Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

(1)

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI

LIMBAH KULIT PISANG KEPOK

(

Musa balbisiana

ABB)

SKRIPSI

VITA FITRIA NIM. 109102000069

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA 2013


(2)

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI

LIMBAH KULIT PISANG KEPOK

(

Musa balbisiana

ABB)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

VITA FITRIA NIM. 109102000069

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA 2013


(3)

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang dikutip maupun

dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama

: Yita Fitria

NIn[

:109102{X}0069

Tanda

Tangan

,

7f


(4)

Nama NIM

Pmgram Studi Judul

Vita Fitria 109102000069 Farmasi

Karaktedsasi Pektin Hasil Ek$trak$i

dari

Limbah Kulit Pisaug Kepok {Musa balbisiana ABB)

Menyetujui,

Pembimbing I

-l,\

^

fW*{1^l

r__,, \J

(

i

\r

Ofa Suzanti Betha" M.Si.. Apt NIP : 1975010420091 220A1

Pembimbing II

[i

r

4*^+

I

Supandi. M.Si. Aot

Mengetahui,

Kepala Program Sfirdi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Iknu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Drs. Umar Mansu{" M.Sc.. Apt


(5)

U^r--Skripsi ini diajukan Nama

NIM

Program Studi

Judul

Pembimbing

I

Pernbimbing

II

Penguji

I

Fenguji

II

Ditetapkan di Tanggal

Ofa Suzanti Bethq M.Si., Apt Supandi, M.Si., Apt

Nelly Suryani, PhD., Apt Yuni Anggraeni, M.Famr., Apt

lalor'/le

ta

.Sepl:nrbe

oleh

: Vita Fitria

109102000069 Farmasi

Karakterisasi Pektin

Hasil Ekstraksi

dari

Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji

dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan

unfuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan trlmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI


(6)

Nama : Vita Fitria Program Studi : Farmasi

Judul : Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik. Senyawa pektin banyak digunakan dalam industri farmasi, makanan dan minuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH keasaman dan suhu ekstraksi. Penelitian ini dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut asam laktat kemudian ditambahkan aseton ke dalam filtrat untuk mengendapkan pektin dan proses terakhir dilakukan pengeringan untuk mendapatkan pektin kering. Variasi keasaman pelarut adalah pH 1, 1,5 dan 2, suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ serta lama ekstraksi 80 menit. Pektin yang dihasilkan ditentukan karakteristiknya meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen pektin (5,02%-10,78%), rendemen tertinggi didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Kadar air berkisar antara 10,54%-11,96%, kadar air terendah didapat pada pH 2 dan suhu 80℃. Kadar abu berkisar antara 4,25%-8,05%, kadar abu terendah didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Berat ekivalen berkisar antara 4094,4-9534,71, berat ekivalen tertinggi didapat pada ekstraksi pH 2. Pektin termasuk dalam pektin metoksil rendah, dengan kadar metoksil antara 1,01%-2,70%. Kadar asam galakturonat berkisar antara 32,74%-78,60%. Derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%. Spektroskopi FTIR digunakan untuk membandingkan spektrum dari pektin sampel, komersial dan standard dan hasilnya menunjukkan kemiripan masing-masing serapan gugus fungsi.


(7)

Name : Vita Fitria Program Study : Pharmacy

Title : Characterization of Pectin Extracted from Banana Peels (Musa balbisiana ABB)

Pectin are polymer of D-galacturonic acids connected by α-1,4 glucosidic. Pectin are widely used in pharmaceutical, food dan beverage industries. This reaserch was aimed to investigate the characteristics of pectin extracted from banana peels (Musa balbisiana ABB) using lactic acid solvent with pH variation of acidity and temperature of extraction. The research used an extraction method by using lactic acid solvent in additional to acetone to form the sediment of pectin and the last step was drying in order to get dry pectin. Variation of solvent acidity was pH 1; 1,5 and 2, extraction temperature of 80℃, 90℃ and extraction time of 80 minute. Pectin determined characteristics include yield, water content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galacturonic acid content and degrees of esterification.

The results showed that the pectin yield (5.02%-10.78%), the highest yield obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Water content ranged from 10.54%-11.96%, the lowest water content obtained at pH 2 and temperature of 80 ℃. Ash content ranged from 4.25%-8.05%, the lowest ash content obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Equivalent weight ranged from 4094.47-9534.71, the highest equivalent weight obtained at pH 2. Pectin was included in the low methoxyl pectin, with a methoxyl content between 1.01%-2.70%. Galacturonic acid content ranged from 32.74%-78.60%. Degree of esterification ranged from 17.13%-20.78%. FTIR Spectroscopy was used to compare the spectrum of the sample, commercial and standard pectin and the result showed the similarity of each absorption functional groups.


(8)

Segala puji penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu besar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk dan suri tauladan bagi umat manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau.

Skripsi dengan judul: “Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah

Kulit Pisang Kepok (Musa balbisianaABB)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pihak yang membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Sukardi dan Ibu Saniyem, kedua orang tua tercinta yang tiada henti-hentinya mendoakan di setiap waktunya, memberikan kasih sayang, motivasi, semangat dan nasihat, tanpa Bapak dan Ibu penulis tidaklah memiliki arti apa-apa. Adik tersayang Ade Rifky Amalia yang selalu memberikan dukungan, semangat dan keceriaan, serta untuk kelurga besar yang tak pernah lupa memberikan doa dan semangat.

2. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Diknas Sumatera Selatan serta jajaran pengurus program Santri Jadi Dokter, selaku pemberi beasiswa sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ofa Suzanti Betha M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak Supandi M.Si, Apt selaku dosen membimbing 2. Terimaksih atas segala


(9)

4. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt, selaku kepala prodi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak dan ibu staff pengajar dan karyawan yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Rekan-rekan Santri Jadi Dokter (SJD-Sumsel), teman-teman Farmasi 2009 yang selalu memberikan dukungan, semangat perjuangan serta pengalaman kebersamaan yang tak ternilai. Untuk Tika, Kiki, Rani, Nurul, Maharani, dkk terima kasih atas segala semangat, dukungan, keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan, sukses untuk kita semua. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberi sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagi pembaca pada umumnya yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan pendidikan.

Jakarta, 12 September 2013 Penulis


(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas

Islam Negeri

ruIliD

Syarif

Hidayatullah Jakaxta, Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama

NIM

Program Studi

Fakultas Jenis Karya

Vita Fitria 109102000069 Farmasi

Fakultas Kedoleteran dan IImu Kesehatan (FKIK)

Skripsi

Demi pengembangan

ilmu

pengetatruan, saya menyetujui skripsiikarya ilmiah saya dengan judul:

KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI LIMBAH

KIILIT

PISANG IffiPOK (Musa balbisiana ABB)

rmtuk dipublikasikan atau ditaurpilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri

(Jtr{)

Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikiau persetu$uan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat

di

: Jakarta

Pada Tanggal : 12 September 2013

Yang menyatakan,

71

(Vita Fitria)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1Pektin ... 5

2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin ... 5

2.1.2 Jenis Pektin ... 7

2.1.3 Sifat Pektin ... 8

2.1.4 Kegunaan Pektin ... 9

2.1.5 Ekstraksi Pektin ... 11

2.2Karakteristik Pektin ... 14

2.2.1 Kadar Air ... 15

2.2.2 Kadar Abu ... 15

2.2.3 Berat Ekivalen ... 15

2.2.4 Kadar Metoksil ... 16

2.2.5 Kadar Asam Galakturonat ... 16

2.2.6 Derajat Esterifikasi ... 16

2.2.7 Kekuatan Gel ... 17

2.2.8 Bilangan Asetil ... 17

2.3Pisang Kepok (Musa balbisiana) ... 18

2.3.1Uraian Umum Pisang ... 18

2.3.2Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana) ... 19

2.3.3Kandungan Kimia Kulit Pisang ... 20

2.4Asam Laktat ... 21


(12)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 24

3.1Alur Penelitian ... 24

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.3Bahan Uji ... 25

3.3.1Penyediaan Bahan Baku ... 25

3.3.2Determinasi Bahan Baku ... 25

3.4Alat dan Bahan ... 25

3.4.1Alat ... 25

3.4.2Bahan... 25

3.5Prosedur Kerja ... 26

3.5.1Produksi Pektin ... 26

3.5.2Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi ... 27

3.5.3Perbandingan Spektrum FTIR ... 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1Bahan Baku ... 30

