menjelaskan definisi & primat Paus!


(6)

Skema tentang Gereja Kristus (“De Ecclesia Christi”): aspek mistik sama pentingnya dengan aspek institusional bukan doktrin/dokumen resmi. Ini sangat penting dari segi sejarah eklesiologi dan untuk memahami perkembangannya. Pokok-pokok disebut di dalam bagian prolog: kodrat (natura), ciri-ciri khusus (qualitates particulares) dan kekuasaan (potestas) Gereja.

- Untuk menjelaskan kodrat (natura) Gereja, skema itu menggunakan model somatis (gagasan tubuh Kristus).

- skema tersebut menerangkan ciri-ciri utama “tubuh mistik”. Ciri pertama: “societas vera, perfecta, spiritualis et supernaturalis” (masyarakat sejati, sempurna spiritual dan adikodrati). Ciri kedua: “societas visibilis” (masyarakat yang kelihatan) dan ada tiga unsur strukturalnya: magisterium iman, ministerium sakramen-sakramen dan pemerintahan terhadap orang beriman. Ciri-ciri lain yang juga kelihatan adalah “unitas” (kesatuan), “indefectibilitas” (kekudusan), “infallibilitas” (tidak dapat sesat), dan “potestas” (kekuasaan).

“Pastor Aeternus”: konstitusi dogmatik yang terkenal karena definisikan primat dan infallibilitas Paus, pengganti Petrus di Takhta Roma.

- Definisi tentang primat mengandung tiga point:

1. tentang primat Petrus di atas “collegium apostolicum” dan Gereja universal.

2. mendefinisikan bahwa primat tersebut diteruskan kepada pengganti-pengganti Petrus di Takhta Roma.

3. menguraikan dengan istilah-istilah yang tepat kodrat dan luasnya “potestas” (kekuasaan) Petrus.

- Konstitusi “Pastor Aeternus” mendefinisikan infallibilitas Paus sbb: selaku gembala dan guru semua orang Kristiani, dengan kekuasaan apostolik, mendefinisikan suatu ajaran yang menyangkut iman atau kesusilaan yang harus ditaati oleh seluruh Gereja, berkat perlindungan ilahi yang telah dijanjikan kepadanya dalam pribadi Petrus, memiliki infallibilitas (ketidakdapatsesatan) yang Penebus kehendaki ada pada GerejaNya, dan oleh karenanya definisi-definisi Uskup Roma itu adalah tetap serta tidak berubah dengan sendirinya, bukan karena persetujuan.

Tidak ada infallibilitas Paus sebelum Gereja, di luar atau di atas Gereja; dan juga sebaliknya, tidak ada infallibilitas Gereja sebelum Paus. Memang infallibilitas Paus adalah infallibilitas Gereja sendiri. Infallibilitas adalah karunia Roh Kudus kepada Gereja Kristus; dan justru supaya karunia tersebut memperoleh suatu tanda yang kelihatan, Roh Kudus sendiri memberi suatu kharisma khusus – yaitu: suatu pendampingan istimewa – agar Uskup Roma, apabila bicara “ex


(7)

cathedra” atas nama seluruh Gereja menyangkut hal iman dan kesusilaan tidak jatuh dalam kesesatan.

7. Bagaimana Gérard Philips merangkum ciri-ciri khas eklesiologi KV II?

Gérard Philips, salah seorang pelopor Konstitusi dogmatik “LG”, merangkum ciri-ciri khas eklesiologi Konsili Vatikan II dalam 7 poin:

1) “Communio” (persekutuan atau komunitas).

2) Terbuka terhadap yang lain (universalitas, kekatolikan). 3) Kembali kepada sumber-sumber biblis dan patristis.

4) “Personalisme”, baik dalam memahami Gereja (tidak lagi seakan-akan suatu “barang”), maupun dalam memperhatikan semua anggota Gereja, termasuk yang hina dina.

5) Sikap dinamis: Gereja itu tidak mungkin menjadi Gereja yang statis (mandeg).

6) Dimensi historis: misteri Gereja dilihat dalam dimensi historisnya. Allah yang hidup ikut campur tangan dalam sejarah hidup umat manusia. 7) Sintesis yang dipusatkan pada misteri keselamatan yang dilaksanakan

oleh Kristus dan yang ditujukan oleh Allah kepada semua orang percaya. 8. Uraikan Gereja sebagai “tubuh mistik Kristus” dalam LG!

LG no. 7 bicarakan Gereja sebagai “Tubuh Mistik Kristus”. Teks ini sebagai perkembangan dari Surat ensiklik “Mystici Corporis” (1943) yang memiliki beberapa hal yang sejajar tetapi juga berbeda.

Surat ensiklik “Mystici Corporis” katakan: yang sungguh menjadi anggota Tubuh Mistik Kristus hanya mereka yang telah dibaptis, mengakui iman yang benar, tidak memisahkan diri dari heresis (ikut Gereja Reformasi) atau skisma (ikut Gereja Timur) atau karena dikucilkan (apostasi). Ensiklik menyebut orang Kristen “non-Katolik” sebagai yang “mempunyai hubungan dengan Tubuh Mistik Kristus sejauh secara tidak sadar merindukannya”. “Mystici Corporis” juga menyamakan Gereja Katolik Roma dengan Tubuh Mistik Kristus (no. 68). Istilah “Katolik Roma” menekankan kekhasan Gereja ini dibandingkan dengan Gereja-gereja lain, sejauh menerima prinsip hierarkis, seperti dirumuskan Konsili Vatikan I mengenai Primat dan kuasa mengajar Paus. Lantas Kontitusi Lumen Gentium, no. 8 merumuskan dengan cara lebih elegan dan simpatik: “Gereja Kristus dalam dunia dibentuk dan ditata sebagai perhimpunan. Gereja ini berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya, walaupun di luar persekutuan itu pun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran”. (LG 8).

Dalam artikel no. 7, gambaran Gereja “Tubuh Kristus” dengan merujuk kepada bahasa Rasul Paulus dalam Surat-suratnya dan kepada pemikiran para Bapa Gereja dan para teolog, yang membahas Tubuh Kristus dalam Ekaristi maupun Gereja.


