WACANA PERINTAH DALAM BAHASA JAWA
Oleh: Paina Partana
FSSR - UNS
Abstract
The Javanese Community, in general, is included in the group in emphasizing feeling, opinion. When they communicate with
other people, especially with those who ore not yet acquainted and having from different certain social status they always put
the effect of feeling into their consideration. Thus, in giving instruction to other people, whether the expression woudld
offend their feeling or not, would be considered. This is an effort to keep and harmonize the social statement by minimizing an
open social and personal conflict whatever situasion.
There are sorts of instructional discourse, like 1 instructive discourse, 2 asking discourse, 3 inviting discourse, 4
challenge discourse, 5 persuading discourse, 6 message sending discourse, and 7 forbidding discourse. The result of
this study is hopefull useful in the effort to keep effective communication.
Key-words:
A. Pendahuluan
Keberadaan sebuah bahasa, termasuk bentuk-bentuk unsur bahasanya, tidak hanya ditentukan oleh faktor intern bahasa itu sendiri,
tetapi juga oleh kualitas kekuatan di luar bahasa yang bersifat dinamis. Perubahan konteks eksternal dari suatu bahasa akan menentukan
perkembangan bahasa dalam berbagai bentuknya band. Abdullah, 1999. Hal itu merupakan proses modernisasi yang kuat mentransformasikan
masyarakat dari satu tahap ketahap lain. Tentunya hal ini telah menjadi kerangka bagi perubahan-perubahan yang terjadi dalam penggunaan
bahasa yang pada saatnya akan mempengaruhi dalam pembentukan kata dan gaya berbahasa. Sebuah bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi
1
harus dilihat sebagai serangkaian proses sosial yang menentukan kehadiran bentuk tuturan Lihat Abdullah, 2001.
Masyarakat Jawa pada umumnya termasuk golongan masyarakat yang mengutamakan rasa, perasaan Subroto, 1986:209. Dalam
berkomunikasi dengan orang lain, terlebih-lebih kepada orang yang belum dikenalnya dan berjarak sosial tertentu, mereka selalu mempertimbangkan
secara masak-masak adanya efek rasa. Demukian pula dalam bertindak tanduk dan bertingkah laku lainnya, selalu dipikirkan apakah tutur kata dan
tingkah lakunya itu menyinggung perasaan orang lain atau tidak. Semua itu usaha dalam rangka memelihara pernyataan sosial yang harmonis
dengan memperkecil adanya konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apa pun Geertz, 1983:154.
Kemampuan mengedalikan rasa atau perasaan emosi merupakan sesuatu hal yang dipenuhi agar tercapai keseimbangan yang harmonis
dalam berkomonikasi. Hal itu tercermin dalam proses pemilihan bentuk tutur tertentu dalam berkomunikasi. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa,
seorang anak berkomunikasi akan memilih tingkat tutur kromo jika berbicara dengan orang yang sudah tua. Jika pemilihan tutur itu tidak tepat
atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, yang terjadi adalah sebuah komunikasi yang tidak harmonis karena tingkah laku anak tersebut
menyinggung perasaan orang tua. Hal tersebut akan berakibat terjadinya kekacauan dalam berkomunikasi, bukan karena adanya kesalahan struktur
bahasanya, melainkan akibat ketidaktepatan dalam pemilihan tingkat tutur yang sesuai dengan konteks tutur.
Keharmonisan dalam komunikasi yang menjaga rasa, perasaan itu sangat diutamakan dalam bentuk komunikasi tertentu. Hal itu akan
menentukan tujuan atau harapan yang diperoleh dari komunikasi tersebut. Komunikasi yang mengutamakan rasa, perasaan itu misalnya berupa
komunikasi direktif, yang berisi menyuruh orang lain, membujuk, dan merayu. Bentuk komunikasi seperti di atas sangat mengutamakan adanya
keharmonisan hubungan antara si pembicara dan mitra bicaranya. Oleh karena itu, bentuk komunikasi wacana direktif perintah dalam bahasa
Jawa itu perlu di kaji atau diteliti agar dapat diketahui sifat-sifat khusus yang terdapat dalam wacana tersebut.
