Evaluasi Drug Related Problems Kategori Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara
EVALUASI
DRUG RELATED PROBLEM
PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT
PELABUHAN JAKARTA UTARA
SKRIPSI
AGUNG PRAKOSO TRISNA
NIM: 1111102000078
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2015
(2)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEM PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIK DI RUMAH SAKIT
PELABUHAN JAKARTA UTARA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
AGUNG PRAKOSO TRISNA
NIM: 1111102000078
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2015
(3)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ii
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Agung Prakoso Trisa NIM : 111110200078
Tanda Tangan :
(4)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(5)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(6)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v
Nama : Agung Prakoso Trisa NIM : 1111102000078 Program Studi : Strata-1 Farmasi
Judul Skripsi : Evaluasi Drug Related Problems Kategori Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara
DRP (Drug Related Problems) didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak diinginkan atau risiko yang dialami oleh pasien, yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat. Terjadinya DRP dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang diinginkan. Pasien GGK (Gagal Ginjal Kronik) menerima berbagai agen obat terapi, terlebih untuk pasien yang sudah berkomplikasi penyakitnya. Hal ini menyebabkan tingginya resiko terjadinya DRP. Salah satu masalah DRP yang paling penting pada pasien penyakit ginjal kronis (GGK) adalah kesalahan dosis obat. Banyak obat dan metabolitnya yang dieliminasi melalui ginjal. Dengan demikian, fungsi ginjal yang memadai penting untuk menghindari toksisitas. Pasien dengan gangguan ginjal sering memiliki perubahan dalam parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Oleh karena itu, pertimbangan khusus harus diambil ketika obat ini diresepkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Penelitian DRP kategori penyesuaian dosis masih jarang dilakukan, karena itu penelitian ini bertujuan untuk menilai seberapa besar angka kejadian DRP kategori dosis yang terjadi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan retrospektif terhadap 26 pasien rawat inap RS Pelabuhan Jakarta Utara yang mengalami GGK pada tahun 2014. Dari hasil didapatkan terdapat 9 pasien (34,62 %) yang mengalami DRP dosis dibawah terapi, presentase tertinggi didapat pada obat Aminefront sebanyak 5 kejadian (45,46 %). Lalu terdapat 22 pasien (84,62 %) yang mengalami DRP dosis diatas terapi, presentase tertinggi didapat pada obat Vometa (Domperidone) sebanyak 9 kejadian (21,43 %). Hasil didapatkan bahwa DRP kategori dosis diatas terapi
(7)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
Kata kunci : DRPs, Gagal Ginjal Kronik, Penyesuaian Dosis, RS Pelabuhan Jakarta Utara
(8)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
Name : Agung Prakoso Trisa NIM : 1111102000078 Study Program : Strate-1 Pharmacy
Title : Evaluation of Drug Related Problems Category Adjusment Dose with Chronic Kidney Disease Patients at Pelabuhan Hospital of North Jakarta
DRPs (Drug Related Problems) are defined as an undesirable occurrence or risk that underwent by patient, involving or allegedly involving therapeutic drugs. DRPs could prevent or delay patients outcome. Patients with CKD (Chronic Kidney Disease) receives multi therapeutic drugs, especially for patients who have complicated disease. One of the most important DRPs in patients with CKD is medication errors. Many medications and their metabolites are eliminated through the kidney. Thus, adequate renal function is important to avoid toxicity. Patients with renal impairment often have alterations in their pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. Therefore, special consideration should be taken when these drugs are prescribed to patients with impaired renal function. Study of DRPs category adjusment dose is still rare, accordingly this study aims to evaluate precentage of DRP category adjusment dose that occurs. This study used cross sectional design with retrospective towards 26 hospitalized patients at Pelabuhan Hospital of North Jakarta with CKD in 2014. The results figured that 9 patients (34,62 %) with DRP under dosage, the highest precentage of the drugs goes to Aminefront with 5 cases (45,46 %). And then figured that 22 patients (84,62 %) with DRP over dosage, the highest precentage goes to Vometa (Domperidone) with 9 cases (21,43 %). The results showed that DRP over dosage occur more than 50 %, this case can be used for attention and evaluation for the future of Hospital.
Keywords : DRPs, Chronic Kidney Disease, Adjusment Dose, Pelabuhan Hospital of North Jakarta
(9)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-nya kepada kita semua. Khususnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problem Kategori Penyesuaian Dosis pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara” ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammada SAW, yang merupakan suri tauladan bagi kita semua.
Skripsi ini disusun dari hasil penelitian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara. Dalam proses penyususnan skripsi dan dalam menyelesaikan masa perkuliahan tentu banyak berbagai halangan serta kesulitan yang menyertai, sehingga penuli tidak terlepas dari do’a, dorongan, bantuan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu, izinkan penulis untuk menghaturkan ucapkan terimakasih yang mendalam kepada :
1. Bapak Yardi, PhD., Apt sebagai Pembimbing I dan selaku Ketua Program Studi Farmasi UIN, Bu Isti Qomarsih, S.Si, MARS.,Apt. sebagai Pembimbing II, Bu Vidia Anwar, S.Si.,Apt. sebagai pembimbing lapangan yang telah memberikan ilmu, waktu, tenaga, nasihat, serta arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Haddad Triyono dan Ibunda Monalisa Sjarif
yang selalu iklas tanpa pamrih membeikan kasih sayang, dukungan moral, material, nasihat-nasihat, serta lantunan doa disetiap waktu.
4. Kakakku tersayang Rhealina Trisa yang selalu memberi dukungan do’a dan moral.
5. Ibu Nelly Suryani, PhD., M.Si., Apt selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku Penasehat Akademik yang Selalu Membimbing Penulisan.
7. Rekan terbaikku Ayu Diah Gunardi yang selalu membantu, mengingatkan dan memotivasi hingga sekarang.
(10)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ix
9. Teman sepenelitianku Inten Novita terimakasih atas motivasinya sejak awal hingga akhir penyelesaian skripsi ini.
10. Teman – teman bermain (Cokers Farmasi) yang tidak pernah menolak jika diminta bantuan.
11. Bapak dan ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. Ibu dan bapak seluruh pegawai RS Pelabuhan Jakarta Utara yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.
13. Teman-teman program studi Farmasi khususnya 2011.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu keritik dan saran sangat diharpkan demi perbaikan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat nagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, Oktober 2015
(11)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
x
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Agung Prakoso Trisa
NIM : 1111102000078
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :
Evaluasi Drug Related Problems Kategori Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara.
untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : Oktober 2015
Yang menyatakan,
(12)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xi
HALAMAN PERNYATAAN ORSINILITAS ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ...v
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ...xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
DAFTAR SINGKATAN ... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...3
1.3 Pertanyaan Penelitian ...4
1.4 Tujuan Penelituan ...4
1.4.1 Tujuan Umum ...4
1.4.2 Tujuan Khusus...4
1.5 Manfaat Penelitian ...4
1.5.1 Teoritis ...4
1.5.2 Metodologi ...4
1.5.3 Aplikatif ...4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...5
2.1 Drug Related Problems (DRPs) ...5
2.2 Ginjal ...6
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal ...7
2.2.1.1 Anatomi Ginjal ...7
2.2.1.2 Struktur Makroskopik Ginjal ...8
2.2.1.3 Struktur Mikroskopik Ginjal ...8
2.2.1.4 Fisiologi Ginkal ...10
2.2.2 Penilaian Fungsi Ginjal ...12
2.2.2.1 Persamaan Cockcroft-Gault ...12
2.2.2.2 Persamaan MDRD ...13
2.3 Definisi Gagal Ginjal Kronik ...14
2.3.1 Etilogi Gagal Ginjal Kronik ...15
2.3.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik ...16
2.3.2.1 Kategori Penyebab ...16
2.3.2.2 Kategori GFR ...17
2.3.2.3 Kategori Albuminuria ...18
2.3.3 Patofisiologi Gagal Ginjal ...19
2.3.3.1 Protokol Pasien Gagal Ginjal Kronik ...20
2.3.3.2 Pengobatan Progresi dengan Modifikasi Terapi ...21
2.3.4 Terapi Pengganti Ginjal ...28
(13)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xii
2.4 Rumah Sakit ...31
2.4.1 Pelayanan Farmasi Klinik Di Rumah Sakit...33
2.5 Rekam Medik ...34
BAB 3 METODE PENELITIAN ...36
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...36
3.1.1 Tempat Penelitian ...36
3.1.2 Waktu Penelitian ...36
3.2 Desain Penelitian ...36
3.3 Kerangka Konsep ...37
3.4 Definisi Operasional ...38
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ...42
3.5.1 Populasi ...42
3.5.2 Sampel ...42
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian ...42
3.6.1 Kriteria Inklusi Sample ...42
3.6.2 Kriteria Ekslusi Sampel ...43
3.7 Prosedur Penelitaian...43
3.7.1 Bagan Alur Penelitian ...43
3.7.2 Persiapan Penelitan ...43
3.7.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data...44
3.7.3.1 Penelusuran Dokumen ...44
3.7.4 Manajemen Data ...44
3.7.5 Pengolahan Data ...44
3.8 Analisa Data ...45
3.8.1 Analisa Univariat...44
BAB 4 HASIL DSN PEMBAHASAN ...46
4.1 Hasil Penelitian ...46
4.1.1 Karakteristik Pasien...46
4.1.2 Profil Penggunaan Obat ...48
4.1.2.1 Profil Penggunaan Obat Injeksi ...48
4.1.2.2 Profil Penggunaan Obat Oral ...49
4.1.3 DRPs Kategori Dosis Dibawah Dosis Terapi ...50
4.1.3 DRPs Kategori Dosis Diatas Dosis Terapi ...51
4.2 Pembahasan ...53
4.2.1 Karakteristik Pasien...53
4.2.2 Profil Penggunaan Obat ...55
4.2.3 DRPs Kategori Dosis Dibawah Dosis Terapi ...60
4.2.4 DRPs Kategori Dosis Diatas Dosis Terapi ...61
4.3 Keterbatasan Penelitian ...63
4.3.1 Kendala ...63
4.3.2 Kelemahan ...63
4.3.3 Kekutan ...64
BAB 5 KESIMPULAN ...65
5.1 Kesimpulan ...65
(14)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(15)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xiv
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal Tampak Depan ...7
Gambar 2.2 Struktur Ginjal ...10
Gambar 2.3 Mekanisme Progresi Gangguan Gagal Ginjal Kronik ...20
Gambar 2.4 Strategi Pengobatan Untuk Mencegah Gagal Ginjal Kronik Pada Pasien Diabetes...25
Gambar 2.5 Strategi Pengobatan Untuk Mencegah Gagal Ginjal Kronik Pada Pasien Non Diabetes ...26
Gambar 2.6 Algoritma Manajemen Hipertensi Untuk Pasien GGK ...27
Gambar 2.7 Mesin Dialisis Nipro ...29
Gambar 2.8 Mesin Dialisis Fresenieus ...30
(16)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xv
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi GGK Kategori Penyebab ...16
Tabel 2.2 Klasifikasi GGK Kategori Albuminuria...18
Tabel 3.1 Definisi Operasional ...38
Tabel 4.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Karakteristik ...46
Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta Pada Pasin GGK ...46
Tabel 4.3 Presentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil Penggunaan Obat Injeksi ...48
Tabel 4.4 Presentase Distribusi Jumlah Pasien Berdasarkan Profil Penggunaan Obat Oral ...49
Tabel 4.5 Presentase Prevalensi Dosis Dibawah Dosis Terapi Berdasarkan Jumlah Pasien yang Mengalaminya ...50
Tabel 4.6 Presentase Distribusi Jumlah Dosis Dibawah Dosis Terapi ....50
Tabel 4.7 Presentase Prevalensi Dosis Diatas Dosis Terapi Berdasarkan Jumlah Pasien yang Mengalaminya ...50
(17)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xvi
Lampiran Halaman
Lampiran 1 ...70
Lampiran 2 ...72
Lampiran 3 ...75
Lampiran 4 ...108
Lampiran 5 ...124
(18)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xvii CAD : Coronary Artery Disease CHF : Congestive Heart Failure CKD : Chronic Kidney Disease Clcr : Clearance Creatinine DM : Diabetes Melitus DRP : Drug Related Problem ESRD : End Stage of Renal Disease GERD : Gastroesophagel Reflux Disease GFR : Glomerulus Filtration Rate GGK : Gagal Ginjal Kronik
HHD : Hypertention Heart Disease HT : Hypertension
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus TBC : Tubercolusis
(19)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Brunner & Suddarth, 2001). Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronik jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronik (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan riset kesehatan Kementerian Kesehatan 2013, prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing – masing 0,3 persen. (Riskesdas, 2013)
Gagal ginjal kronik ini berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun
(0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3 persen. (Riskesdas, 2013). Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%),
(20)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
Gagal Ginjal dapat disebabkan beberapa faktor, beberapa diantara yaitu usia, menurunnya masa ginjal, diabetes, hipertensi, dan beberapa penyakit lainnya (Dipiro 6th). Ditambah lagi untuk pasien yang sudah berkomplikasi penyakitnya, pasti membutuhkan obat terapi yang cukup banyak untuk mengatasi gejala penyakitnya. Semakin banyak obat terapi yang digunakan pastinya akan menimbulkan potensi adanya Drug Related Problems pada proses pengobatannya.
DRP (Drug Related Problems) didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak diinginkan atau risiko yang dialami oleh pasien, yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat (Strand et al., 1990). Terjadinya DRP dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang diinginkan. Sebuah DRP sebenarnya adalah peristiwa yang telah terjadi pada pasien, sedangkan DRP potensial adalah suatu peristiwa yang mungkin sekali terjadi jika apoteker tidak melakukan intervensi yang tepat (Nurhalimah, 2012).
Menurut Yahaya Hassan dkk. (2009), salah satu masalah DRP yang paling penting pada pasien penyakit ginjal kronis (GGK) adalah kesalahan dosis obat. Banyak obat dan metabolitnya yang dieliminasi melalui ginjal. Dengan demikian, fungsi ginjal yang memadai penting untuk menghindari toksisitas. Pasien dengan gangguan ginjal sering memiliki perubahan dalam parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Oleh karena itu, pertimbangan khusus harus diambil ketika obat ini diresepkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Meskipun pentingnya penyesuaian dosis pada pasien dengan CKD, penyesuaian tersebut kadang-kadang diabaikan.
Stephanie et.al (2010), menemukan intervensi farmasi yang bersangkutan dengan DRP indikasi tidak diobati (30%), dosis terlalu rendah (25,9%) dan dosis terlalu tinggi (18,3%), pada pasien GGK di RS Universitas Grenoble. Hasil penelitian Nurhalimah (2012) di RSUD dr MM Dunda Limboto, menunjukkan bahwa ketidaksesuaian dosis pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani tahap hemodialisis, secara umum jumlah obat terdiri dari 84 kasus terapi obat yang 24
(21)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(28,75%) diantaranya mengalami DRPs. Jumlah obat yang secara rutin diresepkan untuk 7 pasien (sebagai subyek penelitian) terdapat 3 jenis obat, 2 obat mengalami DRPs kategori tidak tepat dosis yaitu Allupurinol (85,71%) dan Nephrovit Fe (14,28%).
Apoteker memegang peranan penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi. Sebagai seorang apoteker, peningkatan mutu pelayanan ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care), yaitu merupakan suatu kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan (Anonim, 2004). Oleh karena itu, peran seorang apoteker sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan dan pemberian terapi yang tepat, sehingga tidak menimbulkan Drug Related Problems (DRPs). Dengan demikian diperlukan penelitian tentang keberhasilan penatalaksanaan terapi obat melalui evaluasi DRPs untuk pasien gagal ginjal.
Berdasarkan paparan diatas, menunjukan bahwa pentingnya pemilihan obat terutama pada pasien gagal ginjal kronik untuk menghindari atau menurunkan angka terjadinya DRPs khususnya pada kategori penyesuaian dosis, sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas layanan di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara agar tercapai suatu keberhasilan terapi.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini :
1. Salah satu penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik adalah penyakit penyerta yang menunjang terjadinya penyakit Ginjal.