(8)

Gereja sebagai Tubuh Mistik, menunjukkan suatu kehendak untuk menggambarkan eklesiologi dalam dimensi teologis-ekaristis, di mana juga aspek institusional mengatasi konsep melulu yuridis, untuk memberi tempat pada karya Roh yang didengarkan, Roh yang memberi hidup kepada kharisma dan ministerium (pelayanan) dan Roh yang memberi hal-hal yang berguna demi pembangunan dan karya Gereja dalam sejarah umat manusia.

9. Gereja sebagai komunio (persekutuan/paguyuban)?

Eklesiologi KV II adalah dimensi koinonia, baik secara vertikal maupun horisontal. Para Bapa Konsili mempersembahkan kuatnya “communio” Gereja mewartakan bahwa hubungan antara Kristus dengan Gereja begitu erat dan mesra.

Paus Yohanes Paulus II melihat sejauh manakah ajaran dan semangat Konsili Vatikan II selama dua puluh tahun (1965-1985) telah menghasilkan buah sebagai proses “aggiornamento” (“up-dating”) Gereja. Pengertian Gereja sebagai “communio”, yakni sebagai persekutuan umat beriman yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Penyelamat. Gereja juga digambarkan sebagai Tubuh Kristus, kediaman Roh Kudus, Umat Allah. semua gambaran itu masing-masing menunjukkan salah satu ciri khusus Gereja, tetapi harus disadari belum utuh atau lengkap. Salah satu gambaran atau model Gereja sebagai “communio” atau persekutuan, sudah terdapat juga dalam Konsili Vatikan II, namun pengertian Gereja sebagai “communio” belum merupakan pusat perhatian umat, termasuk para ahli teologi.

Sebagai “communio” atau persekutuan, paguyuban, Gereja mengandung dua unsur penting, yakni kesatuan dan keanekaan. Di satu pihak, Gereja terdiri orang-orang yang dibaptis, yang bebas dan berdiri sendiri dan ingin mengembangkan diri serta dihargai. di lain pihak, Gereja membentuk suatu kesatuan yang harmonis, bukan bersifat individualistis dan bukan pula kolektivisme. Dengan demikian dalam gereja ada unsur-unsur yang harus berada secara sintetis-harmonis: ada persekutuan dan lembaga, otoritas dan kebebasan, kasih dan hukum, kebebasan dan pengaturan yuridis, struktur jabatan dan kharisma-kharisma umat beriman. Dan yang satu tidak boleh lepas atau terpisah dengan yang lain.

Telah dikatakan bahwa Gereja (Ecclesia) adalah suatu persekutuan (communio) orang-orang beriman yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Penyelamat. Atas dasar kepercayaan ini, orang dibaptis dan berkat baptis itulah ia diberi kesempatan oleh Tuhan dalam Gereja, baik secara perorangan maupun bersama orang-orang lain, untuk diselamatkan.

Menjadi anggota Gereja=ikut bertanggung jawab atas keadaan dan perkembangan Gereja. Gereja harus dilihat sebagai suatu persekutaun umat Allah (bukan institusi), artinya hidup, bergerak, karena anggota-anggotanya mengambil dan melaksanakan bagian dalam memenuhi kebutuhan Gereja. Karena itu, Gereja dapat disebut sebagai persekutuan terpadu, bagaikan


(9)

suatu tubuh yang hidup dan berfungsi. Apa sebenarnya terpadu dalam Gereja yang satu itu? Dalam Gereja ada bermacam panggilan, ada berbagai kondisi kehidupan, pelayanan, kharisma dan tanggung jawab; semuanya dapat saling melengkapi. Di dalam Gereja sebagai satu tubuh ada kebhinekaan dan komplementaritas, sehingga setiap anggota Gereja (awam, biarawan-biarawati, klerus) tanpa kecuali, berkat kebhinekaan dan komplementaritas itu dapat memberikan sumbangannya masing-masing.

10. Haluan-haluan Eklesiologis pasca KV II!

dapat kita rangkum sesuai dengan haluan-haluan berikut ini:

a. Haluan teandris (Jornet dan Beni). Gereja itu adalah perpanjangan inkarnasi Kristus. Gereja juga teandris adanya seperti Kristus, yaitu manusiawi-ilahi, akan tetapi tanpa “unio hypostatica” atau kesatuan hypostatis.

b. Haluan kerygmatis (Barth, Bultmann, Gogarten). Gereja itu terdiri atas kegiatannya. Dan kegiatan utama Gereja adalah kegiatan kerygmatis yang merupakan hakekatnya, yaitu pewartaan Sabda Allah, Kabar gembira, dan pewartaan keselamatan.

c. Haluan “communio” (Hamer, von Balthasar). Gereja dipandang sebagai suatu “societas”, yang bersatu karena ikatan cinta kasih. Cinta kasih yang mengalir dari Tritunggal yang Mahakudus kepada semua anggota “tubuh mistik Kristus”.

d. Haluan ekumenisme (Congar, Cullmann, Florovski). Haluan ini terutama membahas sebab-sebab yang sudah mengakibatkan perpecahan di dalam Gereja dan sarana-sarana guna memulihkan kesatuan kembali. Kesatuan ini adalah salah satu dimensi esensial Gereja dan salah satu syarat mutlak agar kegiatan soteriologisnya dapat berhasil.

e. Haluan sakramental (Semmelroth, Rahner, Ratzinger, Schillebeeckx). Gagasan “sakramen” itu dilihat sebagai kunci utama guna memahami misteri Gereja. Gagasan ini tidak berlaku hanya untuk ketujuh sakramen saja, melainkan untuk Gereja itu sendiri. Sakramen itu mencakupi dua unsur, yaitu: unsur yang berupa benda, materi (signum), dan unsur yang tidak kelihatan, spiritual (res significata). Hal itu benar tentang Gereja juga, yang pada hakekatnya kelihatan dan tidak kelihatan, manusiawi dan ilahi. Gereja adalah “sakramen fundamental”; Gereja bukan hanya menandakan keselamatan, melainkan juga menghasilkannya (“causa”). f. Haluan pneumatis (Tillich, Moltmann, Mühlen, Küng). Haluan ini

memandang seluruh misteri Gereja berdasarkan Roh Kudus, sebagai prinsip formal adanya Gereja dan prinsip efisien segala kegiatan Gereja. Roh Kudus menghidupkan semua unsur Gereja. Roh Kudus adalah jiwa Gereja.

