BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN.
2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan langkah-langkah penelitian untuk mengkaji buku-buku teks, hasil-hasil penelitian terdahulu, serta memahami konsep-konsep
dan teori-teori yang akan diaplikasikan pada data yang didapatkan dari penelitian. Dari hasil pembacaan dan kajian terhadap buku-buku dan pustaka lainnya yang
terkait dengan hasil-hasil penelitian mengenai berbagai jenis kesenian tradisional di wilayah Kota Mataram, Lombok
belum ditemukan yang secara khusus melakukan penelitian atau kajian terhadap wayang orang di Lombok.
Penelitian menganai kesenian wayang di Mataram, Lombok lebih banyak difokuskan pada pertunjukan Wayang Kulit Sasak yang sering dikenal dengan
sebutan Wayang Menak. Lakon-lakon pertunjukan wayang kulit termasuk wayang orang, yang diambil dari Serat Menak telah menempatkan Wayang Sasak
memiliki identitas sendiri, artinya berbeda dengan pertunjukan wayang lainnya di Indonesia
Kajian pustaka yang terkait dengan hasil-hasil penelitian mengenai wayang kulit di Lombok dapat dijadikan kerangka acuan dalam penelitian ini
untuk mendapatkan originalitas objek penelitian. Adapun beberapa pustaka yang dapat dikaji adalah sebagai berikut:
28
H. Lalu Agus Fathurrahman, menulis buku laporan rekonstruksi berjudul Laporan Kegiatan Eksperimentasi Wayang Orang Sasak. 14 November, 2009.
Buku ini diterbitkan di Mataram oleh UPTD Taman Budaya Pemerintah Provinsi NTB, di dalamnya disajikan laporan tentang rekonstruksi Wayang Orang Sasak
yang menyangkut penarinya terdiri dari para dalang, musik pengiringnya
gamelan lelinyikan,
seting panggungnya
dipasangi layar putih, sumber lakonnya adalah Serat Menak,
konsep garapannya adalah dramatari. Laporan ini merupakan sumber pokok dalam mengkaji dan manganalis rekonstruksi
wayang orang. Dalam laporan di atas ditemukan data bahwa pendukung rekonstruksi itu
terdiri atas etnis Bali, Jawa, dan Sasak. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno. Disamping itu juga ditemukan system perkawinan lokal Sasak yaitu
merariq, yang melekat dengan budaya wetu telu. Ada berbagai makna yang
dapat disimak dalam rekonstruksi tersebut, seperti konsep multikulturalisme, budaya wetu telu, perpaduan antara adat dan ajaran agama Islam
melalui perkawinan merariq.
Haris Supratno menulis disertasi berjudul “Wayang Sasak Lakon Dewi
Rengganis Dalam Konteks Perubahan Masyarakat Lombok, Kajian Sosiologi Kesenian”, 1996.
Surabaya, di dalamnya dijelaskan bahwa seni pertunjukan
wayang merupakan bagian dari budaya wetu telu, karena Islam Wetu Telu di Lombok tidak mengharamkan wayang bahkan wayang dianggap mengandung
nilai tradisi dan nilai-nilai agama Islam.
Kelompok Islam yang menolak pertunjukan wayang menganggap bahwa dalang dan para penabuhnya
minum minuman keras dan mabuk-mabukan sebelum pementasan. Penggunaan gamelan perunggu sebagai iringan dalam
pertunjukan wayang di Lombok dianggap sebagai warisan budaya Hindu yang sangat
bertentangan dengan asas tarekat
naqsyabandiah jalan menuju
kesempurnaan dalam ajaran agama Islam Supratno, 1996: xvi. Hasil penelitian dalam disertasi itu lebih difokuskan pada pertunjukan
wayang kulit dengan cerita Dewi Rengganis. Namun dapat juga digunakan
sebagai acuan dalam melakukan penelitian tentang rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang. Di samping dapat digunakan sebagai acuan
untuk menelusuri wayang orang, dan juga dapat digunakan untuk memahami pergulatan identitas antara kelompok Islam modern dan kelompok Islam yang
mempertahankan budaya wetu telu. Penelitian ini juga dapat memberikan petunjuk tentang kesenian tradisional di Mataram, Lombok yang dimarginalkan.
