Analisis Yuridis Pemberian Kuasa Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 51/PDT.G/2009/PN.Mdn)
TESIS
Oleh
ARFANSYAH PUTRA TANJUNG
097011086/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ARFANSYAH PUTRA TANJUNG
097011086/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Nomor Pokok : 097011086 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Pembimbing Pembimbing
(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
(5)
Nama :ARFANSYAH PUTRA TANJUNG
Nim :097011086
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis :ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN KUASA BLANKO
PADA AKTA PERIKATAN JUAL BELI (STUDI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 51/PDT.G/2009/PN.MDN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya seniri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : ARFANSYAH PUTRA TANJUNG Nim : 097011086
(6)
kepada pihak kedua dan siapa saja yang ditunjuk secara sepihak oleh pihak kedua yang namanya tidak dicantumkan dalam akta Perikatan Jual Beli (Kuasa Blanko). Apabila pihak pertama (penjual) dan pihak kedua (pembeli) tidak dapat memberikan bantuannya di dalam melangsungkan jual beli dihadapan PPAT. Untuk itu penandatanganan akta jual belinya oleh pihak pertama diwakili oleh penghadap lain yang namanya dicantumkan dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli tersebut sedangkan oleh pihak kedua (pembeli) dapat diwakili oleh penghadap lain sebagai kuasa lisan. Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan setempat, guna pendaftaran peralihan nama dari penjual kepada pembeli, namum setelah selesai sertipikat di balik nama keatas nama pembeli, pihak penjual menggugat pembeli karena merasa tidak pernah menandatangani akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan bahkan menggugat notaris serta pegawai notaris yang namanya tercantum dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli, Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan. Bagaimana kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris, Bagaimana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah. Bagaimana pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan jual beli hak atas tanah.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Kedudukan Akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris adalah akta otentik yang merupakan akta awal dari suatu akta jual beli yang nantinya akan dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Pemberian kuasa tidak hanya terbatas dilakukan oleh seseorang kepada orang lain namun dapat dilakukan oleh lebih dari seseorang kepada orang lain atau lebih, kuasa blanko termasuk dalam jenis kuasa khusus karena hanya digunakan untuk satu kepentingan saja, pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli yakni semata-mata untuk kepentingan yang disebutkan dalam akta tersebut. Pengaturan pemakaian kuasa blanko dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak tegas dan jelas ini terlihat dari pasal demi pasal undang-undang tersebut, tidak adanya pengaturan pemakaiannya sehingga perlu penafsiran yang lebih dalam guna pemakaian kuasa blanko tersebut.
(7)
signing a Trading Agreement before a Land Certificate Issuing Official. This granting authority by the first party to the second party and whoever appointed by the second party whose name is not included in the Trading Agreement is called Blank Authority. If the first party (the seller) and the second party (the buyer) cannot help in performing the trading before the Land Certificate Issuing Official, the signing of the Trading Agreement by the first party is represented by the other person appearing whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement while the second party (the buyer) can be represented by the other person appearing in his/her capacity as the one who holds verbal power of attorney. Then, the trading agreement and the other requirements met as well as the land certificate are registered in the local land office to register the transfer of name on the document from the seller to the buyer. After the certificate with the name of the buyer has been issued, the seller sued the buyer because the seller said that he/she never signed the trading Agreement made before the Land Certificate Issuing Official and the seller even sued the notary and the employee of the notary whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement. This purpose of this study was to analyze the position of right to land trading agreement made by a notary, to answer how the blank authority in a right to land trading agreement is granted, and to find out the contents of blank authority and how the blank authority in a right to land trading agreement is used.
The data for this descriptive analytical study with juridical empirical approach were primary and secondary data obtained through interviews and the study of primary, secondary and tertiary legal materials collected through library research. The obtained were qualitatively analyzed.
The position of the right to land trading agreement made by a notary is an authentic agreement which becomes an initial agreement of a trading agreement to be made before the authorized Land Certificate Issuing Official. The granting of blank authority in the trading agreement is merely for the purpose of signing the trading agreement before the Land Certificate Issuing Official. Granting authority is not limited to be done by a person to another person but it can also be done by more than one person to one or more persons. The blank authority belongs to a special kind of authority because it is used for a single purpose only. The regulation for the use of blank authority in Law on Notary Position is not strict and clear. It is clearly seen from the articles of the law. The absence of regulation of using the blank authority makes it necessary to do a deeper interpretation in using the blank authority.
(8)
karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Adapun tujuan dan penulisan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa untuk masuk pada tahapan seperti ini bukanlah ditempuh dengan mudah, halangan dan hambatan penulis lalui tetapi melalui tahap demi tahap penulis lewati sehingga sampai saat ini. Semua ini karena ada pihak-pihak yang berperan penting membantu penulis dalam menyelesaikan ini semua.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, masukan dan saran-saran. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis haturkan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis dan penyempurnaan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Kezeirina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(9)
penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.
6. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.
7. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.
8. Seluruh staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Seluruh staf Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis demi kelancaran administrasi penulis dalam menyelesaikan penulisan ini;
10. Bapak-bapak dan ibu-ibu Notaris di Kota Medan yang telah memberikan masukan-masukan dan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.
11. Rekan-Rekan Penulis Mahasiswa/I Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya angkatan 2009 yang tidak penulis sebutkan namanya satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi penulis untuk bisa menyelesaikan Tesis ini.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan doa kepada Allah SWT yang ditujukan kepada ayahanda tercinta Almarhum Haji Bustami Said, SH, semoga arwah beliau senantiasa berada disisiNya, rasa haru untuk beliau, moga harapan beliau terhadap penulis menjadi kenyataan (AMIN). Sembah sujud penulis yang tak
(10)
yang telah memberikan semangat, dorongan dan doanya yang tidak terhingga demi perjuangan penulis meraih cita-cita dan buat ananda tersayang Irham Habiburrahman Tanjung yang senantiasa memberikan keceriaan buat penulis disaat penulis menyelesaikan tesis ini
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik penulisan maupun substansi yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan tesis ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.
Medan, Juni 2012 Penulis
(11)
Nama : Arfansyah Putra Tanjung, SH Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 22 Juni 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Kawin
Alamat : Jl. Pimpinan gang Rahayu nomor 1 Medan
II. KELUARGA
Nama Isteri : Siti Henizar Hasibuan, SPd
Nama Anak : Irham Habiburrahman Tanjung
Nama Ayah : Alm.H.Bustami Said, SH
Nama ibu : Hj. Mardiah Tanjung
Ayah Mertua : Syamsul Hasibuan
ibu Mertua : Siti Arneti
III. PENDIDIKAN
SD. Swasta Batara Guru Medan (1981-1987) SMP. Negeri XI Medan (1987-1990)
SMK. Prayatna Medan (1990-1993)
S1 Universitas pembangunan Panca Budi Medan (1998-2002) S2 Magister Kenotariatan FH-USU (2009-2012)
(12)
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Kerangka Konsepsi ... 23
G. Metode Penelitian ... 28
1. Spesifikasi Penelitian ... 28
2. Teknik Pengumpulan Data ... 29
3. Alat Pengumpulan Data ... 30
4. Analisis Data ... 31
BAB II KEDUDUKAN AKTA PERIKATAN JUAL BELI PADA HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT OLEH NOTARIS ... 32
A. Pengertian Akta ... 32
1. Akta Notaris ... 32
2. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 38
(13)
BAB III PEMBERIAN KUASA BLANKO DALAM AKTA
PERIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH ... 82
A. Pengertian Kuasa ... 82
B. Kuasa Blanko ... 91
C. Kedudukan Hukum Kuasa Blanko ... 95
BAB IV PEMAKAIAN KUASA BLANKO DAN ISI KUASA BLANKO PADA AKTA PERIKATAN JUAL BELI... 97
A. Pemakaian Kuasa Blanko ... 97
B. Isi Kuasa Blanko ... 100
C. Putusan Pengadilan Negeri ... 105
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
(14)
kepada pihak kedua dan siapa saja yang ditunjuk secara sepihak oleh pihak kedua yang namanya tidak dicantumkan dalam akta Perikatan Jual Beli (Kuasa Blanko). Apabila pihak pertama (penjual) dan pihak kedua (pembeli) tidak dapat memberikan bantuannya di dalam melangsungkan jual beli dihadapan PPAT. Untuk itu penandatanganan akta jual belinya oleh pihak pertama diwakili oleh penghadap lain yang namanya dicantumkan dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli tersebut sedangkan oleh pihak kedua (pembeli) dapat diwakili oleh penghadap lain sebagai kuasa lisan. Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan setempat, guna pendaftaran peralihan nama dari penjual kepada pembeli, namum setelah selesai sertipikat di balik nama keatas nama pembeli, pihak penjual menggugat pembeli karena merasa tidak pernah menandatangani akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan bahkan menggugat notaris serta pegawai notaris yang namanya tercantum dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli, Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan. Bagaimana kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris, Bagaimana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah. Bagaimana pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan jual beli hak atas tanah.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Kedudukan Akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris adalah akta otentik yang merupakan akta awal dari suatu akta jual beli yang nantinya akan dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Pemberian kuasa tidak hanya terbatas dilakukan oleh seseorang kepada orang lain namun dapat dilakukan oleh lebih dari seseorang kepada orang lain atau lebih, kuasa blanko termasuk dalam jenis kuasa khusus karena hanya digunakan untuk satu kepentingan saja, pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli yakni semata-mata untuk kepentingan yang disebutkan dalam akta tersebut. Pengaturan pemakaian kuasa blanko dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tidak tegas dan jelas ini terlihat dari pasal demi pasal undang-undang tersebut, tidak adanya pengaturan pemakaiannya sehingga perlu penafsiran yang lebih dalam guna pemakaian kuasa blanko tersebut.
(15)
signing a Trading Agreement before a Land Certificate Issuing Official. This granting authority by the first party to the second party and whoever appointed by the second party whose name is not included in the Trading Agreement is called Blank Authority. If the first party (the seller) and the second party (the buyer) cannot help in performing the trading before the Land Certificate Issuing Official, the signing of the Trading Agreement by the first party is represented by the other person appearing whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement while the second party (the buyer) can be represented by the other person appearing in his/her capacity as the one who holds verbal power of attorney. Then, the trading agreement and the other requirements met as well as the land certificate are registered in the local land office to register the transfer of name on the document from the seller to the buyer. After the certificate with the name of the buyer has been issued, the seller sued the buyer because the seller said that he/she never signed the trading Agreement made before the Land Certificate Issuing Official and the seller even sued the notary and the employee of the notary whose name is included in the Blank Authority of the Trading Agreement. This purpose of this study was to analyze the position of right to land trading agreement made by a notary, to answer how the blank authority in a right to land trading agreement is granted, and to find out the contents of blank authority and how the blank authority in a right to land trading agreement is used.
The data for this descriptive analytical study with juridical empirical approach were primary and secondary data obtained through interviews and the study of primary, secondary and tertiary legal materials collected through library research. The obtained were qualitatively analyzed.
The position of the right to land trading agreement made by a notary is an authentic agreement which becomes an initial agreement of a trading agreement to be made before the authorized Land Certificate Issuing Official. The granting of blank authority in the trading agreement is merely for the purpose of signing the trading agreement before the Land Certificate Issuing Official. Granting authority is not limited to be done by a person to another person but it can also be done by more than one person to one or more persons. The blank authority belongs to a special kind of authority because it is used for a single purpose only. The regulation for the use of blank authority in Law on Notary Position is not strict and clear. It is clearly seen from the articles of the law. The absence of regulation of using the blank authority makes it necessary to do a deeper interpretation in using the blank authority.
(16)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan kodrat alam manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok. Di samping itu, manusia juga punya hasrat untuk bermasyarakat.
Seorang ahli pikir bangsa Yunani yang bernama Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politication yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia.1 Hidup bermasyarakat ialah bercampur dan bergaul dengan sesamanya untuk dapat memenuhi segala kebutuhan agar dapat hidup layak sebagai manusia melakukan kerja sama yang positif sehingga kerja sama itu secara konkret dapat membawa keuntungan yang besar artinya bagi kehidupan anggota masyarakat tersebut. Kerja sama secara positif adalah dalam upaya mengejar kehidupan yang layak sebagai manusia. Masing-masing mereka tidak boleh menganggu, tetapi harus saling membantu. Sebagai individu, manusia tidak dapat hidup untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan mudah, tanpa bantuan orang lain atau harus adanya kontak diantara individu lainnya agar dapat memenuhi segala
(17)
kebutuhan mereka. Oleh karena manusia saling mempunyai kebutuhan yang tidak dapat diwujudkannya seorang diri saja tanpa bantuan dari manusia lainnya maka untuk itu mereka harus hidup bermasyarakat. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut beraneka ragam bentuknya sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Setiap anggota masyarakat mempunyai kebutuhan dan kepentingan. Seseorang dalam kehidupannya sehari-hari membutuhkan beraneka ragam kebutuhan, diantaranya kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kesemua itu tidak mungkin dapat dilakukannya tanpa berhubungan dengan orang lain dan kebutuhan tersebut ada yang sama dan ada pula yang bertentangan, misalnya kepentingan si penjual dan kepentingan si pembeli. Kepentingan si penjual adalah untuk menerima uang, sedangkan kepentingan si pembeli adalah untuk menerima barang yang dibelinya.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan itu tidak menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat. Agar perdamaian dalam masyarakat tetap terpelihara, ketertiban, kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan, maka masyarakat memerlukan petunjuk hidup yang dinamakan ”hukum”.
Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan suatu aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat
(18)
mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.2
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup, perintah-perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.3
Secara umum dapat dilihat bahwa hukum merupakan suatu aturan tingkah laku berupa norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu.
Dahulu masyarakat dalam melakukan perbuatan hukum cukup dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas saling percaya mempercayai. Sebagian besar masyarakat terutama pada masyarakat yang masih diliputi oleh adat kebiasaan yang kuat masih kurang menyadari pentingnya suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan diantara para pihak cukup dilakukan secara lisan. Untuk peristiwa-peristiwa yang penting hanya dibuktikan dengan kesaksian dari beberapa orang saksi, biasanya yang menjadi saksi ialah tetangga, teman sekampung, pegawai desa atau pengetua adat. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan alat bukti tertulis dirasakan semakin penting. Setiap model hubungan yang dijalin seperti perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh
2Ibid., Hal. 21 3Ibid
(19)
masyarakat (para pihak) akan melahirkan hak dan kewajiban baru bagi masing-masing pihak. Hak dan kewajiban ini perlu dibentengi dengan dokumen-dokumen yang dapat dijamin legalitasnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pemenuhan atau pelaksanaan hak dan kewajiban.4
Adanya kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat merupakan salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk membuat perjanjian dihadapan notaris. Kesadaran hukum yang tinggi pada masyarakat yang ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan jasa notaris, meningkatnya taraf hidup masyarakat, adanya kemajuan teknologi yang begitu cepat dan semakin banyaknya lapangan usaha yang tersedia di berbagai bidang sehingga menimbulkan dan mendorong para pelaku bisnis meningkatkan kegiatan usahanya di berbagai bidang. Oleh karena itu dirasakan perlunya akan akta notaris dalam praktek lalu lintas hukum dalam masyarakat yang semakin maju dan kompleks.5Hal ini adalah logis karena setiap orang yang mengikat perjanjian dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka, sehingga hal yang sangat penting mengingat kepastian hukum yang lebih besar yang mengikat bagi mereka yang mengadakan persetujuan tersebut.
Setiap masyarakat membutuhkan seorang figur yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya tanda tangannya serta segelnya memberikan jaminan dan bukti yang kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat hukum yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), dan
4Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan,Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, Hal. 6 5Ibid., Hal. 2
(20)
membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di kemudian hari. Kalau seorang advokat membela hak-hak seorang ketika timbul suatu kesulitan, maka lain halnya dengan notaris yang harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan.6
Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai ”notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang mengkehendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara mereka, suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk dimana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.7
Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan manusia semakin bertambah. Salah satu kebutuhan tersebut adalah papan atau tempat tinggal yang dewasa ini sangat meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Tempat tinggal atau rumah tersebut didirikan diatas sebidang tanah yang penguasaan atas tanah tersebut dapat diperoleh berdasarkan hibah, tukar menukar, jual beli dan sebagainya.
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kepastian hukum yang diwujudkan dalam suatu alat bukti yang kuat yaitu berupa akta otentik, maka kedudukan notaris sebagai Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik (kecuali ditentukan lain oleh undang-undang) juga semakin penting. Akta-akta yang
6 Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2000, Hal. 162
(21)
dibuat oleh notaris benar-benar dapat diterima sebagai alat bukti sempurna diantara para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang menyatakan bahwa ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud undang-undang ini”. Perbuatan hukum atas penguasaan dan pemilikan hak atas tanah tidak terlepas dari peran serta notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Salah satu tugas notaris dan PPAT adalah dalam hal pembuatan akta pengalihan hak atas tanah.
Pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat dilakukan oleh Notaris. Sedangkan pengalihan hak atas tanah yang telah bersertifikat dilakukan dihadapan PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu atas tanah. Dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah8ditegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, kepala kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu atas tanah sebagai dasar alat bukti peralihan hak atas tanah.
Alat bukti mengenai perbuatan hukum telah terjadinya peralihan hak dengan jual beli bagi tanah-tanah yang telah bersertipikat dalam prakteknya pelaksanaan jual beli atas tanah belum dapat langsung ditandatangani akta jual belinya dihadapan
8Indonesia,Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN
(22)
PPAT, walaupun kata sepakat telah terjadi antara calon penjual dan calon pembeli. Sebelum penandatangan akta jual beli harus terlebih dahulu dipenuhi syarat-syarat formal, yakni syarat-syarat umum terdiri dari sertifikat hak atas tanah (guna cek bersih sertipikat di kantor pertanahan setempat), kartu tanda penduduk (KTP), surat pemberitahuan pajak terhutang pajak bumi dan bangunan tahun terakhir, bukti pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi pembeli dan bukti pembayaran pajak penghasilan (PPh) bagi penjual.9
Untuk itu biasanya diadakan suatu perjanjian dan mengikat kedua belah pihak dimana penjual dan pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk melakukan jual beli sampai terpenuhi segala sesuatu yang menyangkut jual beli. Perjanjian seperti ini biasanya disebut Perikatan Jual Beli. Yakni penjual dan pembeli membuat suatu akta Perikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris bukan di hadapan PPAT. Dimana syarat-syarat bagi terpenuhinya suatu jual beli tanah bersertifikat belum sepenuhnya dipenuhi baik oleh penjual maupun pembeli.
Dalam pasal 1 peraturan jabatan Notaris, dikemukakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse,
9 J Kartini Soedjendro, Perjanjian Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta,
(23)
salinaan dan kutipannya, semuanya sepanjang akta itu oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau dikecualikkan kepada pejabat atau orang lain.10
Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-Undang dalam membuat akta dan sekaligus notaris merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus bersifat professional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi kode etik notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.
Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris11 telah diatur secara umum tentang tugas-tugas notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik. Akta otentik sebagai alat bukti yang terkuat mempunyai peranaan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat yang dapat menentukan secara jelas hak dan kewajiban sehingga menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadi sengketa. Notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya menurut Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004.
Penjual dan pembeli menyatakan kehendak untuk melangsungkan jual beli yang sesungguhnya yaitu jual beli yang dilangsungkan menurut ketentuan Pasal 26
10Suhrawardi K Lubis,Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.35
11 Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, No. 30 Tahun 2004, LN No. 117
(24)
Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria bahwa jual beli merupakan salah satu cara untuk pemindahan hak kepemilikan atas tanah.
Alasan-alasan yang mendasari dibuatnya akta Perikatan Jual Beli oleh penjual dan pembeli karena penjual dan pembeli belum dapat memenuhi syarat-syarat untuk melakukan jual beli yang definitive dihadapan PPAT sedangkan keduanya telah setuju untuk melakukan transaksi jual beli. Dalam PJB juga dicantumkan harga jual beli lunas (tunai) yang telah disepakati, cara pembayaran , penyerahan sertipikat dan hal-hal lainnya.
Kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak berarti menyetujui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perikatan Jual Beli termasuk didalamnya pemberian kuasa. Dalam KUHPerdata pemberian kuasa diatur dalam buku III, dimulai dari pasal 1792 sampai dengan pasal 1819. Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang atau lebih dari satu orang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan12. Kemudian makna kata-kata “untuk dan atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama
12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.
(25)
pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan.
Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.13
Orang yang telah diberikan kuasa, (ia dinamakan”juru kuasa” atau juga “kuasa" saja) melakukan perbuatan hukum tersebut “atas nama” orang yang memberikan kuasa artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah “atas tanggungan” si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Atau bahwa, kalau yang dilakukan itu berupa membuat (menutup) suatu perjanjian, maka si pemberi kuasalah yang menjadi “pihak” dalam perjanjian itu.14 Atau dengan kata lain penerima kuasa diberikan wewenang untuk mewakili pemberi kuasa, akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tindakan hukum pemberi kuasa.
Ada beberapa macam pemberian kuasa umum dikenal oleh masyarakat karena seringkali dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Macam pemberian kuasa itu dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Pemberian
13Ibid, Pasal 1793
(26)
kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan.15
Dalam pemberian kuasa terdapat batasan-batasan seperti pasal 1792 KUHPerdata, memberikan batasan sebagai berikut: pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan.16
Dalam Perikatan Jual Beli juga tercantum pemberian kuasa dari penjual (pihak pertama), kepada pembeli (pihak kedua) yang dalam pelaksanaannya dipergunakan untuk penandatanganan Akta Jual Beli di hadapan PPAT, pemberian kuasa oleh pihak pertama kepada pihak kedua dan siapa saja yang ditunjuk oleh pihak kedua yang namanya tidak dicantumkan dalam Perikatan Jual Beli. Surat kuasa dimana penerima kuasa tidak dicantumkan namanya didalam akta atau dikenal dengan “Kuasa Blanko”.17 Kelak kalau kuasa itu mau dipergunakan, cukup ditulis identitas penghadap yang akan menjalankan kuasa tersebut di dalam akte perikatan jual beli.
