27
BAB II KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS GOLONGAN II SETELAH
TERBITNYA PENETAPAN PENGESAHAN YANG DILAKUKAN SETELAH PEWARIS MENINGGAL DUNIA
A. Pewarisan Dalam Sistem Hukum Perdata 1. Prinsip Pewarisan Perdata
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan
yang terdapat
dalam Kitab
Undang-Undang Hukum
PerdataKUH Perdata Burgerlijk WetboekBW. Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat
dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda. “Hukum Waris erat hubungannya dengan Hukum Keluarga, karena seluruh
masalah mewaris yang diatur undang-undang didasarkan atas hubungan kekeluargaan sedarah karena perkawinan”.
38
“Hukum Waris sebagai bidang yang erat kaitannya dengan hukum keluarga adalah salah satu contoh klasik dalam kondisi masyarakat
Indonesia yang heterogen yang tidak mungkin dipaksakan agar terjadi unifikasi”.
39
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek selanjutnya disebut KUH Perdata adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-
orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
40
38
Pitlo, Hukum Waris Buku Kesatu, diterjemahkan oleh F. Tengker, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 8
39
Erman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Jakara, 2005, hal. 128
40
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1.
27
Universitas Sumatera Utara
28
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Menurut ketentuan undang-undang. b. Ditunjuk dalam surat wasiat”.
41
Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan
kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal
dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian
undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.
Di samping itu, peraturan perandang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal
dunia adalah surat wasiat. “Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”.
42
“Sifat utama
41
R Subekti, Op. cit., hal. 78.
42
R Subekti, Ibid., hal. 88
Universitas Sumatera Utara
29
surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali”.
43
Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah
pembuat wasiat meninggal dunia maka surat wasiat tidak dapat diubah, dicabut dan ditarik kembali oleh siapa pun termasuk yang menjadi ahli waris.
Kekayaan dalam pengertian waris adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva.
Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena
itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut: a.
ada orang yang meninggal dunia; b.
ada orang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
c. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.
44
Hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada
sekalian ahli warisnya”
45
sebagaimana diatur dalam Pasal 833 jo Ps. 955 KUH Perdata. Hak-hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah
termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
43
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 85
44
Zainuddin Ali, Op cit, hal. 82
45
R. Subekti, Op cit, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
30
“Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa
yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan”.
46
Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah
meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka. M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan
bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai
dimana hubungan
seseorang peninggal
warisan dengan
kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan
berada. b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris erfgenaam yang berhak menerima
kekayaan yang ditinggalkan itu. Hal ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan
ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
c. Harta Warisan nalatenschap, yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai
dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama
berada.
47
Adapun syarat-syarat untuk memperoleh warisan adalah sebagai berikut : a.
Syarat yang berhubungan dengan pewaris
46
A. Pitlo, Op cit, hal. 58
47
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 85
Universitas Sumatera Utara
31
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal duniamati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata.
Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi : 1 Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh mati hakiki, yaitu dapat
dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati. 2 Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara
sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris
Orang-orang yang berhakahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan
dengan: 1 Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih
hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra. 2 Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup.
Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata.
“Menurut sistem hukum waris perdata, atas suatu pewarisan berlakulah ketentuan
tentang pewarisan
berdasarkan Undang-undang,
kecuali pewaris
mengambil ketetapan lain dalam surat wasiat”.
48
Dalam hal ini terdapat asas yang penting dalam hukum waris perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 847 KUH
48
J. Satrio, Op cit, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
32
Perdata yang menentukan bahwa tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya.
Ciri khas hukum waris perdata Barat antara lain adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta
warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang
lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 KUH Perdata sebagai berikut : 1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak
dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.
2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut.
3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya beberapa waktu tertentu.
4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
“Selain itu, dalam KUH Perdata terdapat pula sebab-sebab ahli waris tidak patut atau terlarang onwaardig untuk menerima warisan dari si pewaris Pasal 838,
untuk ahli waris karena undang-undang dan Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat”.
