Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

49 Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajib difasakh 90 4. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat berikut : pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah.kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina. 91 Perkawinan wanita hamil karena zina tidak boleh dilakukan, apabila tetap dilakukan perkawinannya tidak sah baik dengan laki-laki yang bukan menghamilinya,apa lagi dengan laki-laki yang menghamilinya karena laki-laki yang menghamilinya tersebut bukan laki-laki baik karena sudah jelas tidak bisa menjaga kehormatan wanita, dan apabila tidak ada pilihan lain, harus dengan laki-laki yang menghamilinya tersebut, harus membuat perjanjian untuk tidak melakukan perbuatan zina lagi dan perkawinan tersebut bisa dilakukuan setelah wanita melahirkan anak yang dikandungya sesuai dengan pendapat ulama Hanabilah.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Menurut pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita 90 Memed Hamaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hal 37 91 Ibib hal, 38 Universita Sumatera Utara 50 sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. 92 Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada Tuhan sang pencipta Allah SWT. Dengan adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata. 93 Pada dasarnya apa yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan perkawinan semuanya telah dimuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo.Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang. Hanya saja dalam Kompilasi hukum Islam muatanya lebih terperinci, larangan lebih dipertegas, dan menambah beberapa poin sebagai aplikasi dari peraturan perundang-undangan yang telah ada. Adapun hal- 92 Mega Magdalena Op Cit, hal. 43. 93 Ibid. Universita Sumatera Utara 51 hal yang menjadi perhatian Kompilasi Hukum Islam dan mempertegas hal-hal kembali yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 antara lain adalah tentang perkawinan wanita hamil. 94 Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara eksplisit 95 tidak ada mengatur tentang perkawinan wanita hamil tetapi secara implisit 96 ada yaitu dalam Pasal 2 ayat 1 bawha : “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 97 Jadi Perkawinan wanita hamil karena zina sah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perakwinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga harus memenuhi syarat- syarat sahnya suatu perkawinan seperti yang telah diuraikan diatas. 94 Abdul Manan, Op Cit, hal 27 95 Ekplisit artinya Tegas, terus terang, tidak berbelit-belit, sehingga seseorang dapat menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai gambaran yang kabur atau salah 96 Implisit artinya Termasuk terkandung didalamnya meskipun tidak dinyatakan secara jelas atau terang-terangan, tersimpil didalamnya, terkandung halus, tersirat. 97 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Universita Sumatera Utara 52

BAB III STATUS HUKUM ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN

WANITA HAMIL KARENA ZINA

A. Pengertian Anak 1.

Menurut Kompilasi Hukum Islam “Dalam Hukum Islam seorang anak masih belum dewasa minderjaring apabila dia belum berumur 15 lima belas tahun, kecuali ia sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh geslachtsrijp, tetapi tidak kurang dari usia 9 Sembilan tahun. Orang yang belum dewasa ini dalam hukum Islam biasanya disebut saghir atau sabi, sedangkan orang yang sudah dewasa dinamakan baligh. 98 Didalam hukum agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah swt agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah. Islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat tetangga, dilarang terjadi perkawinan diam-diam kawin gelap dan setiap anak harus kenal siapa bapak dan ibunya. Ketika anak-anak masih kecil dijaga dan dipelihara oleh ayah dan ibunya setelah dewasa dimana orang tuanya 98 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing,Jakarta:2002 hal. 52 Universita Sumatera Utara 53 sudah lemah dan tidak mampu lagi, maka dengan kemampuanya ia wajib mengurus dan memelihara orang tuanya. 99 Setiap anak yang belum dewasabaligh atau juga sudah baligh tetapi keadaan hidupnya miskin tidak mempunyai harta berhak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya yang mampu. Menurut Imam Hanafi anak yang belum dewasa dan masih menuntut ilmu pengetahuan wajib mendapatkan nafkah dari bapaknya. Anak wanita walaupun sudah dewasa tetapi belum kawin dan tidak mampu berhak mendapat nafkah dari orang tuanya yang mampu.Begitu juga sebaliknya anak-anak yang sudah dewasa dan mampu wajib member nafkah kepada ayah ibunya yang tidak mampu. Menurut imam Syafi”I, Hanafi dan Maliki kewajiban anak terhadap ayah dan ibu tidak saja terbatas pada yang beragama Islam tetapi juga bagi ayah dan ibu yang tidak beragama Islam. 100 Menurut Kompilasi Hukum Islam anak adalah orang yang belum genap berumur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri. 101 Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dalam hal kedua orang tuanya tidak mampu 99 Ibid 100 Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta: Fikahati Aneska, 1992 hal 11 101 Pasal 98, Kompilasi Hukum Islam Universita Sumatera Utara 54 menunaikan kewajiban tersebut, maka pengadilan Agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat untuk melaksanakannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam status anak dibedakan sebagai anak sah dan anak luar perkawinan. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 102 dan anak anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya 103

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan