Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

ANALISA

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK

DENGAN PENYAKIT PENYERTA DI RUMKITAL Dr.

MINTOHARDJO TAHUN 2014

SKRIPSI

DANA YUSSHIAMMANTI FITRIA

1111102000024

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

ANALISA

DRUG RELATED PROBLEMS

(DRPs) PADA

PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK

DENGAN PENYAKIT PENYERTA DI RUMKITAL Dr.

MINTOHARDJO TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

DANA YUSSHIAMMANTI FITRIA

1111102000024

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Dana Yusshiammanti Fitria NIM : 1111102000024

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan di dunia dengan peningkatan insiden, prevalensi, biaya yang tinggi dan outcome yang buruk. Pasien PGK memiliki resiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang semakin parah akibat penyakit penyerta dan drug related problems (DRPs). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis penyakit penyerta dan DRPs pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo. Adapun kategori DRPs yang meliputi ketidaktepatan pemilihan obat, ketidaktepatan penyesuaian dosis, indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi dan interaksi obat. Penelitian ini juga untuk mengetahui pengaruh antara jumlah penyakit penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh jumlah penggunaan obat terhadap jumlah DRPs. Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan rancangan penelitian

cross sectional (potong lintang), dengan pengumpulan data secara retrospektif. Data yang digunakan adalah data rekam medis. Data yang diperoleh dikaji secara deskriptif berdasarkan literatur. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit penyerta yang sering dialami pasien adalah anemia (75,0%) dengan kejadian DRPs terbanyak ialah interaksi obat (81,9%), diikuti ketidaktepatan penyesuaian dosis (overdosis 11,2%; subterapi 2,0%), indikasi tanpa obat (3,2%) dan ketidaktepatan pemilihan obat (1,7%). Jumlah penyakit penyerta tidak berpengaruh secara bermakna terhadap jumlah DRPs (P = 0,493). Jumlah penggunaan obat berpengaruh secara bermakna terhadap jumlah DRPs (P = 0,000).


(7)

ABSTRACT

Name : Dana Yusshiammanti Fitria Major Study : Pharmacy

Title : Analysis of Drug Related Problems (DRPs) Inpatient Chronic Kidney Disease with Comorbidities in the Naval Hospital Dr. Mintohardjo 2014

Chronic Kidney Disease (CKD) is a health problem in the world with an increased incidence, prevalence, high costs and poor outcomes. CKD patients have a decreased risk of worsening of renal function due to concomitant disease and drug related problems (DRPs). This study aims to determine the type of comorbidities and DRPs in hospitalized patients with CKD in the naval hospital Dr. Mintohardjo. The categories of DRPs which include improper drug selection, improper dosage adjustment, indications without drugs, drugs without indication and drug interactions. This study was also to determine influence of the number of comorbidities on the number of DRPs and influence the amount of drug use on the number of DRPs. This study is an observational study using cross sectional study design, with retrospective data collection. The data used are the medical records. The data obtained were examined descriptively based on the literature. This study shows that comorbidities that are often experienced by patients is anemia (75,0%) with the highest incidence of DRPs is a drug interaction (81,9%), followed by improper dosage adjustment (overdosage 11,2%; underdosage 2,0%); indication without drug (3,2%) and improper drug selection (1,7%). Number of comorbidities did not influence significantly on the number of DRPs (P = 0,493). The amount of drug use significantly affect on the number of DRPs (P = 0,000).


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada saya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014”. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. dan Ibu Siti Fauziyah, S.Si, M.Farm., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam penelitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen pembimbing akademik Farmasi kelas A tahun ajaran 2011.

4. Seluruh pihak dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.

5. Seluruh civitas Departemen Farmasi Rumkital Dr. Mintohardjo yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang sangat besar.


(9)

6. Bapak Ari beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi medik dan seluruh kepala perawat ruangan yang telah banyak membantu kelancaran dalam pengambilan data.

7. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Muhammad Yusuf dan ibunda Yani Maryani yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil, cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga saat ini.

8. Kakak tersayang M. Deni Mardiansyah D. dan Ka Mayang Gentra, serta seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis. 9. Novila Tari, Yulia Nurbaiti Raihana, Qurry Mawaddana, Fathiyah, Wafa,

Rika Chaerunisa, Firda Khanifah, Nurul Hikmah Tanjung, Meri Rahmawati, Khoirunnisa Robbani, Henny Pradikaningrum, atas kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan mendengarkan penulis.

10. Teman seperjuangan penelitian Siti Ulfah Bilqis, Khabbatun Ni’mah dan Athirotin Halawiyah atas masukan, bantuan, kesabaran, dan semangat selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi.

11. Teman-teman Acl6 dan Farmasi 2011 khususnya Farmasi 2011 kelas AC atas kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan. 12. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan

penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis berharao kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.

Ciputat, 29 Desember 2015


(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan Penelitian ...4

1.4 Manfaat Penelitian ...5

1.4.1 Manfaat Bagi Penulis ...5

1.4.2 Manfaat Bagi Rumkital Dr. Mintohardjo ...5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...7

2.1 Drug Related Problems ...7

2.1.1 Klasifikasi Drug Related Problems ...7

2.1.1.1 Ketidaktepatan Pemilihan Obat ...8

2.1.1.2 Ketidaktepatan Penyesuaian Dosis ...8

2.1.1.3 Indikasi Tanpa Obat ...9

2.1.1.4 Obat Tanpa Indikasi ...9

2.1.1.5 Reaksi Obat yang Merugikan ...9

2.1.1.6 Interaksi Obat ...10

2.1.1.7 Ketidaktepatan Pemantauan Laboratorium ...13

2.1.1.8 Ketidakpatuhan Pasien ...13

2.2 Ginjal ...14

2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal ...14

2.2.1.1 Anatomi ...14

2.2.1.2 Struktur Makroskopis ...14

2.2.1.3 Struktur Mikroskopis ...17

2.2.1.4 Fisiologi ...19

2.2.2 Penilaian Fungsi Ginjal ...21

2.2.2.1 Persamaan Cockroft-Gault ...21

2.2.2.2 Persamaan MDRD ...22

2.3 Penyakit Ginjal Kronik ...23


(12)

2.3.2 Etiologi ...24

2.3.3 Klasifikasi...25

2.3.3.1 Penyebab ...25

2.3.3.2 Kategori Laju Filtrasi Glomerulus ...26

2.3.3.3 Kategori Albuminuria ...27

2.3.4 Patofisiologi ...27

2.3.4.1 Protokol Pasien Penyakit Ginjal Kronik ...29

2.3.4.2 Pengobatan Progresi dengan Modifikasi Terapi ....30

2.3.5 Terapi Pengganti Ginjal ...36

2.3.5.1 Hemodialisis ...36

2.3.5.2 Dialisis Peritoneal ...36

2.3.5.3 Transplantasi Ginjal ...37

2.4 Rumah Sakit ...37

2.4.1 Pelayanan Farmasi Klinis di Rumah Sakit ...40

2.5 Rekam Medis ...40

BAB 3 METODE PENELITIAN ...42

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...42

3.3 Bahan Penelitian ...42

3.4 Desain Penelitian ...42

3.5 Kerangka Konsep ...43

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ...43

3.6.1 Populasi ...43

3.6.2 Sampel ...44

3.7 Definisi Operasional ...45

3.8 Alur Penelitian ...46

3.8.1 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) ...46

3.8.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data...46

3.8.3 Manajemen Data ...47

3.8.4 Pengolahan Data ...47

3.8.5 Analisa Data ...48

3.8.5.1 Analisa Univariat ...48

3.8.5.2 Analisa Bivariat ...48

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...50

4.1 Analisa Univariat ...50

4.1.1 Karakteristik Pasien...50

4.1.2 Profil Penggunaan Obat ...55

4.1.2.1 Jumlah Penggunaan Obat ...57

4.1.3 Drug Related Problems (DRPs) ...58

4.1.3.1 DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat ...59

4.1.3.2 DRPs Ketidaktepatan Penyesuaian Dosis ...61

4.1.3.3 DRPs Indikasi Tanpa Obat ...64

4.1.3.4 DRPs Obat Tanpa Indikasi ...67

4.1.3.5 DRPs Interaksi Obat ...67

4.2 Analisa Bivariat ...70


(13)

4.3.1 Kendala...71

4.3.2 Kelemahan ...72

4.3.3 Kekuatan...72

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...73

5.1 Kesimpulan ...73

5.2 Saran ...74

DAFTAR PUSTAKA ...75


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal Tampak dari Depan...14

Gambar 2.2 Letak Anatomi Ginjal ...15

Gambar 2.3 Struktur Makroskopis Ginjal ...16

Gambar 2.4 Proses Pembentukan Urin ...21

Gambar 2.5 Mekanisme Progresi Gangguan Penyakit Ginjal Kronik ...29

Gambar 2.6 Strategi Pengobatan untuk Mencegah Progresi Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien Diabetes ...33