4.1.1 Penentuan Bahan Baku ... 30

4.1.2Determinasi Tanaman Bahan Baku ... 30

4.1.3Persiapan Bahan Baku... 31

4.2Ekstraksi Pektin ... 32

4.3Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ... 34

4.4Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi... 36

4.4.1Rendemen ... 37

4.4.2Kadar Air ... 39

4.4.3Kadar Abu ... 41

4.4.4Berat Ekivalen ... 42

4.4.5Kadar Metoksil ... 44

4.4.6Kadar Galakturonat ... 46

4.4.7Derajat Esterifikasi ... 48

4.5Perbandingan Spektrum FTIR ... 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1Kesimpulan ... 53

5.2Saran ... 53


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman ... 5

Gambar 2.2. Struktur Pektin ... 7

Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi ... 8

Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah ... 8

Gambar 2.5. Pisang Kepok ... 20

Gambar 3.1. Alur Penelitian ... 24

Gambar 4.1. Persentase Rendemen ... 38

Gambar 4.2. Kadar Air ... 40

Gambar 4.3. Kadar Abu ... 41

Gambar 4.4. Berat Ekivalen ... 43

Gambar 4.5. Kadar Metoksil ... 45

Gambar 4.6. Kadar Asam Galakturonat ... 47

Gambar 4.7. Derajat Esterifikasi ... 49


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin ... 14

Tabel 2.2. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope ... 14

Tabel 4.1. Bahan Baku ... 31

Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ... 34

Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin ... 36


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan ... 59

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang ... 60

Lampiran 3. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi ... 61

Lampiran 4. Hasil Spektrum FTIR ... 70


(16)

1.1 Latar Belakang

Komoditas pisang di Indonesia menduduki tempat pertama di antara jenis buah-buahan lainnya, baik dari segi luas pertanamannya maupun dari segi produksinya. Pada tahun 2010, produksi pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta ton atau sekitar 30% dari produksi buah nasional (Kuntarsih, 2012).

Sentra produksi pisang di Indonesia adalah, NAD (Pidie, Aceh Besar), Sumatera Utara (Deli Serdang, Serdang Begadai), Sumatera Barat (Pasaman Barat), Lampung (Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Barat), Jawa Barat (Cianjur, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Garut), Jawa Tengah (Kendal, Purbalingga, Banyumas, Cilacap), Jawa Timur (Lumajang, Malang), NTT (Ngada, Nagageo, Ende, Sikka), Kalimantan Selatan (Tapin, Banjar), Kalimantan Timur (Kutai Timur, Kutai Kertanegara) (Departemen Pertanian, 2012).

Buah pisang sangat digemari untuk dikonsumsi baik secara langsung sebagai buah segar ataupun sebagai produk olahan. Saat ini kulit pisang digunakan untuk pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah rumahan atau industri. Pemanfaatan kulit pisang tersebut kurang optimal, padahal kulit pisang mengandung komponen yang bermanfaat bagi manusia.

Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, lemak kasar, serat kasar, dan abu. Senyawa pektin cukup besar terkandung di dalam kulit pisang (Satria dan Ahda, 2009).

Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan komponen utama dari lamela tengah pada tanaman, pektin juga berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith dan Fox, 2005). Struktur pektin yaitu polimer asam α-D-galakturonat yang terikat dengan ikatan


(17)

glikosidik α(1-4). Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil (Akhmalludin dan Kurniawan 2009).

Pektin dapat dimanfaatkan dalam beberapa bidang industri, misalnya pada industri pangan dan industri farmasi. Dalam industri pangan, pektin berperan sebagai bahan pokok pembuatan jeli, selai, dan marmalade (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin dalam industri farmasi sebagai agen pembentuk gel, pengental, penstabil dan pengemulsi (Commite on Food Chemical Codex, 1996). Pektin juga dapat digunakan sebagai bahan terapi diare, sembelit, dan obesitas (Rowe, et al., 2006).

Hingga tahun 2012, pektin yang digunakan di industri-industri Indonesia merupakan barang impor. Data terakhir pada Januari sampai November 2012 jumlah impor substansi pektin, yaitu 2.276.742 kg dengan nilai sebesar US $ 2.132.966 (Badan Pusat Statistik, 2012).

Pektin komersial biasanya diperoleh dari kulit buah sitrus atau apel, namun dengan berkembangnya penelitian, pektin juga dapat diperoleh dari pengolahan kulit pisang kepok, kulit pisang raja, buah naga, kulit coklat, limbah pengolahan jeruk, cincau hijau, ampas nanas serta kulit durian. Baker (1997) menyebutkan pektin juga dapat diperoleh dari lemon, aprikot, beri-berian, anggur, labu-abuan dan semangka. Sebagian besar pektin diproduksi dengan mengekstraksi bahan baku dengan larutan asam mineral panas (May, 1990) dan dapat pula menggunakan asam organik (Kertesz, 1951).

Karakteristik pektin yang baik berdasarkan IPPA (2002) dan Food Chemical Codex (1996) adalah memiliki kadar air maksimum 12%, kadar abu maksimum 10%, berat ekivalen 600-800 mg, kandungan metoksil tinggi jika >7,12%, bermetoksil rendah jika 2,5-7,12%, kadar asam galakturonat minimal 35%, derajat esterifikasi untuk pektin ester tinggi minimal 50% dan derajat esterifikasi untuk pektin ester rendah maksimum 50%. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008) perlakuan suhu, waktu ekstraksi pektin dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Kondisi ekstraksi pektin berpengaruh terhadap karakteristik pektin dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin.


(18)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) menunjukkan bahwa karakteristik pektin terbaik hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok menggunakan asam klorida (HCl) diperoleh pada temperatur 90℃, pH 1,5 selama 80 menit dengan perolehan rendemen tertinggi, kadar air 11,88%, kadar abu 0,98%, dan kadar metoksil 3,72%. Ekstraksi kulit papaya dengan pelarut asam asetat (CH3COOH) oleh Sofiana, et al., (2012), pada temperatur 80℃ selama 2

jam menghasilkan karakteristik pektin terbaik dengan rendemen 3,26%, kadar metoksil 4,65% dan kadar galakturonat 64,02%.

Penggunaan asam organik seperti asam laktat dalam ekstraksi pektin sangat jarang dipublikasikan, sehingga peneliti sangat tertarik untuk mengetahui karakter pektin yang dihasilkan. Pengkarakterisasian pektin hasil ekstraksi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi suatu peluang dalam mengembangkan sumber pektin baru dengan memanfaatkan kulit pisang kepok sebagai bahan bakunya yang selama ini hanya menjadi limbah.

1.2 Rumusan Masalah

Ditinjau dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Belum diketahuinya karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi.

2. Bagaimanakah karakteristik pektin yang dihasilkan dan apakah karateristik tersebut sesuai dalam standar mutu yang telah ditetapkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data karakteristik pektin yang dihasilkan dari ekstraksi limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi


(19)

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi.


(20)

2.1 Pektin

2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin

Berdasarkan Herbstreith dan Fox (2005) kata pektin berasal dari bahasa

Latin “pectos” yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras atau padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai asam pektat.

Menurut Hasbullah (2001) yang dijelaskan dalam Tarigan, et al., (2012) pektin merupakan polisakarida kompleks yang bersifat asam yang terdapat dalam jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer. Khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat teresterifikasi sebagian dengan metanol.

Sumber: IPPA (2002)


(21)

Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat dan protopektin menurut (Winarno, 1989 dan Klavons, 1995 dalam Tarigan, et al., 2012).

1. Asam Pektat

Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.

2. Asam Pektinat

Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.

3. Protopektin

Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam pektinat.

Winarno (2002) mengemukakan komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat kematangan buah. Pada umumnya protopektin yang bersifat tidak larut dalam air dan lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang. Dwidjoseputro (1983) menjelaskan bahwa di dalam buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang satu dengan sel-sel yang lain masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin tersebut. Akan tetapi jika buah menjadi dewasa, maka sebagian dari protopektin mengalami penguraian menjadi pektin karena pertolongan enzim protopektinase. Hal ini mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam-pektat, hal mana menyebabkan buah menjadi matang.

Adapun Rowe, et al., (2006) menjelaskan bahwa pektin merupakan molekul dengan bobot molekul tinggi, kunstituen dalam tanaman yang menyerupai karbohidrat, terutama terdiri dari unit rantai asam galakturonat terikat dengan ikatan 1,4-α-glukosida, dengan berat molekul 30.000-100.000. Pektin merupakan kompleks polisakarida yang terutama terdiri dari residu asam D-galakturonat yang

teresterifikasi dalam rantai α-(1-4). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar teresterifikasi membentuk kelompok metoksil. Kadar metoksil pektin bervariasi tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002).


