12
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan,
baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Hak Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan Kedua Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri
Medan Nomor Perkara 127PDt.G2008PN.Mdn”. Dengan demikian penelitian
ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.
12
“Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi
dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.
13
Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di
bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan,
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6
13
J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.
Universitas Sumatera Utara
13
pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.
Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori kedaulatan hukum.
Tokoh dari teori kedaulatan hukum adalah H. Krabbe dan Leon Duguit. Menurut Krabbe :
Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang ditundukan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang
setinggi-tingginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya
hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewibawaan kekuasaan.
14
Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan atau
mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata. Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata
sebagai berikut : 1. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah : “Kumpulan peraturan yng mengatur
hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari hubungan
14
“Teori Hukum”,
http:tubiwityu.typepad.comblog201002teori-hukum.html, dipublikasikan tanggal 10 Februari 2010, diakses tanggal 3 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
14
antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.
15
2. M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengemukakan bahwa hukum waris adalah “Hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang
mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup”.
16
3. Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut ahli hukum antara lain yaitu :
a. H.D.M.Knol, mengatakan bahwa Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal
kepada seorang ahli waris atau lebih b. A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa Hukum waris ialah seluruh
peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal
dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.
c. Vollmar berpendapat bahwa Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.
17
Hukum waris erfrecht yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban harta kekayaan dari
orang yang meninggal dunia pewaris kepada orang yang masih hidup ahli waris yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang
15
A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Diterjemahkan oleh M.Isa Arief, PT.Intermasa, Jakarta, 1986, hal 1
16
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 85
17
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 12-13
Universitas Sumatera Utara
15
mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.
Menurut A. Pitlo, “hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam
bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga”.
18
Oemar Salim mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang memberikan batasan-batasan mengenai warisan antara lain:
1. Seorang yang meninggalkan warisan erflater pada saat orang tersebut
meninggal dunia 2.
Seorang atau beberapa orang ahli waris erfnaam, yang mempunyai hak menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu
3. Harta warisan nalaten schap yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan
selalu beralih kepada para ahli waris tersebut.
19
Tiap-tiap masyarakat memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu keadaan warisan pada masing-masing masyarakat tergantung pada kondisi
kekeluargaan serta berdampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut. Oemar Salim mengutip pula Meyer yang mengatakan bahwa :
Pada mulanya Negara-negara di dunia ini tidak mengenal hak milik perseorangan individual eigendom atas barang-barang kekayaan melainkan hanya mengenai
milik bersama dari suatu suku bangsa dan suatu keluarga stem of familie- ergendom. Meninggalnya seseorang bukan berarti harta miliknya yang
18
A. Pitlo, Op cit, hal. 3
19
Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
16
meninggal, melainkan hanya hal mengurus harta itu saja yang harus dilanjutkan oleh orang lain yang masih hidup.
20
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanya hak-hak dan kewajiban- kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
Dengan kata lain hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian, misalnya hak dan kewajibann sebagai seorang suami atau seorang ayah tidak dapat
diwariskan. Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapangan hukum perbendaan atau perjanjian tetapi tidak beralih pada para ahli
waris misalnya perjanjian perburuhan. Dalam hukum waris apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala
hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le mort saisit le vif
sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine Pasal 955 KUH Perdata.
21
Adapun syarat untuk menjadi ahli waris adalah sebagi berikut : a. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris yang dapat diperoleh secara
ab intestato maupun testamener. Atau terkadang seorang ahli waris memiliki hak yang diperoleh keduanya secara bersamaan.
b. Telah ada pada saat pewaris meninggal. Dalam Pasal 2 KUHPerdata, dinyatakan bahwa bayi yang masih dalam kandungan dianggap telah ada jika
mempunyai kepentingan dengan syarat ia lahir hidup. Perkecualian kedua syarat tersebut tidak berlaku bagi orang yang mewarisi karena kedudukannya
digantikan oleh keturunannya karena ia telah meninggal dunia namun telah ada ahli warisnya. Dalam Pasal 348 KUH Perdata ditentukan bahwa: Apabila
seorang suami meninggal dunia, istri menerangkan atau setelah dipanggil secara sah untuk itu, mengakui bahwa ia sedang mengandung, maka Balai
20
Oemar Salim, Ibid, hal. 5
21
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIX, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal.96
Universitas Sumatera Utara
17
Harta Peninggalan BHP harus menjadi pengampu atas buah kandungannya dan
wajib mengadakan
tindakan yang
perlu yang
mendesak guna
menyelamatkan dan mengurus harta kekayannya baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang berkepentingan.