g. Haluan historis (De Lubac, Bouyer). Sampai sekarang, haluan ini lebih kuat dan berarti terutama di bidang kristologi (Cullmann, Pannenberg,


(10)

Kasper, Bordoni) dari pada bidang eklesiologi. Selain suatu misteri yang besar, Gereja itu adalah juga suatu realitas historis. Pada tingkat kodrati maupun adikodrati, Gereja memperlihatkan diri apa adanya lewat kejadian-kejadian historis yang dialaminya. Tentang tokoh-tokoh atau bangsa-bangsa tertentu, hanya biografi atau sejarah dapat mengatakan siapa mereka itu. Dari satu segi, dapat dikatakan bahwa sama halnya dengan Gereja, umat Allah masih dalam perjalanan yang panjang. Karena itu, pembicaraan eklesiologis akan tetap berlangsung dan tidak pernah selesai.

11. Charles Journet menguraikan Causa efficientes!

Menurut Journet, guna mengerti Gereja secara mendalam, orang perlu mengenal sebab musabab (causae) yang telah mengadakannya.

a. Charles Journet memulai eklesiologinya dengan membahas causae efficientes Gereja, dalam hubungan dengan causae increatae & causae creatae. - Berdasarkan causae increatae (Yesus Kristus, Roh Kudus, Allah), Gereja itu dapat didefinisikan sebagai tubuh Kristus, mempelai Kristus, kawanan Kristus, kenisah Roh Kudus dan kenisah Tritunggal yang Mahakudus.

- Berdasarkan causae creatae, Gereja itu dapat didefinisikan sebagai komunitas yang dikumpulkan di dalam Allah oleh Kristus. Gereja itu adalah persekutuan para kudus.

b. causa efficiens tertinggi Gereja adalah Tritunggal yang Mahakudus: Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Gereja itu berasal dari dua utusan:

o Utusan Putera yang lewat peristiwa inkarnasi membentuk kepala dalam Kristus;

o Utusan Roh Kudus yang pada hari Pentekosta dan melalui misteri kesatuan rahmat dan kediaman membentuk tubuh, yaitu Gereja.

Karena itu tahap-tahap yang menentukan dalam pembentukan atau pendirian Gereja adalah Inkarnasi dan Pentekosta, sedangkan pelaku-pelaku utama (per appropriationem) adalah Sabda yang menjelma dan Roh Kudus. Menurut Journet, benih pertama Gereja ditaburkan dengan inkarnasi. Langkah penting selanjutnya di mana denah atau design menjadi benar-benar bangunan, diambil Yesus apabila Dia mengadakan di antara kita hierarki yang kelihatan. Pada hari Pentekosta, Roh Kudus menyempurnakan karya yang dimulai Kristus.

12. Karl Rahner menjelaskan masalah hubungan antara Gereja dengan Gereja Universal dan ungkapan “extra ecclesiam nulla salus”? Berdasarkan model sakramental, Rahner menjelaskan juga dua masalah yang penting di dalam pembahasan teologi masa kini, yaitu: masalah hubungan antara Gereja universal dan Gereja lokal dan masalah keselamatan di luar Gereja.


(11)

- Apabila Gereja dipandang sebagai sakramen, ada pengaruhnya terhadap pengertian tentang Gereja lokal. Pada masa lampau Gereja lokal dilihat sebagai bagian atau cabang Gereja universal; seakan-akan hakekat Gereja secara penuh hanya ada pada Gereja universal. jika Gereja didefinisikan sebagai “sakramen universal keselamatan”, maka Gereja lokal juga adalah Gereja dalam arti penuh, yaitu “kekonkretan” Gereja, pelaksanaannya yang sempurna. Gereja lokal adalah kehadiran Kristus baik dalam Sabda maupun dalam perjamuan serta dalam cinta kasih yang mempersatukan semua orang yang mendengarkan Sabda dan merayakan “agape” (perayaan cinta kasih).

- Masalah keselamatan di luar Gereja amat diperhatikan oleh Rahner, dan untuk memecahkannya dia mempergunakan teori “orang Kristen anonim” (anonymous christianity) yang terkenal. Intinya: dengan kedatangan Kristus, sudah definitiflah kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang. Kalau demikian, bagaimana tentang ungkapan “extra ecclesiam nulla salus”? Menurut Karl Rahner, ungkapan ini tetap benar, tetapi berlaku hanya untuk Gereja yang tidak kelihatan, bukan untuk Gereja yang kelihatan. Ajaran tradisi menyatakan cakrawala keselamatan tidak sama dengan perbatasan Gereja yang kelihatan, melainkan jauh lebih luas dan mencakupi seluruh umat manusia. Guna menjelaskan hubungan antara Gereja dan keselamatan, Rahner menggunakan apa yang terjadi dalam realitas sakramen. Kata-kata sakramen dan rahmat berkaitan erat tetapi tidak sama, yang satu bisa mendahului yang lain: rahmat bisa mendahului sakramen dan sakramen dapat mendahului rahmat. Begitu juga dengan Gereja yang merupakan manifestasi historis rahmat: rahmat bisa mendahului Gereja dan Gereja bisa mendahului rahmat. Dengan kata lain, Gereja sebagai “sakramen” (signum efficax, tanda yang berdayaguna) melampaui batasnya yang kelihatan itu dan menghadirkan keselamatan di mana-mana dan kepada siapa saja.

