Pengaruh Musik LANDASAN TEORI

dengan musik Mozart dalam tempo, struktur, melodi, serta harmoni konsonan dan prediktabilitasnya.

C. Pengaruh Musik

1. Terapi Musik

Kehadiran musik sebagai bagian dari kehidupan manusia bukanlah hal yang baru. Setiap daerah dan budaya di dunia memiliki musik yang khusus diperdengarkan atau dimainkan pada saat peristiwa-peristiwa bersejarah dalam perjalanan hidup anggota masyarakatnya. Ada musik yang dimainkan untuk mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran seorang anak, ada juga musik yang khusus mengiringi upacara-upacara tertentu seperti pernikahan dan kematian. Musik juga menjadi pendukung utama untuk melengkapi dan menyempurnakan beragam bentuk kesenian dalam berbagai budaya Salim, 2010. Musik yang merupakan kombinasi dari ritme, harmoni, dan melodi sejak dahulu diyakini mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik dan elemen musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan fisik, mental, emosional, dan spiritual. Terapi musik merupakan suatu proses multidisipliner yang harus dikuasai oleh seorang terapis, namun elemen dasarnya adalah musik itu sendiri. Seorang terapis harus menguasai teori, melakukan observasi, mengetahui teknik evaluasi dan pengukuran, mengetahui metode riset dan materi musik. Di samping itu seorang terapis diwajibkan menguasai setidaknya satu alat musik pokok dan satu pilihan lainnya Salim, 2010. Gagasan untuk menggunakan musik sebagai alat penyembuh dan perubahan perilaku sudah dimulai sejak zaman Phytagoras dan Plato Salim, 2010. Phytagoras sudah memahami apa yang diketahui para ilmuwan saat ini bahwa musik bisa mengubah perilaku. Phytagoras menganggap jagad raya sebagai alat musik. Dia percaya adanya getaran kosmos yang bias memasuki manusia dan pikiran. Orang yang selaras dengan getaran kosmos tersebut adalah orang yang sehat Salim, 2010. Sejak dahulu kala penggunaan musik untuk menyembuhkan penyakit telah banyak dilakukan. Banyak contoh dari berbagai macam kebudayaan yang berbeda telah didokumentasikan dengan baik yang menyatakan bahwa musik merupakan kekuatan kuratif dan preventif. Musik tradisi Shamanistik yang menggunakan alat pukul dan bunyi- bunyian perkusi, lagu dan himne untuk menghantar diri seseorang pada kondisi diluar kesadaran trance, sehingga dimungkinkan untuk mengakses kekuatan dan spirit atau roh penyembuhan menjadi inspirasi bagi terapis musik dalam menciptakan dalam menciptakan dan mengembangkan teknik terapi dan interaksi Salim, 2010. Seiring dengan berubahnya zaman, ketertarikan akan penggunaan musik dan pengaruhnya terhadap kesehatan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terapi musik telah digunakan untuk menolong para veteran dan korban Perang Dunia I dan II Salim, 2010. Dengan penggunaan terapi musik ini, para veteran dan korban dilaporkan lebih cepat dipulihkan dan sembuh.

2. Pengaruh Musik Secara Fisiologis

Musik sangat berpengaruh dalam kehidupan apalagi selain dapat diperdengarkan, dimainkan dan dipentaskan, juga dapat dipelajari secara ilmiah. Pythagoras, pada abad ke 6 SM telah mengupas suatu gejala dalam musik. Yakni, bila seutas direnggangkan, 50 akan menyebabkan nada yang dihasilkan menjadi satu oktaf lebih tinggi. Untuk saat ini yang dipelajari bukan hanya analisis nada dan perbandingan getaran dua nada yang matematis, namun juga pengaruhnya terhadap manusia. Hal tersebut dimulai dari penelitian yang memperdengarkan baik musik secara lengkap atau hanya irama tertentu saja. Respons yang terjadi adalah perubahan denyut nadi, kecepatan bernafas, tahanan listrik terhadap kulit, dan sirkulasi darah si pendengar. Bahkan terbukti bahwa denyut jantung secara otomatis akan menyesuaikan diri dengan irama yang didengarnya. Irama musikal dengan kecepatan ¾ perdetik hamper sama cepatnya dengan pelbagai macam irama alam. Irama tersebut sama cepatnya dengan denyut jantung rata-rata 0,8 detik. Waktu 0,8 detik ini sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk berbagai proses sederhana dalam otak. Musik pertama-tama akan diproses oleh auditory cortex dalam bentuk suara agar dapat dinikmati oleh otak kanan. Otak kiri akan memproses lirik dalam musik tersebut. Efek selanjutnya adalah pada system limbic otak mamalia yang menangani memori jangka panjang. System limbic ini menangani respon terhadap musik dan emosi Salim, 2010.