Gambar 2.7 Strategi Pengobatan untuk Mencegah Progresi Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien Non Diabetes...34

Gambar 2.8 Algoritma Manajemen Hipertensi untuk Pasien Penyakit Ginjal Kronik ...35

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep ...43

Gambar 4.1 Hasil Uji Kai-kuadrat Pengaruh Jumlah Penyakit Penyerta terhadap Jumlah DRPs ...70

Gambar 4.2 Hasil Uji Koefisiensi Kontingensi Pengaruh Jumlah Penyakit Penyerta terhadap Jumlah DRPs ...70

Gambar 4.3 Hasil Uji Kai-kuadrat Pengaruh Jumlah Penggunaan Obat terhadap Jumlah DRPs ...71


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penyebab PGK menurut KDIGO 2012 Clinical Practice

Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2013 ...25

Tabel 2.2 Kategori Albuminuria menurut KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2013 ...27

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel dalam Penelitian ...45

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Penyakit Ginjal Kronik ...50

Tabel 4.2 Data Distribusi Penyakit Penyerta ...54

Tabel 4.3 Data Distribusi Penggunaan Obat ...56

Tabel 4.4 Data Distribusi Jumlah Penggunaan Obat ...57

Tabel 4.5 Data Distribusi Pasien Berdasarkan Kategori DRPs ...58

Tabel 4.6 Data Distribusi Pasien DRPs Ketidaktepatan Pemilihan Obat ...60

Tabel 4.7 Data Distribusi Pasien DRPs Dosis Obat Terlalu Tinggi ...61

Tabel 4.8 Data Distribusi Pasien DRPs Dosis Obat Terlalu Rendah ...62

Tabel 4.9 Data Distribusi Pasien DRPs Indikasi Tanpa Obat ...64

Tabel 4.10 Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Tipe Mekanisme Interaksi Obat ...68


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan ...81

Lampiran 2. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Rumkital Dr. Mintohardjo ...82

Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian di Ruang Administrasi ...83

Lampiran 4. Kriteria Penilaian DRPs ...84

Lampiran 5. Data Pasien ...87

Lampiran 6. Data Obat ...131

Lampiran 7. Penilaian DRPs yang Dialami Pasien Penyakit Ginjal Kronik ...138


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktur ataupun fungsi dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang ditandai dengan kelainan patologis; atau tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah dan urin, atau kelainan dalam imaging test. Jika tidak ada kelainan patologis, penegakan diagnosa didasarkan pada LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Dikatakan sebagai gagal ginjal terminal (GGT) ketika LFG kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2 (Levey, A. S., et al., 2005).

PGK merupakan masalah kesehatan dunia dengan peningkatan insiden,

prevalensi, biaya yang tinggi dan “outcome” yang buruk (Levey, A. S., et al.,

2005). Pasien dengan gangguan fungsi ginjal sering mengalami perubahan parameter farmakokinetik seperti absorbsi, distribusi, ikatan protein, metabolisme dan ekskresi obat melalui ginjal. LFG akan semakin rendah akibat penyakit ginjal atau penuaan. Keadaan ini berakibat waktu eliminasi obat diperpanjang sehingga mempengaruhi aktivitas farmakologi dan toksisitas obat. Gangguan ginjal juga berpengaruh terhadap farmakodinamik obat akibat perubahan fisiologis dan biokimia yang berhubungan dengan progresivitas insufisiensi ginjal.

Kompleksitas pengobatan pada pasien PGK meningkatkan potensi drug related problems (DRPs). Seiring dengan penurunan fungsi ginjal maka jenis dan jumlah pengobatan untuk pasien bertambah, sehingga akan memperbesar resiko DRPs. DRPs telah diketahui berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas hidup (Mahmoud, 2008).

Menurut United State Renal Data System (USRDS), di Amerika Serikat prevalensi PGK meningkat dari tahun 1994 ke 1999-2004. Pada tahun 1988-1994 sebesar 12,0% dan tahun 1999-2004 sebesar 14,0% (USRDS, 2014).


(18)

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), terjadi peningkatan pasien yang melakukan hemodialisis dari tahun 2007 – 2012.

Riset Kesehatan Dasar (2013) menyatakan bahwa dari jumlah responden usia 15 tahun sebanyak 722.329 orang (347.823 laki-laki, 374.506 wanita), prevalensi PGK berdasarkan diagnosa dokter di Indonesia sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur masing-masing 0,3 persen. Prevalensi PGK berdasarkan wawancara yang didiagnosa dokter meningkat seiring dengan bertambahnya usia, meningkat tajam pada kelompok usia 35 – 44 tahun (0,3%), diikuti usia 45 – 54 tahun (0,4%) dan usia 55 – 74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok usia ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%) (Riskesdas, 2013).

Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs adalah suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan terapi obat yang benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2010).

Terjadinya DRPs dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang diinginkan. Namun, DRPs umum terjadi pada pasien PGK. Berdasarkan suatu penelitian, dilakukan korelasi untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara DRPs dengan jumlah obat, jumlah dosis obat per hari, jumlah kondisi penyerta, usia pasien dan durasi dari penyakit gagal ginjal kronik terminal, sekaligus mengontrol status diabetes melitus (DM). Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa DRPs lazim terjadi di semua pasien hemodialisis (HD). Catatan medis dari 133 pasien dievaluasi. Pasien berusia 60.5 ± 15.2 tahun, yang diresepkan 11.0 ± 4.2 obat dan memiliki 6.0 ± 2.3 penyakit penyerta. DRPs terjadi pada 97,7% pasien dengan 475 DRPs yang teridentifikasi, rata-rata 3.6 ± 1.8 DRPs per pasien. DRPs berkorelasi positif dengan jumlah penyakit penyerta pasien (P <0.001). Jumlah DRPs meningkat pada masing-masing pasien sama dengan meningkatnya jumlah kondisi penyerta. DRPs yang paling banyak terjadi adalah obat tanpa indikasi (30,9%), ketidaktepatan pemantauan laboratorium


(19)

(27,6%), indikasi tanpa obat (17,5%) dan ketidaktepatan penyesuaian dosis (15,4%) (Manley, H. J., et al., 2003a). Hasil penelitian Manley, H. J., et al. (2003b) diketahui 66 pasien dengan 354 DRPs, berusia 62.6 ± 15.9 tahun, memiliki 6.4 ± 2.0 kondisi penyerta, yang menerima 12.5 ± 4.2 obat, menunjukkan bahwa DRPs yang paling sering terjadi ialah reaksi obat yang merugikan (ADR/Adverse Drug Reactions) sebanyak 20,7% dan indikasi tanpa obat sebanyak 13,5%.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Manley, H. J., et al. (2005), untuk mengetahui frekuensi, jenis dan keparahan DRPs pada pasien hemodialisis di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DRPs teridentifikasi sebanyak 1.593 kasus pada 395 pasien (51,2% pria; usia, 52,4 ± 8,2 tahun; 42,7% dengan diabetes). Jenis DRPs yang paling sering ditemukan adalah ketidaktepatan pemantauan laboratorium (23,5%) dan indikasi tanpa obat (16,9%). Ketidaktepatan penyesuaian dosis ditemukan sebanyak 20,4% dari seluruh DRPs yang teridentifikasi (dosis subterapi 11,2%; overdosis9,2%).

Suatu studi dilakukan untuk mengidentifikasi kasus DRPs pada pasien PGK di Perancis, diperoleh data bahwa ditemukan DRPs sebanyak 142 kasus pada 93% pasien terutama indikasi tanpa obat (31,7%) dan dosis tidak tepat (19%). Resiko kejadian DRPs meningkat signifikan terhadap kondisi lanjut usia (P = 0.0027) dan jumlah pengobatan (P = 0.049) (Belaiche, S., et al., 2012).

Salah satu penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa DRPs yang terjadi, diantaranya ketidaktepatan penyesuaian dosis (dosis berlebih sebanyak 6 kasus (5,55%); dosis kurang sebanyak 1 kasus (0,92%)), ketidaktepatan pemilihan obat sebanyak 8 kasus (7,40%) dan interaksi obat sebanyak 14 kasus (12,96%) (Faizzah, N., 2012).

Tujuan untuk memperbaiki kualitas dalam penggunaan obat di masyarakat secara umum dan pasien secara khusus maka perlu dilakukan identifikasi masalah dan error dalam struktur dan proses pengobatan. Hal itu dimaksudkan untuk memperbaiki outcome perawatan dan untuk mengurangi error

pasien. Penurunan kejadian DRPs pada pasien dialisis dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kualitas hidup (Manley, H. J., et al., 2005).


