Sahnya Perkawinan AKIBAT HUKUM PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN YANG

52

BAB III AKIBAT HUKUM PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN YANG

DILAKUKAN SETELAH PEWARIS MENINGGAL DUNIA

A. Sahnya Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam KUH Perdata adalah ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26 KUH Perdata. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita. Dari kedua pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui bahwa KUHPerdata suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal diatas hanya memandang hubunganan perdata saja, yaitu hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. 52 Universitas Sumatera Utara 53 Ikatan batin berarti bahwa suatu perkawinan merupakan suatu pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Undang-undang perkawinan menentukan syarat-syarat perkawinan, sebagai berikut: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Jadi, dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur paksaan. 2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan menyimpang dari umur yang disebutkan di atas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak lelaki. Dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan untuk pihak perempuan sudah mencapai 16 tahun. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin. Ketentuan itu menegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 tahun ke atas tidak memerlukan izin dari orang tuanya. 3. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan di atas. 6. Hal-hal yang disebutkan pada angka 1 sampai 5, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain. 76 “Untuk orang Golongan Timur Asing Cina dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat 76 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakartam 2007. hal. 13-14 Universitas Sumatera Utara 54 nikah dari kantor catatan sipil setempat sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh pegawai, pencatat talak dan rujuk dari kantor urusan agama”. 77 Perkawinan dalam Pasal 27 KUH Perdata menganut asa monogami dimana pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. Seorang laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun berdasarkan Pasal 29 KUH Perdata jika ada alasan- alasan penting, Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi. Bagi pasangan yang hendak melaksanakan perkawinan, sesuai ketentun Pasal 50 jo 51 KUH Perdata harus memberitahukan hal itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu pihak baik secara langsung, maupun dengan surat yang dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu harus dibuat sebuah akta oleh Pegawai Catatan Sipil. 77 Syarat-syarat yang dipandang sebagai orang beragama Islam, terdapat 4 paham : a. Paham pertama : orang dapat dianggap beragama Islam jika menurut pandangan masyarakat dapat dimasukkan dalam golongan orang-orang Muslim dan tidak menyangkal atau ia mengakui bahws ia termasuk golongan orang-orang Muslim dan jika ia kawin, perkawinannya diselenggarakan secara Islam, dan jika ia mati dikubur secara Islam. b. Paham kedua: Barang siapa mengucapkan kalimat Syahadat, bahwa ia sungguh-sungguh percaya “tidak ada Tuhan kecuali Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT”, maka ia dipandang beragama Islam”. c. Paham ketiga : tidak cukup dengan mengucapkan kalimat syahadat saja, kecuali kepercayaan yang diucapkan dengan kalimat syahadat itu, orang juga percaya pada hal-hal lain yang termasuk kepercayaan Islam”. d. Paham ke empat: “Orang hanya dipandang beragama Islam, kalau ia kecuali mengakui kebenaran agama Islam, juga melakukan ibadah, terutama shalat dan puasa Universitas Sumatera Utara 55 Selanjutnya Pegawai Catatan Sipil akan membuat surat pengumuman sebelum dilaksanakannya perkawinan tersebut. Bila kedua calon suami isteri tidak bertempat tinggal dalam wilayah Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman itu akan dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal masing-masing pihak. Bila calon suami isteri belum sampai enam bulan penuh bertempat tinggal dalam daerah suatu Catatan Sipil, pengumumannya harus juga dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal mereka yang terakhir. Bila ada alasan-alasan yang penting dan kewajiban membuat pengumuman tersebut di atas boleh diberikan dispensasi oleh Kepala Pemerintahan Daerah yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin. Bila perkawinan itu belum dilangsungkan dalam waktu satu tahun, terhitung dari waktu pengumuman, perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan, kecuali bila sebelumnya diadakan pengumuman