Haryanto, Pratiwimba Adhiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang 1988. Haryanto menyatakan bahwa Ki Trunodipo membuat boneka wayang
menak dari kayu untuk mementaskan cerita yang bersumber dari Serat Menak. Disamping itu, juga dijelaskan bahwa Serat Menat berasal dari kitab Qissai Emr
Hamza, yang dipadukan dengan cerita Panji kemudian disebut dengan Serat Menak. Disebutkan juga bahwa salah seorang penulis Serat Menak, yaitu R. Ng.
Yosodipuro memiliki versi yang berbeda dengan pengarang-pengarang lainnya. Karangannya
dijadikan sumber cerita dalam pementasan wayang wong dan wayang golek di Surakarta dan Yogyakarta.
Karya itu tidak menyinggung wayang orang di Lombok, tetapi berbicara mengenai Wayang Golek Jawa dengan sumber cerita dari Serat Menak. Kajian
terhadap buku ini dapat digunakan untuk memahami makna Serat Menak sebagai sumber lakon dalam rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok. Anak Agung Ketut Agung 1991 menulis buku dengan judul Kupu-Kupu
Kuning yang Terbang di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem 1661-1950. Di dalam buku itu dijelaskan asal usul nama Lombok dan asal usul
nama Sasak. Disamping itu juga dijelaskan perang-perang kerajaan, masuknya Islam dan munculnya wetu telu yang merupakan perpaduan konsep Ciwa Budha
masa kerajaan Majapahit dengan Islam aliran sufi yaitu agama Islam ajaran Sunan Kalijaga yang dikembangkan oleh Pangeran Mangkubumi atau juga disebut
Pangeran Pengging. Tulisan di atas dapat digunakan untuk memahami sejarah kekuasaan Raja
Karangasem serta tradisi seni dan budaya Sasak yang memperkuat budaya wetu telu. Tulisan ini juga tidak menyinggung kesenian wayang termasuk wayang
orang tetapi hanya menyinggung munculnya kesenian cakepung, dan
berkembangnya agama Islam wetu telu yang sangat adaptif dengan seni dan budaya.
Suprapto, menulis buku berjudul Semerbak Dupa Di Pulau Seribu Masjid, Konstelasi, Integrasi, dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim 2013. Buku ini
merupakan hasil penelitian yang mengungkapkan relasi antara kelompok etnis Bali yang minoritas dan etnis Sasak yang mayoritas. Dinamika relasi ini kadang-
kadang menimbulkan integrasi dan kadang-kadang menimbulkan konflik. Penlitian ini juga mengungkapkan
dinamika relasi sosial yang menimbulkan integrasi dan konflik berdasarkan latar belakang sejarah, budaya, dan tradisi
sehingga identitas etnis menjadi konstruksi yang sangat penting dalam memahami integrasi dan konflik di Lombok.
Salah satu identitas yang dapat ditangkap dalam penelitian ini adalah kesenian
karena kesenian Bali dan kesenian Sasak sama-sama hidup berdampingan di kota Mataram. Kesenian juga sering digunakan sebagai wahana
integrasi sekaligus menjadi sumber konflik. Sebagai wahana integrasi, kesenian dapat menampung dan melibatkan semua etnis dalam penggarapan kesenian,
seperti pada rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya, Mataram, Lombok.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang dengan sumber cerita Serat Menak dengan lakon Jayengrana Merariq merupakan salah
satu bentuk integrasi antarkelompok etnis. Sebagai sumber konflik, yaitu seni sebagai warisan tradisi dianggap lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi etnis Bali.
Dengan demikian, buku ini dapat digunakan untuk memahami konsep integrasi dan konflik dalam rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang sebagai sebuah pergulatan identitas.