(22)

Asam α-galakturonat polimer asam α-galakturonat

Polimer asam α-galakturonat dimana sebagian gugus karboksilatnya teresterifikasi dengan metil menjadi gugus metoksil

Sumber: Tarigan, et al., (2012)

Gambar 2.2. Struktur Pektin

Beberapa gula juga ikut dalam pembentukan pektin, diantaranya adalah rhamnosa, galaktosa dan xilosa (Winarno, 2002). Kelompok asam galakturonat baik dalam bentuk bebas, dikombinasikan sebagai metil ester atau sebagai garam natrium, kalium, kalsium atau amonium dan dalam beberapa kelompok pektin amida (IPPA, 2002).

2.1.2 Jenis Pektin

Berdasarkan derajat esterifikasi (DE) pektin dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pektin dengan kadar metoksi tinggi (HM) dan pektin dengan kadar metoksi rendah (LM). Nilai DE untuk pektin komersial dengan derajat metoksi tinggi biasanya berkisar dari 60-75% dan untuk pektin dengan derajat metoksi rendah berkisar dari 20-40%. Untuk pektin dengan kadar metoksi tinggi memerlukan jumlah minimum padatan terlarut dan pH dalam kisaran yang sempit sekitar 3,0 untuk membentuk gel. Pektin dengan kadar metoksi tinggi bersifat termal reversibel dan secara umum larut terhadap air panas serta seringkali mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan. Pektin dengan kadar metoksi rendah menghasilkan pembentukan gel yang tergantung dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta memerlukan


(23)

adanya sejumlah kalsium atau kation divalent lainnya untuk pembentukan gel (Sriamornsak, 2003). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat esterifikasi (DE) yang misalnya menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium dan kation lainnya (International Pectin Producers Association, 2002).

Sumber: IPPA (2002)

Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi

Sumber: IPPA (2002)

Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah

Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangka modifikasi proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2002).

2.1.3 Sifat Pektin

Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium, potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang.

Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago. Pektin hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat asam terhadap lakmus, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lain. Pektin larut dalam air lebih cepat jika, permukaan dibasahi dengan etanol, dengan


(24)

gliserin, atau dengan sirup simplek atau jika permukaan dicampur dengan 3 bagian atau lebih sukrosa.

Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif. Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan garam.

Gliksman (1969) di dalam Hariyati (2006) memaparkan pembentukan gel pektin metoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil bebas dan antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu membentuk gel dengan adanya ion kalsium.

Rouse (1977) serta Chang dan Miyamoto (1992) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion kalsium, dan gula (Hariyati, 2006). Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat.

Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman, namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi (DE). Pektin dari sumber yang berbeda tidak memiliki kemampuan membentuk gel yang sama karena adanya variasi dalam parameter ini (Sriamornsak, 2003).

2.1.4 Kegunaan Pektin

Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari semua tanaman tingkat tinggi. Umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel, penebal dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tak terpisahkan dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, dimana ia digunakan dalam produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam kosmetik dan farmasi. Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh konsumen (International Pectin Producers Association, 2002).


(25)

Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air, karena merupakan serat yang berbentuk gel, pektin dapat memperbaiki otot pencernaan dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Pektin juga dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir metabolism kolesterol. Makin banyak asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, makin banyak kolesterol yang dimetabolisme sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya. Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide, 2009).

Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya dimanfaatkan dalam industri farmasi, kesehatan dan pengobatan. Pektin telah digunakan secara potensial sebagai karier atau pembawa untuk pengiriman obat ke saluran pencernaan, seperti matriks tablet, gel beads dan film-coated. Pektin merupakan senyawa menarik bagi keperluan dalam bidang farmasi, misalnya sebagai pembawa berbagai obat untuk aplikasi pelepasan terkontrol. Banyak teknik telah digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem pengiriman, terutama ionotropik gelasi dan gel coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan menjanjikan dalam bidang industri farmasi untuk aplikasi sekarang maupun masa depan (Sriamornsak, 2003). Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik (Srivastava dan Malviya, 2011).

Srivastava dan Malviya (2011) menjelaskan pektin dapat digunakan sebagai polimer mukoadhesiv, agen pembentuk gel, pengental, pengikat air dan stabilator. Dalam bidang kedokteran dan farmasi, pektin digunakan untuk mengatasi konstipasi dan diare, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam Kaopektat, bersama dengan kaolinit. pektin juga digunakan dalam pelega tenggorokan sebagai demulcent, sebagai sumber diet serat, sebagai komponen propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik, dalam formulasi pelepasan terkontrol, dan dalam penargetan situs spesifik.


(26)

Sriamornsak (2003) menjelaskan dalam jurnalnya bahwa di bidang farmasi pektin digunakan sebagai pembawa obat ke saluran pencernaan, seperti matriks tablet dan sediaan salut tipis. Selain itu dijabarkan pula beberapa menfaat dari pektin, diantaranya adalah mengkonsumsi setidaknya 6 gram per hari pektin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan kolesterol, namun jika kurang dari 6 gram per hari pektin tidak efektif. Pektin bertindak sebagai zat penangkal alami terhadap keracunan dari kation beracun. Telah terbuksti efektif dalam mengatasi keracunan timah dan merkuri pada saluran pencernaan dan organ pernafasan. Ketika disuntikkan secara inravena, pektin menimbulkan efek mempersingkat waktu koagulasi darah yang diambil, sehingga berguna dalam pengendalian perdarahan. Pektin dan kombinasi dari pektin dengan koloid lain yang telah digunakan efektif untuk mengobati diare, terutama pada bayi dan anak-anak. Dalam kondisi in-vitro tertentu pektin mungkin memiliki efek antimikroba terhadap Escherichia coli. Pektin dapat mengurangi laju pencernaan oleh immobilisasi komponen makanan dalam usus, menyebabkan penyerapan makanan menjadi lebih sedikit. Ketebalan lapisan pektin mempengaruhi penyerapan karena mengurangi kontak antara enzim usus dan makanan sehingga mengurangi ketersediaan sari makanan. Adanya kapasitas waterbinding yang besar, pektin memberikan rasa kenyang sehingga mengurangi konsumsi makanan. Hasil percobaan menunjukkan perpanjangan waktu paruh pengosongan lambung 23-50 menit dengan makanan yang diperkaya dengan pektin. Sifat-sifat pektin dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan gangguan makan yang berlebihan. Pektin hidrogel telah digunakan dalam formulasi tablet sebagai agen pengikat dan telah digunakan dalam formulasi tablet lepas terkontrol.

2.1.5 Ekstraksi Pektin

Ekstraksi pektin merupakan proses pengeluaran pektin dari sel pada jaringan tanaman. Ekstraksi pektin dengan larutan asam dilakukan dengan cara memanaskan bahan dalam larutan asam encer yang berfungsi untuk menghidrolisis protopektin menjadi pektin. Ekstraksi ini dapat dilakukan dengan asam mineral seperti asam klorida atau asam sulfat. Semakin tinggi suhu


(27)

ekstraksi, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Tatapi dalam hal ini faktor keasaman yang digunakan tidak bisa diabaikan. Kisaran pH yang dirokemendasikan 1,5 – 3,0 tetapi pH kisaran pada pH 2,6 – 2,8 lebih sering dipakai (Kirk dan Othmer, 1958 di dalam Akmalludin dan Kurniawan 2009).

Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi pektin, diantaranya adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951 di dalam Hariyati, 2006).

Menurut Sriamornsak (2003) pektin komersial diekstraksi dengan memperlakukan bahan baku dengan asam mineral encer panas pada pH sekitar 2. Lama waktu ekstraksi bervariasi tergantung dengan bahan baku, jenis pektin yang diinginkan dan tergantung oleh suatu produsen tertentu. Ekstrak pektin panas dipisahkan dari residu padat semaksimal mungkin.