lagi. Dalam suatu negara yang teratur segala hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti kelahiran, kematian, pernikahan dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan erat dengan waris mewarisi, sehingga perkawinan perlu dicatat untuk menjaga jangan sampai ada kekacauan. Atas dasar pemikiran ini dapat dilihat urgensi pencatatan perkawinan itu. Pencatatan perkawinan bertujuan agar terwujud adanya kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Universitas Sumatera Utara 56 Persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Dengan adanya pencatatn perkawinan maka eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui. Secara umum dapat dikatakan ada 2 dua prinsip atau pola pengaturan mengenai sahnya perkawinan, yakni : a. menurut hukum negara perkawinan perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan; b. menurut hukum agama. Dalam hal sahnya perkawinan menurut hukum negara, maka ukuran menentukan sah atau tidaknya perkawinan semata-mata berdasarkan pada hukum negara. Artinya suatu perkawinan adalah sah, jika dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh hukum negara, lazimnya tidak memperhatikan sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum agama. Sebaliknya prinsip yang kedua ialah perkawinan menurut hukum agama, artinya sah atau tidaknya suatu perkawinan didasarkan pada hukum agama, yaitu perkawinan yang syarat dan prosedurnya semata-mata berdasarkan pada hukum agama dan lazimnya tidak memperhatikan hukum negara. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur sahnya perkawinan dalam Pasal 2, yang menentukan : 1Perkawinan adalah sah jika dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya mereka itu. 2Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara 57 Berdasarkan pola pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, terdapat beberapa pendapat mengenai sahnya perkawinan yaitu: 1. Sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berdasarkan pengaturan tersebut ialah semata-mata menurut hukum agama, sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah bersifat administratif. Penjelasan Pasal 2 menentukan bahwa : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 2. Pendapat ini menyatakan bahwa sahnya perkawinan ialah berdasarkan hukum agama dan hukum negara, sehingga pencatatan perkawinan tidak semata-mata bersifat administratip, karena mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan tersebut. 78 Syarat sahnya perkawinan, harus memenuhi syarat materiil yang terdiri dari syarat materiil umum dan syarat materiil khusus. Syarat materiil umum, syarat yang mengenai diri pribadi calon suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan, yakni harus ada persetujuan kedua calon mempelai Pasal 6 ayat 1, usia bagi pria 19 tahun wanita 16 tahun Pasal 7 ayat 1, tidak terikat dalam perkawinan-prinsip monogami Pasal 9, 3, dan berlakunya waktu tunggu masa iddah, Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975. Syarat materiil khusus berupa larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, dan izin untuk melangsungkan perkawinan, bagi mereka yang belum genap bersusia 21 tahun Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974. Bagi yang telah berumur 21 tahun boleh menikah tanpa izin. Syarat 78 Wahyono Dharmabrata, “Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia”, Seminar Internasional Progressive Development of Marriage Law, Universitas Indonesia, 2010, hal. 4 Universitas Sumatera Utara 58 formil, terdiri dari syarat yang mendahului perkawinan misalnya pemberi tahuan niat akan melangsungkan perkawinan Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975 dan pencatatan Pasal 2 PP No. 98 Tahun 1975. Sedangkan syarat yang menyertai perkawinan Pasal 10 dan 11 PP No. 9 Tahun 1975. Pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan tersebut sah menurut agama dan juga hukum positif. Kesatuan pandangan ini sangat penting untuk dilaksanakan agar dalam perkara yang sama tidak terjadi putusan yang berbeda. Di samping itu, dengan adanya kesamaan pandangan para Hakim Peradilan Agama ini diharapkan dapat memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat agar mereka patuh pada hukum dan menyadari bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membawa kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukannya dan juga kepada keturunannya. Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan kepastian hukum bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini sejalan dengan prinsipkaidah hukum Islam untuk memperoleh kemaslahatan. Adapun dampak perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan negara, anak-anak tidak dapat memperoleh akta kelahiran dari yang berwenang karena untuk mendapatkan akta kelahiran itu diperlukan akta nikah dari orang tuanya, anak-anak tidak dapat mewarisi harta orang tuanya karena tidak ada bukti autentik yang menyatakan mereka sebagai ahli waris orang tuanya, atau hak-hak lain dalam pelaksanaan administrasi negara yang mesti harus dipenuhi sebagai bukti diri. Universitas Sumatera Utara 59 Undang-undang secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan yang sudah jelas ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal yang bunyinya: dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Kemudian Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan bahwa tiap- tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, namun di dalam penjelasan Pasal Demi Pasal tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perdaftaran ini. Selanjutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1975, diundangkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 1 Tahun 1974, yang dikenal dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan PP No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, menentukan tentang lembaga Pencatatan Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-Islam. Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan Universitas Sumatera Utara 60 kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang- undangan mengenai percatatan perkawinan. Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 ini, menentukan bahwa dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini, maka pencatatanperkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau InstansiPejabat yang membantunya. Jadi kedua lembaga itu, berfungsi hanya mencatatkan perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan yang dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan sah yang didasarkan ketentuan undang-undang tersebut, wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana tempat terjadinya perkawinan, dengan jangka waktu paling lambat 60 enam puluh hari sejak tanggal perkawinan. Selanjutnya pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. Pencatatan perkawinan sebagaimana yang disebutkan diatas, berlaku pula untuk pencatatan perkawinan berikut ini : 1. Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama. Universitas Sumatera Utara 61 2. Perkawinan WNA yang dilakukan di Indonesia atas permintaan WNA yang bersangkutan. 79 Untuk melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 1. Surat Bukti Perkawinan Agama 2. Akta Kelahiran 3. Surat Keterangan dari Lurah 4. Fotocopy KKKTP yang dilegalisir oleh Lurah 5. Pas Foto berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 5 lima lembar 6. Dua 2 orang saksi yang telah berusia 21 tahun ke atas 7. Akta Kelahiran Anak yang akan diakuidisahkan 8. Akta Perceraian Akta Kematian jika yang bersangkutan telah pernah kawin 9. Ijin dari Komandan bagi Anggota TNI Kepolisian 10. Passport bagi WNA 11. Surat Tanda Melapor Diri STMD dari Kepolisian bagi WNA 12. Surat dari Kedutaan Konsul Perwakilan Negara Asing yang bersangkutan bagi WNA 13. SKK dari Imigrasi bagi WNA. 80 Adapun alasan perlunya pencatatan perkawinan ini adalah : 1. Sebagai bukti sah-nya Perkawinan. 2. Perkawinan yang tidak tercatat dengan dibuktikan tidak adanya Akta Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum. 3. Untuk menjamin hak-hak dalam Perkawinan jika terjadi perceraian termasuk hak memperoleh warisan dan pensiun. 4. Untuk melindungi hak-hak anak, misalnya dalam membuat Akta kelahiran dan mengurus hak waris, maupun untuk membuat passport. 81 79 Mahawisnu Tridaya Alam, Pencatatan Perkawina Pada Catatan Sipil, http:www.tanyahukum.comkeluarga-dan-waris159pencatatan-perkawinan-pada-catatan-sipil, diakses tanggal 21 maret 2011 80 “Pelayanan Pencatatan Perkawinan”, http:www.kependudukancapil.go.idindex.php produk-a-layananakta-perkawinan, , diakses tanggal 21 Maret 2011 81 Panduan Permohonan Penetapan Pengesahan Perkawinan Bagi Non Muslim di Pengadilan Negeri, http:www.pekka.or.idpanduanPengesah20Perkawinan20PN.pdf, hal. 2, diakses tanggal 1 Mei 2011 Universitas Sumatera Utara 62 Akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah di mata hukum Negara. Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan. “Perkawinan yang telah melalui pencatatan mengandung kemaslahatan bagi umum, artinya perkawinan tersebut melindungi hak asasi kaum wanita, sebab menurut hukum positif Indonesia, perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah di bawah tangan tidak diakui sama sekali oleh Negara”. 82

B. Pengesahan Perkawinan