2. Banyaknya penyakit penyerta menyebabkan terjadinya pengobatan yang kompleks
3. Pengobatan yang kompleks dapat menyebabkan terjadinya DRPs.
4. Salah satu DRPs yang paling penting pada pasien GGK adalah kesalahan dosis obat.
(22)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.3Pertanyaan Penelitian
Bagaimana DRPs kategori penyesuaian dosis pada pasien Gagal Ginjal Kronik di Instalasi Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara pada tahun 2014, yang ditinjau dari :
1. Dosis terlalu rendah (under dosage) ? 2. Dosis terlalu tinggi (over dosage) ?
1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah, untuk mengideintifikasi DRPs kategori penyesuaian dosis pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang di Rawat Inap di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara periode tahun 2014.
1.4.2 Tujuan Khusus
Mengetahui DRPs pada pengobatan pasien Gagal Ginjal Kronik yang mendapat terapi obat di Instalasi Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara periode Januari-Juni 2014 yang ditinjau dari :
a. Dosis terlalu rendah (under dosage) b. Dosis terlalu tinggi (over dosage)
1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, bagaimana cara mengevaluasi DRPs kategori penyesuaian dosis pada pasien Gagal Ginjal Kronik di RS Pelabuhan
1.5.2 Metodologi
Metode dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi DRPs kategori penyesuaian dosis pada pasien Gagal Ginjal Kronik.
1.5.3 Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan ataupun informasi bagi dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam pemberian dosis obat pada pasien GGK di RS Pelabuhan.
(23)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Probems (DRPs) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami pasien yang memerlukan atau diduga memerlukan terapi obat dan berkaitan dengan tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Identifikasi DRPs menjadi fokus penilaian dan pengambilan keputusan terakhir dalam tahap proses patient care (Cippole, Strand, Morley, 2004). Drug Related Problems (DRPs) sering disebut juga Drug Therapy Problems atau masalah-masalah yang berhubungan dengan obat. Kejadian DRPs ini menjadi masalah aktual maupun potensial yang kental dibicarakan dalam hubungan antara farmasi dengan dokter. Yang dimaksud dengan masalah aktual DRPs adalah masalah yang sudah terjadi pada pasien dan farmasis harus berusaha menyelesaikannya. Masalah DRPs yang potensial adalah suatu masalah yang mungkin menjadi risiko yang dapat berkembang pada pasien jika farmasi tidak melakukan tindakan untuk mencegah (Rovers, 2003). Jika DRPs aktual terjadi, farmasi sebaiknya mengambil suatu tindakan untuk memecahkan masalah yang terjadi. Bila DRPs potensial terjadi maka farmasis sebaiknya mengambil tindakan seperlunya saja untuk mencegah masalah-masalah yang akan muncul (Roverse, 2003).Mengetahui hal tersebut maka seorang farmasis memegang peran penting dalam mencegah maupun mengendalikan masalah tersebut.
Ada beberapa hal yang termasuk dalam kategori penyebab timbulnya permasalahan yang berhubungan dengan DRPs kategori ketidaktepatan penyesuaian dosis (Cippole dkk, 2004).
1. Dosis terlalu rendah ( too low dosage)
Penyebab terjadinya ialah dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat mengurangi jumlah ketersediaan obat yang aktif, durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan, pemilihan obat, dosis, rute pemberian dan sediaan obat tidak
(24)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tepat. Penyebab dosis rendah, seperti frekuensi pemberian dosis yang tidak sesuai, jarak dan waktu pemberian terapi obat terlalu singkat, penyimpanan obat yang tidak sesuai (misalnya, menyimpan obat di tempat yang terlalu panas atau lembab, menyebabkan degradasi bentuk sediaan dan dosis subterapi), pemberian obat yang tidak sesuai, dan interaksi obat (Mahmoud, 2008).
2. Dosis terlalu tinggi (too high dosage)
Hal ini terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi untuk memberikan efek, dosis obat dinaikkan cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara pemberian obat pada pasien yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran terapi (Strand, et al, 1998). Seorang pasien yang menerima dosis obat yang terlalu tinggi dan mengalami efek toksik yang tergantung dosis atau konsentrasi menunjukkan pasien mengalami DRPs (Cippole et.al 1998). Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, kemampuan ginjal untuk menghilangkan obat-obatan dan metabolitnya menurun, yang akhirnya menyebabkan akumulasi obat dan produk-produk beracun di ginjal. Misalnya, jika dosis prokainamid tidak disesuaikan untuk pasien dengan compromised-fungsi ginjal, N-acetylprocainamide dapat terakumulasi dalam ginjal (Mahmoud, 2008).
3. Interaksi obat
Interaksi obat merupakan hasil interaksi dari obat dengan obat, obat dengan makanan dan obat dengan laboratorium. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang menerima obat dari kelas farmakologis yang berbeda serta dalam kelas farmakologis yang sama (Mahmoud, 2008).
2.2 Ginjal
Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting, seperti : ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi berbagai hormon dan autokoid. (Julianti Aisyah, 2009)
(25)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.1 Anatomi & Fisiologi Ginjal
2.2.1.1Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tertekan kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga keduabelas, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. (Julianti Aisyah, 2009)
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal Tampak Depan [Sumber : Adam.com]
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar-transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung, disebelah posterior (atas) dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan di anterior (bawah) dilindungi oleh bantalan usus yang tebal Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum dan kolon. Struktur Ginjal terdiri atas: (Julianti Aisyah, 2009)
(26)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.1.2Struktur Makroskopik Ginjal
Pada orang dewasa , panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram. Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Ginjal terdiri darai bagian dalam (medula) dan luar (korteks).
1. Bagian dalam (internal) medula. Substansia medularis terdiri dari piramid renalis yang jumlahnya antara 18-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya mengahadap ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta dan diktus koligens terminal.
2. Bagian luar (eksternal) korteks. Substansia kortekalis berwarna coklat merah, konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa, melengkung sapanjang basis piramid yang berdekatan dengan garis sinus renalis, dan bagian dalam diantara piramid dinamakan kolumna renalis. Mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens.
2.2.1.3Struktur Mikroskopik Ginjal
1. Nefron
Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran ginjal terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal manusia memiliki kira-kira 1.3 juta nefron. Setiap nefron bisa membentuk urin sendiri. Karena itu fungsi satu nefron dapat menerangkan fungsi ginjal.
2. Glomerulus
Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut glomerulus, yang terletak didalam korteks, bagian terluar dari ginjal. Tekanan darah mendorong sekitar 120 ml plasma darah melalui dinding kapiler glomerular setiap menit. Plasma yang tersaring masuk ke dalam tubulus. Sel-sel darah dan protein yang besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat melewati dinding dan tertinggal.
(27)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Tubulus kontortus proksimal
Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah disaring oleh glomerulus melalui kapsula bowman. Sebagian besar dari filtrat glomerulus diserap kembali ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler sekitar tubulus kotortus proksimal. Panjang 15 mm dan diameter
55 μm.
4. Ansa henle
Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron ginjal dimana, tubulus menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan kemudian naik kembali kebagian korteks dan membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-14 mm.
5. Tubulus kontortus distalis
Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar kedua. Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada tubulus kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20 ml/menit) mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.
6. Duktus koligen medula
Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus dari ekskresi natrium urin terjadi disini. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi kalsium
(28)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.2 Struktur Ginjal
[Sumber : medicalartlibrary.com]
2.2.1.4Fisiologi Ginjal
Fungsi ginjal menurut Price dan Wilson (2006) di bedakan menjadi dua yaitu fungsi eksresi dan non ekskresi, antara lain:
a. Fungsi ekskresi
1. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 osmol dengan mengubah-ubah ekskresi air.
2. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekskresi Na+.
3. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal.
4. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3-.
(29)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin).
6. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat. b. Fungsi non ekskresi
1. Menghasilkan renin: penting dalam pengaturan tekanan darah. 2. Menghasilkan eritropoetin: meransang produksi sel darah merah
oleh sumsum tulang.
3. Menghasilkan 1,25-dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3menjadi bentuk yang paling kuat.
4. Mengaktifkan prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal. 5. Mengaktifkan degradasi hormon polipeptida.
6. Mengaktifkan insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif (VIP).
Proses pembentukan urine menurut Syaifuddin (2006), glomerulus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai bowman, berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerulus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus, sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal berlanjut ke ureter.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Ada tiga tahap pembentukan urin:
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen Lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai Bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
(30)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorbsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapanya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
c. Proses sekresi
Sisanya penyerapan urine kembali yang pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.