3. Penelitian

– Penelitian Sebelumnya Rauscher, Shaw, dan Ky 1995 melakukan percobaan selama lima hari berturut-turut kepada partisipan yang ditempatkan dalam tiga kelompok, dan masing-masing kelompok diberikan pretest memotong kertas dan melipat. Grup 1 kelompok silent menerima treatment keheningan setiap hari selama 10 menit. Grup 2 kelompok Mozart menerima treatment Mozarts Sonata For Two Pianos In D major setiap hari. Grup 3 kelompok campuran terdiri dari kondisi campuran di mana partisipan menerima satu dari kondisi berikut setiap harinya: diperdengarkan sepotong musik minimalis dari Philip Glass, audio rekaman cerita, atau musik dansa secara berulang-ulang. Kelompok Mozart memiliki skor tertinggi pada hari ke-tiga hingga hari ke-lima. Namun, kelompok silent dan kelompok Mozart tidak memiliki skor yang berbeda secara signifikan, dan kelompok campuran selalu memiliki skor terendah. Rideout dan Laubach 1996 meneliti korelasi antara EEG dan efek Mozart. 3 tiga menit pengetesan dengan EEG diambil dari masing-masing peserta. Desain tersebut dibuat sebagai penyeimbang. Peserta menerima relaksasi selama sepuluh menit, diikuti dengan kombinasi dari sepuluh menit relaksasi dan sepuluh menit musik, dilanjut dengan pemberian sepuluh menit musik, dan kemudian dua puluh menit relaksasi. Setelah itu, Tes Stanford-Binet subtes melipat kertas dan pemotongan bentuk diberikan kepada para peserta. Hasil yang signifikan ditemukan untuk kondisi Mozart. Ketika peserta mendengar musik Mozart mereka memiliki perbedaan tinggi pada frekuensi puncak dibandingkan dengan baseline EEG mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kecil, tapi signifikan secara statistic. Perbed aan dalam pola penembakan otak “ketika peserta mendengar musik”. Dari penelitian tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa mendengarkan Mozarts Sonata For Two Pianos In D major dapat meningkatkan kemampuan spasial-temporal, namun peningkatan ini tidak dapat dipastikan dari waktu ke waktu. Upaya untuk menentukan mekanisme otak yang terlibat dalam efek Mozart telah menunjukkan peningkatan kecil tapi signifikan secara statistik dalam frekuensi puncak selama kondisi musik. Pada tahun 1999, neuroscientist Harvard bernama Christopher Chabris memeriksa 16 studi secara terpisah dan menemukan memang ada peningkatan IQ untuk sesuatu yang disebut penalaran spasial- temporal. Chabris juga melihat adanya penelitian yang menunjukkan peningkatan kemampuan spasial temporal dalam kelompok siswa yang mendengarkan musik Yanni. Penjelasan Chabris untuk hasil tersebut adalah kenikmatan gairah dari aktivitas yang menyenangkan mampu merangsang otak dalam melakukan tugas-tugas penalaran spasial-temporal. Penelitian lain yang dilakukan oleh Martin H. Jones, Stephen D. West, and David B. Estell 2006 mengenai Efek Mozart: gairah, preferensi, dan kemampuan spasial. Dari studi terhadap 41 mahasiswa ini didapatkan hasil bahwa terdapat efek yang positif dari mendengarkan musik Mozart terhadap kemampuan spasial seseorang, meskipun gairah dijadikan sebagai mediasi dari hubungan ini. Namun, tidak terdapat efek preferensi yang nampak secara jelas. Penelitian lanjutan yang juga dilakukan oleh Martin H. Jones dan David B. Estell 2007 mengenai eksplorasi Efek Mozart diantara murid-murid Sekolah Menengah Atas dan dilakukan terhadap 86 anak SMA juga menunjukkan hasil bahwa kelompok Mozart mendapatkan nilai yang lebih tinggi daripada kelompok lainnya kelompok kontrol dalam pengetesan yang diberikan. Dalam studi tersebut, peneliti berusaha untuk memberikan wawasan lebih jauh ke dalam fenomena yang dikenal sebagai Efek Mozart. Peneliti berusaha untuk mengevaluasi hipotesis neurologis dan gairah kepada populasi baru yakni: siswa SMA.

D. Kerangka Berpikir