(20)

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa terapi obat yang diberikan pada pasien PGK dengan penyakit penyerta menjadi hal yang penting untuk mendapatkan perhatian tenaga kesehatan, terutama tenaga kefarmasian dan apoteker. Penelitian analisa DRPs pada pasien PGK dengan penyakit penyerta belum pernah dilakukan di RS TNI Angkatan Laut (Rumkital) Dr. Mintohardjo. Analisa DRPs yang dilakukan pada penelitian ini mengadaptasi kategori DRPs menurut Cipolle, R. J., et al. (1998) yang telah dimodifikasi, yaitu ketidaktepatan pemilihan obat, ketidaktepatan penyesuaian dosis (subterapi atau overdosis), indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi dan interaksi obat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis penyakit penyerta dan jenis DRPs pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo serta untuk mengetahui pengaruh antara jumlah penyakit penyerta dengan jumlah DRPs dan pengaruh antara jumlah penggunaan obat dengan jumlah DRPs yang dialami pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apa jenis penyakit penyerta yang sering terjadi pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014?

2. Apa jenis DRPs yang terjadi pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014?

3. Bagaimana pengaruh jumlah penyakit penyerta terhadap jumlah DRPs dan pengaruh jumlah penggunaan obat terhadap jumlah DRPs pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan pada penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui jenis penyakit penyerta yang sering terjadi pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014. 2. Mengetahui jenis DRPs yang terjadi pada pasien rawat inap dengan


(21)

3. Mengetahui pengaruh antara jumlah penyakit penyerta dengan jumlah DRPs yang dialami pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014.

4. Mengetahui pengaruh antara jumlah penggunaan obat dengan jumlah DRPs yang dialami pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1.4.1 Manfaat Bagi Penulis

1. Dapat mengetahui DRPs pada pasien PGK dengan penyakit penyerta sehingga dapat menerapkan materi yang didapat selama mengikuti perkuliahan dan mengaplikasikannya di lapangan.

2. Mengetahui jenis DRPs yang paling sering terjadi pada pasien PGK dengan penyakit penyerta sehingga perlu diperhatikan untuk meningkatkan pelayanan mutu kesehatan pada pasien.

3. Mendapatkan pengalaman dan keterampilan di bidang analisa DRPs pada pasien PGK dengan penyakit penyerta.

1.4.2 Manfaat Bagi Rumkital Dr. Mintohardjo

1. Memberikan informasi penyakit penyerta yang sering terjadi pada pasien rawat inap dengan PGK di Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014.

2. Memberikan informasi kepada rumah sakit terkait dengan jenis DRPs yang terjadi pada pasien PGK dengan penyakit penyerta di ruang rawat inap Rumkital Dr. Mintohardjo tahun 2014.

3. Menjadi referensi bagi dokter dan tenaga kefarmasian mengenai penggunaan obat pada pasien PGK dengan terapi obat untuk penyakit penyerta sehingga dapat mengurangi angka kejadian DRPs.


(22)

4. Memberikan saran bagi dokter dan tenaga kefarmasian dalam meningkatkan pemberian terapi optimal sehingga diperoleh terapi yang efektif, aman dan efisien.

5. Menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan evaluasi dan saran bagi pihak RS dalam kebijakan untuk menentukan standar pelayanan kesehatan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di bangsal internis yang merupakan ruang rawat inap pasien penyakit dalam dan bagian hemodialisis Rumkital Dr. Mintohardjo. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada periode bulan Juni hingga Juli 2015 dan analisa data pada bulan Agustus hingga Oktober 2015. Bahan penelitian yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data rekam medis.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Seorang farmasis memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien (Patient Oriented). Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care).

Praktek Pharmaceutical care merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Permenkes, 2014). Salah satu wujud kegiatan ini adalah dengan melakukan suatu analisa terhadap drug related problems (DRPs) dari setiap terapi yang dipertimbangkan serta diberikan kepada pasien.

2.1 Drug Related Problems

Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) mendefinisikan DRPs adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (PCNE, 2010). DRPs dapat juga dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome

terapi pasien (Cipolle, R. J., et al., 1998).

Terdapat dua jenis DRPs, yaitu DRPs aktual dan potensial. Keduanya memiliki perbedaan tetapi pada kenyataannya problem yang muncul tidak selalu terjadi dengan segera dalam prakteknya. DRPs aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan DRPs potensial dikarenakan resiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun tangan (Rovers, J. P., et al., 2003).

2.1.1 Klasifikasi Drug Related Problems

Cipolle, R. J., et al. (1998), secara luas mengkategorikan DRPs ke dalam 8 kelompok (Mahmoud, 2008).


(24)

2.1.1.1 Ketidaktepatan Pemilihan Obat

Ketidaktepatan pemilihan obat merupakan keadaan dimana pasien telah diresepkan obat yang salah. Pertama, terapi obat yang digunakan untuk mengobati kondisi medis pasien tidak efektif. Kedua, obat yang diterima pasien bukan merupakan obat yang paling efektif. Ketiga, pasien mempunyai kontraindikasi atau menimbulkan alergi terhadap obat yang diterima. Keempat, pasien menerima kombinasi obat yang sama efektifnya dengan terapi obat tunggal. Kelima, pasien menerima obat yang lebih mahal bukan obat yang lebih murah dan memiliki efektivitas yang sama (Mahmoud, 2008).

2.1.1.2 Ketidaktepatan Penyesuaian Dosis

Ketidaktepatan penyesuian dosis merupakan keadaan dimana pasien menerima terapi obat dengan dosis obat yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.

a. Dosis rendah

Hal ini sering menantang bagi tenaga kesehatan untuk memastikan dosis obat yang sesuai untuk pasien yang melakukan dialisis karena potensi kenaikan komorbiditas dari waktu ke waktu dan mengubah parameter laboratorium, parameter farmakokinetik dan farmakodinamik, dan perawatan dialisis. Pemantauan yang hati-hati dan terus-menerus dari perkembangan pasien selain penyesuaian dosis obat oleh apoteker klinis yang memperhitungkan semua obat yang tepat, penyakit dan informasi spesifik pasien dapat menurunkan jumlah masalah dosis pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Selain itu, parameter seperti usia dan berat badan sering dapat berguna untuk membantu dalam menentukan dosis obat yang optimal untuk pasien (Mahmoud, 2008).

Penyebab dosis rendah, seperti frekuensi pemberian dosis yang tidak sesuai, jarak dan waktu pemberian terapi obat terlalu singkat, penyimpanan obat yang tidak sesuai (misalnya, menyimpan obat di tempat yang terlalu panas atau lembab, menyebabkan degradasi bentuk sediaan dan dosis subterapi), pemberian obat yang tidak sesuai dan interaksi obat (Mahmoud, 2008).

b. Dosis tinggi

Seperti yang dinyatakan oleh Cipolle, R. J., et al. (1998), ketika seorang pasien menerima dosis obat yang terlalu tinggi dan mengalami efek toksik yang


(25)

tergantung dosis atau konsentrasi menunjukkan pasien mengalami DRPs. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, kemampuan ginjal untuk menghilangkan obat-obatan dan metabolitnya menurun, yang akhirnya menyebabkan akumulasi obat dan produk-produk beracun di ginjal (Mahmoud, 2008).

2.1.1.3 Indikasi Tanpa Obat

Indikasi tanpa obat adalah terjadi ketika pasien mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat, pasien menderita penyakit kronis lain sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan, pasien membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis, pasien berpotensi untuk mengalami resiko gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaksis atau premedikasi (Mahmoud, 2008).

2.1.1.4 Obat Tanpa Indikasi

Obat tanpa indikasi adalah terjadi ketika seorang pasien mengambil terapi obat yang tidak perlu, yang indikasi klinisnya tidak ada pada saat itu. Ada beberapa penyebab obat tanpa indikasi (Mahmoud, 2008)

Pertama, kondisi medis dapat lebih tepat diobati dengan terapi tanpa obat seperti diet, olahraga atau operasi. Kedua, pasien mungkin pada terapi obat untuk mengobati Adverse Drug Reactions (ADR) yang disebabkan obat lain. Ketiga, penyalahgunaan narkoba, tembakau dan konsumsi alkohol semua mungkin menyebabkan masalah. Keempat, terapi obat kombinasi dapat digunakan untuk mengobati kondisi yang hanya membutuhkan terapi obat tunggal. Sebagai contoh, beberapa pasien menerima lebih dari satu pencahar untuk pengobatan sembelit; beberapa pasien menerima lebih dari satu antidiarel untuk pengobatan diare; dan beberapa pasien menerima lebih dari satu analgesik untuk pengobatan nyeri (Mahmoud, 2008).

2.1.1.5 Reaksi Obat yang Merugikan

Reaksi obat yang merugikan merupakan efek negatif yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh obat-obatan yang tidak dapat diprediksi berdasarkan konsentrasi dosis atau tindakan farmakologis (Mahmoud, 2008).


(26)

Seperti yang dinyatakan oleh Cipolle, R. J., et al. (1998), reaksi obat yang merugikan didefinisikan sebagai efek negatif yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh obat-obatan yang tidak dapat diprediksi berdasarkan konsentrasi dosis atau tindakan farmakologis. Menurut WHO, reaksi obat yang merugikan (Adverse Drug Reactions/ADR) digambarkan sebagai tanggapan terhadap obat yang berbahaya dan yang tidak diinginkan, dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis (Mahmoud, 2008).

Seorang pasien dapat mengalami ADR karena pemberian obat yang tidak aman, reaksi alergi, pemberian obat yang salah, interaksi obat, penurunan atau peningkatan dosis yang cepat atau efek yang tidak diinginkan dari obat yang tidak bisa diprediksi, Misalnya, perdarahan karena dosis yang lebih tinggi dari obat antikoagulan seperti warfarin atau heparin merupakan ADR (Mahmoud, 2008).

2.1.1.6 Interaksi Obat

Jika ada reaksi alergi terhadap obat, pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan, dan ada interaksi dengan obat lain sehingga hasil laboratorium berubah akibat penggunaan obat tersebut.

Interaksi obat merupakan hasil interaksi dari obat dengan obat, obat dengan makanan dan obat dengan laboratorium. Hal ini dapat terjadi pada pasien yang menerima obat dari kelas farmakologis yang berbeda serta dalam kelas farmakologis yang sama (Mahmoud, 2008).

Mekanisme Interaksi Obat

Dapat dikatakan interaksi jika terjadi efek dari satu obat yang dipengaruhi dengan adanya obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa bahan kimia. Hasil interaksi dapat berbahaya jika terjadi peningkatan toksisitas obat. Namun, terdapat juga interaksi obat yang tidak benar-benar mempengaruhi sama sekali seperti efek aditif dari kedua obat yang memiliki efek yang sama, contohnya: efek gabungan dari dua atau lebih obat antidepresan atau obat yang mempengaruhi QT interval. Namun, terkadang istilah interaksi obat digunakan ketika terjadi reaksi fisiko-kimia antara obat yang dicampur dalam


(27)

suatu infus (Stockley, I. H., 2008). Mekanisme interaksi obat dibagi menjadi 2 secara umum, yaitu:

Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME).

Sebagai contoh, ranitidin mengurangi klirens metformin di ginjal dengan menghambat sekresi metformin di tubular ginjal sehingga kadar plasma metformin dapat meningkat dan dapat meningkatkan efek farmakologisnya (farmakokinetik, moderat). Interaksi farmakokinetik terdiri dari dari beberapa tipe:

a. Interaksi pada absorpsi obat

Ketika obat diberikan secara oral maka akan terjadi penyerapan melalui membran mukosa dari saluran pencernaan dan sebagian besar interaksi terjadi pada penyerapan di usus.

b. Interaksi pada distribusi obat

Pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: interaksi ikatan protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat.

c. Interaksi pada metabolisme obat

Reaksi-reaksi yang dapat terjadi pada saat tahap metabolisme, yaitu: yang pertama perubahan pada first pass metabolism salah satu pada perubahan aliran darah ke hati dan inhibisi atau induksi first pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga inhibisi enzim, keempat faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi isoenzim CYP450.

d. Interaksi pada ekskresi obat

Sebagian besar obat dieksresikan melalui empedu atau urin, pengecualian untuk obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dari perubahan pH, perubahan aliran darah di ginjal, ekskresi empedu dan ekskresi tubulus ginjal (Stockley, I. H., 2008).

Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek dari satu obat terjadi perubahan karena adanya obat lain. Terkadang obat bersaing untuk reseptor tertentu misalnya agonis beta-2, seperti salbutamol, dan beta bloker seperti


(28)

propranolol) namun seringkali reaksi terjadi secara langsung dan mempengaruhi mekanisme fisiologi. Interaksi ini diklasifikasikan menjadi beberapa tipe:

a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama dan diberikan secara bersamaan maka dapat memberikan efek yang aditif. Sebagai contoh alkohol menekan SSP dan jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar (misalnya, ansiolitik, hipnotik, dll.) dapat meningkatkan efek mengantuk.

b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Interaksi ini berbeda dengan interaksi aditif, dimana ada beberapa pasang obat dengan kerja yang bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh, kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat kompetitif efek vitamin K (Stockley, I. H., 2008).

Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatan keparahan:

1. Keparahan minor

Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan. Contoh interaksi minor adalah interaksi hidralazin dan furosemid, dimana efek farmakologis furosemid dapat meningkat jika diberikan bersamaan dengan hidralazin tetapi secara klinis tidak signifikan. Interaksi obat minor dapat diatasi dengan menilai rejimen pengobatan.

2. Keparahan moderate

Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan pemantauan. Sebagai contoh, obat rifampisin dan isoniazid yang dapat menyebabkan peningkatan terjadinya hepatotoksisitas. Namun, kombinasi ini masih sering digunakan dan diiringi dengan melakukan pemantauan enzim hati.

3. Keparahan major

Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius. Sebagai contoh, ketokonazol yang dapat menyebabkan peningkatan cisaprid sehingga dapat memperpanjang interval QT dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, kombinasi ini tidak disarankan untuk digunakan (Atkinson, A., et al., 2007).


(29)

2.1.1.7 Ketidaktepatan Pemantauan Laboratorium

Ketidaktepatan pemantauan laboratorium merupakan keadaan dimana kebutuhan monitor laboratorium dari terapi pasien tidak sedang dipertimbangkan yang akan memungkinkan pasien mengalami DRPs. Jika kebutuhan pemantauan laboratorium dari terapi pasien tidak dipertimbangkan, maka pasien dapat mengalami DRPs (Mahmoud, 2008).

Contoh ketidaktepatan pemantauan laboratorium terlihat pada pasien resiko kardiovaskular yang tinggi tanpa pemantauan profil lipid puasa, tekanan darah (BP) atau gula darah. Contoh lain dari ketidaktepatan pemantauan laboratorium termasuk pasien yang menerima resep jangka panjang obat pengikat aluminium tanpa mengukur kadar aluminium dan pasien yang diresepkan terapi amiodaron atau mempunyai riwayat penyakit tiroid tanpa mendapatkan pemantauan kadar tiroksin (Mahmoud, 2008).

2.1.1.8 Ketidakpatuhan Pasien

Ketidakpatuhan pasien merupakan ketidakmampuan pasien atau keengganan untuk mengikuti regimen obat yang telah diresepkan oleh dokter dan dinilai secara klinis tepat, efektif, dan mampu memberikan hasil yang diinginkan tanpa efek berbahaya (Mahmoud, 2008).

Penderita gagal menerima obat dapat disebabkan oleh:

a. Penderita tidak mematuhi aturan yang direkomendasikan dalam penggunaan obat.

b. Penderita tidak menerima pengaturan obat yang sesuai sebagai akibat kesalahan medikasi (medication error) berupa kesalahan peresepan, dispensing, cara pemberian atau monitoring yang dilakukan.

c. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena ketidakpahaman.

d. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena tidak sesuai dengan keyakinan tentang kesehatannya.


(30)

2.2 Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting, seperti ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi berbagai hormon dan autokoid (Aisyah, J., 2009).

2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal 2.2.1.1 Anatomi

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Anatomi ginjal tampak dari depan, disini dapat kita ketahui bahwa ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritonium (retroperitoneal), di depan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3 (Syaifuddin, 2006).

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal Tampak dari Depan

[Sumber: Adam.com]

Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari


(31)

batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri (Syaifuddin, 2006).

Gambar 2.2 Letak Anatomi Ginjal

[Sumber: Price dan Wilson, 2006]

2.2.1.2 Struktur Makroskopik

Panjang ginjal pada orang dewasa adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram. Ukuranya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan pasanganya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang paling penting (Syaifuddin, 2006).

Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik dan ureter. Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal (Price dan Wilson, 2006).

Secara umum struktur makroskopis ginjal terdiri dari beberapa bagian: 1. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdiri dari korpus

renalis atau Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.


(32)

2. Medula, yang terdiri dari 9 – 14 piramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

3. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara piramid ginjal. 4. Processus renalis, yaitu bagian piramid atau medula yang menonjol

ke arah korteks.

5. Hilus renalis, yaitu suatu bagian atau area dimana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki atau meninggalkan ginjal.

6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.

7. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major. 8. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.

9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter.

Gambar 2.3 Struktur Makroskopis Ginjal


(33)

Struktur ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrosa berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal piramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papila renalis. Masing-masing piramid saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15 – 16 buah.

Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubangyang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu badan malfigi yang disebut glomerulus. Pembuluh aferen yang bercabang membentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.

Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ginjal. Di atas ginjal terdapat kelenjar suprarenalis, kelenjar ini merupakan sebuah kelenjar bantu yang menghasilkan dua macam hormon yaitu hormon adrenalin dan hormon kortison. Adrenalin dihasilkan oleh medulla.

2.2.1.3 Struktur Mikroskopik

Struktur mikroskopik ginjal adalah nefron. Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi sama. Setiap nefron terdiri dari Kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Duktus berjalan lewat korteks dan medulla renal untuk mengosongkan isinya ke dalam pelvis ginjal (Price dan Wilson, 2006).

Berikut ini penjelasan struktur mikroskopik ginjal: 1. Nefron

Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran ginjal terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal manusia memiliki kira-kira 1,3 juta


(34)

nefron. Setiap nefron bisa membentuk urin sendiri. Karena itu fungsi satu nefron dapat menerangkan fungsi ginjal.

2. Glomerulus

Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut glomerulus, yang terletak didalam korteks, bagian terluar dari ginjal. Tekanan darah mendorong sekitar 120 ml plasma darah melalui dinding kapiler glomerular setiap menit. Plasma yang tersaring masuk ke dalam tubulus. Sel-sel darah dan protein yang besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat melewati dinding dan tertinggal. 3. Tubulus kontortus proksimal

Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah disaring oleh glomerulus melalui kapsula bowman. Sebagian besar dari filtrat glomerulus diserap kembali ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler sekitar tubulus kotortus proksimal. Panjang 15 mm

dan diameter 55 μm.

4. Ansa Henle (lengkung Henle)

Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron ginjal dimana, tubulus menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan kemudian naik kembali kebagian korteks dan membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-14 mm.

5. Tubulus kontortus distal

Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar kedua. Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada tubulus kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20 ml/menit) mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.

6. Duktus koligen medula (duktus pengumpul)

Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus dari ekskresi natrium urin terjadi disini. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi kalsium.


(35)

2.2.1.4 Fisiologi

Fungsi ginjal menurut Price dan Wilson (2006) di bedakan menjadi dua yaitu fungsi eksresi dan non ekskresi, antara lain:

a. Fungsi ekskresi

1. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 osmol dengan mengubah-ubah ekskresi air.

2. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekskresi Na+.

3. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal.

4. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3-.

5. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat, dan kreatinin).

6. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

b. Fungsi non ekskresi

1. Menghasilkan renin: penting dalam pengaturan tekanan darah. 2. Menghasilkan eritropoetin: meransang produksi sel darah merah oleh

sumsum tulang.

3. Menghasilkan 1,25-dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat.

4. Mengaktifkan prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal. 5. Mengaktifkan degradasi hormon polipeptida.

6. Mengaktifkan insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif (VIP)).

Proses pembentukan urin menurut Syaifuddin (2006), glomerulus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai bowman, berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerulus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan kembali


(36)

zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus, sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal berlanjut ke ureter.

Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Ada tiga tahap pembentukan urin:

a. Proses filtrasi

Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai Bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.

b. Proses reabsorbsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorbsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapanya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.

c. Proses sekresi

Sisanya penyerapan urine kembali yang pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.


(37)

Gambar 2.4 Proses Pembentukan Urin

[Sumber: alfina.com]

2.2.2 Penilaian Fungsi Ginjal

Estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG) sangat penting dalam manajemen klinis pasien dengan penyakit ginjal kronik. LFG digunakan untuk menilai keberadaan dan tingkat fungsi ginjal dan membantu dalam melakukan penyesuaian dosis obat diekskresi melalui ginjal. Pedoman NKF-K/DOQI merekomendasikan modifikasi diet pada penyakit ginjal (Modification of Diet in Renal Disease/MDRD) dan persamaan Cockcroft-Gault sebagai pengukuran yang berguna untuk memperkirakan LFG (Levey, A. S., et al., 2003). Oleh karena itu, kreatinin serum (SCr) tidak dapat digunakan sendiri untuk menilai tingkat fungsi ginjal karena korelasi nonlinear antara SCr dan fungsi ginjal (Mahmoud, 2008).

2.2.2.1 Persamaan Cockcroft-Gault

Persamaan Cockcroft-Gault berasal dari 249 pasien rawat inap (96% laki-laki, rentang usia 18-92 tahun) dengan disfungsi ginjal ringan di Rumah Sakit Queens Mary Veterans di Kanada berdasarkan pengukuran tunggal dari ClCr (klirens kreatinin) 24 jam. Persamaan Cockcroft-Gault memberikan estimasi kuantitatif ClCr dari SCr (Mahmoud, 2008).


(38)

Persamaan Cockcroft-Gault:

Laki-laki: ClCr (ml/min) =

Wanita: ClCr (ml/min) = x 0,85

Persamaan Cockcroft-Gault disesuaikan dengan Luas Permukaan Tubuh (Body Surface Area/BSA):

Laki-laki: ClCr (ml/min) =

Wanita: ClCr (ml/min) =

Keterbatasan Persamaan Cockcroft-Gault

Persamaan Cockcroft-Gault tergantung pada SCr, yang berhubungan dengan sekresi tubular kreatinin. Hal ini dapat mengakibatkan estimasi LFG yang terlalu tinggi sekitar 10 – 40% pada masing-masing orang dengan fungsi ginjal yang normal (Levey, A. S., et al., 2003). Selain itu, SCr dapat dipengaruhi oleh banyak faktor non-ginjal seperti diet (misalnya, diet vegetarian dan suplemen kreatinin), massa tubuh (misalnya, amputasi, kekurangan gizi, kekurusan) dan terapi obat (misalnya, simetidin dan trimetoprim). Meskipun keterbatasan ini, persamaan Cockcroft-Gault telah banyak digunakan untuk menentukan dosis obat pada masing-masing orang berdasarkan fungsi ginjal pada pengaturan klinis (Mahmoud, 2008).

2.2.2.2 Persamaan MDRD

Persamaan MDRD diperkenalkan oleh Levey, A. S., et al. pada tahun 1999 untuk mengatasi keterbatasan estimasi LFG berdasarkan ClCr. Pada tahun 1999, persamaan MDRD 6-variabel berasal dari populasi MDRD sebanyak 1.628 pasien dengan gagal ginjal kronik tanpa diabetes (rata-rata LFG 40 ml/menit/1,73m2) yang bersamaan memiliki pengukuran LFG menggunakan


(39)

iothalamate (Mahmoud, 2008). Persamaan ini dikembangkan menggunakan variabel pasien termasuk usia, SCr, nitrogen urea darah (blood urea nitrogen/BUN), albumin, ras dan jenis kelamin. Kemudian pada tahun 2000, disingkat menjadi versi 4-variabel dari persamaan MDRD berdasarkan hanya usia, jenis kelamin, ras dan tingkat SCr yang diperkenalkan dan telah menjadi persamaan yang paling diterima dan digunakan dalam pengaturan klinis rawat jalan, menggantikan persamaan MDRD 6-variabel dan persamaan Cockcroft-Gault (Mahmoud, 2008).

Estimasi LFG (MDRD 6-variabel)

eLFG = 170 x (SCr)–0,999 x (usia)–0,176 x (0,762 jika wanita) x (1,180 jika orang Afrika Amerika) x (BUN)–0,170 x (Alb)+0,318

Estimasi LFG (MDRD 4-variabel)

eLFG = 186 x (SCr)–1,154 x (usia)–0,203 x (0,742 jika wanita) x (1,210 jika

orang Afrika Amerika)

Keterbatasan Persamaan MDRD

Estimasi LFG menggunakan persamaan MDRD mengakibatkan tidak mempertimbangkan LFG sebenarnya pada orang sehat, donor ginjal, dan pasien dengan DM tipe 1. Selain itu, 125I-iothalamate (LFGi) dilaporkan lebih sesuai untuk mengukur kadar terbaru dari LFG dibandingkan dengan persamaan MDRD pada pasien rawat inap dengan penyakit ginjal lanjut. Persamaan MDRD belum divalidasi pada anak-anak, wanita hamil, orang lanjut usia (> 70 tahun) atau ras selain Kaukasia dan Afrika Amerika (Mahmoud, 2008).

2.3 Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik (PGK) semakin menjadi kondisi medis kronik masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2002, National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-K/DOQI) mengembangkan pedoman praktek klinis di Amerika Serikat. Pedoman memperkenalkan terminologi gagal ginjal kronik dan skema klasifikasi untuk mempromosikan


(40)

deteksi dini penyakit, menunda perkembangan penyakit dan mencegah komplikasi yang terkait.

Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan filtrasi sisa metabolisme tubuh dan menjaga keseimbangan cairan elektrolit seperti sodium dan kalium di dalam darah atau urin. Penyakit ini terus berkembang secara perlahan hingga fungsi ginjal semakin memburuk sampai ginjal kehilangan fungsinya (Price dan Wilson, 2006).

2.3.1 Definisi

PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktur ataupun fungsi dengan atau tanpa penurunan LFG yang ditandai dengan kelainan patologis; atau tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah dan urin, atau kelainan dalam imaging test. Jika tidak ada kelainan patologis penegakan diagnosa didasarkan pada LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Dikatakan sebagai gagal ginjal terminal (GGT) ketika LGF kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2 (Levey, A. S., et al., 2005).

2.3.2 Etiologi

Menurut Dipiro, J. T., et al. (2008), ada beberapa faktor yang menyebabkam terjadinya PGK, yaitu:

1. Faktor Kerentanan (individu)

Faktor ini dapat meningkatkan penyakit ginjal tetapi tidak secara langsung, faktor-faktor ini termasuk:

a. Usia lanjut

b. Penurunan masa ginjal dan berat badan kelahiran yang rendah c. Ras dan minoritas suku

d. Riwayat keluarga

e. Penghasilan rendah atau pendidikan f. Inflamasi sistemik


(41)

2. Faktor Inisiasi

Adalah faktor yang menginisiasi kerusakan ginjal, dapat diatasi dengan terapi obat. Yang termasuk faktor inisiasi adalah:

a. Diabetes Melitus b. Hipertensi

c. Penyakit autoimun d. Polikista ginjal e. Toksisitas obat

3. Faktor Progresi

Dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Yang termasuk faktor progresi adalah:

a. Glikemia pada diabetes b. Hipertensi

c. Proteinuria d. Merokok e. Hiperlipidemia

2.3.3 Klasifikasi

Klasifikasi PGK menurut KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD (2013) dibagi menjadi 3 kategori.

2.3.3.1 Penyebab

Tabel 2.1 Penyebab PGK menurut KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2013

Contoh penyakit

sistemik, yang

berpengaruh pada ginjal

Contoh gangguan primer ginjal (tanpa ada penyakit sistemik yang berpengaruh pada ginjal)

Gangguan Glomerulus

Diabetes, penyakit autoimun sistemik, infeksi sistemik, obat-obatan, neoplasia (termasuk amyloidosis)

Difusi, fokal atau proliferasi bulan sabit; fokal dan glomerusklerosis tersegmentasi, nefropati membran, penyakit yang berganti-ganti

Gangguan Tubulus

Infeksi sistemik, autoimun, sarkiodosis,

Infeksi saluran kemih, batu ginjal, sembelit


(42)

interstisial obat-obatan, asam urat, toksin lingkungan (asam aristolisik, sklerosis sistemik Gangguan

Vaskular

Aterosklerosis,

hipertensi, iskemi, emboli kolesterol, vaskulitik sistemik, pembekuan

mikroangiopati, sklerosis sistemik

Displasia fibromuskular, ANCA-berhubungan

dengan vaskulitik terbatas pada ginjal

Kista dan Penyakit Bawaan

Polikista ginjal, sindrom alport, penyakit fabry

Displasia ginjal, kista sumsum tulang belakang, podositopati

Catatan: bahwa ada banyak cara yang berbeda di mana untuk mengklasifikasikan PGK. Metode ini satu-satunya yang memisahkan penyakit sistemik dan penyakit ginjal primer yang diusulkan oleh Kelompok Kerja untuk membantu dalam pendekatan konseptual.

2.3.3.2 Kategori Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Menurut Levey, A. S., et al. (2003), PGK terdiri dari lima tahap, yaitu: 1. Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau menurun, LFG

 90 ml/min/1,73 m2

2. Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan, LFG 60

– 89 ml/min/1,73 m2

3. Stadium 3: penurunan LFG sedang (moderat), LFG 30 – 59 ml/min/1,73 m2

4. Stadium 4: penurunan LFG berat, LFG 15 – 29 ml/min/1,73 m2

5. Stadium 5: gagal ginjal, LFG < 15 ml/min/1,73 m2 atau dialisis Catatan: Jika tidak menunjukkan kerusakan ginjal untuk stadium 1 dan 2 maka tidak memenuhi kriteria PGK.


(43)

2.3.3.3 Kategori Albuminuria

Tabel 2.2 Kategori Albuminuria menurut KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for Evaluation and Management of CKD, 2013

Kategori Laju Ekskresi Albumin (mg/24 jam)

Rasio Albumin Kreatinin

Kondisi (mg/mmol) (mg/g)

A1 <30 <3 <30 Meningkat normal dan perlahan A2 30-300 3-30 30-300 Meningkat

secara moderat* A3 >300 >300 >300 Meningkat

dengan parah** Catatan: *relatif untuk tingkatan muda dan dewasa

**termasuk sindrom nefrotik (ekskresi albumin biasanya >2200 mg/24 jam [Rasio albumin-kreatinin > 2220 mg/g;220 mg/mmol]).

Kategori albuminuria merupakan prediktor penting dari hasil. Hubungan tingginya kadar proteinuria dengan tanda-tanda dan gejala sindrom nefrotik sangat dikenali. Deteksi dan evaluasi kecil dari jumlah proteinuria telah mendapatkan hasil yang signifikan. Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya diagnostik, patogen, dan prognosisnya.

2.3.4 Patofisiologi

Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra dalam Sudoyo, 2006).


(44)

Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Akibatnya terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat (Smeltzer dan Bare, 2002).

Retensi cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal dapat mengakibatkan edema, gagal jantung kongestif (CHF), dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. PGK juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis metabolik juga terjadi akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi ammonia (NH3-) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan

ekresi fosfat dan asam organik lain juga dapat terjadi.

Pada stadium paling dini penyakit PGK, terjadi kehilangan daya cadangan ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kretinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum menunjukkan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pasien seperti nokturia, badan lemah, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang sangat nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, mual muntah dan lain sebagainya. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra dalam Sudoyo, 2006).


(45)

2.3.4.1 Protokol Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Gambar 2.5 Mekanisme Progresi Gangguan Penyakit Ginjal Kronik

[Sumber: Dipiro, J. T., et al., 2008]

Perkembangan dan progresi PGK tersembunyi. Pasien dengan stadium 1 dan 2 biasanya tidak mempunyai gejala atau ketidakseimbangan cairan metabolik yang terlihat pada stadium 3 sampai 5, seperti anemia, hiperparatiroid sekunder, penyakit kardiovaskular, malnutrisi dan keabnormalan cairan elektrolit yang umum pada fungsi ginjal. Gejala uremia umumnya tidak menyertai oada stadium 1 dan 2, minimal selama stadium 3 dan 4, dan umumnya pada stadium 5 yang juga terbiasa gatal-gatal, alergi dingin, peningkatan berat badan, dan neforpati periferal. Pengobatan bertujuan untuk menunda progresi PGK, dan meminimalisisr perkembangan dan keparahan dari komplikasi (Dipiro, J. T., et al., 2008).


(46)

2.3.4.2 Pengobatan Progresi dengan Modifikasi Terapi 1. Terapi non Farmakologi

Diet rendah protein (0,6 sampai 0,7 g/kg/hari) dapat menunda progresi dari PGK pada pasien dengan atau tanpa diabetes, walaupun efeknya relati kecil (Dipiro, J. T., et al., 2008).

2. Terapi Farmakologi Hiperglikemia

a. Terapi intensif pada pasien tipe 1 dan 2 diabetes mengurangi komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropati. Dapat berupa insulin, antidiabetes oral, dan tes gula darah setidaknya 3 kali sehari.

b. Insulin (Novita, I., 2015)

1) Farmakologi: Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik, yang berperan utama pada protein, karbohidrat, dan metabolisme. Insulin endogen diproduksi dari proinsulin

peptida pada sel β.

2) Karakteristik: Insulin biasanya dikategorikan berdasarkan sumbernya, kekuatan, onset dan durasi kerja. Selain itu insulin memiliki asam amino dalam molekul insulin termodifikasi. Sediaan insulin biasanya U-100 dan U-500, 100 unit/mL dan 500 unit/mL.

3) Farmakokinetik: Kinetik injeksi subkutan tergantung pada onset, puncak, dan durasi kerja. Penambahan protamin NPH, NPL, dan suspense protamin aspart) atau kelebihan seng maka dapat menunda onset, puncak, dan durasi efek insulin.

Waktu paruh injeksi insulin reguler (IV) yaitu 9 menit. Sehingga waktu efektif untuk injeksi insulin (IV) lebih pendek. Insulin IV lebih murah daripada insulin lainnya. Insulin terdegradasi di hati, otot, dan ginjal. Insulin dimetabolisme dihati sekitar 20 – 50% sedangkan dimetabolisme di ginjal sekitar 25 – 25%. Sehingga tidak dianjurkan untuk pasien menggunakan insulin jika terdapat penyakit ginjal stadium akhir.


(47)

4) Komplikasi mikrovaskular: Insulin telah terbukti sebagai agen oral untuk mengobati DM. Penelitian di Amerika telah membuktikan bahwa efikasi antara insulin dan sulfonilurea menunjukkan efikasi yang sama dalam penurunan mikrovaskular.

5) Komplikasi makrovaskular: Hubungan antara masalah tingginya kadar insulin (hiperinsulinemia), resistensi insulin, dan kardiovaskular sehingga dapat dipercayai bahwa terapi insulin dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular. Namun, UKPDS dan DCCT tidak menemukan hubungan antara komplikasi makrovaskular dengan terapi insulin.

6) Efek samping: Secara umum efek samping insulin yaitu hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien yang instensif melakukan terapi dan lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1 daripada tipe2. Sehingga pemantauan kadar glukosa darah sangat penting dilakukaan pada pasien yang menggunakan terapi insulin. Jika pasien telah mengalami hipoglikemia yang berat maka akan terjadi takikardia dan berkeringat).

7) Dosis dan cara pemberian: Pada pasien DM tipe 1, dosis seharinya 0,5 – 0,6 unit/kg. Selama penyakit akut atau ketosis resistensi insulin maka dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Dosis diberikan tergantung dengan keadaan patologi pasien. c. Progresi PGK dapat dibatasi dengan kontrol optimal hiperglikemia

dan hipertensi.

Hipertensi

a. Kontrol tekanan darah secara adekuat dapat mengurangi laju penurunan LFG dan albuminuria dengan pasien atau tanpa diabetes.

b. Obat antihipertensi harus dimulai pada pasien diabetik ataupun nondiabetik dengan angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEi) atau angiotensin II reseptor blocker (ARB). Calcium channel


(48)

blocker (CCB) dyhydropyridine dan nondyhydropyridine untuk pilihan kedua.

c. Klirens ACEi direduksi pada pasien PGK.

d. LFG yang biasanya menurun 25% sampai 30%, tidak terjadi pada 3 sampai 7 hari setelah pemakaian ACEi.

e. Pilihan Utama Obat Antihipertensi pada Pasien PGK:

1) ACEi: menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.

Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACEi. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Dalam JNC VII, ACEi diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik.

2) ARB:dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-senyawa ini merelaksasi otot polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan ekskresi garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertrofi sel. ARB secara teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACEi.

f. Pilihan Kedua Obat Antihipertensi pada Pasien PGK:

1) CCB: CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Penelitian NORDIL menemukan diltiazem ekuivalen dengan diuretik dan penyekat beta dalam menurunkan kejadian kardiovaskular.


(49)

Gambar 2.6 Strategi Pengobatan untuk Mencegah Progresi Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien Diabetes

[Sumber: Dipiro, J. T., et al., 2008]

Terapi Penunjang

a. Diet Protein, pengobatan hilang lemak, kurang merokok, manajemen anemia dapat memperlambat laju progresi PGK.

b. Tujuan utama dari pengobatan mengurangi lemak pada PGK untuk mengurangi resiko untuk arteosklrosis.

c. Tujuan kedua untuk mereduksi proteinuria dan penurunan fungsi ginjal.


(50)

Gambar 2.7 Strategi Pengobatan untuk Mencegah Progresi Penyakit Ginjal Kronik pada Pasien Non Diabetes


(51)

Gambar 2.8 Algoritma Manajemen Hipertensi untuk Pasien PGK. Penyesuaian dosis harus dibuat setiap 2 sampai 4 minggu sesuai kebutuhan. Dosis salah satu

obat harus dimaksimalkan sebelum yang lainnya ditambahkan. (ACEi,

angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; BP,

blood pressure; CCB, calcium channel blocker; Clcr, creatinine clearance; Scr,

serum creatinine).


(52)

2.3.5 Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra dalam Sudoyo, 2006).

2.3.5.1 Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >120 mg% dan kreatinin >10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, E., 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, P., dkk., 2006).

2.3.5.2 Dialisis Peritoneal

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medis CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien-pasien-pasien yang


(1)

153

Gunakan terpisah selang 2 jam. Bicnat - Concor Na bikarbonat menurunkan kadar

Bisoprolol dengan menghambat absorpsi bisoprolol di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

Farmakokinetik, moderat

Meloxicam - Concor

Meloksikan menurunkan efek Bisoprolol secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat Meloxicam -

Canderin

Meloksikam menurunkan efek Kandesartan secara farmakodinamik antagonis. Interaksi yang potensial berbahaya.

Farmakodinamik antagonis, moderat Concor - Valsartan Bisoprolol, Valsartan terjadi interaksi

secara farmakodinamik sinergis.

Farmakodinamik sinergis,

moderat Concor - Canderin Bisoprolol, Kandesartan terjadi

interaksi secara farmakodinamik sinergis.

Farmakodinamik sinergis,

moderat Meloxicam - Lasix Meloksikam menurunkan efek

Furosemida secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, minor Lasix - Asam folat Furosemida menurunkan kadar Asam

folat dengan meningkatkan klirens asam folat di ginjal.

Farmakokinetik, minor

Lasix - CaCO3 Furosemida menurunkan kadar Kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens kalsium karbonat di ginjal.

Farmakokinetik, minor

Letonal - CaCO3 Spironolakton menurunkan kadar Kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens kalsium karbonat di ginjal.

Farmakokinetik, minor

33 Bicnat Asam folat CaCO3 Prorenal Cefoperazone Ondansetron Lansoprazole Musin Hytrin Hemapo

0

34 Bifotik PCT Bicnat Asam folat CaCO3 Aminoral Amlodipine Valsartan Lasix Glucobay Diaversa

Aminoral - Amlodipine

Aminoral menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

1

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

35 Ranitidine Bicnat Asam folat CaCO3

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

1


(2)

154

Sangobion Amlodipine Valsartan Ondansetron Aminoral Neurodex Ketorolac Cefoperazone Lasix Metformin New diatabs Imodium Alprazolam INH (Isoniazid) Pirazinamid

Sangobion atau efek Garam besi dengan meningkatkan pH lambung.

moderat CaCO3 - Isoniazid Kalsium karbonat menurunkan kadar

Isoniazid dengan menghambat absorpsi isoniazid di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

Farmakokinetik, moderat

Bicnat - Isoniazid Na karbonat menurunkan kadar Isoniazid dengan menghambat absorpsi isoniazid di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

Farmakokinetik, moderat

Isoniazid - Amlodipine

Isoniazid menurunkan kadar atau efek Amlodipin dengan mempengaruhi enzim metabolisme CYP3A4 di hati atau usus.

Farmakokinetik, moderat

Aminoral - Amlodipine

Aminoral menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat Bicnat - Sangobion Na bikarbonat menurunkan kadar atau

efek Garam besi dengan meningkatkan pH lambung.

Farmakokinetik, moderat CaCO3 -

Sangobion

Kalsium karbonat menurunkan kadar Garam besi dengan menghambat absorpsi garam besi di saluran cerna.

Farmakokinetik, minor

Cefoperazone - Lasix

Sefoperazon meningkatkan toksisitas Furosemida secara farmakodinamik sinergis. Peningkatan resiko nefrotoksisitas.

Farmakodinamik sinergis, minor

Isoniazid - Pirazinamid

Keduanya saling meningkatkan toksisitas secara farmakodinamik sinergis.

Farmakodinamik sinergis, minor Isoniazid -

Metformin

Isoniazid menurunkan efek Metformin dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan.

Tidak diketahui, minor

Isoniazid - CaCO3 Isoniazid menurunkan kadar Kalsium karbonat dengan menghambat absorpsi kalsium karbonat di saluran cerna.

Farmakokinetik, minor

Metformin - Asam folat

Metformin menurunkan kadar Asam folat dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan.

Tidak diketahui, minor

Sangobion - CaCO3

Garam besi meningkatkan kadar Kalsium karbonat dengan meningkatkan absorpsi kalsium karbonat di saluran cerna.

Farmakokinetik, minor

Ketorolac - Lasix Ketorolac meningkatkan dan Furosemida menurunkan kadar kalium. Efek interaksi tidak jelas.

Tidak diketahui, moderat Ketorolac - Lasix Ketorolac menurunkan efek

Furosemida secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, minor 36 Bicnat

Asam folat CaCO3 Aminoral Urdafalk Amlodipine Prorenal

Aminoral - Amlodipine

Aminoral menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

1

Prorenal - Amlodipine

Prorenal menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat


(3)

155

Profenid Amlodipine Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

antagonis, moderat 37 Ondansetron

Betahistine Amlodipine Captopril Ranitidine Valsartan Bicnat Asam folat CaCO3 Prorenal Imodium Citicoline Aspilet Haloperidol Clobazam

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

1

Prorenal - Amlodipine

Prorenal menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat Clobazam -

Haloperidol

Klobazam meningkatkan kadar atau efek Haloperidol dengan

mempengaruhi enzim metabolisme CYP2D6 di hati. Dosis rendah dibutuhkan saat digunakan bersamaan.

Farmakokinetik, moderat

Aspilet - Valsartan Aspirin menurunkan efek Valsartan secara farmakodinamik antagonis. Interaksi yang potensial berbahaya.

Farmakodinamik antagonis, moderat CaCO3 - Aspilet Kalsium karbonat, Aspirin terjadi

interaksi dengan cara reabsorpsi pasif tubulus ginjal karena meningkatnya pH. Kadar aspirin meningkat pada dosis sedang dan menurun pada dosis besar (peningkatan ekskresi ginjal dari aspirin tidak berubah).