49
Menurut Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Ahli waris yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, adalah:
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan
49
Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, Darul Ulum Press, Serang, 1993, hal 58
Universitas Sumatera Utara
33
telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu : a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta
benda saja yang dapat diwariskan. b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya
secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian. d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan secara pribadi bukan
kelompok ahli waris. e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari
pihak ibu. f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.
50
Di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada
ahli warisnya Pasal 833 jo Pasal 955 KUH Perdata. Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari
pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan. “Orang menggambarkannya dengan ungkapan le mort saisit le vif, si
ahli waris melanjutkan persoon si pewaris. Hal ini berarti bahwa ahli-waris mengalihkan warisan dengan alas hak umum”.
51
50
M. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal 95-96
51
J. Satrio, Surat Keterangan Waris Dan Beberapa Permasalahannya, Pertemuan Notaris, Samarinda, 14 September 2004, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
34
Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris, semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan yang seringkali
disebut dengan istilah “boedel warisan”. Boedel warisan meliputi, baik hak-hak
maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan Hukum Kekayaan. Jika seorang suami mengingkari keabsahan seorang anak ahli waris, maka harus dibuat
akte pengingkaran keabsahan anak dalam waktu 1 bulan jika ia berada di daerah kelahrian anak atau 2 bulan jika berada di luar daerah kelahiran anak. Jika dalam
jangka watu tersebut suami meninggal, dan para ahli waris tidak melanjutkan pengingkaran tersebut maka tuntutan pengingkaran keabsahan anak tersebut menjadi
gugur, sehingga dalam jangka watu 2 bulan anak tersebut dapat melakukan tuntutan hukum.
Peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli waris harus melakukan suatu
tindakan atau mengambil sikap tertentu. Sudah cukup apabila pewarisnya meninggal dunia dan orang yang terpanggil untuk mewaris masih hidup, dengan pengecualian
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata. Apabila prinsip tersebut dilaksanakan secara absolut, maka akan timbul
ketidakadilan. Ketidakadilan akan muncul bagi ahli waris apabila warisannya negatif yaitu apabila hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya. Selain itu
ketidakadilan juga muncul apabila seseorang yang pada saat meninggalnya ahli waris, ia masih hidup, namun kemudian ia meninggal dunia dan memiliki
keturunan. Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si pewaris maupun keturunannya tidak mewaris dari pewaris.
52
52
Ting Swan Tiong, Surat Keterangan Waris, Media. Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari 1991, hal. 160
Universitas Sumatera Utara
35
Terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan tersebut di atas, KUH Perdata ternyata memberikan kesempatan kepada ahli waris untuk menentukan
sikapnya terhadap warisan yang terbuka, yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut
kedua, diciptakan lembaga penggantian tempat plaatsvervuling. Apabila ahli waris tersebut menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban
pewaris, untuk suatu bagian tertentu, sesuai dengan hak bagian dalam pewarisan beralih kepada dirinya. Hak bagiannya atas harta warisan tersebut bercampur
dengan harta pribadinya. Dalam hal hutang warisan lebih besar daripada
aktivanya, maka kekurangannya untuk suatu bagian yang sebanding dengan haknya dalam pewarisan ditanggungdibayar dengan harta pribadi ahli waris
yang bersangkutan.
53
Dengan demikian dalam hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas : 1.
Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan 2.
Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi. Untuk menghindari kerugian akibat adanya pewarisan, maka tersedia
lembaga: 1. Menerima secara beneficiair
Ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan, apabila aktivanya lebih besar dari pasivanya.
Untuk menentukan sikap seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar. Itulah
sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair disebut juga menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel.
Terhadap ahli waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang jatuh kepada ahli waris yang bersangkutan untuk sementara tidak
bercampur dengan harta pribadinya.
2. Menolak warisan Mereka yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Ia
tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung beban-
53
Ting Swan Tiong, Ibid, hal. 161
Universitas Sumatera Utara
36
beban warisan. Pada asasnya, mereka yang telah menolak warisan tidak bisa menerimanya lagi vide perkecualian dalam Pasal 1056 KUH Perdata.
54
2. Status Sebagai Ahli Waris