merupakan representasi palsu atau ikutan dari Islam Waktu Lima. Artinya, tanpa adanya Islam Waktu Lima tidak ada Islam Wetu Telu.
Teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh J. Derrida bukan berarti
pembongkaran atau penghancuran yang berakhir pada pandangan monisme atau kekosongan, melainkan pembongkaran terhadap penunggalan yang positivistis
dan logosentris. Pembongkaran yang diinginkan oleh J. Derrida adalah
pencarian kebenaran itu tidak bersifat tunggal, umum, dan universal, tetapi bersifat jamak, karena dalam kenyataannya kebenaran adalah plural, partikular,
dan relatif Santoso, 2010:252.
2.3.2 Teori Multikulturalisme
Pemahaman terhadap masyarakat multikultur di Indonesia diawali oleh pemikiran Furnivall mengenai masyarakat majemuk.
Masyarakat majemuk adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau dua tatanan sosial
atau lebih yang hidup berdampingan, tetapi tidak membaur dalam satu unit politik yang sama Hefner, 2007:273. Pandangan itu kemudian berkembang
menjadi plural, multienis, multiras, kompleks, dan heterogen Hefner, 2007:273. Pandangan itulah yang kemudian dijadikan konsep untuk memahami masyarakat
Indonesia yang dikategrorikan sebagai masyarakat majemuk atau multikultural. Masyarakat multikulturalisme adalah
masyarakat yang terdiri atas ras, suku, dan agama, tetapi secara bersama-sama membangun dan membina sebuah
kebudayaan untuk kepentingan bersama atau nasional Ratna, 2010:183. Untuk membangun
perbedaan atau
pluralisme menjadi
kebersamaan tanpa
menghilangkan perbedaan itu sebagai sebuah indentitas, maka dibutuhkan teori multikulturalisme.
Pengertian multikulturalisme adalah
perbedaan identitas dalam wujud adat istiadat, kebiasaan, struktur sosial, termasuk tradisi
seni budaya. Teori multikulturalisme adalah teori yang mengambil serangkaian bentuk
dan makna dari berbagai kebudayaan yang berbeda dalam suatu wilayah tertentu untuk dipahami dan dihargai bersama. Teori multikulturalisme berbeda dengan
teori homogenitas, seperti Afrosentris Ritzer, 2004: 106. Teori homogenitas merupakan teori yang menciptakan kesamaan antara
kelompok etnis yang dominan dan kelompok etnis minoritas, sedangkan teori multikuluralisme, mengakui perbedaan antara kelompok etnis dominan dan
kelompok etnis minoritas. Di Lombok terdapat berbagai etnis yang memiliki kekuatan budaya, yang muncul melalui proses penaklukan, terhadap etnis lain.
Ada pula yang berkembang melalui proses migrasi perorangan dan keluarga yang kemudian menjadi kelompok etnis.
Multikulutral merupakan berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda dan masing-masing memiliki tantangan sendiri-sendiri di Lombok. Tantangan itu
tidak hanya terjadi pada tataran perbedaan etnis dan agama, tetapi juga terjadi pada perbedaan kepentingan terhadap kehidupan kesenian. Perbedaan yang
diwarisi secara turun temurun telah mampu menciptakan nilai-nilai kesasakan yang diimplementasikan pada
Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang.
Masyarakat multikultur tidak hanya dilihat dari segi proses migrasi penduduk dengan seni dan budaya yang dikembangkan, tetapi juga dipandang
dari proses sejarah yang membentuknya. Proses sejarah yang membentuk
Lombok menjadi daerah multietnis dan multikultur telah mewariskan konflik dan ketegangan yang sering diperkuat oleh sentimen agama. Di samping proses
sejarah dan migrasi di Lombok, masyarakat multikultur juga dapat dipahami dari segi susunan sosial yang kompleks dan secara keseluruhan dibentuk berbeda,
heterogen, dan beragam Ardhana dkk., 2011:6. Keragaman jenis kesenian yang ada di Lombok, termasuk kesenian Jawa,
Bali, Lombok, dan Sumbawa telah membentuk keragaman budaya Lombok dan memunculkan berbagai kepentingan sehingga terjadi sebuah pergulatan untuk
menjadikan seni sebagai identitas. Perbedaan kepentingan terhadap seni pewayangan, termasuk wayang orang, sangat kuat terjadi di Lombok sehingga
sebagian besar penulis memahami Lombok sebagai ajang konflik etnis dan pelarangan terhadap keberadaan seni tradisional. Ada berbagai cara ditempuh
kelompok etnis minoritas di Lombok untuk menyatu dengan komunitas politik mayoritas, yaitu mulai dari penaklukan sampai dengan migrasi sukarela
perorangan dan keluarga sehingga terbentuk kelompok etnis. Konsep analisis mengenai cara-cara kelompok etnis minoritas hidup
berdampingan secara seimbang dengan kelompok mayoritas, seperti etnis Bali dengan kelompok orang Sasak yang mayoritas dan beragama Islam adalah 1
migration history, yaitu menganalisis proses historis migrasi mereka ke Lombok; 2 diversity, yaitu menganalisis perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka
yang dapat dijadikan acuan untuk memahami kedamaian dan konflik; 3 cohesion, yaitu perimbangan budaya dalam kehidupan sehari-hari Ardhana ed.,
2013:171. Perbedaan-perbedaan dalam cara penggabungan itu memengaruhi sifat
kelompok minoritas dan bentuk hubungan, yang dikehendaki dengan komunitas yang lebih luas Kymlicka, 2003:13.
Bentuk hubungan yang mengakui perbedaan budaya tidak menciptakan persamaan dan mengakui nilai nilai budaya
kelompok dominan, termasuk mengakui hak-hak minoritas yang sering menjadi tuntutan, baik kelompok etnis maupun bangsa Kymlicka, 2003: 9.
Karakteristik teori multikultural adalah 1 penolakan terhadap teori universalitas yang cenderung mendukung pihak yang kuat dan memberdayakan
yang lemah; 2 mencoba menjadi inklusif, menawarkan teori atas nama kelompok-kelompok lemah; 3 teoritisi
multikulturalisme tidak bebas nilai, mereka menyusun teori atas nama pihak yang lemah dan bekerja di dunia sosial
untuk mengubah struktur sosial, kultur, dan prospek individu; 4 teoretisi multikultural tidak hanya berusaha mengganggu dunia sosial, tetapi juga dunia
intelektual dan mencoba menjadikannya lebih terbuka dan lebih beragam; 5 tidak ada usaha untuk menarik garis yang jelas antara teori dan tipe narasi
lainnya; 6 teori multikulturalisme sangat kritis, kritis berarti kritik terhadap diri dan kritik terhadap teoretisi lain dan yang paling penting adalah terhadap dunia
sosial; 7 teoritisi sosial mengakui bahwa karya mereka dibatasi oleh sejarah tertentu, konteks kultural dan sosial tertentu di mana mereka pernah hidup dalam
konteks tersebut Ritzer, 2010:106--107.
Teori multikultuiralisme dalam hal ini melihat gerakan seni dan budaya Sasak. Tujuannya adalah untuk berjuang supaya mendapatkan pengakuan sama
dengan seni budaya lainnya sebagai warisan tradisi Sasak.
2.3.3. Teori Hegemoni