Selanjutnya dalam ketentuan Stb. 1872 Nomor 166, dalam ketentuan Pasal 44 – 46 ditentukan bahwa : Keterangan istri tersebut tidak dapat diterima bila
telah lewat waktu 300 tiga ratus hari setelah kematian suaminya. Atas keterangan atau pengakuan adanya kehamilan dan penerimaan pengampuan
tersebut maka BHP membuatkan akta dan diberitahukan kepada pegawai penuntut umum. Bagianwarisan bagi anak yang belum dilahirkan tersebut
meliputi barang-barang yang akan menjadi milik anak tersebut apabila anak tersebut lahir hidup.
c. Dinyatakan cakap menerima warisan. d. Tidak dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak patut .
1 Tidak cakap menerima warisan, yaitu apabila melakukan tindakan tercela seperti telah memfitnah pewaris sehingga pewaris dijatuhi hukuman pidana
2 Tidak patut, yaitu apabila seseorang membunuh pewaris untuk segera mendapatkan harta waris; dengan putusan hakim pernah dipersalahkan
karena memfitnah pewaris atas tuduhan suatu kejahatan yang hu-kumannya lebih dari lima tahun atau lebih; yang diancam dengan kekerasan pewaris
lain untuk
membuat atau
mencabut waris;
mereka yang
telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
22
Hak-hak utama ahli waris adalah : a. Hak untuk menuntut pemecahan harta peninggalan. Diatur dalam Pasal
1066 KUHPerdata. “Tidak seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan
itu dalam keadaan tidak terbagi”. Meskipun demikian, bila para ahli waris sepakat untuk tidak membagikan harta waris tersebut, maka diberikan
tempo 5 lima tahun harta tersebut untuk dapat dibagikan. Terhadap hal ini golongan Timur Asing yakni Tionghoa menganggap pasal ini adalah ben-
cana, sebab harta dianggap sebagai unit ekonomis.
b. Hak saisine. Diatur dalam Pasal 955 KUHPerdata, yaitu pemindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Hal ini terjadi secara otomatis tanpa si ahli waris melakukan perbuatan tertentu. Hak ini berasal dari adagium Prancis yang berbunyi “le mart
saisin le vif orang yang mati berpegangan kepada orang yang hidup. Namun karena terjadinya secara otomatis, orang yang hidup dalam hal ini
ahli waris sering kali merasa keberatan karena harus menanggung segala utang pewaris yang bisa jadi sedemikian besar melebihi harta yang
22
Badriyah Harun, Op cit, hal. 19-20
Universitas Sumatera Utara
18
ditinggalkan, sehingga dalam KUHPerdata diperbolehkan bagi seseorang untuk menolak hak warisnya. Penolakan harus dilakukan dengan tegas
dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum terbukanya warisan tersebut. Dengan adanya penolakan,
maka si ahli waris secara hukum dianggap tidak pernah menjadi ahli waris.
c. Hak heriditatis petitio, yaitu hak untuk mengajukan gugatan guna mempertahankan hak warisnya. Dengan demikian orang tersebut harus
membuktikan bahwa dirinya adalah ahli waris yang sah. Hak ini akan gugur dalam jangka waktu 30 tahun sejak terbukanya warisan.
23
Pewarisan dapat dilakukan dengan dua jalan, yaitu karena hubungan darah, baik sah maupun tidak sah di luar perkawinan yang sah dam karena perkawinan.
“Pewarisan yang terjadi karena hubungan darah didasarkan oleh adagium yang berbunyi “het bloed erfhedgoed” yang mempunyai hubungan darah terdekatlah yang
memiliki hak untuk mewarisi barang-barangnya”.
24
Tidak semua bentuk hubungan darah dapat menjadi ahli waris. Terdapat klasifikasi tertentu yang mengukur jarak jauh dan dekatnya hubungan tersebut. Jauh
dan dekatnya hubungan darah dikelompokkan ke dalam golongan-golongan ahli waris, yaitu :
a. Ahlis waris Golongan I
Ahli waris golongan I adalah anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke bawah tanpa batas dan suami atau istri yang hidup lebih lama. Dalam ahli
waris ini tidak terdapat perbedaan jenis kelamin bagi ahli waris sehingga antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat pembedaan bagian waris.
23
Badriyah Harun, Opc cit, hal. 20-21
24
Ibid, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
19
Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama dari orangtuanya.
Dalam golongan
I terdapat juga
kemungkinan terjadinya
kewarisan berdasarkan haknya sendiri atau karena pergantian tempat. Pergantian tempat di
sini misalnya cucu menggantikan kedudukan anak yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris.
b. Ahli waris Golongan II Diatur dalam Pasal 854, 855, 856, 857 KUHPerdata. Menurut Pasal 854,
warisan golongan II diperoleh karena haknya sendiri, sedangkan menurut Pasal 855 sampai 857 diperoleh karena pergantian tempat. Golongan II terdiri dari ayah,
ibu, serta saudara-saudara si pewaris. Hal ini terjadi apabila si mati tidak memiliki anak, suami, atau istri.