2.2.2 Penilaian Fungsi Ginjal
Estimasi laju filtrasi glomerulus (LFG) sangat penting dalam manajemen klinis pasien dengan penyakit ginjal kronik. LFG digunakan untuk menilai keberadaan dan tingkat fungsi ginjal dan membantu dalam melakukan penyesuaian dosis obat diekskresi melalui ginjal. Pedoman NKF-K/DOQI merekomendasikan modifikasi diet pada penyakit ginjal (Modification of Diet in Renal Disease/MDRD) dan persamaan Cockcroft-Gault sebagai pengukuran yang berguna untuk memperkirakan LFG (Levey et al., 2002). Oleh karena itu, kreatinin serum (SCr) tidak dapat digunakan sendiri untuk menilai tingkat fungsi ginjal karena korelasi nonlinear antara SCr dan fungsi ginjal (Mahmoud, 2008).
2.2.2.1Persamaan Cockcroft-Gault
Persamaan Cockcroft-Gault berasal dari 249 pasien rawat inap (96% laki-laki, rentang usia 18-92 tahun) dengan disfungsi ginjal ringan di Rumah Sakit Queens Mary Veterans di Kanada berdasarkan pengukuran tunggal dari ClCr (klirens kreatinin) 24 jam. Persamaan Cockcroft-Gault memberikan estimasi kuantitatif ClCr dari SCr (Mahmoud, 2008).
(31)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1) Persamaan Cockcroft-Gault:
Laki-laki: ClCr (ml/min) = Wanita: ClCr (ml/min) =
x 0,85
2) Persamaan Cockcroft-Gault disesuaikan dengan Luas Permukaan Tubuh (Body Surface Area/BSA):
Laki-laki: ClCr (ml/min) =
Wanita: ClCr (ml/min) =
Keterbatasan Persamaan Cockcroft-Gault
Persamaan Cockcroft-Gault tergantung pada SCr, yang berhubungan dengan sekresi tubular kreatinin. Hal ini dapat mengakibatkan estimasi LFG yang terlalu tinggi sekitar 10 – 40% pada masing-masing orang dengan fungsi ginjal yang normal (Levey et al., 2002). Selain itu, SCr dapat dipengaruhi oleh banyak faktor non-ginjal seperti diet (misalnya, diet vegetarian dan suplemen kreatinin), massa tubuh (misalnya, amputasi, kekurangan gizi, kekurusan) dan terapi obat (misalnya, simetidin dan trimetoprim). Meskipun keterbatasan ini, persamaan Cockcroft-Gault telah banyak digunakan untuk menentukan dosis obat pada masing-masing orang berdasarkan fungsi ginjal pada pengaturan klinis (Mahmoud, 2008).
2.2.2.2Persamaan MDRD
Persamaan MDRD diperkenalkan oleh Levey et al. pada tahun 1999 untuk mengatasi keterbatasan estimasi LFG berdasarkan ClCr. Pada tahun 1999, persamaan MDRD 6-variabel berasal dari populasi MDRD sebanyak 1.628 pasien dengan gagal ginjal kronik tanpa diabetes (rata-rata LFG 40 ml/menit/1,73m2) yang bersamaan memiliki pengukuran LFG menggunakan iothalamate (Mahmoud, 2008). Persamaan ini dikembangkan menggunakan variabel pasien termasuk usia, SCr, nitrogen urea darah (blood urea nitrogen/BUN), albumin, ras dan jenis kelamin. Kemudian pada tahun 2000, disingkat menjadi versi 4-variabel
(32)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari persamaan MDRD berdasarkan hanya usia, jenis kelamin, ras dan tingkat SCr yang diperkenalkan dan telah menjadi persamaan yang paling diterima dan digunakan dalam pengaturan klinis rawat jalan, menggantikan persamaan MDRD 6-variabel dan persamaan Cockcroft-Gault (Mahmoud, 2008).
1) Estimasi LFG (MDRD 6-variabel)
eLFG = 170 x (SCr)–0,999 x (usia)–0,176 x (0,762 jika wanita) x (1,180 jika orang Afrika Amerika) x (BUN)–0,170 x (Alb)+0,318
2) Estimasi LFG (MDRD 4-variabel)
eLFG = 186 x (SCr)–1,154 x (usia)–0,203 x (0,742 jika wanita) x (1,210 jika orang Afrika Amerika)
Keterbatasan Persamaan MDRD
Estimasi LFG menggunakan persamaan MDRD mengakibatkan tidak mempertimbangkan LFG sebenarnya pada orang sehat, donor ginjal, dan pasien dengan DM tipe 1. Selain itu, 125I-iothalamate (LFGi) dilaporkan lebih sesuai untuk mengukur kadar terbaru dari LFG dibandingkan dengan persamaan MDRD pada pasien rawat inap dengan penyakit ginjal lanjut. Persamaan MDRD belum divalidasi pada anak-anak, wanita hamil, orang lanjut usia (> 70 tahun) atau ras selain Kaukasia dan Afrika Amerika (Mahmoud, 2008).
2.3 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal Ginjal Kronik adalah hilangnya fungsi ginjal secara progresif selama beberapa bulan sampai bertahun – tahun, ditandai dengan penggantian bertahap struktur ginjal normal dengan fibrosis intertisial (DiPiro pharmacotherapy 7th, 858). Keabnormalan struktur dan fungsi ginjal, yang terjadi lebih dari 3 bulan dengan implikasi kesehatan. (KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD).
(33)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.1 Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Menurut DiPiro edisi 6, ada beberapa faktor yang menyebabkam terjadinya GGK yaitu:
1. Faktor Kerentanan (individu)
Faktor ini dapat meningkatkan penyakit ginjal tetapi tidak secara langsung, faktor – faktor ini termasuk :
Usia lanjut
Penurunan masa ginjal, dan BB kelahiran yang rendah Ras dan minoritas suku
Riwayat keluarga
Penghasilan rendah atau pendidikan Inflamasi sistemik
Dislipidemia 2. Faktor Inisiasi
Adalah faktor yang menginisiasi kerusakan ginjal, dapat diatasi dengan terapi obat. Yang termasuk faktor inisiasi adalah :
Diabetes Melitus Hipertensi
Penyakit autoimun Polikista ginjal Toksisitas obat
(34)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Faktor Progresi
Dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Yang termasuk faktor progresi adalah :
Glikemia pada diabetes Hipertensi
Proteinuria Merokok Hiperlipidemia
2.3.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi GGK menurut KDIGO Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD 2012, klasifikasi GGK dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
2.3.2.1Kategori Penyebab
Tabel 2.1 Kategori Penyebab (KDIGO Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2012)
Contoh penyakit sistemik, yang
berpengaruh pada ginjal
Contoh gangguan primer ginjal (tanpa ada penyakit
sistemik yang
berpengaruh pada ginjal) Gangguan
Glomerulus
Diabetes, penyakit autoimmun sistemik, infeksi sistemik, obat - obatan, neoplasia (termasuk amyloidosis)
Difusi, fokal atau proliferasi bulan sabit; fokal dan
glomerusklerosis tersegmentasi, nefropati membran, mpenyakit yang berganti – ganti
Gangguan
Tubulusinterstisial
Infeksi sistemik, autoimmun, sarkiodosis, obat - obatan, asam urat, toxin
(35)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lingkungan (asam aristolisik, sklerosis sistemik
Gangguan Vaskular Arterosklerosis, HT, iskemi, emboli kolesterol, vaskulitik sistemik, pembekuan mikroangiopati, sklerosis sistemik
Displasia fibromuskular, ANCA-berhubungan dengan vaskulitik terbaas pada ginjal
Kista dan Penyakit Bawaan
Polikista ginjal, sidrom alport, penyakaait fabry
Displasia ginjal, kista sumsum tulang belakang, podositopati
Catatan : bahwa ada banyak cara yang berbeda di mana untuk mengklasifikasikan CKD. Metode ini satu – satunya yang memisahkan penyakit sistemik dan penyakit ginjal primer, yang diusulkan oleh Kelompok Kerja, untuk membantu dalam pendekatan konseptual.