13. Yves Congar: ciri khas Gereja?

Guna memperoleh suatu pengertian yang lebih mendalam tentang kodrat Gereja, Congar berusaha menerangkan secara lebih jelas arti keempat cirinya yang khas, yaitu: kesatuan, kekudusan, kekatolikan dan keapostolikan.

- Kesatuan juga berdasarkan Allah sendiri, seperti halnya dengan kekudusan, karena kesatuan Gereja merupakan partisipasi yang dalam serta perluasan kesatuan Allah sendiri. Lewat rahmat, kita seperti halnya dengan para malaikat berpartisipasi dalam hidup Tritunggal yang Mahakudus. Itulah Gereja: peluasan atau pembagian hidup ilahi kepada banyak makhluk.


(12)

- Kekudusan adalah ciri Gereja yang paling khusus, karena Gereja merupakan “tempat” kehadiran Allah di dunia ini, yaitu kenisahNya. Allah itu kudus dan sumber kekudusan.

- Kekatolikan oleh Congar diberi suatu arti yang lebih menekankan aspek kualitatif dari pada kuantitatif; sedangkan menurut eklesiologi tradisional, kekatolikan terdiri atas penyebaran Gereja antara semua orang pada segala tempat dan pada segala zaman. Tentu saja kekatolikan dalam arti tradisional ini tidak diragukan. Namun menurut Congar yang paling penting adalah kualitas kekatolikan, artinya kemampuan Gereja untuk menjelma atau berintegrasi pada setiap kultur dan pada setiap zaman.

- Keapostolikan dilukiskan dengan gambaran reservoir (penampung) air. Reservoir itu dapat diisi melalui suatu sumber dari dalam yang tidak kelihatan, dan hal ini terjadi di dalam Gereja surgawi. Tetapi di dalam Gereja musafir (Gereja yang berziarah), reservoir itu diisi dari luar. Pengisian itu dapat dilaksanakan dengan dua cara: pertama, melalui hujan, yaitu langsung dari langit tanpa perantara apapun (ini menurut kepercayaan Protestan); kedua, melalui sistem kanal yang membawa air dari suatu sumber; dan sistem kanal ini terjamin oleh keapostolikan (inilah kepercayaan Katolik).

14. Yves Congar: Siapa & apa tugas kaum awam?

“Pedoman untuk suatu teologi kaum awam”, yang menjadi karya monumentalnya, Congar meletakkan dasar untuk suatu teologi tentang kaum awam, dengan menjelaskan tempat kaum awam dalam Gereja serta menentukan tugasnya yang khusus.

- Congar tidak menjelaskan tempat kaum awam dalam Gereja secara negatif, artinya dengan mempertentangkan tempat kaum awam dengan tempat para biarawan atau para imam (klerus). Congar menjelaskan tempat kaum awam secara positif, yaitu dengan menunjukkan tugas-tugas khusus kaum awam.

- Menurut Congar, tugas kaum awam yang khusus tidak berkenaan langsung dengan anggota-anggota Gereja: ini adalah tugas para imam; dan juga tidak berkenaan langsung dengan Allah: ini adalah tugas para biarawan/biarawati. Tugas kaum awam berkenaan langsung dengan dunia: tugas khusus kaum awam adalah “consecratio mundi”

(penyucian atau pengudusan dunia).

“Consecratio mundi” itu berarti memasukkan dunia dalam rencana keselamatan yang dikehendaki Allah bagi umat manusia dan bagi seluruh dunia.


(13)

Küng menguraikan terutama dua point: imamat para beriman dan peranan Sri Paus.

- Berdasarkan imamat umum para beriman, Küng hendak memberikan kemungkinan yang lebih luas kepada semua anggota Gereja dari pada yang diberikan sekarang. Dia menegaskan kembali tesis bahwa perbedaan antara “klerus” dan “awam” tidak berasal dari Gereja-gereja purba. Menurut Küng, pada mulanya hanya ada orang beriman dan semua adalah imam, rohaniwan dan “klerus” juga, karena semua termasuk “cleròs”, yaitu umat yang dipilih Allah. Salah satu istilah yang tepat untuk menunjukkan jabatan-jabatan yang jelas ada di dalam Gereja purba adalah “diakonia”, karena kharisma-kharisma selalu bertujuan dan berfungsi sebagai “diakonia” (pelayanan). Lagi pula menurut Hans Küng, dalam Gereja purba (yaitu: komunitas Korintus dan Tesalonika) tidak terdapat tingkat-tingkat hierarkis seperti pada semua Gereja Timur dan Barat.

- Dengan sendirinya dan secara konsekuen, pada akhir bukunya terdapat juga persoalan peranan Sri Paus di dalam Gereja. Berdasarkan proses penyusunan historis dan eksegese biblis yang jelas-jelas parsial (seperti diakui oleh dia sendiri), Küng melawan primat yurisdiksi Sri Paus. Yang sulit bagi Küng adalah membuktikan legitimasi suksesi apostolik. Bagaimana caranya guna mengatasi kesulitan ini? Satu-satunya jalan keluar menurut Küng adalah prinsip diakonia: Sri Paus dapat memegang peranan yang sah di dalam Gereja, asal menyesuaikan diri dengan prinsip ini. Menurut Küng, pada abad-abad pertama, para Paus menjalankan jabatannya dalam bentuk “diakonia” dan bukan dalam bentuk “monarki”. Supaya dapat dilegitimasikan dan sekaligus sebagai unsur kesatuan dan bukan perpecahan, Sri Paus harus kembali kepada primat “diakonia” seperti ada di dalam Gereja purba.