1 Ayah, ibu mendapat 13 bagian sedangkan sisanya untuk satu saudara, baik laki-laki maupun perempuan;
2 Ayah, ibu mendapat 14 bagian jika si mati meninggalkan lebih dari satu saudara. Sisanya 34 dibagikan kepada saudaranya;
3 Ayah atau ibu salah satunya telah tiada dan pewaris meninggalkan satu orang saudara, maka bagian ayah atau ibu adalah ½ bagian;
4 Ayah atau ibu salah satunya telah tiada dan pewaris meninggalkan 2 orang saudara, balk laki-laki maupun perempuan, maka ayah atau ibu
mendapat 13 bagian;
Universitas Sumatera Utara
20
5 Ayah atau ibu salah satunya telah tiada, pewaris meninggalkan lebih dari 2 saudara laki-laki atau perempuan, maka bagian ayah atau ibu adalah ¼
bagian; 6 Bila tidak memiliki ayah atau ibu, maka seluruh harta peninggalannya
menjadi hak seluruh saudara-saudara si pewaris. Dalam hal ayah dan ibu, kedua-duanya mewaris dari warisan anaknya, maka
dalam Pasal 854 ayat 1 KUH Perdata menentukan bahwa : Apabila seorang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan
maupun suami atau istri sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka mereka masing-masig mendapat 13 sepertiga dari warisan, jika si
meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan yang mendapat 13 sepertiga selebihnya.
“Syarat berlakunya Pasal 854 KUH Perdata adalah tidak ada keturunan maupun suami atau istri, dengan kata lain tidak ada ahli waris golongan
pertama”.
25
Adapun bagian dari masing-masing ayah dan ibu adalah : 1 Dalam hal bapak atau ibu mewaris sendiri, artinya tidak ada saudara-saudara
yang mewaris bersama-sama dengannya, maka ia mewaris seluruh harta Pasal 859 KUH Perdata
2 Apabila bapak dan ibu sama-sama mewaris dengan tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama dengan mereka, maka masing-masing mendapat ½
setengah warisan.
25
J. Satrio, Op cit, hal. 126
Universitas Sumatera Utara
21
3 Dalam hal bapak dan ibu mewaris bersama-masa dengan seorang sudara laki- laki atau perempuan, maka ibu dan bapak masing-masing mendapat 13
sedangkan saudara mendapat sisa warisannya yaitu 13 sepertiga. Apabila si pewaris meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki atau perempuan
dan mewaris bersama dengan bapak dan ibu pewaris, maka bapak dan ibu pewaris masing-masing memperoleh ¼ seperempat dari warisan, sedangkan
23 dua per tiga bagian sisanya adalah untuk saudara si pewaris tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 854 ayat 2 KUH Perdata.
c. Ahli waris Golongan III
Sesudah Golongan I dan Golongan II tidak ada lagi, maka muncullah ahli waris Golongan III yang terdiri dari sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus
ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu Pasal 853 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan ibu lurus ke atas adalah kakek
dan nenek, yaitu ayah dan ibu dari ayah ibu pewaris, ayat dan ibu dari kakek maupun nenek, baik dari ayah maupun ibu dan seterusnya.
d. Ahli waris Golongan IV
Dalam Pasal 858 ayat 1 KUH Perdata ditentukan bahwa : Dalam hal tidak ada saudara golongan II dan sanak saudara dalam salah satu
garis lurus ke atas golongan II maka ½ setengah bagian warisan kloving menjadi bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih
hidup kelompok ahli waris dalam garis yang satu, sedangkan ½ bagian lainnya menjadi bagian sanak saudara dalam garis yang lain.
Universitas Sumatera Utara
22
“Sanak saudara dalam garis yang lain adalah para paman dan bibi sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi dan sekalian keturunan dari paman-paman dan
bibi-bibi yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris”.
26
Mewaris menurut undang-undang ab intestate dapat dibedakan antara orang- orang yang mewarisi uit eigen hoofde dan mereka yang mewarisi bij
plaatsvervulling. Seorang dikatakan mewarisi uit eigen hoofde jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si pewaris.
Seseorang dikatakan mewarisi bij plaatsvervuling jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal
lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu
mewarisi bij staken, karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu staak atau cabang.
27
Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi
orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari ¼ seperempat harta peninggalan pertama dan
kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga
pihak ibu si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya saja
tidak mungkin terjadi suatu pemecahan kloving lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali saja Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat
ahli waris lagi maka seluruh warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.
26
J. Satrio, Ibid, hal. 146
27
Subekti, Op cit, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
23
2. Konsepsi