fungsinya. Oleh karena itu, setiap tuturan dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur, yaitu: 1 tindak lokusi berupa tuturan yang
dihasilkan oleh penutur, 2 tindak ilokusi berupa maksud tuturan dan, 3 tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh tuturan. Sebagai
contoh tuturan Anda merokok ?. Tindak lokusinya adalah sebuah pertanyaan; tindak ilokusinya dapat berupa permintaan, penawaran, dan
larangan, tindak perlokusinya berupa pemberian, penolakanpenerimaan, dan juga tindakan penghentian merokok. Berkaitan dengan uraian tindak
tutur, teori komponen tutur tidak dapat dilepaskan begitu saja. Komponen tutur sangat mendukung dalam penganalisisan suatu tindak tutur.
Analisis wacana perintah dalam bahasa Jawa ini menggunakan pendekatan kualitatif. Agar tujuan pembahasan ini dapat dicapai perlu
ditentukan data yang dijadikan objek penelitian, yaitu tuturan bahasa Jawa yang mengandung informasi makna berupa perintah untuk melakukan
suatu tindakan, baik lisan maupun tertulis. Data itu dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode dan teknik. Dalam tahap pengumpulan data
digunakan metode simak dengan ditunjang beberapa teknik, seperti teknik catat dan teknik simak. Dalam tahap analisis data digunakan metode agih
dan metode padan. Metode agih adalah cara menganalisis data bahasa yang pelaksanaannya dengan menggunakan unsur penentu yang berupa unsur
bahasa itu sendiri, sedangkan metode padan adalah cara menganalisis data yang pelaksanaannya dengan menggunakan unsur-unsur nonkebahasaan
Sudaryanto, 1993:31 dan 54.
C. Jenis-jenis Wacana Perintah Dalam Bahasa Jawa
Berdasarkan hasil pengolahan data yang didapat ternyata wacana perintah dalan bahasa Jawa dapat di bedakan menjadi beberapa macam, di
antaranya adalah : 1 wacana instruksi; 2 wacana permintaan atau perintah halus; 3 wacana ajakan; 4 wacana nasihat; 5 wacana
larangan; 6 wacana bujukan; dan 7 wacana tantangan.
3.1. Wacana Instruksi
Wacana instruksi adalah jenis wacana yang berisi perintah atau instruksi agar orang lain melakukan suatu tindakan dengan tuturan yang
lugas, langsung, dan biasanya dengan bentuk yang relatif simpel. Dengan demikian wacana itu akan dengan mudah dipahami oleh mitra bicara dan
segera dikerjakannya. Untuk jelasnya perhatikan wacana 1 berikut.
5
1 + Aja kedereng Dhimas, lerena sawethara. Mengko Prabu Pratika aku sing bakal ngadhepi.
Inggih sendika dhawuh, Kangmas. + Jangan terburu nafsu, Dhinda, istirahatlah sebentar. Nanti
Prabu Praptika saya akan menghadapi. Iya, baik, Kakanda.
Wacana 1 merupakan bentuk wacana yang cukup sederhana, kalimatnya pendek-pendek dan bahasanya lugas, sehingga mudah
dipahami. Hal itu merupakan salah satu ciri dari sebuah wacana instruksi. Di samping itu, ciri lain adalah pemilihan verba yang mendapat imbuhan
-a-na seperti kata lerena beristirahatlah yang merupakan suatu perintah atau instruksi. Biasanya instruksi itu berasal dari penutur yang usianya
lebih tua atau kedudukanya lebih tinggi. Hal itu dapat dibuktikan bahwa penutur yang memberi instruksi itu lebih tua yaitu kangmas ‘kakanda’,
dan yang diperintah adalah adiknya, yaitu dhimas adinda. Di lihat dari segi pemilihan ragam ternyata ada dua macam ragam yang digunakan
yaitu ragam ngoko di pakai oleh penutur dan ragam krama di pakai oleh mitra tutur. Hal itu menandakan bahwa hubungan antara penutur dan mitra
tutur relatif kurang akrab atau status sosialnya berbeda . Dengan demikian wacana 1 diterangkan sebagai berikut.
a Penutur: 1 Usia
: lebih tua lebih di tuakan 2 Watak
: biasa netral 3 Emosi
: biasa 4 Aspirasi
: kofiguratif 5 Kemampuan bahasa
: biasa 6 Status
: lebih tinggi b Mitra tutur:
1 Usia : lebih muda
2 Watak : setia, patuh
3 Emosi : biasa
4 Aspirasi : -
5 Status : lebih rendah
c Hubungan : relatif kurang akrab
6
d Maksud tuturan : perintahinstruksi
e Situasi : formal dalam medan perang
f Tingkat tutur : ngoko dan krama.
3.2. Wacana Perintah Halus