2.3.2.2Kategori GFR (Glomerulus Filtration Rate) / LFG (Laju Filtrasi Glomerulus)
1. Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau menurun, LFG 90 ml/min/1,73 m2
2. Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan, LFG 60 – 89 ml/min/1,73 m2
3. Stadium 3: penurunan LFG sedang (moderat), LFG 30 – 59 ml/min/1,73 m2
4. Stadium 4: penurunan LFG berat, LFG 15 – 29 ml/min/1,73 m2 5. Stadium 5: gagal ginjal, LFG < 15 ml/min/1,73 m2 atau dialisis
Catatan : Jika tidak menunjukan kerusakan ginjal, untuk stadium 1 dan 2 tidak memenuhi kriteria GGK (KDIGO Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2012)
(36)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.2.3Kategori Albuminuria
Tabel 2.2 Menurut Albuminuria (KDIGO Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2012) Kategori Laju Ekskresi
Albumin (mg/24 jam)
Rasio Albumin Kreatinin
Kondisi
(mg/mmol) (mg/g)
A1 <30 <3 <30 Meningkat
normal dan perlahan
A2 30-300 3-30 30-300 Meningkat
secara moderat*
A3 >300 >300 >300 Meningkat
dengan parah** Catatan : *relatif untuk tingkatan muda dan dewasa
**termasuk sindrom nefrotik (ekskresi albumin biasanya >2200 mg/24 jam[Rasio albumin-kreatinin > 2220 mg/g;220 mg/mmol]).
Kategori albuminuria merupakan prediktor penting dari hasil. Hubungan tingginya kadar proteinuria dengan tanda-tanda dan gejala sindrom nefrotik sangat dikenali. Deteksi dan evaluasi kecil dari jumlah proteinuria telah mendapatkan hasil yang signifikan. Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya diagnostik, patogen, dan prognosisnya.
(37)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.3 Patofisiologi Gagal Ginjal
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfitrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra dalam Sudoyo, 2006).
Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Akibatnya terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Retensi cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal dapat mengakibatkan edema, gagal jantung kongestif/ CHF, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. CKD juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis 19 metabolik juga terjadi akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi ammonia (NH3-) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Pada stadium paling dini penyakit GGK, terjadi kehilangan daya cadangan ginjal (ranal reserve), pada keadaan mana basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kretinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum menunjukkan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pasien seperti nokturia, badan lemah, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang sangat nyata seperti, anemia,
(38)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, mual muntah dan lain sebagainya. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
2.3.3.1Protokol Pasien Gagal Ginjal Kronik
Gambar 2.3 Mekanisme Progresi Gangguan Gagal Ginjal Kronik
Perkembangan dan progresi GGK tersembunyi. Pasien dengan stadium 1 dan 2 biasanya tidak mempunyai gejala atau ketidak seimbangan cairan metabolik yang terlihat pada stadium 3 sampai 5, seperti anemia, hiperparatiroid sekunder, penyakit kardiovaskular, malnutrisi dan keabnormalan cairan elektrolit yang umum pada fungsi ginjal. Gejala uremia umumnya tidak menyertai oada stadium 1 dan 2, minimal selama stadium 3 dan 4, dan umumnya pada stadium 5 yang juga terbiasa gatal – gatal, alergi dingin, peningkatan berat badan, dan neforpati periferal. Pengobatan bertujuan untuk menunda progresi GGK, dan meminimalisisr perkembangan dan keparahan dari komplikasi (Dipiro, edisi 7).
(39)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.3.2Pengobatan Progresi dengan Modifikasi Terapi
1. Terapi non farmakologi :
Diet rendah protein (0,6 sampai 0,7 g/kg/hari) dapat menunda progresi dari GGKpada pasien dengan atau tanpa diabetes, walaupun efeknya relati kecil. (DiPiro, 7th ed)
2. Terapi Farmakologi : Hiperglikemia :
a. Terapi intensif pada pasien tipe 1 dan 2 diabetes mengurangi komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropaty. Dapat berupa insulin oral dan tes gula darah setidaknya 3 kali sehari
b. Insulin (Inten Novita, 2015) 1. Farmakologi
Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik, yang berperan utama pada protein, karbohidrat, dan metabolisme. Insulin endogen
diproduksi dari proinsulin peptida pada sel β.
2. Karakteristik
Insulin biasanya dikategorikan berdasarkan sumbernya, kekuatan, onset dan durasi kerja. Selain itu insulin memiliki asam amino dalam molekul insulin termodifikasi. Sediaan insulin biasanya U-100 dan U-500, U-100 unit/mL dan 500 unit/mL. 3. Farmakokinetik
Kinetik injeksi subkutan tergantung pada onset, puncak, dan durasi kerja. Penambahan protamin NPH, NPL, dan suspense protamin aspart) atau kelebihan seng maka dapat menunda onset, puncak, dan durasi efek insulin.
Waktu paruh injeksi insulin reguler (IV) yaitu 9 menit. Sehingga wkatu efektif untuk injeksi insulin (IV) lebih pendek. Insulin IV lebih murah daripada
(40)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
insulin lainnya. Insulin terdegradasi di hati, otot, dan ginjal. Insulin dimetabolisme dihati sekitar 20% - 50%, sedangkan dimetabolisme di ginjal sekitar 25% - 20%. Sehingga tidak dianjurkan untuk pasien menggunakan insulin jika terdapat penyakit ginjal stadium akhir.
4. Komplikasi mikrovaskular
Insulin telah terbukti sebagai agen oral untuk mengobati DM. Penelitian di Amerika telah membuktikan bahwa efikasi antara insulin dan sulfonilurea menunjukkan efikasi yang sama dalam penurunan mikrovaskular.
5. Komplikasi makrovaskular
Hubungan antara masalah tingginya kadar insulin (hiperinsulinemia), resistensi insulin, dan kardiovaskular sehingga dapat dipercayai bahwa terapi insulin dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular. Namun UKPDS dan DCCT tidak menemukan hubungan antara komplikasi makrovaskular dengan terapi insulin.
6. Efek samping
Secara umum efek samping insulin yaitu hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien yang instensif melakukan terapi, dan lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1 daripada tipe2. Sehingga pemantauan kadar glukosa darah sangat penting dilakukaan pada pasien yang menggunakan terapi insulin. Jika pasien telah mengalami hipoglikemia yang berat maka akan terjadi takikardia dan berkeringat).
(41)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Dosis dan cara pemberian
Pada pasien DM tipe 1, dosis seharinya 0,5-0,6 unit/kg. Selama penyakit akut atau ketosis resistensi insulin maka dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Dosis diberikan tergantung dengan keadaan patologi pasien.
c. Progresi GGK dapat dibatasi dengan kontrol optimal hiperglikemia dan hipertensi.
Hipertensi :
a. Kontrol tekanan dara secara adekuat dapat mengurangi laju penurunan GFR dan albuminuria dengan pasien atau tanpa diabetes
b. Obat antihipertensi harus dimulai pada pasien diateik ataupun nondiabetik dengan ACEI atau angiotensin II. Nondyhydropyridine dan CCB untuk pilihan kedua c. Klirens ACEI direduksi pada pasien GGK
d. GFR yang biasanya menurun 25 % sampai 30 % pada 3 sampai 7 hari setelah ACEI karena tipe ini
e. Pilihan Utama Obat Antihipertensi pada Pasien GGK : (Intan Mustika, 2009)
1. ACE Inhibitor
ACE inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Dalam JNC VII, ACE-Inhibitor
(42)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik.
2. Angiotensin Reseptor Blocker
Dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa - senyawa ini merelaksasi otot polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan ekskresi garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor angiotensin II secara teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACE inhibitor.
f. Pilihan Kedua Obat Antihipertensi pada Pasien GGK : 1. CCB (Calcium Channel Blocker)
Calcium Channel Blocker bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. Calcium Channel Blocker mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Penelitian NORDIL menemukan diltiazem ekuivalen dengan diuretik dan penyekat beta dalam menurunkan kejadian kardiovaskular.
(43)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.4 Strategi pengobatan untuk mencegah progresi gagal ginjal
kronik pada pasien diabetes
Terapi Penunjang :
a. Diet Protein, pengobatan hilang lemak, kurang merokok, manajemen anemia dapat memperlambat laju progresi GKK.
b. Tujuan utama dari pengobatan megnurangi lemak pada GGK untuk mengurangi resiko untuk arteosklrosis
c. Tujuan kedua untuk mereduksi proteinuria dan penurunan fungasi ginjal
(44)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.5 Strategi pengobatan untuk mencegah progresi gagal ginjal
(45)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.6 Algoritma manajemen Hipertensi untuk pasien GGK. Penyesuaian dosis haru dibuat setiap 2 sampai 4 minggu sesuai kebutuhan.
Dosis salah satu obat harus dimaksimalkan sebelum yang lainnya ditambahkan. (ACEI, angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; BP, blood pressure; CCB, calcium channel
(46)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.4 Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. (Suwitra, 2006).
2.3.4.1Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
(47)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.4.2Jenis – Jenis Hemodyalizer(Rahmanto Bagyo, 2011)
1. Mesin NIPRO Tipe Suridial ™-55PLUS
Surdial 55 plus mudah untuk digunakan sebagai mesin dialisis menawarkan kepada pasien terapi pengganti ginal, untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Mesin ini bersifat efisien yang mengkombinasikan teknologi terdepan dengan fitur – fitur baru yang canggih untuk improvisasi dalam pengobatan.
Gambar 2.7 Mesin Dialisis NIPRO 2. Mesin Fresenius
Mesin dialsis modern dari 2008, 4008, dan 5008 seri dari Fresenius Medical Care membantuk nefrologis untuk menawarkan pengobatan terbaik yang memungkinkan untuk pasiennya. Lebih dari setiap mesin dialisa terjual di dunia tiap tahunnya dari 2 perusahaan situs Schweinfurt, Jerman dan Walnut Geek, California. Mesin dialisa terbaru 5008 sistem terapi, memenangkan German Business Inovation Award in 2006. 5008 sendiri mengatur bagiannya dengan interfase khusus mudah dipakai dan rendah perawatan sebaik mungkin rendah air dan energi yang digunakan. Bahkan, sistem terapi 5008 menawarkan hemodiafiltrasi online sebagain pilihan standarnya. Ini menjadi pengobatan terbaik yang memungkinkan terkini, bahkan menguranginya resiko kematian.
(48)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.8 Mesin Dialisis Fresenius
3. Mesin Nikisso
Terbaru ini Nikisso mengenmbangkan Sistem hemodialisa DBB-07 dengan memenuh kualitas terapi. Biaya terapi yang mirip dengan sistem dialisa yang standard, mesin ini dapat menawarkan setiap dari pasien terapi yang terbaik tanpa tambahan biaya. Layar pengguna yang ramah identik yang dapat menawarakan seri mesin DBB, ditambah lagi untuk capt dan mudah dipelajarinya sistem mesin ini.
(49)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.4.3Dialisis Peritoneal
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
2.3.4.4Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali 3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
2.4 Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah hususnya dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medis modern yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar dan lia, 2003).
(50)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rumah Sakit Umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi rumah sakit A,B,C, dan D. klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan ketenagaan fisik dan peralatan. Klasifikasi Rumah Sakit Umum pemerintah :
1. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan yang pelayanan medis spesialitik luas dan subspesialitik luas.
2. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mampunyai fasilitas dan kemampuan fasilitas pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialis dan subspesialis terbatas.
3. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sait yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar spesialitik dasar.
4. Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan medik dasar (Siregar dan Lia, 2003).
Jenis perawatan yang diadakan di Rumah Sakit:
1. Perawatan penderita rawat tinggal
Dalam perawatan pendeirta rawat tinggal di rumah sakit ada lima unsur tahap pelayanan yaitu:
a. Perawatan intensif adalah perawatan bagi penderita kesakitan hebat yang memerlukan pelayanan khusus selama waktu krisis kesakitannya atau lukanya, suattu ondisi apabila ia tida mampu melakukan kebutuhan sendiri. Ia dirawat dalam ruangan perawatan intensif oleh staf medik dan perawatan khusus.
b. Perawatan intermediet adalah perawatan bagi penderita setelah kondisi kritis membaik, yang dipindahkan dari ruang perawatan intensif ke ruang perawatan biasa. Perawatan intermediet merupakan bagian terbesar dari jenis perawatan dikebanyakan rumah sakit.
c. Perawatan swarawat adalah perawatan yang dilakukan penderita yang dapat merawat diri sendiri, yang datang ke rumah sakit untuk diagnostik saja atau penderita yang kesehatannnya sudah cukup pulih
(51)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari kesakitan intensif atau intermediet, dapat tinggal dalam suatu unit perawatan sendiri (self-care unit).
d. Perawatan kronis adalah perawatan penderita dengan kesakitan atau ketidakmampuan jasmani jangka panjang. Mereka dapat tinggal dalam bagian terpisah rumah sakit atau dalam fasilitas perawatan tambahan atau rumah perawatan yang juga dapat dioperasikan oleh rumah sakit. e. Perawatan rumah adalah perawatan penderita dirumah yang dapat
menerima layanan seperti biasa tersedia dirumah sakit, dibawah suatu program yang disponsori oleh rumah sakit. Perawatan rumah ini adalah penting tetapi sangat sedikit yang diterapkan. Perawatan rumah ini lebih mudah, dan merupakan jenis perawatan yang efektif secara psikologis.
5. Perawatan penderita Rawat Jalan
Perawatan ini diberikan pada penderita melalui klinik, yang menggunakan fasilitas rumah sakit tanpa terikat secara fisik dirumah sakit. Mereka datang kerumah sakit untuk pengobatan atau untuk diagnosis atau datang sebagai kasus darurat (Siregar dan Lia, 2003).
2.4.1 Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. (PermenKes no. 58 tahun 2014).
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi :
a) pengkajian dan pelayanan Resep; b) penelusuran riwayat penggunaan Obat; c) rekonsiliasi Obat;
d) Pelayanan Informasi Obat (PIO); e) konseling;
(52)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g) Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h) Monitoring Efek Samping Obat (MESO); i) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j) dispensing sediaan steril; dan
k) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
2.5 Rekam Medik
Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik dan memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik ini harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving) dan lengkap informasi. Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik.
Definsi rekam medik menurut surat keputusan Direktur jenderal pelayanan medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar dan Lia, 2003).
Kegunaan dari rekam medik :
a) Digunakan sebagai dasar perencanaan berkelanjutan perawatan penderita.
b) Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.
c) Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan atau penderita dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.
d) Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.
e) Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.
(53)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g) Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita.
(54)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian
Pelaksanaan ini dilaksanakan di Ruang Inap Rumah Sakit Pelabuhan dengan alamat Jl. Kramat Jaya Koja Tanjung Priok No. 1 Jakarta Utara 14260.
3.1.2 Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2015. Analisa data dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2015.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi non eksperimental dengan metode cross-sectional, yaitu pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran drug related problems (DRPs) pada kategori penyesuaian dosis yang terjadi pada pasien GGK. Dan juga mendapatkan terapi pengobatan melalui pengumpulan data dari rekam medis (retrospektif) pasien GGK di ruang rawat inap Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara, besar sampel selama periode Januari - Desember 2014 sebanyak 26 dari total 53 populasi pasien.
Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan drug related problem (DRPs) kategori penyesuaian dosis yang terjadi pada pasien GGK.
(55)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3 Kerangka Konsep
Variabel Perancu
Tepat Dosis Tidak tepat
Dosis
Tidak tepat Dosis
Tepat Dosis Penyakit penyerta
Terapi obat yang diberikan pada pasien GGK yang tercatat dalam rekam medis
Obat Terapi GGK
Obat Terapi Penyakit Penyerta
Dosis Terlalu Rendah
Dosis Terlalu Tinggi
Dosis Terlalu Rendah
Dosis Terlalu Tinggi
Lihat Clcr Pasien
Lihat Clcr Pasien
(56)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara
Ukur
Skala
Ukur Kategori
Karakteristik pasien Jenis kelamin Kondisi fisik yang menentukan status seseorang laki-laki atau perempuan. Melihat data rekam medis pasien
Nominal 0.Laki - laki 1.Perempuan
Usia Perhitungan umur
pasien GGK dengan penyakit penyerta. Penggolongan usia berdasarkan DEPKES RI (2009), yaitu:
1) 5 – 11 tahun: masa kanak-kanak
2) 12 – 16 tahun: masa remaja awal
3) 17 – 25 tahun: masa remaja akhir
4) 26 – 35 tahun: masa dewasa awal
5) 35 – 45 tahun:
Melihat data rekam medis pasien
Nominal 0.Dewasa: 26
– 45 tahun 1.Lansia: 46
– 65 tahun 2.Manula: >
(57)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masa dewasa akhir
6) 46 – 55 tahun: masa lansia awal
7) 55 – 65 tahun: masa lansia akhir 8) > 65 tahun:
manula.
Penyakit penyerta Keadaan klinis yang diderita oleh pasien GGK yang dapat atau tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Melihat data rekam medis pasien
Nominal 0. Hipertensi 1. Diabetes
Melitus 2. Anemia 3. Lain-lain
Dosis Terlalu Rendah Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis yang obat terlalu rendah sehingga tidak menimbulkan efek yang
diinginkan (strand et al, 1990).
Persamaan MDRD
Nominal 0. Tepat Dosis 1. Tidak Tepat
Dosis
Dosis Terlalu Tinggi Pasien mempunyai
Persamaan MDRD
Nominal 0. Tepat Dosis
(58)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi dosis yang obat terlalu tinggi sehingga dapat menimbulkan toksisitas atau efek yang tidak diinginkan lainnya (strand et al, 1990).
1. Tidak Tepat Dosis
Drug Related Problems (DRPs)
Peristiwa atau kejadian yang melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan. Kategori DRPs menurut Cipolle et al. (1998)
Ordinal 0. Terjadi DRPs 1. Tidak terjadi DRPs
Klasifikasi GGK, dinilai dari nilai LFGnya
Menurut (KDIGO Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2012) kriteria stadium 1 dan 2 tidak memenuhi GGK, maka kriteria Melihat data rekam medis pasien
Nominal 0. Stadium 3 1. Stadium 4 2. Stadium 5
(59)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
stadium 3, 4 dan 5 memenuhi kriteria GGK
1) Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau menurun, LFG 90 ml/min/1,73 m2
2) Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan, LFG 60 – 89 ml/min/1,73 m2
3) Stadium 3: penurunan LFG sedang (moderat), LFG 30 – 59 ml/min/1,73 m2
4) Stadium 4: penurunan LFG berat, LFG 15 – 29 ml/min/1,73
(60)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
m2
5) Stadium 5: gagal ginjal, LFG < 15 ml/min/1,73 m2 atau dialisis
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian 3.5.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal kronik yang dirawat inap di Rumah Sakit Pelabuhan sebanyak 53 pasen, pada periode Januari sampai dengan Desember 2014.
3.5.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai penelitian
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian 3.6.1 Kriteria Inklusi Sampel
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi untuk sampel kasus dalam penelitian ini ialah :
1. Pasien rawat inap yang menderita GGK pada bulan Januari – Juni 2014. 2. Pasien dengan rekam medis lengkap dan terbaca
(61)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.6.2 Kriteria Eksklusi Sampel
Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Adapun yang termasuk kriteria eksklusi adalah:
1. Pasien pulang paksa
2. Pasien GGK dengan nilai LFG stadium 1 dan 2
3.7 Prosedur Penelitan
3.7.1 Bagan Alur Penelitian
3.7.2 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)
1. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta kepada Kepala Instalasi Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara.
Pengumpulan Rekam Medik
Seleksi Rekam Medik Yang memenuhi kriteria inklusi
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Analisis Data
Hasil
(62)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Penyerahan surat persetujuan peelitian dari Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta.
3.7.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data 3.7.3.1Penelusuran Dokumen
1. Penelusuran data pasien Gagal Ginjal Kronik di ruang rawat inap Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara periode Januari – Juni 2014. 2. Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi.
3. Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam media diruang administrasi medis berupa:
a. Nomor rekam medis
b. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan umur) c. Tanggal perawatan
d. Data penggunaan obat terapi pada pasien GGK e. Data hasil lab
3.7.4 Manajemen Data
Pelaksanaan verifikasi data rekam medis dan pola terapi pengobatan gagal ginjal yang dilanjutkan dengan transkrip data yang dikumpulkan ke dalam logbook dan komputer.
3.7.5 Pengolahan data
1. Editing
Peneliti melakukan penilaian terhadap data mentah, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak memenuhi kriteria penelitian.
2. Coding
Peneliti melakukan pengkodean untuk mempermudah peneliti memasukkan data yang diperoleh dari laboratorium dan rekam medis. 3. Entry data
Peneliti memasukkan data yang telah dilakukan proses coding ke dalam program Microsoft Excel dalam bentuk table.
(63)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Cleaning data
Peneliti melakukan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan kedalam sistem komputer untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data.
3.8 Analisa Data
Analisa data yang dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 akan dianalisis dengan analisa univariat
3.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel (terikat maupun bebas) yang akan diteliti secara deskriptif (Notoatmodjo, 2003). Data yang telah dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun variabel yang diteliti berupa jenis DRPs pada kategori penyesuaian dosis.
(64)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Karakteristik Pasien
Demografi pasien meliputi jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit penyerta. Evaluasi Drug Related Problems pada pasien yang digambarkan secara deskriptif dalam bentuk persentase. Jumlah pasien GGK di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara, terdapat 53 pasien yang menderita GGK dalam setahun. Lalu didapat 26 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.Pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien rawat inap dengan penyakit GGK yang memiliki rekam medis yang lengkap.
Tabel 4.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Karakteristik
No Karakteristik Pasien N= 26 Persentase (%)
1. Berdasarkan usia
Manula > 65 tahun 13 50
Lansia 45 – 65 tahun 10 38,46
Dewasa 26 - 45 tahun 3 11,54
2 Berdasarkan jenis kelamin
Laki – laki 16 61,54
Perempuan 10 38,46
3 Berdasarkan Tingkat Keparahan
Stadium 3 5 19,2
Stadium 4 6 23,1
Stadium 5 15 57,7
Tabel 4.2 Distribusi Penyakit Penyerta Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
No Penyakit Penyerta N= 26 Persentase (%)
1. Hipertensi 8 30,77
2. CHF 7 29,2
3. Diabetes Melitus 4 15,39
4. CAD 6 23,08
5. GERD 6 23,08
6. TBC 2 7,69
7. Colic abdomen 1 3,85
8. Leukimia 1 3,85
9. Colic Renal 1 3,85
10. Ketosidosis 1 3,85
(65)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12. Cellulitis 1 3,85
13. Abses Faringeal 1 3,85
14. HHD 1 3,85
15. Dispnoe 2 7,69
16. Tumor Buli 1 3,85
17. Asidosis Metabolik 1 3,85
18. Stroke non hemorrage 1 3,85
19. Bronkopneumonia 1 3,85
Keterangan : CHF = Congestive Heart Failure; CAD = Coronary Arterial Disease; GERD = Gastroesophageal Reflux Disease, TBC = Tubercolusis, HHD = Hypertension Heart Disease.
Dari tabel diatas, dapat ditemukan bahwa pasien yang menderita GGK paling banyak adalah manula > 65 tahun yakni sebanyak 13 pasien (50%), sedangkan sisanya lansia 46 - 65 tahun sebanyak 10 pasien (38,46%) dan dewasa 26 – 45 tahun sebanyak 3 pasien (11,54%). Berdasarkan jenis kelaminnya pasien yang menderita GGK yang paling banyak adalah berjenis kelamin laki - laki yakni sebanyak 16 pasien (61,54%), sedangkan sisanya perempuan sebanyak 10 pasien (38,46%). Berdasarkan penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi sebanyak 8 pasien (30,77%), CHF sebanyak 7 pasien (26,92%), CAD dan GERD masing masing sebanyak 6 pasien (23,08%), lalu DM sebanyak 4 pasien (15,39%). Sementara penyakit penyerta yang lainnya dibawah 15%. Lalu berdasarkan tingkat keparahannya, pasien stadium III sebanyak 5 pasien (19,2%), stadium IV sebanyak 6 pasien (23,1%), dan stadium V sebanyak 15 pasien (57,7%).
(1)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Ciprofoxacin Prazotec
Vometa
Curcuma Inj Ranitidin Inj Ondansentron Inj Ketorolac Acetensa Glucotica Digoxin Pectocyl Glikuidon Clopidogrel Cobazym V Block Spinorolactone Persantin Furosemid tab' Falergi Inj Gastrofer Inpepsa
0
8 Aminefront Bicnat Amlodipine Novorapid Inj Lasix
0
9 Inj Meropenem
Inj Metronidazole Inj Ondansentron Inj Rindonpump Simvastatin
Acetensa
Nonflamin Pladogrel Inbion ISDN Novorapid Inf Kalnex Inf Vit K Farmadol Vit C
Furosemid tab Interpect Inf Furosemid
Cefixime Vometa
Prazotec
1 Meronidazole +
Acetensa Acetensa +
Furosemide
Metronidazole meningkatkan kadar / efek losartan dengan mempengaruhi metabolisme hati CYP2C9/10. (Moderat)
Losartan meningkatkan dan furosemid
menurunkan serum K. (Moderat)
10 Losartan
Mertrix Glucotica PCT Persantin Inj Ranitidin Inj Ondansentron
Inj Ceftazidim
Inj Rindonpump
Acetensa
Letonal
1 Losartan + Spironolactone
Losartan + Furosemide
Losartan dan
spironolactone keduanya meningkatkan serum K (Moderat)
Losartan meningkat dan furosemid menurunkan serum K. (Moderat)
(2)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Furosemid tab Clonidine Amlodipine Aminefront
Vometa
Cefixime Prazotec 11 Acetensa
Pladogrel Simvastatin Persantin Bicnat
Aminefront
Interpect Inj Stabixin Inj OMZ Inj Furosemid Inj Gastrofer Cedocard Novorapid CaCO3 V Block Furosemid tab Tensivask Cefixime
1 Acetensa + Vblock Mekanisme sinergisme farmakodinamik (Modedrat)
12 Persantin Theobrom syr Cedocard Cordaron
Inj Faslev
Inj Gastrofer Inj Kalmeco Inj Fluxum Citicolin Tensivask Levofloxacin Novorapid
1 Levofloxacin + Novorapid
Levofloxacin meningkatkan efek novorapid dengan sinergisme farmakodinamik (moderat)
13 ISDN Pladogrel Tensivask Bicnat Simvastatin
Acetensa
Inj Ceftriaxone Inj Metil Prednisolon Inj Ranitidin
Cefixime Ranitidine tab
0
14 Bicnat V Block Cipralex Vitazym Vit B12 Ethambutanol INH
Rifampicyn
PZA
Inj Streptomycin
1 PZA + Rifampycin
INH + PZA
Rifampin dan PZA keduanya meningkatkan toksisitasnya satu sama lain dengan sinergisme farmakodinamik (Major)
INH dan PZA keduanya meningkatkan toksisitas satu sama lain dengan sinergisme
(3)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Inj Ranitidin Inj Rindonpump Inj Ondansentron Inj Furosemid Inf Dopamin Cedocard Curcuma Octalbin Cobazym Persantin
Inj Dexamethasone Metycobal
Betaserk N Diatab Lacto B
Inj Metronidazole Prazotec
Pladogrel Alprazolam 15 Sistenol
Inj Cefoperazone Inj Gastrofer Octalbin Inj Furosemid Inj Ketorolac Inj Ondansentron Inj OMZ Laxadine syr Inj Stabixin Interpect ISDN Pladogrel Simvastatin
Acetensa Codipront
V Block Inj Hemapo Fujimin Inj Furosemid Cefixime Lansoprazole Furosemid tab
1 Acetensa + Vblock
Acetensa + Furosemide
Mekanisme sinergisme farmakodinamik (Modedrat)
Losartan meningkatkan dan furosemide menurunkan serum K (moderat)
16 Inj Stabixin Inj Metronidazole Inj Ondansentron Inj Renatac PCT Simarc Farmadol
Tomit drip
Inj Ketorolac Neurosanbe Pladogrel Clopidogrel Cefixime Lansoprazole Furosemid tab Letonal
(4)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KalnexInj Kalmetasone
Inj Kalnex
17 Persantin ISDN Inj Gastrofer Inj Ondansentron Inj Kalmeco Largactil Inj Kalmetasone Mertigo Frego Prazotec 0
18 Imdur
Losartan Spinorolactone Hapsen Aminefront Bicnat Inj Furosemid Pladogrel Tensivask Inj Gastrofer Farneuro CaCO3 Clonidine Acetensa Inj Kalmetasone As. Folat Falergi Ciprofoxacin Fujimin Laxadine syr Albumin Octalbin Prazotec
1 Spironolactone + Furosemid
Losartan + bisoprolol
Bisoprolol +
spironolactone Losartan +
Spironolactone Spironolactone +
CaCO3
Spironolactone meningkatkan dan furosemide menurunkan serum K (moderat)
Bisoprolol dan losartan terjadi mekanisme sinergisme farmakodinamik (moderat)
Bisoprolol dan
spironolactone keduanya meningkatkan serum K (moderat)
Losartan dan
spironolactone keduanya meningkatkan serum K (moderat) Spironolactone menurunkan kadar CaCO3 dengan meningkatkan klirens ginjal (minor) 19 Bicnat
Inj Ranitidin
0 20 Bicnat
Inj Ondansentron Inj Ketorolac Inj Ranitidin Inj Ceftriaxone Inj Dexamethasone ISDN Pladogrel Captopril Laxadine syr Alprazolam Antasid tab Inj Furosemid Inj Rindonpump Prazotec Vometa Cefixime
1 Captopril + Ketorolac
Captopril +
Furosemide Ketorolac +
Captopril Ketorolac +
Furosemide Dexamethasone +
furosemide
Captopril dan ketorolac keduanya meningkatkan toksisitasnya satu sama lain. Dapat menurunkan fungsi ginjal secara partikular pada lansia atau habis secara volume individual (moderat)
Captopril dan furosemide mekanisme sinergisme farmakodinamik, resikonya dapat terjadi akut hipotensi dan ggk (moderat)
Ketorolac menurunkan efek captopril dengan antagonis
farmakodinamik, interaksi yang berpotensi
(5)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berbahaya (moderat)
Ketorolac meningkatn dan furosemide menurunkan serum K (moderat)
Dexa dan furosemide terjadi mekanisme sinergisme
farmakodinamik, berisiko hipokalemia (minor) 21 Pladogrel
PCT Inj Bicnat Inj Stabixin Inj Gastrofer Cedocard ISDN Bicnat Miozidin Dexiclaf forte Inj Ondansentron Inj Ketorolac Inj Dexamethasone Farmadol
Digoxin Inj Fluxum
Inpepsa Syr
Inj Sysmuco Vit K
Inj Kalmetasone Protamin Sulfat
Kalnex
Inj Citicolin
0
22 PZA
Ethambutanol INH
Rifampicyn Nifedipin Atrovastatin Interpect Farneuro Glikuidon Inj Gastrofer Inj Meropenem Bicnat
Cedocard Alprazolam Inj Ondansentron Esilgan
Ventonil Kidmin Neurosanbe Selebrex Hibone ISDN
0
23 ISDN
Aminefront
Bicnat
1 Thrombo
aspillet + furosemide
Aspirin menigkatkan dan furosemid mengurangi serum
(6)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Thrombo aspilletInj Lasix Inj Ondansentron Inj Ranitidin Betahistin Laxadine syr
Antasid tab
Farsic Ondansentron
(K). Efek masih kurang jelas gunakan hati-hati. (moderat)
24 Persantin Inbion As. Folat Clonidine
Captopril
Inj Kalmetasone Inj Ranitidin Inj Ondansentron
Vometa
0
25 ISDN Clonidine Bicnat Amlodipine Inj Ranitidin Inj Ceftriaxone Inj Furosemid Inj Bicnat
0
26 Inj Ondansentron Inj Farmadol Inj Omeprazole Renatac Inj Stabixin Citicolin Kalmeco Neurobion Cefixime
Ranitidine tab
Inj Kalmeco