Ida Ayu Trisnawati telah melakukan penelitian tentang kesenian Lombok dengan judul, “Seni Drama Putri Mandalika dalam Tradisi Ritus Bau Nyale di
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat”. Hasil penelitian ini belum menyentuh kesenian wayang orang, tetapi
lebih banyak melihat seni drama “Putri
Mandalika” dari pendekatan estetika dan peranannya sebagai ritus upacara Bau Nyale. Penelitian ini juga dapat dijadikan petunjuk untuk memahami makna seni
pertunjukan tradisional bagi masyarakat Sasak. Selain itu wayang orang
merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Sasak yang memiliki makna penting dalam mengemban nilai-nilai kesasakan.
H. Lalu Anggawa Nuraksi menulis naskah dengan judul “Tayangan
Kesasakan Sindo TV Mataram 2014”, Kerjasama Dengan Forum Pengkajian Kesasakan. Naskah ini berisi tentang tahapan tayangan Sindo TV Mataram untuk
tahun 2014, yang terdiri atas asal usul orang Sasak, sejarah peradaban Sasak, panca awit pinajaran Sasak, kepeminpinan dalam budaya Sasak, wujud budaya
Sasak, atraksi budaya Sasak, hukum adat Sasak, jargon Sasak, politik budaya Sasak, perkawinan adat Sasak, dan ritual Sasak. Nskah ini mengandung berbagai
macam identitas Sasak yang bersumber dari kearifan lokal Sasak, termasuk dalam bidang kesenian juga ditelah diprogram untuk menayangkan seni musik, seni tari,
seni teater, dan seni vokal. Untuk kebutuhan tulisan ini program-program yang ditayangkan
merupakan media untuk menginformasikan nilai-nilai kesasakan yang dianggap penting agar diketahui oleh masyarakat Sasak secara umum. Nilai-nilai ini
merupakan kearifan lokal Sasak yang memberikan identitas pada orang Sasak. Nilai-nilai ini ditayangkan dalam bentuk atraksi budaya, baik dalam bentuk seni
maupun dalam bentuk kegiatan masyarakat. Dalam bentuk kesenian, nilai-nilai itu dikomunikasikan lewat pertunjukan teater termasuk pertunjukan wayang kulit
dan wayang orang. Kandungan nilai itu juga menginspirasi seniman dan tokoh- tokoh budaya Sasak untuk merekonstruksi wayang orang.
Gusti Ayu Suandewi menulis tesis berjudul “Tari Baris Batek Dalam
Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Lombok Barat” 2001. Suandewi menyebutkan bahwa tari batek baris adalah warisan tradisi budaya sinkretis
antara agama Islam Wetu Telu dan agama Hindu, yang dipentaskan pada setiap ada upacara perang topat di Pura Lingsar Lombok Barat. Tulisan ini mengkaji
teks dan konteksnya dalam kehidupan sosial budaya Lombok Barat, terutama
dalam kaitannya dengan upacara Perang Topat. Yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah bentuk, makna, dan
fungsi Tari Baris Batek. Penelitian ini sama sekali tidak menyinggung wayang orang, tetapi dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami adanya sinkretisme
budaya antara budaya Bali dan budaya Sasak. Penelitian ini dapat dijadikan
acuan untuk memahami keharmonisan hubungan antaretnis yang ada di Mataram, Lombok, terutama antara etnis Bali dan Sasak.
Penelitian mengenai pergulatan kelompok elit yang terkait dengan persoalan identitas dilakukan oleh Anak Agung Ngurah Anom Kumbara dengan
judul Pergulatan Elit Lokal Representasi Relasi Kuasa dan Identitas 2011.
Hasil penelitian itu memberikan gambaran mengenai pergulatan elit yang
masing-masing mempertahankan dan memperjuangkan identitas mereka. Pergulatan tersebut bersumber pada adat dan tradisi lokal, tetapi ada juga yang
bersumber dari ajaran agama Islam.