16. Perbandingan pemikiran Joseph Ratzinger & Karl Rahner Joseph Ratzinger – Benediktus XVI

Tentang kewargaan Gereja dan keselamatan, Ratzinger memilih jalan tengah antara mereka yang menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja (extra ecclesiam nulla salus) dan mereka yang menjadikan keselamatan sama sekali tidak tergantung pada Gereja (kristianisme anonim). Menurut Ratzinger, keselamatan itu diperuntukkan bagi semua orang dan disampaikan kepada mereka lewat Gereja. Ada perbedaan yang tegas antara kewargaan Gereja dan masalah keselamatan, antara para anggota Gereja dan mereka yang diselamatkan. Para anggota Gereja dapat merupakan “kawanan kecil”, sedangkan mereka yang diselamatkan mencakupi semua orang. Hanya ada satu keselamatan saja, yaitu Kristus. Kristus mempergunakan “kawanan kecil” (para anggota Gereja) untuk


(14)

menyelamatkan “kawanan besar” (umat manusia): keduanya menduduki tempatnya masing-masing pada jalan keselamatan; tempat itu berlainan, akan tetapi kesatuan merupakan jalan tetap. Untuk mengerti semuanya itu perlu memperhatikan bahwa keselamatan itu adalah suatu anugerah yang cuma-cuma bagi semua manusia.

Karl Rahner:

Masalah keselamatan di luar Gereja selalu amat diperhatikan oleh Rahner, dan untuk memecahkannya dia mempergunakan teori “orang Kristen anonim” (anonymous christianity) yang terkenal. Intinya: dengan kedatangan Kristus, sudah definitiflah kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang. Kalau demikian, bagaimana tentang ungkapan “extra ecclesiam nulla salus”? ungkapan ini tetap benar, tetapi berlaku hanya untuk Gereja yang tidak kelihatan, bukan untuk Gereja yang kelihatan. Ajaran tradisi: cakrawala keselamatan tidak sama dengan perbatasan Gereja yang kelihatan, melainkan jauh lebih luas dan mencakupi seluruh umat manusia. Hubungan antara Gereja dan keselamatanapa yang terjadi dalam realitas sakramen. Kata-kata sakramen dan rahmat berkaitan erat tetapi tidak sama, yang satu bisa mendahului yang lain: rahmat bisa mendahului sakramen dan sakramen dapat mendahului rahmat. Gereja = manifestasi historis rahmat: rahmat bisa mendahului Gereja dan Gereja bisa mendahului rahmat. Gereja sebagai “sakramen” (signum efficax, tanda yang berdayaguna) melampaui batasnya yang kelihatan itu dan menghadirkan keselamatan di mana-mana dan kepada siapa saja.

17. Gustavo Gutiérrez: tesis-tesis pokok Teologi Pembebasan TP hadir sebagai teologi fundamental dan suatu eklesiologi.

 TP =teologi fundamental karena TP itu suatu penafsiran umum tentang keselamatan dan sebagai kunci tafsir analisis politis atau sosial yang digunakan.

 TP merupakan eklesiologi apabila “analisis politis” yang sama digunakan untuk membahas hidup Gereja.

Tesis-tesis pokoknya:

a. Arti keselamatan. tidak hanya tingkat adikodrati, juga kodrati. Keselamatan cakup manusia secara menyeluruh. Proses keselamatan mencakup manusia dan sejarah seluruhnya.

b. Karya Kristus. X tidak datang hanya menghapus dosa dan maut, juga segala bentuk penindasan, ketidakadilan, peminggiran, diskriminasi dan kekerasan. Pulihkan seluruh realitas dalam semua dimensi: kosmis, manusiawi & sosial. Karya keselamatan Allah t.a. anugerah persatuan dengan Kristus serta saudara-saudari kita.

c. Tugas-tugas Gereja. Sebagai sakramen keselamatan dan penerus karya pembebasan yang sudah dimulai Kristus, Gereja prihatintidak hanya keselamatan rohani, tapi juga secara menyeluruh dan pembebasan total;


(15)

sosial, ekonomi, politik. Tidak cukup membaharui struktur-struktur dan sistem sosial yang ada (sifatnya menindas). Maka struktur/sistem sosial perlu dirobohkan dan diganti dengan sistem baru (sistem sosialis). d. Metode “dari bawah”. Yang ditekankan: pentingnya ilmu-ilmu historis,

politis, sosial, ekonomi, sosiologis untuk memperoleh suatu pengetahuan mendalam mengenai praktek pembebasan dan motivasi-motivasi, tujuan-tujuan, hambatan-habatan & gerakan-gerakan. Refleksi teologis harus berdasarkan penghayatan, partisipasi personal dalam praktek historis yang membebaskan.

- Kesimpulan: dari segi metode, teologi pembebasan menuntut suatu hubungan yang langsung dan teliti dengan praktek historis; dan harus mulai “dari bawah”. Teologi pembebasan semua orang, suku dan golongan sosial yang mengalami kemiskinan dan eksploitasi, kemelaratan dan perjuangan kaum miskin.

18. Y.B. Mangunwijaya: gagasan Gereja diaspora & latar belakang? Latar belakang:

- Perubahan-perubahan besar terjadi dewasa ini (modernisasi, industrialisasi, urbanisasi, transmigrasi dll) mempengaruhi pola hidup menggereja. Struktur Gereja yang tradisional dan kaku, birokratis dan hierarkis tidak mampu lagi secara efektif menanggapi pola kehidupan dan peradaban baru ini. Maka diperlukan metode kegembalaan yang lain. Ingat prinsip lex agendi lex essendi – tata perbuatan menyesuaikan diri pada tata keadaan (hukum atau cara bertindak mestinya menyesuaikan diri dengan hukum atau cara keberadaan atau keadaan).

- Bahaya Gereja menjadi sekte, karena terlalu memusatkan perhatian pada aktivitas-aktivitas dan kehidupan religius di paroki. Gereja di Indonesia ditengarai over-aktif, kelewat banyak berorganisasi, terlalu banyak komite, organisasi-organisasi seperti gerakan karismatik, Legio Maria, Koor, rekoleksi, kelompok-kelompok doa, piknik dan hiking dll.