Setelah persyaratan-persyaratan untuk melakukan jual beli telah terpenuhi maka dibuatlah akta jual beli dihadapan PPAT. Akta jual beli yang dibuat tersebut berdasarkan akta Perikatan Jual Beli. Para pihak harus datang kembali menghadap PPAT untuk menandatangani akta jual belinya. Namun kadang kala pihak pertama
15
Ibid, Hal. 143
16Djaja S. Meliala,Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Bandung, Nuansa Aulia, 2008, hal.2
(27)
(penjual) dan pihak kedua (pembeli) tidak dapat memberikan bantuannya di dalam melangsungkan jual beli dihadapan PPAT. Untuk itu penandatanganan akta jual belinya oleh pihak pertama dan pihak kedua diwakili oleh penghadap lain yang namanya dicantumkan dalam kuasa blanko akta PJB tersebut. Dalam praktek sehari-hari Notaris, didalam kuasa blanko dicantumkan nama pegawai notaris yang menjalankan akta Jual Beli tersebut yang mewakili pemberi kuasa yang tadinya berstatus sebagai penjual.
Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan setempat, guna pendaftaran peralihan nama dari penjual kepada pembeli, namum setelah selesai di balik nama pihak penjual menggugat pembeli karena merasa tidak pernah menandatangani akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan bahkan menggugat notaris serta pegawai notaris yang namanya tercantum dalam kuasa blanko akta Perikatan Jual Beli, maka siapa yang harus bertanggung jawab akan hal tersebut.
Akta Perikatan Jual Beli tersebut sudah mewakili sebagai alat bukti yang otentik tapi mengapa masih ada saja pihak-pihak yang menggugat notaris atas penggunaan kuasa blanko tersebut. Jika notaris selalu dilibatkan dan diikut sertakan sebagai tersangka tentu hal tersebut akan mengganggu kelancaran tugas notaris dalam melaksanakan jabatannya.
Kronologis kasus bermula ketika Tuan THS sebagai Penggugat bertindak berdasarkan Akta Surat Kuasa tertanggal 3 September 2008 nomor 03 yang dibuat di
(28)
hadapan Notaris R telah mengalihkan sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik nomor 686 seluas 536 M2, tercatat atas nama IS kepada Tuan AHS selaku Tergugat I yang dibuat dihadapan Notaris E sebagai Tergugat II.
Pengalihan hak atas tanah tersebut dilaksanakan dengan Akta Pengikatan Jual Beli karena syarat-syarat untuk Akta Jual Beli yang definitif belum terpenuhi dan harga jual beli telah dilunasi oleh Tergugat I kepada Penggugat. Setelah syarat-syarat untuk Akta Jual beli dipenuhi maka dibuatlah Akta Jual Belinya yang kemudian ditandatangani oleh pegawai notaris selaku Tergugat III bertindak berdasarkan kuasa blanko yang tertera dalam akta pengikatan jual beli tersebut dan kemudian didaftarkan balik nama sertifikat keatas nama Tergugat I pada Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat.
Penggugat merasa keberatan setelah mengetahui bahwa sertifikat atas tanah tersebut telah tercatat atas nama Tergugat I karena Penggugat tidak pernah menandatangani Akta Jual Belinya ataupun memberi kuasa apapun kepada Tergugat III bahkan Penggugat tidak mengenal Tergugat III.
Kasus tersebut telah diajukan dan didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Medan pada tanggl 06 Februari 2009 dengan Register nomor :
51/Pdt.G/2009/PN.Mdn dan telah diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri di Medan pada tanggal 17 Desember 2009 dengan putusannya adalah menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
Berdasarkan gambaran tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul “Analisis Yuridis Pemberian Kuasa
(29)
Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli”dengan studi putusan Pengadilan Negeri di Medan nomor: 51/Pdt.G/2009/PN.Mdn.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris?
2. Bagaimana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah?
3. Bagaimana pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan jual beli?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kedudukan akta perikatan jual beli pada hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris.
2. Untuk mengetahui sejauh mana pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah.
3. Untuk mengetahui pemakaian kuasa blanko dan isi kuasa blanko pada akta perikatan jual beli
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan untuk memecahkan hal-hal yang menjadi permasalahan baik secara teoritis maupun secara praktis :
(30)
1. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang kenotariatan, dan berguna bagi Notaris dalam membuat akta Perikatan Jual Beli.