Penelitian ini tidak membicarakan tentang wayang orang sebagai salah satu kesenian tradisional yang dapat menguatkan identitas Sasak, tetapi
memberikan informasi tentang kuatnya ideologi agama yang dimainkan oleh Tuan Guru, sehingga masyarakat Sasak dapat dihegemoni. Karya itu juga memberikan
informasi mengenai keterkaitan antara ideologi dan kepentingan untuk membangun identitas. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat adanya
ideologi dalam pergulatan identitas dan rekonstruksi Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok, yang
merupakan konstruksi seni dalam merepresentasikan ideologi. Dapat dikatakan bahwa penelitian ini membicarakan pergulatan elit dalam
kaitannya dengan perkembangan agama Islam di Lombok, yaitu antara Wetu Telu dan agama Islam Waktu Lima serta kepentingan-kepentingan untuk
mewujudkan adatluwirgama. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengungkap pergulatan identitas karena pergulatan elit yang dijadikan pokok
kajian tidak terlepas dari kompetisi elit dalam merealisasikan ideologinya untuk merancang identitas Sasak sebagai sebuah wilayah budaya yang didominasi oleh
pemeluk agama Islam. Penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh, I Wayan Tagel Eddy berjudul
“Bara Api di Seberang Bali Sebuah Studi tentang Pemberontakan Praya Tahun 1891-1894”. Penelitian tesis itu dilaksanakan pada tahun1992. Penelitian lain
yang dilaksanakan oleh I Gde Parimartha 2002, telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815--1915.
Selanjutnya, I Nyoman Sukiada, menulis tentang resistensi dalam bentuk tesis
2003 dengan judul, “Gerakan Sosial di Lombok, 1906-1932”, Tesis S2
Humaniora tidak diterbitkan. Penelitian di atas merupakan penelitian yang
difokuskan pada gerakan sosial, konflik, serta permasalahan sosial dan ekonomi. Penelitian tersebut tidak menyentuh persoalan seni dan budaya, apalagi yang
terkait dengan pertunjukan wayang orang. Akan tetapi, dapat dijadikan acuan untuk memahami konflik dan integrasi yang bermuara pada perjuangan untuk
membangun identitas Sasak. Dalam memaknai rekonstruksi wayang orang, penelitian yang dilakukan
oleh I Wayan Tagel Eddy, I Gede Parimartha, dan I Nyoman Sukiada ini dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami pergulatan identitas yang tercermin
dalam konflik etnis berlatar belakang sejarah dan ekonomi. Umar Kayam menulis buku Kelir Tanpa Batas 2001. Dalam buku itu
dijelaskan secara umum bahwa kancah kehidupan wayang kulit di Jawa dibayangi oleh beberapa otoritas, yaitu otoritas istana atau keraton, otoritas
lembaga-lembaga pendidikan tradisional seni pedalangan, otoritas tradisi lokal dan para dalang populer atau dalang yang laku, otoritas penguasa politik orde baru
dengan para pejabat dan organisasi yang menjadi agennya. Akan tetapi, karya ini tidak memberikan perbandingan bagaimana kehidupan wayang di Bali dan di
Lombok. Karya ini dapat memberikan kerangka berpikir untuk memahami
otoritas lokal Sasak dan kebutuhan untuk membangun identitas melalui kebangkitan kesenian tradisional Sasak.
R.M Soedarsono menulis artikel berjudul “Nama Gemilang dan Mundur Wayang Wong Yogyakarta”. Artikel itu dimuat dalam jurnal,
Seri Pustaka
Keraton Nusantara No 3 2000. R.M Soedarsono menyebutkan bahwa wayang wong merupakan sebuah genre tari yang bisa dikategorikan sebagai seni
pertunjukan total total teathre. Di dalamnya tercakup seni drama, seni sastra, seni musik, dan seni rupa.
Dengan demikian, konstruksi wayang wong merupakan produksi yang cukup besar dan sangat kompleks termasuk di Jawa dan
di Bali, tetapi wayang orang di Lombok sama sekali tidak disinggung. Dari pengkajian dan pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian mengenai
kesenian Lombok terdahulu, diketahui bahwa belum ada yang secara spesifik mengkaji atau meneliti
pertunjukan wayang orang di Lombok, khususnya pertunjukan Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang di Lombok Timur.
2.2 Konsep