- Keterlibatan Romo Mangun dan berbagai aktivitasnya dengan orang-orang pinggiran dan di wilayah-wilayah batas (frontiers) merupakan pilihan hidupnya yang mencerminkan suatu diaspora.

b. Gereja diaspora merupakan sebuah bangunan teologi kontekstual dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan yang diresapi budaya modern (industrialisasi, sekularisasi, nomad modern, iklim urban) di mana umat Katolik menjadi kelompok-kelompok minoritas yang tersebar.

c. Dalam hal struktur/konstruksi, Gereja dilihat sebagai organisme bukan sebagai struktur organisasi kaku, beku dan berbentuk piramida. Gereja diaspora= keguyuban (selaras Gereja communio) yang menanggapi kebutuhan pelayanan rohani umat sesuai tuntutan ideologi, politik,


(16)

ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan lingkungan hidup. d. Gereja diaspora adalah Gereja jaringan (network) atau Gereja

simpul-simpul (nodes). Gereja jaringan dibangun dengan pijakan pada realitas heterogen dengan situasi sosiologis & politis minoritas. Sistem komunikasi transwilayah punya komunikasi-koordinasi dg Gereja teritorialterpencar namun bersatu.

e. Dalam sistem jaringan ini umat atau kaum awam melibatkan diri secara nyata dalam hidup masyarakat luas yang melampaui sekat-sekat kegerejaan yang sempit. Elemen-elemen penting dalam sistem jaringan adalah suasana akrab, nonformal, kekeluargaan, keguyuban, susunan kerjasama yang melewati jalan lorong yang teratur, luwes, mampu mengatasi berbagai persoalan yang relevan dan aktual tanpa terhambat oleh birokrasi seperti dalam Gereja piramida. Kaum awam adalah protagonis.

f. Gereja diaspora adalah Gereja yang terbuka (aktif membina relasi dengan yang lain: orang-orang pinggiran, orang-orang non-Katolik) dan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kiprah kaum rohaniwan, biarawan dan misionaris.

g. Kembali ke Kitab Suci, misalnya mencontoh pola Gereja Purba diaspora bergaya hidup dan mengorganisir diri secara diaspora. Untuk perkembangannya diperlukan orang-orang yang memikul tugas utama mempersiapkan sistem dan mekanisme penggembalaan yang relevan. h. Dalam situasi diaspora, keluarga inti (nucleus family) dan hubungan orang tua dengan anak-anak merupakan hal yang sangat menentukan, disamping juga keluarga besar, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas. Semua keluarga dan pribadi-pribadi primer berfungsi sebagai salah satu simpul jaringan komunikasi yang terhubung dengan seluruh umat Allah Gereja regional universal. Kekuatan keagamaan primer berbasis keluarga inti dan keluarga luas (extended family).

19. Bandingkan model Gereja teritorial dan Gereja diaspora! Bagaimana pendapat Anda mengenai gagasan Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya ini!

Gereja teritorial:

- Komunitas relatif homogen, wilayah mayoritas Katolik, bertetangga kompak. - Umat budaya desa (rural) sosiologis tertutup, orang-orang bertempat stabil, jarang

bepergian jauh.

- Keluarga-keluarga utuh dan hidup bersama dari pagi sampai malam. Ayah-ibu-anak satu kehidupan, keluarga saling berkontak erat.

- Umat kenal semua karena lapangan kerja, mengenal fungsi kemasyarakatan, rekreasi. Bertempat dekat-dekat saja dan mengikuti pola komunitas desa.

- Umat berbudaya agraris dengan tugas-tugas permanen, berirama tetap menurut hari dan musim yang serba damai dan serba pasti.


(17)

Gereja diaspora: Kamunitas amat heterogen, wilayah orang Katolik minoritas, serba tersebar dan terpencar.


(1)

- Kekudusan adalah ciri Gereja yang paling khusus, karena Gereja merupakan “tempat” kehadiran Allah di dunia ini, yaitu kenisahNya. Allah itu kudus dan sumber kekudusan.

- Kekatolikan oleh Congar diberi suatu arti yang lebih menekankan aspek kualitatif dari pada kuantitatif; sedangkan menurut eklesiologi tradisional, kekatolikan terdiri atas penyebaran Gereja antara semua orang pada segala tempat dan pada segala zaman. Tentu saja kekatolikan dalam arti tradisional ini tidak diragukan. Namun menurut Congar yang paling penting adalah kualitas kekatolikan, artinya kemampuan Gereja untuk menjelma atau berintegrasi pada setiap kultur dan pada setiap zaman.

- Keapostolikan dilukiskan dengan gambaran reservoir (penampung) air. Reservoir itu dapat diisi melalui suatu sumber dari dalam yang tidak kelihatan, dan hal ini terjadi di dalam Gereja surgawi. Tetapi di dalam Gereja musafir (Gereja yang berziarah), reservoir itu diisi dari luar. Pengisian itu dapat dilaksanakan dengan dua cara: pertama, melalui hujan, yaitu langsung dari langit tanpa perantara apapun (ini menurut kepercayaan Protestan); kedua, melalui sistem kanal yang membawa air dari suatu sumber; dan sistem kanal ini terjamin oleh keapostolikan (inilah kepercayaan Katolik).

14. Yves Congar: Siapa & apa tugas kaum awam?

“Pedoman untuk suatu teologi kaum awam”, yang menjadi karya monumentalnya, Congar meletakkan dasar untuk suatu teologi tentang kaum awam, dengan menjelaskan tempat kaum awam dalam Gereja serta menentukan tugasnya yang khusus.

- Congar tidak menjelaskan tempat kaum awam dalam Gereja secara negatif, artinya dengan mempertentangkan tempat kaum awam dengan tempat para biarawan atau para imam (klerus). Congar menjelaskan tempat kaum awam secara positif, yaitu dengan menunjukkan tugas-tugas khusus kaum awam.

- Menurut Congar, tugas kaum awam yang khusus tidak berkenaan langsung dengan anggota-anggota Gereja: ini adalah tugas para imam; dan juga tidak berkenaan langsung dengan Allah: ini adalah tugas para biarawan/biarawati. Tugas kaum awam berkenaan langsung dengan dunia: tugas khusus kaum awam adalah “consecratio mundi”

(penyucian atau pengudusan dunia).

“Consecratio mundi” itu berarti memasukkan dunia dalam rencana keselamatan yang dikehendaki Allah bagi umat manusia dan bagi seluruh dunia.


(2)

Küng menguraikan terutama dua point: imamat para beriman dan peranan Sri Paus.

- Berdasarkan imamat umum para beriman, Küng hendak memberikan kemungkinan yang lebih luas kepada semua anggota Gereja dari pada yang diberikan sekarang. Dia menegaskan kembali tesis bahwa perbedaan antara “klerus” dan “awam” tidak berasal dari Gereja-gereja purba. Menurut Küng, pada mulanya hanya ada orang beriman dan semua adalah imam, rohaniwan dan “klerus” juga, karena semua termasuk “cleròs”, yaitu umat yang dipilih Allah. Salah satu istilah yang tepat untuk menunjukkan jabatan-jabatan yang jelas ada di dalam Gereja purba adalah “diakonia”, karena kharisma-kharisma selalu bertujuan dan berfungsi sebagai “diakonia” (pelayanan). Lagi pula menurut Hans Küng, dalam Gereja purba (yaitu: komunitas Korintus dan Tesalonika) tidak terdapat tingkat-tingkat hierarkis seperti pada semua Gereja Timur dan Barat.

- Dengan sendirinya dan secara konsekuen, pada akhir bukunya terdapat juga persoalan peranan Sri Paus di dalam Gereja. Berdasarkan proses penyusunan historis dan eksegese biblis yang jelas-jelas parsial (seperti diakui oleh dia sendiri), Küng melawan primat yurisdiksi Sri Paus. Yang sulit bagi Küng adalah membuktikan legitimasi suksesi apostolik. Bagaimana caranya guna mengatasi kesulitan ini? Satu-satunya jalan keluar menurut Küng adalah prinsip diakonia: Sri Paus dapat memegang peranan yang sah di dalam Gereja, asal menyesuaikan diri dengan prinsip ini. Menurut Küng, pada abad-abad pertama, para Paus menjalankan jabatannya dalam bentuk “diakonia” dan bukan dalam bentuk “monarki”. Supaya dapat dilegitimasikan dan sekaligus sebagai unsur kesatuan dan bukan perpecahan, Sri Paus harus kembali kepada primat “diakonia” seperti ada di dalam Gereja purba.

16. Perbandingan pemikiran Joseph Ratzinger & Karl Rahner Joseph Ratzinger – Benediktus XVI

Tentang kewargaan Gereja dan keselamatan, Ratzinger memilih jalan tengah antara mereka yang menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja (extra ecclesiam nulla salus) dan mereka yang menjadikan keselamatan sama sekali tidak tergantung pada Gereja (kristianisme anonim). Menurut Ratzinger, keselamatan itu diperuntukkan bagi semua orang dan disampaikan kepada mereka lewat Gereja. Ada perbedaan yang tegas antara kewargaan Gereja dan masalah keselamatan, antara para anggota Gereja dan mereka yang diselamatkan. Para anggota Gereja dapat merupakan “kawanan kecil”, sedangkan mereka yang diselamatkan mencakupi semua orang. Hanya ada satu keselamatan saja, yaitu Kristus. Kristus mempergunakan “kawanan kecil” (para anggota Gereja) untuk


(3)

menyelamatkan “kawanan besar” (umat manusia): keduanya menduduki tempatnya masing-masing pada jalan keselamatan; tempat itu berlainan, akan tetapi kesatuan merupakan jalan tetap. Untuk mengerti semuanya itu perlu memperhatikan bahwa keselamatan itu adalah suatu anugerah yang cuma-cuma bagi semua manusia.

Karl Rahner:

Masalah keselamatan di luar Gereja selalu amat diperhatikan oleh Rahner, dan untuk memecahkannya dia mempergunakan teori “orang Kristen anonim” (anonymous christianity) yang terkenal. Intinya: dengan kedatangan Kristus, sudah definitiflah kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang. Kalau demikian, bagaimana tentang ungkapan “extra ecclesiam nulla salus”? ungkapan ini tetap benar, tetapi berlaku hanya untuk Gereja yang tidak kelihatan, bukan untuk Gereja yang kelihatan. Ajaran tradisi: cakrawala keselamatan tidak sama dengan perbatasan Gereja yang kelihatan, melainkan jauh lebih luas dan mencakupi seluruh umat manusia. Hubungan antara Gereja dan keselamatanapa yang terjadi dalam realitas sakramen. Kata-kata sakramen dan rahmat berkaitan erat tetapi tidak sama, yang satu bisa mendahului yang lain: rahmat bisa mendahului sakramen dan sakramen dapat mendahului rahmat. Gereja = manifestasi historis rahmat: rahmat bisa mendahului Gereja dan Gereja bisa mendahului rahmat. Gereja sebagai “sakramen” (signum efficax, tanda yang berdayaguna) melampaui batasnya yang kelihatan itu dan menghadirkan keselamatan di mana-mana dan kepada siapa saja.

17. Gustavo Gutiérrez: tesis-tesis pokok Teologi Pembebasan TP hadir sebagai teologi fundamental dan suatu eklesiologi.

 TP =teologi fundamental karena TP itu suatu penafsiran umum tentang keselamatan dan sebagai kunci tafsir analisis politis atau sosial yang digunakan.

 TP merupakan eklesiologi apabila “analisis politis” yang sama digunakan untuk membahas hidup Gereja.