Berdasarkan May (2000) pektin kebanyakan diproduksi dengan mengekstraksi bahan baku dengan larutan asam mineral panas. Setiap produsen pektin telah mengembangkan kondisi yang sesuai dengan jenis bahan baku yang diolah di pabrik mereka, namun tujuannya adalah selalu untuk menghasilkan bubur yang mengandung residu padat yang dapat dengan mudah dipisahkan oleh teknologi yang dipilih, dan fase cair (filtrat) yang mengandung pektin konsentrasi tinggi dan berat molekul tinggi, tanpa menghasilkan viskositas yang berlebihan. Menghilangkan kotoran pada ekstrak cair dilakukan sebelum dilanjutkan untuk mengisolasi pektin padat. Pada prinsipnya, pektin murni dapat diisolasi dengan berbagai cara. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan mencampur ekstrak pekat dengan pelarut organik yang melarutkan pektin, tapi memungkinkan banyak kotoran tetap dalam larutan. Standar makanan internasional mengizinkan penggunaan metanol, etanol, atau isopropanol sebagai pelarut organik. Dalam proses ini, ekstrak pektin dapat diperoleh dengan konsentrasi sekitar 2%, dan dicampur dengan alkohol yang cukup untuk membentuk endapan yang selanjutnya dapat dilakukan pemisahan dengan penyaringan atau sentrifugasi. Pektin dipisahkan semaksimal mungkin dari larutan induk, dan dicuci sekali atau


(28)

beberapa kali dengan air dan alkohol untuk menghilangkan garam dan kotoran lainnya. Menurut Ranganna (1977) pengumpulan pektin dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter alkohol. Biasanya untuk pengendapan secara komersial digunakan alkohol dan garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat atau alumunium sulfat.

Penggunaan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk menghidrolisis protopektin menjadi pektin yang larut dalam air ataupun membebaskan pektin dari ikatan dengan senyawa lain, misalnya selulosa (Kaban, et al., 2012). Disini asam dengan ion H+ berfungsi selain memecahkan ikatan protopektin dengan senyawa-senyawa dalam dinding sel tanaman juga menyatukan satu molekul pektin yang lain sehingga terbentuk sebuah jaringan yang dapat memerangkap air (Nurhikmat, 2003).

Berdasarkan Rouse (1977) di dalam Astuti (2007) penggumpalan atau koagulasi pektin terjadi karena gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya. Pektin adalah termasuk koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik. Seperti koloid hidrofilik umumnya, pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan elektrostatik antara muatan negatif molekul pektin dan muatan positif molekul air. Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas disperse pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air, sehingga pektin akan menggumpal.


(29)

2.2 Karakteristik Pektin

Berikut adalah standar mutu pektin dan spesifikasi pektin, berdasarkan standar mutu International Pectin Producers Association (2002), Food Chemical Codex (1996) dan Hanbook of Pharmaceutical Excipiens (2006).

Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin

Faktor Mutu Kandungan

Kadar air Kadar abu Berat ekivalen Kandungan metoksi:

 Pektin metoksi tinggi  Pektin metoksi rendah Kadar asam galakturonat Derajat esterifikasi untuk:

 Pektin ester tinggi  Pektin ester rendah Kekuatan gel Bilangan asetil Maks 12% Maks 10% 600-800 mg >7,12% 2,5 – 7,12% Min 35%

Min 50% Maks 50% Min 150 grade 0,15-0,45%

Tabel 2.2 Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope

Tes USP 28

Identifikasi Susut pengeringan Arsenik

Timah

Gula dan asam organik Batas mikroba

Uji kadar:

 Grup metoksil  Asam galakturonat

+

< 10,0% < 3 ppm < 5µg/g + +

< 6,7% < 74,0%


(30)

Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin Producers Association (IPPA) dan Food Chemical Codex serta spesifikasi dalam Farmakope di atas. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi ekstraksi pektin, dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin. Pektin hasil ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini dilakukan karena jika diaplikasikan pada industri kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila perlakuan suhu terendah dan waktu paling cepat dapat memberi hasil yang masih diperbolehkan oleh International Pectin Producers Association, Food Chemical Codex dan Farmakope maka hal ini akan sangat menguntungkan jika diaplikasikan (Fitriani, 2003).

2.2.1 Kadar Air

Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan (Departemen Kesehatan, 2000). Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap masa simpan. Kadar air yang tinggi menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

2.2.2 Kadar Abu

Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa bahan anorganik. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu dalam pektin semakin rendah (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000).

2.2.3 Berat Ekivalen

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami


(31)

esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen semakin rendah (Ranganna, 1977).

2.2.4 Kadar Metoksil

Constenla dan Lozano (2003) mendefinisikan kadar metoksil sebagai jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin.

Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai kandungan pektin maksimal 7%) (Guichard, 1991 di dalamHariyati, 2006).

2.2.5 Kadar Asam Galakturonat

Perhitungan kandungan asam galakturonat sangat penting untuk mengetahui kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Sofiana, et al., 2012).

2.2.6 Derajat Esterifikasi (DE)

Derajat esterifikasi didefinisikan sebagai persentase grup karboksil yeng teresterifikasi. Pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin tinggi metoksi dan derajat esterifikasi di bawah 50% dinamakan pektin rendah metoksi (Siamornsak, 2003).

Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh adanya asam. Ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat. Jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah menjadi


(32)

asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).

2.2.7 Kekuatan Gel

Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade dari pektin merupakan indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Grade pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai. Pektin yang mempunyai grade pektin 100 berarti dapat membentuk gel yang baik dengan 100 gram gula. Penentuan grade pektin biasanya menggunakan metode International Food Technologist (IFT) yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65% pada pH 2,2 - pH 2,4. Gel kemudian disimpan selama 18-24 jam dan kemudian diuji dengan alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2003).

2.2.8 Bilangan Asetil

Pektin gula bit mengandung gugus asetil, dimungkinkan juga dalam pektin lain mengandung gugus asetil ini. Jika gugus asetil hadir dalam pektin maka akan menghambat pembentukan jelly. Analisis adanya gugus asetil menggunakan prosedur saponifikasi alkali sederhana diikuti dengan titrasi kembali namun hasilnya tidak menunjukkan hasil yang memuaskan (Ranganna, 1977).


(33)

2.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana)

2.3.1 Uraian Umum Pisang

Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas ke kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kenari sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi, 2008).

Produksi pisang dunia dalam 120 negara diperkirakan mencapai 68 juta setiap tahunnya. Negara-negara Asia Tenggara penghasil pisang yang terkenal diantaranya adalah Filipina, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Indonesia, Filipina dan Thailand merupakan negara penghasil pisang nomor satu di kawasan Asia Tenggara (Verheij dan Coronel, 1992).

Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar, biasanya mempunyai batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun. Tangkai daun jelas beralur pada sisi atasnya, helaian daun lebar, bangun jorong memanjang, dengan ibu tulang yang nyata dan tulang-tulang cabang yang menyirip dan kecil-kecil. Bunga dalam suatu bunga majemuk dengan daun-daun pelindung yang besar dan berwarna merah. Masing-masing bunga mempunyai tenda bunga yang menyerupai mahkota atau jelas mempunyai kelopak dan mahkota yang biasanya berlekatan, zigomorf. Benang sari 6 yang 5 fertil yang satu staminoidal. Bakal buah tenggelam, beruang 3 dengan 1 bakal biji dalam tiap ruang. Tangkai putik berbelah 3-6. Buahnya buah buni atau buah kendaga. Biji mempunyai salut, endosperm dan juga perisperm (Tjitrosoepomo, 1994).

Pemanfaatan pisang telah meluas di kalangan masyarakat, baik dari mulai daun, batang, bunga, buah hingga kulitnya. Buah pisang memiliki kandungan kalium yang tinggi, tingginya kandungan kalium dalam pisang membantu mengatasi stress yang memacu gangguan sulit tidur dengan cara menurunkan tekanan darah dan menyingkirkan rintangan berupa penyumbatan dalam pembuluh darah (Apriadji, 2007). Mencegah stroke, memberikan tenaga untuk


(34)

berfikir dan menghindari kepikunan atau mudah lupa (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Kulit buah pisang selain untuk pakan ternak juga dapat dijadikan sebagai bahan campuran krim antinyamuk. Kulit buah pisang juga dapat diekstrak untuk dibuat pektin. Bagian dalam kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara tepung kulit pisang yang dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan sebagai pakan ayam buras untuk meningkatkan pertumbuhannya. Manfaat lainnya dapat dijadikan sebagai pembunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit urea dan pemberian bakteri. Berdasarkan hasil temuan dari Taiwan diketahui bahwa kulit pisang yang mengandung vitamin B6 dan serotonin dapat diekstrak dan dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008).

2.3.2 Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana)

Berikut adalah klasifikasi dari pisang kepok berdasarkan Herbarium Bogoriense:

Jenis : Musa balbisiana (grup ABB)

Suku : Musaceae

Sehingga taksonomi dari Musa balbisiana berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) adalah:

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Subkelas : Zingiberidae Ordo : Zingiberales Famili : Musaceae Genus : Musa L.