Bentuk komunikasi direktif atau wacana direktif merupakan sebuah tuturan atau ujaran yang berisi agar orang lain itu mau melakukan
tindakan yang sesuai dengan yang di kehendaki oleh penutur. Agar komunikasinya dapat berhasil, penutur harus menggunakan bentuk-bentuk
komunikasi atau wacana sebagai sarana komunikasi yang memenuhi
2
persyaratan tertentu, seperti unsur komponen tutur yang di antaranya berupa pembicara, mitra bicara, topik pembicaraan, suasana, dan tempat.
Konsep komponen tutur itu pertama-tama dikemukakan oleh Hymes dalam bukunya yang berjudul Models of Interaction of Language
and Social Life 1972, yang isinya berupa unsur-unsur tindak komunikasi. Adapun komponen tutur itu ada delapan unsur dan lazim diakronimkan
menjadi SPEAKING, yakni a setting, meliputi waktu, tempat, atau kondisi fisik di sekeliling tempat terjadinya suatu peristiwa tuturan; b
paticipant, meliputi penutur atau penulis dan pendengar atau pembaca, c end, berupa tujuan yang di harapkan, d act sequences, yaitu rangkaian
kegiatan, e keys, cara mengenai sesuatu harus dikatakan oleh penutur dapat secara serius, santai, dan sebagainya, f instrumentalities, yaitu
saluran yang digunakan serta bentuk tuturan yang dipakai, g norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam berinteraksi, dan h genres, yaitu
register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur. Di samping itu, Poedjosoedarmo 1979 telah menyempurnakan konsep komponen tutur
berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hymes 1972 itu. Penyempurnaan teori itu dengan mengaitkan peranan bahasa dalam
komunikasi. Ia berpendapat bahwa suatu pesan atau ide sebelum diungkapkan atau diekspresikan harus ditata sebelum dalam wujud
penataan kode encoding. Penataan kode ini merupakan salah satu tahap dalam proses berkomunikasi. Wujud pengungkapan ide atau gagasan itu
berupa bentuk-bentuk tuturan atau wacana yang bervariasi bentuknya yang sesuai dengan unsur-unsur komponen tutur yang mempengaruhi dalam
komunikasi. Dengan demikian, komponen tutur itu merupakan faktor penentu terjadinya bentuk tuturan atau wacana.
Berbicara mengenai banyaknya butir-butir komponen tutur, ternyata Poedjosoedarmo menemukan sejumlah tiga belas butir komponen
tutur yang mempenga-ruhi terjadinya bentuk tuturan itu. Ketiga belas butir komponen itu adalah 1 pribadi penutur, 2 warna emosi, 3 kehendak
tutur, 4 anggapan terhadap mitra tutur, 5 kehadiran orang ketiga, 6 nada dan suasana bicara, 7 adegan tutur, 8 pokok pembicaraan, 9
sarana tutur, 10 urutan bicara, 11 ekologi percakapan, 12 bentuk wacana, dan 13 norma kebahasaan yang lain.
Dari dua konsep komponen tutur yang disebutkan di atas, ternyata terdapat perbedaan dalam titik perhatian terhadap unsur-unsur komponen
itu. Hymes lebih memperhatikan butir komponen tutur tempat dan suasana tutur daripada unsur peserta tutur, sedangkan Poedjosoedarmo lebih
menekankan pada unsur peserta tutur. Menurut Podjosoedarmo peserta tutur itu lebih banyak menentukan bentuk wacana atau tuturan dalam
3
komunikasi. Berkenaan dengan hal itu, penelitian ini akan cenderung memanfaatkan teori Podjosoedarmo.
Demikian juga pada wacana perintah yang berisi agar orang lain mengerjakan suatu tindakan tertentu itu, bentuk tuturannya juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal di samping oleh faktor internal. Oleh karena itu, dalam pembicaraan wacana perintah agar dapat diamati secara
tuntas harus menganalisis faktor-faktor nonkebahasaan eksternal seperti komponen tutur dan tindak tutur. Dengan adanya penerapan kerangka teori
sosio pragmatika ini diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang jenis-jenis wacana perintah dalam
tindak komunikasi.
B. Kerangka Teori