Tesis-tesis pokoknya:

a. Arti keselamatan. tidak hanya tingkat adikodrati, juga kodrati. Keselamatan cakup manusia secara menyeluruh. Proses keselamatan mencakup manusia dan sejarah seluruhnya.

b. Karya Kristus. X tidak datang hanya menghapus dosa dan maut, juga segala bentuk penindasan, ketidakadilan, peminggiran, diskriminasi dan kekerasan. Pulihkan seluruh realitas dalam semua dimensi: kosmis, manusiawi & sosial. Karya keselamatan Allah t.a. anugerah persatuan dengan Kristus serta saudara-saudari kita.

c. Tugas-tugas Gereja. Sebagai sakramen keselamatan dan penerus karya pembebasan yang sudah dimulai Kristus, Gereja prihatintidak hanya keselamatan rohani, tapi juga secara menyeluruh dan pembebasan total;


(4)

sosial, ekonomi, politik. Tidak cukup membaharui struktur-struktur dan sistem sosial yang ada (sifatnya menindas). Maka struktur/sistem sosial perlu dirobohkan dan diganti dengan sistem baru (sistem sosialis). d. Metode “dari bawah”. Yang ditekankan: pentingnya ilmu-ilmu historis,

politis, sosial, ekonomi, sosiologis untuk memperoleh suatu pengetahuan mendalam mengenai praktek pembebasan dan motivasi-motivasi, tujuan-tujuan, hambatan-habatan & gerakan-gerakan. Refleksi teologis harus berdasarkan penghayatan, partisipasi personal dalam praktek historis yang membebaskan.

- Kesimpulan: dari segi metode, teologi pembebasan menuntut suatu hubungan yang langsung dan teliti dengan praktek historis; dan harus mulai “dari bawah”. Teologi pembebasan semua orang, suku dan golongan sosial yang mengalami kemiskinan dan eksploitasi, kemelaratan dan perjuangan kaum miskin.

18. Y.B. Mangunwijaya: gagasan Gereja diaspora & latar belakang? Latar belakang:

- Perubahan-perubahan besar terjadi dewasa ini (modernisasi, industrialisasi, urbanisasi, transmigrasi dll) mempengaruhi pola hidup menggereja. Struktur Gereja yang tradisional dan kaku, birokratis dan hierarkis tidak mampu lagi secara efektif menanggapi pola kehidupan dan peradaban baru ini. Maka diperlukan metode kegembalaan yang lain. Ingat prinsip lex agendi lex essendi – tata perbuatan menyesuaikan diri pada tata keadaan (hukum atau cara bertindak mestinya menyesuaikan diri dengan hukum atau cara keberadaan atau keadaan).

- Bahaya Gereja menjadi sekte, karena terlalu memusatkan perhatian pada aktivitas-aktivitas dan kehidupan religius di paroki. Gereja di Indonesia ditengarai over-aktif, kelewat banyak berorganisasi, terlalu banyak komite, organisasi-organisasi seperti gerakan karismatik, Legio Maria, Koor, rekoleksi, kelompok-kelompok doa, piknik dan hiking dll.

- Keterlibatan Romo Mangun dan berbagai aktivitasnya dengan orang-orang pinggiran dan di wilayah-wilayah batas (frontiers) merupakan pilihan hidupnya yang mencerminkan suatu diaspora.

b. Gereja diaspora merupakan sebuah bangunan teologi kontekstual dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan yang diresapi budaya modern (industrialisasi, sekularisasi, nomad modern, iklim urban) di mana umat Katolik menjadi kelompok-kelompok minoritas yang tersebar.

c. Dalam hal struktur/konstruksi, Gereja dilihat sebagai organisme bukan sebagai struktur organisasi kaku, beku dan berbentuk piramida. Gereja diaspora= keguyuban (selaras Gereja communio) yang menanggapi kebutuhan pelayanan rohani umat sesuai tuntutan ideologi, politik,


(5)

ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan lingkungan hidup. d. Gereja diaspora adalah Gereja jaringan (network) atau Gereja

simpul-simpul (nodes). Gereja jaringan dibangun dengan pijakan pada realitas heterogen dengan situasi sosiologis & politis minoritas. Sistem komunikasi transwilayah punya komunikasi-koordinasi dg Gereja teritorialterpencar namun bersatu.

e. Dalam sistem jaringan ini umat atau kaum awam melibatkan diri secara nyata dalam hidup masyarakat luas yang melampaui sekat-sekat kegerejaan yang sempit. Elemen-elemen penting dalam sistem jaringan adalah suasana akrab, nonformal, kekeluargaan, keguyuban, susunan kerjasama yang melewati jalan lorong yang teratur, luwes, mampu mengatasi berbagai persoalan yang relevan dan aktual tanpa terhambat oleh birokrasi seperti dalam Gereja piramida. Kaum awam adalah protagonis.

f. Gereja diaspora adalah Gereja yang terbuka (aktif membina relasi dengan yang lain: orang-orang pinggiran, orang-orang non-Katolik) dan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kiprah kaum rohaniwan, biarawan dan misionaris.

g. Kembali ke Kitab Suci, misalnya mencontoh pola Gereja Purba diaspora bergaya hidup dan mengorganisir diri secara diaspora. Untuk perkembangannya diperlukan orang-orang yang memikul tugas utama mempersiapkan sistem dan mekanisme penggembalaan yang relevan. h. Dalam situasi diaspora, keluarga inti (nucleus family) dan hubungan orang tua dengan anak-anak merupakan hal yang sangat menentukan, disamping juga keluarga besar, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas. Semua keluarga dan pribadi-pribadi primer berfungsi sebagai salah satu simpul jaringan komunikasi yang terhubung dengan seluruh umat Allah Gereja regional universal. Kekuatan keagamaan primer berbasis keluarga inti dan keluarga luas (extended family).

19. Bandingkan model Gereja teritorial dan Gereja diaspora! Bagaimana pendapat Anda mengenai gagasan Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya ini!

Gereja teritorial:

- Komunitas relatif homogen, wilayah mayoritas Katolik, bertetangga kompak. - Umat budaya desa (rural) sosiologis tertutup, orang-orang bertempat stabil, jarang

bepergian jauh.

- Keluarga-keluarga utuh dan hidup bersama dari pagi sampai malam. Ayah-ibu-anak satu kehidupan, keluarga saling berkontak erat.

- Umat kenal semua karena lapangan kerja, mengenal fungsi kemasyarakatan, rekreasi. Bertempat dekat-dekat saja dan mengikuti pola komunitas desa.

- Umat berbudaya agraris dengan tugas-tugas permanen, berirama tetap menurut hari dan musim yang serba damai dan serba pasti.


(6)

Gereja diaspora: Kamunitas amat heterogen, wilayah orang Katolik minoritas, serba tersebar dan terpencar.