(35)

Sumber: Koleksi Pribadi

Gambar 2.5. Pisang Kepok

Pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan jenis triploid diberi simbol ABB (Nasir, 2003). Hibridisasi beragam Musa balbisiana menghasilkan keturunan hibrida yang sebagian besar steril terutama genom AB (dessert bananas), AAB (plantains) dan ABB (cooking bananas) (OECD, 2010).

Musa balbisiana tersebar dari India termasuk Kepulauan Andam hingga Myanmar utara (Burma), Thailand dan Indocina ke Cina Selatan dan Filipina. Musa balbisiana merupakan salah satu spesiea yang berasal dari Indocina (OECD, 2010).

Menurut Cahyono (2009) pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang terkenal adalah pisang kepok kuning dan kepok putih. Daging buah pisang kepok kuning berwarna putih sedangkan kepok putih berwarna putih. Daging buahnya bertekstur agak keras. Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih manis dan enak dibandingkan kepok putih. Buah pisang kepok tidak beraroma harum. Kulit buah pisang kepok sangat tebal, pada buah yang sudah masak berwarna hijau kekuningan. Dalam satu tandan bisa terdapat hingga 16 sisir dan pada setiap sisirnya terdapat hingga 20 pisang, berat setiap tandannya sekitar 14-22 kg. buah pisang kepok cocok untuk disantap dalam bentuk olahan.

2.3.3 Kandungan Kimia Kulit Pisang

Kulit pisang merupakan sumber yang kaya pati (3%), protein kasar (6-9%), lemak kasar (3,8-11%), serat makanan total (43,2-49,7%), dan asam lemak ganda

tak jenuh (PUFA), terutama asam linoleat dan α-linolenat, pektin, asam amino esensial (leusin, valin, fenilalanin dan treonin) dan mikronutrien (K, P, Ca, Mg). Kulit pisang juga merupakan sumber yang baik dari lignin (6-12%), pektin


(36)

(10-21%), selulosa (7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%) dan asam galaktouronat. Pektin yang diekstrak dari kulit pisang juga mengandung glukosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, dan xilosa. Mikronutrien (Fe dan Zn) ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada kulit dibandingkan pada pulp. Sehingga, kulit bisa menjadi bahan pakan yang baik untuk ternak dan unggas. Kulit pisang juga dapat digunakan dalam minuman anggur, produksi etanol, sebagai substrat untuk produksi biogas dan sebagai bahan dasar untuk ekstraksi pektin. Abu kulit pisang dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman pisang dan sebagai sumber alkali untuk produksi sabun. Ekstrak etanol kulit Musa sapientum dapat digunakan penghambat korosi untuk baja ringan. kulit pisang juga dapat digunakan di pabrik pengolahan air limbah (Mohapatra, et al., 2010).

2.4 Asam Laktat

Berdasarkan Rowe, et al., (2006) asam laktat (C3H6O3) memiliki sinonim

2-hydroxypropanoic acid; a-hydroxypropionic acid; DL-lactic acid; Lexalt L; milk acid; Patlac LA; Purac 88 PH; racemic lactic acid. Berfungsi sebagai agen pengasam. Asam laktat dibuat dari fermentasi karbohidrat, seperti glukosa, sukrosa laktosa dengan Bacillus asam laktat atau mikroorganisme terkait lainnya.

- Titik didih: 122℃ pada 2 kPa (15mmHg) - Konstanta disosiasi: pKa = 4,14 pada 22,5℃

- Kelarutan: larut dengan etanol (95%), eter dan air, praktis tidak larut dalam kloroform.

- Stabilitas: Asam laktat bersifat higroskopis dan akan membentuk produk kondensasi seperti asam polilaktat pada saat kontak dengan air. Kesetimbangan antara asam polilaktat dan asam laktat tergantung pada konsentrasi dan temperatur. Pada suhu tinggi asam laktat akan membentuk laktida, yang mudah dihidrolisis kembali ke asam laktat. Asam laktat harus disimpan dalam wadah tertutup baik dalam tempat dingin dan kering.

- Inkompatibilitas: Kompatibel dengan oksidator, iodida, dan albumin. Bereaksi hebat dengan asam fluorida dan asam nitrat.


(37)

Asam laktat termasuk dalam golongan asam organik (Dashek dan Micales, 1997). Asam laktat dapat digunakan untuk ekstraksi pektin menurut seperti halnya jenis asam lain yakni asam tartarat, asam malat, asam sitrat, asam asetat dan asam fosforat (Canteri-Schemin, et al., 2005)

2.5 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara energi cahaya dan materi. Warna-warna yang nampak dan fakta bahwa orang bisa melihat adalah akibat-akibat absorpsi energi oleh senyawa organik maupun anorganik, yang merupakan perhatian primer bagi ahli kimia organik ialah fakta bahwa panjang gelombang pada suatu senyawa organik menyerap energi cahaya, bergantung pada struktur senyawa itu. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac dan Rousessac, 2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk berbagai keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1), inframerah tengah (4000-200 cm-1) dan inframerah dekat (12500-4000 cm-1) (Watson, 2009).

Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh spektrum inframerah yaitu instrumen dispersi, yang menggunakan suatu monokromator untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati sampel, dan instrumen transformasi Fourier, yang menggunakan suatu interferometer. Instrumen tranformasi Fourier menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan gelombang dapat dipantau dalam ± 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan dispersi. Dalam suatu instrumen inframerah transformasi Fourier (Fourier transform infrared, FT-IR), prinsipnya adalah monokromator digantikan oleh


(38)

suatu interferometer. Interferometer menggunakan cermin bergerak untuk memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu persamaan yang disebut „Transformasi Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum dari suatu seri frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009).

Spektroskopi FTIR memiliki banyak keunggulan dibanding spektroskopi inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008).

Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).


(39)

3.1 Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

Kulit pisang kepok Pengeringan dalam oven

Dihaluskan menjadi serbuk

Ekstraksi menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi selama 80 Penyaringan

Endapan pektin

Penambahan aseton dengan perbandingan volume filtrate 1:1,5

Penyaringan

Pengeringan endapan pektin dalam oven suhu 40℃

Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan aseton secara berulang-ulang

- Rendemen - Kadar air - Kadar abu - Berat ekivalen - Kadar metoksi - Kadar asam

galakturonat - Derajat esterifikasi Perbandingan spektrum

FTIR antara pektin standard, komersial dan

hasil ekstraksi

Supernatan Filtrat

Ampas

Endapan pektin Pektin kering


(40)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Analisa Pangan dan Obat, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2013.

3.3 Bahan Uji

3.3.1 Penyediaan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan berupa kulit pisang kepok yang masih mentah. Bahan uji didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok yang ada di daerah Lampung. Pengambilan bahan baku pada pagi hari tanggal 14 Februari 2013.

3.3.2 Determinasi Bahan Baku

Bahan baku berupa kulit pisang kepok yang dilakukan identifikasi terlebih dahulu di Laboratorium Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat.

3.4 Alat dan Bahan 3.4.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas seperti, erlenmeyer (Schott Duran), gelas beker (Schott Duran), gelas ukur, pipet tetes, pipet volume, batang pengaduk, botol timbang, buret, labu Buchner dll. Adapun alat-alat lain diantaranya adalah corong Buchner, hot plate, oven, blender, tanur, krustang, krus porselain, cawan porselain, desikator, kertas saring, statif dan klem, termometer, pH meter, pH indikator universal, magnetic stirrer, neraca analitik, dan Jasco FTIR-6100.

3.4.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam laktat, aquades, asam klorida (HCl), natrium hidroksida (NaOH), natrium klorida (NaCl), aseton teknis, indikator phenolptalein (PP), indikator fenol merah, pektin murni (Sigma), serbuk KBr.