Farmakokinetik, minor

Aspilet - Asam folat

Aspirin menurunkan kadar Asam folat dengan menghambat absorpsi asam folat di saluran cerna.

Farmakokinetik, minor

Bicnat - Aspilet Na bikarbonat, Aspirin terjadi interaksi dengan cara reabsorpsi pasif tubulus ginjal karena meningkatnya pH. Kadar aspirin meningkat pada dosis sedang dan menurun pada dosis besar (peningkatan ekskresi ginjal dari aspirin tidak berubah).

Farmakokinetik, minor

38 Ondansetron Amlodipine Valsartan Bicnat Asam folat CaCO3 Cefixime Vitamin K Transamin Pronalges Meloxicam OMZ Domperidone Sucralfate Betahistine

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

1

Valsartan - Meloxicam

Keduanya meningkatkan kadar kalium dan saling meningkatkan toksisitas yang dapat mengakibatkan kerusakan fungsi ginjal, terutama pada lansia.

Tidak diketahui, moderat

Meloxicam - Valsartan

Meloksikam menurunkan efek Valsartan secara farmakodinamik antagonis. Interaksi yang potensial berbahaya.

Farmakodinamik antagonis, moderat Cefixime -

Meloxicam

Sefiksim meningkatkan kadar atau efek Meloksikam dengan kompetisi obat asam (anionik) untuk klirens tubular ginjal.

Farmakokinetik, minor

39 Dobutamine Cefoperazone OMZ Vitamin K Transamin Neurodex Episan Bicnat Asam folat


(4)

156

CaCO3 Avodart Harnal ocas 40 Novalgin

Cefoperazone Ondansetron Transamin Asam folat Bicnat CaCO3 OMZ PCT Ranitidine Betahistine Strocain P Sucralfate Amlodipine Lantus Novorapid Lodem Eclid

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat

1

41 Ranitidine Ondansetron Bicnat Asam folat CaCO3 Prorenal Lasix Amlodipine Captopril Dexamethasone Novalgin Dulcolax PCT Glucobay Glurenorm Novorapid

CaCO3 - Captopril Kalsium karbonat menurunkan efek Kaptopril dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan.

Tidak diketahui, moderat

1

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat Prorenal -

Amlodipine

Prorenal menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat Captopril -

Glurenorm

Kaptopril meningkatkan efek Glikuidon secara farmakodinamik sinergis.

Farmakodinamik sinergis,

moderat Bicnat - Captopril Na bikarbonat menurunkan efek

Kaptopril dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan.

Tidak diketahui, moderat Dexamethasone -

Ondansetron

Deksametason menurunkan kadar atau efek Ondansetron dengan

mempengaruhi enzim metabolisme CYP3A4 di hati atau usus.

Farmakokinetik, moderat

42 Dobutamine Bicnat Asam folat CaCO3 Cefoperazone Transamin

0

43 Amlodipine Valsartan Bicnat Asam folat CaCO3 Vitamin K Lodem Eclid Lasix Catapres Concor

Clonidine - Concor Keduanya sailng meningkatkan toksisitas dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan. Mungkin terjadi interaksi serius atau

mengancam jiwa. Gunakan alternatif. Dapat meningkatkan resiko

bradikardia.

Tidak diketahui, mayor

1

CaCO3 - Concor Kalsium karbonat menurunkan efek Bisoprolol dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan.

Tidak diketahui, moderat CaCO3 - Concor Kalsium karbonat menurunkan kadar Farmakokinetik,


(5)

157

Letonal Diaversa

Bisoprolol dengan menghambat absorpsi bisoprolol di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

moderat

CaCO3 - Amlodipine

Kalsium karbonat menurunkan efek Amlodipin secara farmakodinamik antagonis.

Farmakodinamik antagonis, moderat Valsartan - Concor Keduanya meningkatkan kadar

kalium.

Tidak diketahui, moderat Valsartan - Letonal Keduanya meningkatkan kadar

kalium. Interaksi yang potensial berbahaya.

Tidak diketahui, moderat Valsartan - Lasix Valsartan meningkatkan dan

Furosemida menurunkan kadar kalium. Efek interaksi tidak jelas.

Tidak diketahui, moderat Concor -

Amlodipine

Keduanya meningkatkan

antihipertensi yang memblok kanal. Interaksi yang potensial berbahaya.

Tidak diketahui, moderat Concor - Clonidine Bisoprolol, Klonidin terjadi interaksi

secara farmakodinamik sinergis. Interaksi yang potensial berbahaya.

Farmakodinamik sinergis,

moderat Concor - Letonal Keduanya meningkatkan kadar

kalium. Interaksi yang potensial berbahaya.

Tidak diketahui, moderat Concor - Lasix Bisoprolol meningkatkan dan

Furosemida menurunkan kadar kalium. Efek interaksi tidak jelas.

Tidak diketahui, moderat Letonal - Lasix Spironolakton meningkatkan dan

Furosemida menurunkan kadar kalium. Interaksi yang potensial berbahaya.

Tidak diketahui, moderat

Bicnat - Concor Na bikarbonat menurunkan kadar Bisoprolol dengan menghambat absorpsi bisoprolol di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

Farmakokinetik, moderat

Concor - Valsartan Bisoprolol, Valsartan terjadi interaksi secara farmakodinamik sinergis.

Farmakodinamik sinergis,

moderat Clonidine - Eclid Klonidin menurunkan efek Akarbose

secara farmakodinamik antagonis. Penurunan gejala hipoglikemia akibat produksi katekolamin.

Farmakodinamik antagonis, minor

Clonidine - Diaversa

Klonidin menurunkan efek Glimepirid secara farmakodinamik antagonis. Penurunan gejala hipoglikemia akibat produksi katekolamin.

Farmakodinamik antagonis, minor

Clonidine - Lodem Klonidin menurunkan efek Glikuidon secara farmakodinamik antagonis. Penurunan gejala hipoglikemia akibat produksi katekolamin.

Farmakodinamik antagonis, minor

Lasix - Asam folat Furosemid menurunkan kadar Asam folat dengan meningkatkan klirens asam folat di ginjal.

Farmakokinetik, minor

Lasix - CaCO3 Furosemida menurunkan kadar Kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens kalsium karbonat di ginjal.

Farmakokinetik, minor


(6)

158

Kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens kalsium karbonat di ginjal.

minor

44 Cefoperazone Lasix Ondansetron Bicnat Asam folat CaCO3 Aminoral Concor Letonal Prorenal Valsartan Allopurinol

CaCO3 - Concor Kalsium karbonat menurunkan efek Bisoprolol dengan mekanisme interaksi yang tidak ditentukan.

Tidak diketahui, moderat

1

CaCO3 - Concor Kalsium karbonat menurunkan kadar Bisoprolol dengan menghambat absorpsi bisoprolol di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

Farmakokinetik, moderat

Valsartan - Concor Keduanya meningkatkan kadar kalium.

Tidak diketahui, moderat Valsartan - Letonal Keduanya meningkatkan kadar

kalium. Interaksi yang potensial berbahaya.

Tidak diketahui, moderat Concor - Letonal Keduanya meningkatkan kadar

kalium. Interaksi yang potensial berbahaya.

Tidak diketahui, moderat Bicnat - Concor Na bikarbonat menurunkan kadar

Bisoprolol dengan menghambat absorpsi bisoprolol di saluran cerna. Gunakan terpisah selang 2 jam.

Farmakokinetik, moderat

Concor - Valsartan Bisoprolol, Valsartan terjadi interaksi secara farmakodinamik sinergis.

Farmakodinamik sinergis,

moderat Letonal - CaCO3 Spironolakton menurunkan kadar

Kalsium karbonat dengan meningkatkan klirens kalsium karbonat di ginjal.

Farmakokinetik, minor

Cefoperazone - Lasix

Sefoperazon meningkatkan toksisitas Furosemida secara farmakodinamik sinergis. Peningkatan resiko nefrotoksisitas.

Farmakodinamik sinergis, minor


Dokumen yang terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Kanker Payudara di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2011 – 2012

13 117 144

Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik Rawat Inap di RS Haji Medan Tabun 1999 - 2003

0 23 74

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) RAWAT INAP DI RS PARU JEMBER TAHUN 2011

2 30 17

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) RAWAT INAP DI RS PARU JEMBER TAHUN 2011

0 12 17

Evaluasi Drug Related Problems Kategori Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara

4 33 166

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

1 17 174

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN 2015 Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Potensial Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2015.

1 6 19

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN ASMA DI INSTALASI RAWAT Identifikasi Drug Related Problems (Drps) Potensial Pada Pasien Asma Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2015.

0 3 14

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN PERSALINAN PRETERM DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. Kajian Drug Related Problems (Drps) Pada Pasien Persalinan Preterm Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Tahun 2010.

0 2 18