Teori Dekonstruksi Landasan Teori

mensubordinasi kelompok-kelompok lain, melainkan sebagai usaha integratif untuk mewujudkan multikulturalisme. Sering dapat dilihat bahwa kekuasaan adalah suatu hegemoni terhadap yang dikuasai dalam bentuk oposisi biner. Penguasa selalu lebih unggul, lebih benar, dan sebagai fondasi dari yang dikuasai. Dalam pergulatan identitas di Lombok, kekuasaan menciptakan proses untuk membangun dan menciptakan jalan bagi segala bentuk tindakan, hubungan, dan tatanan sosial Barker 2004:10. Untuk mengkaji rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang digunakan teori dekonstruksi yang di dukung oleh teori multikulturalisme dan teori hegemoni.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Pentingnya teori dekonstruksi dikaitkan dalam penelitian ini bahwa rekonstruksi wayang orang adalah sebuah dekonstruksi teks. Teks adalah semua struktur yang nyata, seperti ekonomi, historis, sosio institusional, dan semua kemungkinan acuan Zehfuss, 2010:190. Teks dalam rekonstruksi wayang orang itu adalah sumber cerita dan pertunjukannya. Teori dekonstruksi dikembangkan oleh J. Derrida berangkat dari penyangkalan terhadap pemikiran struktural Sausure, yang menganggap bahwa bahasa ada karena adanya sistem perbedaan system of difference. Inti perbedaan itu adalah opsisi biner, yang melihat bahwa bahasa muncul dari oposisi antara tuturantulisan, benar salah, bentukmakna, jiwabadan, baikburuk, dan sebagainya Norris, 2003:9. Dari oposisi biner itu Sausure menganggap bahwa yang pertama lebih superior daripada yang kedua, yang pertama adalah logos, kebenaran dari kebenaran atau kebenaran mutlak, atau kebenaran tunggal Norris, 2003:10-- 11. Sebaliknya yang kedua merupakan representasi palsu dari yang pertama atau bersifat inferior Noris, 2003:10. Dengan demikian, yang kedua dianggap sebagai ikutan karena tanpa yang pertama, yang kedua tidak pernah ada sehingga yang pertama ditempatkan sebagai pusat sentral, fondasi, dan lebih unggul. Pemikiran dekonstruksi Derrida, adalah penyangkalan terhadap kebenaran tunggal atau logos itu sendiri. Dikatakan demikian karena apa yang menjadi penanda kebenaran absolut hanyalah jejak atau bekas yang mustahil memiliki makna absolut Noris, 2003:12. Dengan demikian, tidak ada kepastian tunggal karena apa yang dikatakan pasti, menurut Derrida adalah ketidak pastian atau permainan, karena itu semuanya harus ditangguhkan atau ditunda differed, dan terus menerus bermain dalam perbedaan to differ Noris, 2003:12. Langkah-langkah dekonsruksi yang ditawarkan J Derrida adalah 1 mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks, artinya mana yang diistimewakan dan mana yang tidak ; 2 oposisi itu harus dibalik karena adanya saling ketergantungan; 3 memperkenalkan peristilahan baru Norris, 2003:14. Said 2010 menggunakan oposisi biner untuk menganalisis hegemoni barat terhadap timur, dalam bukunya yang berjudul Orientalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur sebagai Subjek. Said 2010:1--9 membongkar hegemoni barat terhadap timur, karena barat sangat tergantung pada timur, bukan timur yang tergantung pada barat. Sehubungan dengan oposisi biner antara barat dan timur, maka ada oposisi lain yang menjadi sasaran teori dekonstruksi, yaitu oposisi antara penjajah dan terjajah, antara beradab dan biadab Haryanto, 2012: 307. Oposisi biner antara penjajah dan terjajah sebagai sebuah teks sejarah dibaca berdasarkan teori dekonstruksi bahwa mereka dijajah karena mereka masih bodoh dan tidak beradab. Kenyataannya kolonialisme adalah penguasaan, perampasan bagi mereka yang masih terbelakang. Panggilan luhur untuk memberadabkan ini merupakan fantasi untuk mengukuhkan superioritas penjajah atas yang terjajah dan sekaligus menyucikan tindakan-tindakan penjajah itu sendiri. Agenda yang tersembunyi inilah yang ingin ditelanjangi, yaitu yang mengandung banyak kelemaham dan kepincangan di balik tesk-teks tersebut Haryanto, 2012:308. Dekonstruksi, adalah sebuah metode untuk menelanjangi agenda tersembunyi yang ada di balik teks-teks yang didekonstruksi Haryanto, 2012: 308. Teks dalam penelitian ini adalah rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok dan agenda tersembunyi yang ada di balik rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti itu. Pergulatan identitas yang dapat ditandai oleh kondisi sosial di Mataram, Lombok menunjukkan oposisi biner antara Islam Waktu Lima yang berideologi syariah dan Islam Wetu Telu yang berideologi budaya lokal atau kultural. Dalam dikotomi itu Islam Waktu Lima sebagai pusat sentral, fondasi, dan kebenaran tunggal logocentrisme. Di pihak lain Islam Wetu Telu dengan kultur lokalnya merupakan representasi palsu atau ikutan dari Islam Waktu Lima. Artinya, tanpa adanya Islam Waktu Lima tidak ada Islam Wetu Telu. Teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh J. Derrida bukan berarti pembongkaran atau penghancuran yang berakhir pada pandangan monisme atau kekosongan, melainkan pembongkaran terhadap penunggalan yang positivistis dan logosentris. Pembongkaran yang diinginkan oleh J. Derrida adalah pencarian kebenaran itu tidak bersifat tunggal, umum, dan universal, tetapi bersifat jamak, karena dalam kenyataannya kebenaran adalah plural, partikular, dan relatif Santoso, 2010:252.

2.3.2 Teori Multikulturalisme