(41)

3.5 Prosedur Kerja 3.5.1 Produksi Pektin

a. Persiapan Bahan Uji

Kulit pisang yang didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok disortir (dipisahkan antara kulit pisang yang bagus dengan yang busuk). Kulit pisang kepok yang berwarna hijau atau kekuningan yang dipilih. Bagian pucuk dan tangkai kulit pisang tidak diambil. Kemudian dilakukan pencucian dengan menggunakan air mengalir agar kulit pisang dapat bersih dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah kulit pisang tersebut bersih, dilakukan pemotongan kecil-kecil dan dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan yang selanjutnya dikeringkan dalam oven suhu 50℃. Setelah didapatkan kulit pisang kering, selanjutnya dilakukan penghalusan dengan cara diblender dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 mikrometer) sehingga didapatkan serbuk kering kulit pisang kepok yang kemudian diukur kadar airnya, kadar air seharusnya tidak lebih dari 10% (Tarigan, et al., 2012).

b. Ekstraksi Pektin

Serbuk kulit pisang kepok yang dihasilkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 60,0 gram, kemudian ditambahkan larutan asam laktat sebanyak 2000 mL dengan variasi pH 1, 1,5 dan 2. Pembuatan larutan asam laktat dengan variasi pH dilakukan dengan cara melarutkan asam laktat dalam aquadest dan pH larutan diukur menggunakan pH meter. Campuran 60,0 gram serbuk kulit pisang kepok dan larutan asam laktat tersebut dipanaskan di atas pemanas listrik dengan pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ untuk masing-masing pH disertai pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Penghitungan waktu ekstraksi dari saat tercapainya kondisi operasi percobaan yaitu 80 menit. Setelah dipanaskan, campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan penyaring vakum guna memisahkan ampas dan filtratnya. Filtrat yang didapatkan disebut dengan filtrat pektin (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009; Satria dan Ahda, 2009; Tarigan, et al., 2012).

c. Pengendapan Pektin

Pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan aseton dalam filtrat dengan perbandingan tiap 1 liter filtrat ditambahkan dengan 1,5 liter aseton. Filtrat


(42)

pektin tersebut didiamkan selama 10-14 jam. Endapan pektin yang terbentuk kemudian dipisahkan dari larutannya menggunakan kertas saring dengan bantuan penyaring vakum (Akhmalludin dan Kurniawan 2009).

d. Pencucian Pektin

Endapan pektin yang terbentuk ditambahkan dengan aseton sambil diaduk untuk kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai pektin tidak lagi meninggalkan residu asam. Adapun pektin yang sudah tidak lagi meninggalkan residu asam adalah pektin yang tidak berwarna merah bila ditambahkan dengan indikator phenolphtalein (PP) (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).

e. Pengeringan Pektin

Pektin basah hasil pengendapan yang telah bebas dari residu asam kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40℃ selama 8 jam. Hasil yang diperoleh disebut dengan pektin kering (Tarigan, et al., 2012).

3.5.2 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi

1. Perhitungan Persen Rendemen

Persen rendemen adalah perbandingan gram pektin yang dihasilkan dengan gram bahan baku kering.

Rendemen (%) = bobot total pektin yang diperoleh

bobot bahan baku kering x 100%

2. Penentuan Kadar Air

Sebanyak 0,300 gram sampel pektin dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC selama 4 jam menggunakan botol timbang yang telah diketahui bobot kosongnya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap.

Kadar Air (%) = Wa−Wb

W x 100% (Pardede, et al., 2013)

Dimana: Wa = bobot sebelum dikeringkan


(43)

3. Penentuan Kadar Abu (Ranganna, 1977)

Krus porselain dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot wadah. Selanjutnya sebanyak 0,500 gram pektin ditimbang dan di masukkan dalam krus silikat yang telah diketahui bobotnya kemudian di masukkan dalam tanur dengan suhu 600℃selama 4 jam. Residu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.

Kadar Abu (%) = = W 1−W 2

W x 100%

Dimana: W = bobot sampel awal (g)

W1 = bobot wadah + sampel setelah pemanasan (g)

W2 = bobot wadah kosong (g)

4. Penentuan Berat Ekivalen (Ranganna, 1977)

Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan menimbang 0,25 gram pektin dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 mL dan dilembabkan dengan 1,0 mL alkohol. Air suling bebas O2 sebanyak 50,0 mL

dan 6 tetes indikator fenol merah ditambahkan. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan bahwa semua substansi pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada sisi Erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan titran standar NaOH 0,1 N sampai warna campuran berubah menjadi merah muda (pH 7,5) dan tetap bertahan selama setidaknya 30 detik. Larutan tersebut dinetralkan yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar metoksil.

Berat Ekivalen = bobot pektin (mg )

ml NaOH x N NaOH

5. Kadar Metoksil (Ranganna, 1977)

Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan 25,0 mL NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE kemudian dikocok dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam Erlenmeyer tertutup. Ditambahkan 25,0 mL HCl 0,25 N dan indikator fenol


(44)

merah kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hingga larutan berubah menjadi merah muda.

Kadar Metoksil (%) = ml NaOH x 31 x N NaOH x 100

bobot sampel mg

Dimana 31 adalah berat molekul (BM) dari metoksil

6. Kadar Galakturonat (Ismail, et al., 2012)

Kadar galakturonat dihitung dari miliekivalen NaOH yang diperoleh dari penentuan BE (berat ekivalen) dan kandungan metoksil.

% Galakturonat = (meq dari NaOH untuk asam bebas + meq dari NaOH untuk metoksil ) x 176 x 100 bobot sampel (mg )

Dimana 176 adalah berat ekivalen terendah asam pektat

7. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965 dalam Hariyati, 2006)

Derajat esterifikasi (DE) dari pektin dapat dihitung dengan: DE (%) = kadar metoksil x 176 x 100

kadar galakturonat x 31

3.6 Perbandingan Spektrum FTIR

Spektrum FTIR digunakan untuk memperoleh informasi serapan gugus fungsional. Data FTIR diperoleh dengan menggunakan Jasco FTIR-6100 dengan rentang panjang gelombang dari 4000 cm-1 sampai 400 cm-1 (Ismail, et al., 2012).

Perbandingan antara sebuk KBr dan masing-masing sampel pektin adalah 100:1 mg. Setelah didapatkan spektrum masing-masing sampel pektin, ketiganya (pektin hasil ekstraksi, komersial dan standard) dibandingkan tiap serapan gugus fungsionalnya.


(45)

4.1 Bahan Baku

4.1.1 Penentuan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit pisang kepok yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah Lampung. Kulit pisang merupakan bagian dari buah pisang yang umumnya dibuang sebagai sampah. Limbah kulit pisang kepok dipilih sebagai bahan baku karena pisang kepok lebih sering digunakan sebagai makanan olahan sehingga menghasilkan limbah kulit yang cukup banyak. Pemilihan bahan baku berupa limbah kulit pisang didasarkan pada pemanfaatan limbah yang tidak digunakan menjadi suatu bahan baku produksi pektin. Cahyono (2009) mengungkapkan bahwa kulit buah pisang kepok sangat tebal. Sedangkan pektin terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman dan umumnya terdapat dalam dinding sel, sehingga pemilihan kulit pisang kepok untuk produksi pektin diharapkan mampu menghasilkan pektin yang melimpah pula. Menurut Mohapatra, et al., (2010) kandungan pektin dalam kulit pisang berkisar antara 10-21%. Limbah kulit pisang diperoleh dengan tidak mengeluarkan biaya karena limbah biasanya dibuang begitu saja. Keuntungan dari pemanfaatan limbah tersebut adalah menjadikan biaya produksi pektin dapat lebih ekonomis dan diharapkan tidak mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.

4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku

Determinasi tanaman bahan baku dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok (Musa balbisiana ABB) famili Musaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.


(46)

4.1.3 Persiapan Bahan Baku

Bahan baku limbah kulit pisang yang digunakan adalah kulit pisang yang masih mentah berwarna hijau atau kekuningan. Kebanyakan limbah kulit pisang dari pengolahan kripik pisang menggunakan buah pisang yang masih mentah. Limbah kulit pisang dipisahkan dari tangkai dan ujungnya kemudian dibersihkan dengan dicuci menggunakan air mengalir, dipotong kecil-kecil dan dikeringkan dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dikeringkan lebih lanjut menggunakan oven pada suhu 50℃ selama kurang lebih 3 hari hingga kulit pisang benar-benar kering dengan kadar air kurang dari 10%. Kulit pisang yang telah kering selanjutnya dihaluskan hingga berbentuk serbuk dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 mikrometer). Pemotongan dan pembelahan bahan-bahan yang akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut karena pecahnya sel-sel yang mengandung solut (Perina, et al., 2007). Serbuk kulit pisang yang dihasilkan ditentukan kadar airnya. Penentuan kadar air serbuk kulit pisang menggunakan prinsip gravimetri. Kadar air serbuk kulit pisang adalah 8,39% kadar ini tidak lebih dari yang ditetapkan yakni tidak lebih dari 10% (Tarigan, et al., 2012). Pemeriksaan kadar air dilakukan di BPPT LABTIAP Serpong, Banten.

Tabel 4.1. Bahan Baku

Bahan Baku Hasil

Bobot kulit pisang kepok awal 5 kg

Bobot serbuk kulit pisang kepok setelah pengeringan 511 gram

Kadar air serbuk kulit pisang 8,39%

Kulit pisang kepok yang belum dipisahkan dari ujung dan tangkainya serta belum dibersihkan dari pengotornya seperti tanah yang melekat adalah sebanyak 5 kilogram. Setelah dilakukan pembersihan, pengeringan dan penghalusan menghasilkan serbuk kulit pisang sebanyak 511 gram. Dengan demikian, dibutuhkan banyak bahan baku limbah kulit pisang yang diperlukan untuk menghasilkan serbuk kulit pisang yang banyak pula. Sebab dengan 5 kg limbah kulit pisang segar hanya menghasilkan serbuk kering kulit pisang sebanyak 511 gram. Artinya kandungan air dalam limbah kulit pisang segar cukup tinggi


(47)

sehingga setelah pengeringan menghasilkan sedikit serbuk kulit pisang. Begitu pula dengan banyaknya bagian yang tidak diambil dari kulit pisang tersebut seperti tangkai dan ujung kulit pisang.

4.2 Ekstraksi Pektin

Pektin diekstraksi dengan menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH 1, 1,5 dan 2, variasi suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ dengan waktu ekstraksi tetap yakni 80 menit. Waktu ekstraksi ditetapkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) yang menyatakan bahwa waktu optimum rendemen tertinggi yang diperoleh dari hasil ekstraksi kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam klorida adalah selama waktu 80 menit. Sehingga waktu optimum tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. Ekstraksi pektin disini dilakukan dengan metode konvensional yakni secara pemanasan langsung, menurut Srivastava dan Malviya (2011) ada dua metode ekstraksi pektin yang biasa dilakukan yaitu pemanasan langsung dan pemanasan menggunakan microwave.

Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi pektin disini adalah menggunakan pelarut asam organik berupa larutan asam laktat dengan variasi pH. Larutan asam laktat digunakan untuk merombak protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang dapat larut. Berdasarkan Tarigan, et al., (2012) ekstraksi pektin dilakukan dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Ekstraksi pektin pada penelitian ini dilakukan dengan hidrolisis asam, asam yang berperan adalah larutan asam laktat. Penggunaan asam laktat dalam ekstraksi pektin sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fellow (2002) dalam Perina, et al., (2007) bahwa asam lain selain HCl (asam klorida), H2SO4 (asam sulfat) dan CH3COOH (asam asetat) yang dapat digunakan

adalah asam sitrat, asam laktat dan asam tartrat.

Bahan baku berupa serbuk kering kulit pisang kepok berukuran 105 mikrometer, berdasarkan Fellow (2002) di dalam Perina, et al., (2007) menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran partikel berarti semakin luas permukaan yang kontak antara padatan dan pelarut serta semakin pendek jarak difusi solut sehingga kecepatan ekstraksi lebih besar. Sebanyak 60,0 gram serbuk kering kulit pisang kepok tersebut di masukkan dalam Erlenmeyer 2000 mL yang kemudian


(48)

ditambahkan dengan larutan asam laktat hingga batas 2000 mL. Dalam Erlenmeyer tersebut dimasukkan pula magnetic stirrer dan pada leher erlenmeyer ditutup menggunakan sumbat kapas. Pemanasan dilakukan diatas hot plate dengan masing-masing pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ yang selalu dikontrol dengan termometer agar suhunya tetap. Pengadukan otomatis juga dilakukan dengan kecepatan yang konstan menggunakan magnetic stirrer. Menurut Perina, dkk (2007) pengadukan dalam ekstraksi penting karena meningkatkan perpindahan solut dari permukaan partikel ke cairan pelarut, selain itu pengadukan suspensi partikel halus mencegah pengendapan padatan dan memperluas kontak partikel dengan pelarutnya. Pemanasan dilakukan selama 80 menit dan setelah selesai pemanasan dilakukan penyaringan yang sebelumnya campuran tersebut didinginkan terlebih dahulu. Penyaringan hasil ekstraksi dilakukan dengan menggunakan kertas saring dan bantuan corong Buchner dan pompa sehingga penyaringan dapat berjalan lebih cepat. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat dan ampasnya.

Filtrat yang diperoleh ditampung dan selanjutnya dilakukan pengendapan pektin dengan penambahan aseton. Penambahan aseton dalam filtrat dilakukan dengan perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk didiamkan selama semalaman (10-14 jam) dan kemudian endapan yang diperoleh dicuci beberapa kali dengan aseton pula hingga bebas dari asam dan dilakukan penekanan terhadap endapan dalam kertas saring sehingga endapan tidak terlalu basah dengan aseton. Endapan yang telah bebas dari asam dan tidak terlalu basah dengan aseton selanjutnya dikeringkan dalam oven menggunakan cawan porselain selama ± 8 jam dengan suhu oven 40℃. Pada awalnya pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan etanol 96% ke dalam filtrat, namun menghasilkan endapan yang tidak lebih baik pemisahannya antara supernatan dibandingkan endapan yang terbentuk dengan penambahan aseton dalam filtrat. Agen pengendap pektin yang digunakan dalam penelitan ini adalah aseton yang mampu mengendapkan lebih baik daripada menggunakan etanol 96%. Hal ini sesuai menurut Akhmalludin dan Kurniawan (2009) yang menyatakan bahwa pengendapan dengan aseton lebih disukai karena dapat membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya,


(49)

sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin yang kurang murni karena etanol tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa.

Endapan kering (pektin) kemudian dapat dihitung hasil rendemen terhadap bahan baku dan pengkarakterisasian diantaranya pengukuran kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksi, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi.

Pektin kering yang diperoleh berwarna kecoklatan hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh bahan baku yang digunakan. Bahan baku berupa serbuk kulit pisang berwarna hitam dan filtrat hasil ekstraksi berwarna kehitamanan pula. Pada penelitian ini, endepan pektin yang telah kering berbentuk tepung setelah dilakukan penggerusan menggunakan lumpang. Jika pektin yang dihasilkan banyak maka dapat dilakukan penghalusan menggunakan alat penghalus seperti blender. Namun, dikarenakan pektin kering yang dihasilkan sedikit maka hanya dilakukan penggerusan menggunakan lumpang.

4.3 Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi

Tabel 4.2. Hasil Pemerian Pektin

Kondisi ekstraksi Pemerian

pH 1., T: 80℃

Serbuk halus, abu-abu kecoklatan, tidak berbau

pH 1., T: 90℃


(50)

pH 1,5., T: 80℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 1,5., T: 90℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 2., T: 80℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

pH 2., T: 90℃

Serbuk halus, putih, tidak berbau

Pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini menunjukkan pemerian yang berbeda pada tiap perlakuan pH dan suhu ekstraksi. Pada ekstraksi pH 1 suhu 80 dan 90℃ menghasilkan pektin dengan pemerian bentuk serbuk halus, berwarna abu-abu kecoklatan dan tidak berbau. Berbeda dengan pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dan 2 pada suhu 80 dan 90℃ menghasilkan pektin dengan warna yang lebih putih, berbentuk serbuk halus dan tidak berbau. Perbedaan warna pada pektin hasil ekstraksi ini dapat terjadi disebakan oleh penyaringan filtrat yang tidak sempurna. Kertas saring yang digunakan tidak mampu memisahkan secara sempurna antara filtrat dan ampas, akibatnya partikel-partikel serbuk kulit pisang masih terdapat dalam filtrat dan ikut mengendap bersama pektin. Pektin kering


(51)

yang dihasilkan memiliki warna yang lebih gelap dibanding pada ekstraksi pH 1,5 dan 2 yang penyaringannya jauh lebih sempurna.

Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pemerian pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago. Serta berdasarkan Food Chemical Codex (1996) pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus yang perwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan. Pemerian pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini sesuai dengan literatur yang disebutkan di atas.

4.4 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi

Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin

No Karakterisasi

Perlakuan (kondisi eksraksi) pH, suhu ()

1., 801., 901,5., 80

1.5., 90

2., 802., 90

1 Rendemen

(%)

5,17 9,00 7,05 10,78 5,02 7,82

2 Kadar Air (%) 10,56 11,54 10,59 11,96 10,54 10,89

3 Kadar Abu

(%)

6,90 4,70 6,15 4,25 7,92 8,05

4 Berat Ekivalen 5757,44 4094,47 8667,91 6652,12 9534,71 9534,71

5 Kadar

Metoksil (%)

2,64 2,70 1,08 1,01 1,19 1,30

6 Kadar

galakturonat (%)

72,14 78,60 32,74 33,47 34,46 36,91

7 Derajat

Esterifikasi (%)


(52)

4.4.1 Rendemen

Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut, dalam hal ini berupa larutan asam laktat dengan variasi pH keasaman. Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan bagian tanaman yang diekstrak. Sebelum dilakukan ekstraksi, bahan dipersiapkan dengan memperkecil ukuran partikel sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan yang akan mempermudah proses ekstraksi.

Rendemen pektin yang dihasilkan dari limbah kulit pisang kepok berkisar antara 5,17 % - 10,78%. Rendemen tertinggi didapat pada ekstraksi dengan pH 1,5 dengan suhu 90℃ selama 80 menit yakni sebesar 4,85 gram pektin dari 45,00 gram serbuk kulit pisang kepok. Rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃ selama 80 menit. Gambar 4.1 menunjukkan semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar. Suhu ekstraksi yang tinggi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat. Berdasarkan Perina, et al., (2007) kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan sehingga menghasilkan laju ekstraksi yang tinggi, secara umum suhu ekstraksi untuk ekstraksi pektin adalah antara 60℃-90℃.

Dalam hal ini, rendemen tertinggi yang didapatkan sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012), yang menyatakan bahwa rendemen pektin tertinggi diperoleh dari ekstraksi kulit pisang kepok menggunakan HCl adalah pada pH ekstraksi 1,5 dengan suhu 90℃ dan lama ekstraksi 80 menit yakni sebesar 5,21 gram dari 10 gram serbuk kulit pisang. Rendemen pektin yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Tarigan di atas lebih besar bila dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan dari penelitian ini, namun kondisi pH, suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan kesamaan kondisi optimum dihasilkannya rendemen tertinggi meskipun pelarut yang digunakan berbeda.


(53)

Gambar 4.1. Persentase Rendemen

Terlihat dari Gambar 4.1 di atas bahwasanya persen rendemen meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Peningkatan suhu ekstraksi hingga suhu tertentu memang mempengaruhi rendemen pektin yang dihasilkan. Menurut Ranganna (1977) rendemen pektin yang didapat akan maksimum pada suhu tertentu dan mengalami kejenuhan atau rendemen pektin yang didapat akan tetap. Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pardede, et al., (2013), pada rentang suhu 60℃ hingga 100℃ rendemen pektin yang tertinggi dihasilkan pada suhu 100℃, hal ini disebabkan suhu yang semakin tinggi menyebabkan ion hidrogen yang dihasilkan akan mensubtitusi kalsium dan magnesium dari protopektin semakin banyak, sehingga protopektin yang terhidrolis menghasilkan pektin juga semakin banyak. Jadi dengan suhu ekstraksi yang tinggi, rendemen pektin akan terus meningkat sampai dicapai keadaan maksimum dimana protopektin telah habis terhidrolis.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan Yulianingsih (2008) semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu ekstraksi yang digunakan maka semakin besar rendemen yang dihasilkan. Karena pada penelitian ini faktor lamanya waktu ekstraksi tidak berubah maka hanya faktor pH dan suhu yang akan mempengaruhi hasil rendemen. Menurut Puspitasari, et al., (2008) kombinasi keasaman yang terlalu tinggi (pH rendah) dengan suhu yang tinggi harus dihindari karena konversi pektin akan menurun disebabkan pektin yang terkonversi menjadi asam pektat. Peningkatan pH larutan pengekstrak dalam

5,17%

7,05%

5,02% 9,00%

10,78%

7,82%

pH 1 pH 1,5 pH 2

p

er

sen

r

en

d

emen

(%

)


(54)

penelitian ini menunjukkan penurunan persen rendemen pektin yang dihasilkan. Larutan pengekstrak pada pH 1,5 menunjukkan pH optimum menghasilkan persen rendemen tertinggi. Sedangkan larutan pengekstrak pada pH 2 menghasilkan persen rendemen terendah. Menurut Gusti (2008) pada ekstraksi pektin menggunakan pelarut dengan pH rendah akan menghasilkan rendemen yang tinggi, hal ini disebabkan karena pada pH yang rendah konsentrasi asamnya lebih tinggi sehingga proses hidrolisa protopektin menjadi pektin terjadi lebih intensif sehingga pada pH rendah menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi. Akan tetapi menurut Nasution (2002) dalam Gusti (2008) menyatakan bahwa pada pH yang lebih rendah akan mendekomposisi senyawa pektin menjadi asam galakturonat sehingga rendemen pektin yang dihasilkan akan menurun.

4.4.2 Kadar Air

Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Jika kadar air dalam bahan terbilang tinggi maka menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Dengan demikian, usaha untuk memperpanjang masa simpan bahan dilakukan pengeringan sampai dengan batas kadar air tertentu. produk dengan kadar air rendah relative lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang daripada produk yang berkadar air tinggi (Pardede, et al., 2013)

Pada penelitian ini, pengeringan pektin dilakukan dalam oven pengering suhu 40℃ selama 8 jam. Pengeringan pada suhu rendah ini bertujuan untuk meminimalkan terjadinya degradasi pektin. Puspitasari, et al., (2008) menggunakan suhu 40℃-60℃untuk mengeringkan pektin hasil ekstraksi dari ampas nanas dan Tarigan, et al., (2012) melakukan pengeringan pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok dengan suhu 40℃ selama 8 jam.


(55)

Gambar 4.2. Kadar Air

Kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 10,54-11,96%. Batas maksimum nilai kadar air yang diperbolehkan yaitu 12% berdasarkan Food Chemical Codex (1996), artinya kadar air dari pektin yang dihasilkan tidak melebihi standar yang diperbolehkan. Tingginya kadar air pada pektin yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak maksimal dan juga kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan uji kadar air. Penyimpanan pada tempat yang lembab dan wadah yang tidak kedap udara akan menyebabkan kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga pektin menjadi lembab kembali. Menurut Firiani (2003), kadar air pektin dipengaruhi oleh derajat pengeringan. Jika derajat pengeringan rendah maka yang terlihat adalah berat rendemen yang lebih besar daripada yang sebenarnya.

Pada Gambar 4.2 di atas memperlihatkan bahwa kadar air tertinggi pektin yang dihasilkan adalah pada kondisi larutan pengekstrak pH 1,5 dengan suhu ekstraksi 90℃ dan kadar air terendah pada kondisi pengekstrak pH 2 dengan suhu ekstraksi 80℃. Kadar air yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh rendemen pektin. Semakin tinggi rendemen pektin yang dihasilkan, maka akan semakin tinggi pula kadar airnya (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Terbukti bahwa kadar air tertinggi dimilki oleh pektin dengan rendemen tertinggi, dan kadar air terendah dimiliki oleh rendemen terendah pula.

10,56% 10,59% 10,54%

11,54%

11,96%

10,89%

pH 1 pH 1,5 pH 2

ka

d

a

r

a

ir

(%

)


(1)

 pH 1., T: 90℃

% Galakturonat = 0,2447 +0,8740 � 176 � 100

250 ,5 = 78,60%

 pH 1,5., T: 80℃

% Galakturonat = 0,1154 +0,3496 � 176 � 100

250 = 32,74%

 pH 1,5., T: 90℃

% Galakturonat = 0,1503 +0,3251 � 176 � 100

250 = 33,47%

 pH 2., T: 80℃

% Galakturonat = 0,1049 +0,3846 � 176 � 100

250 = 34,46%

 pH 2., T: 90℃

% Galakturonat = 0,1049 +0,4195 � 176 � 100

250 = 36,92%

7. Derajat Esterifikasi

Perhitungan :

 pH 1., T: 80℃ DE = 176 � 2,64 � 100

31 � 72,14 = 20,78%

 pH 1., T: 90℃ DE = 176 � 2,70 � 100

31 � 78,60 = 19,50%

 pH 1,5., T: 80℃ DE = 176 � 1,08 � 100

31 � 32,74 = 18,73%

 pH 1,5., T: 90℃ DE = 176 � 1,01 � 100

31 � 33,47 = 17,13%

 pH 2., T: 80℃ DE = 176 � 1,19 � 100

31 � 34,46 = 19,61%

 pH 2., T: 90℃ DE = 176 � 1,30 � 100

31 � 36,92 = 20,00%

%DE = = %


(2)

Lampiran 3

Hasil Spektrum FTIR Pektin Standard, Komersial dan Hasil Ekstraksi


(3)

(4)

(5)

Lampiran 4

Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan

1. Proses Ekstraksi

Bahan baku limbah kulit pisang kepok

Serbuk kering kulit pisang kepok

Ekstraksi

Penyaringan filtrat Pengendapan pektin Pencucian endapan pektin

Penyaringan endapan pektin

Endapan pektin basah Endapan pektin kering


(6)

2. Alat-alat yang digunakan

Oven Timbangan analitik

Corong+labu Buchner

Krus silikat Desikator Botol timbang

pH meter