2. Secara praktis, melalui penelitian ini diharapkan :
a. berguna bagi praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya sehingga permasalahan tidak akan terjadi dan segera teratasi.
b. menjadi sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
c. dapat menjadi kajian lebih lanjut bagi akademisi yang ingin melakukan pengembangan ilmu pengetahuan.
d. berguna bagi masyarakat umum dan khususnya pembaca penelitian ini.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada sekolah Pasca Sarjana program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Analisis Yuridis Pemberian Kuasa Blanko Pada Akta Perikatan Jual Beli.
Namun demikian dari hasil penelusuraan kepustakaan terdapat penelitian yang berjudul sebagai berikut :
1. “Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dengan Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan.” Oleh Chairani Bustami, NIM 002111046 dan permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini.
(31)
2. “Kekuatan Dan Kelemahan akta Perjanjian jual beli yang dibuat Notaris” oleh ZULFAHMY, NIM 027011067 dan permasalahan yang dibahas adalah bagaimana kesiapan notaris dalam melayani permintaan para pihak dalam pembuatan perjanjian jual beli yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak, hal-hal apa saja yang menyebabkan dilaksanakannya perjanjian jual beli dan kendala-kendala apa yang mungkin timbul dari perjanjian jual beli tersebut, dan bagaimana kekuatan hukum dan kelemahan suatu akta perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan notaris yang dikaitkan dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.18
(32)
Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.19
Menurut Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksi (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.20
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.21 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.22
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.23
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada
19 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 134
20 Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990,
hal.34
21Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 254 22Ibid, hal. 253
(33)
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Oleh sebab itu, kerangka teori mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut :
1 Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
2 Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina strukrut konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3 Teori biasanya merupaka suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannyaa yang menyangkut objek yang diteliti.
4 Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin factor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
5 Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan penelitian.24
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai ”pisau analisis” pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.25
Teori penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan :
24Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Presss, Jakarta, 1986, hal.121 25Ibid., Hal. 146
(34)
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik buruk.26
Pengertian perintah dari penguasa yang berdaulat tersebut dengan disertai sanksi. Sanki ini dikatakan sebagai memberikan rasa malu bagi setiap kejahatan yang terjadi.27 Oleh karena itu, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Disini letak korelasi antara persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum.
Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara, menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.28
Apabila notaris dalam menjalankan profesinya tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ada tentunya itu sudah tidak patuh pada UUJN, Persengketaan antara para pihak dapat terjadi meskipun notaris telah memenuhi ketentuan-ketentuaan yang berlaku, hal ini bukan karena kesalahaan notaris namun adalah kesalahan para pihak yang tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
26Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,
hal.55
27
Lili Rasjidi dan Arief Sidarta, filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, CV. Remadja Karya, Bandung, 1989, hal 129
28Habib Adjie,Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009,
(35)
sesuai dengan kenyataan, namun notaris juga harus ikut bertanggung jawab atas hal tersebut. Oleh karena itu, notaris yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya, kepastian, keadilan serta ketertiban umum.
Tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik, dalam pasal 1868 KUHPerdata, dinyatakan bahwa, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuatnya. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai berikut : 1 Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum.
2 Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.
3 Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya ditempat dimana akta itu dibuat.
Alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, pristiwa atau perbuatan hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian, keadilan dan ketertiban yang diselenggarkana melalui jabatan tertentu. Notaris dalam menjalankan profesinya tertentu harus patuh pada UUJN, Kode etik notaris KUHPerdata dan KUHPidana serta peraturan-peraturan yang berlaku lainnya agar kepastian, keadilan dan ketertiban hukum dapat tercapai.
Lawrence M. Friedman dalam hubungannya dengan sistem hukum, menyebutkan adanya beberapa komponen unsur hukum sebagai berikut:
(36)
1. sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistim itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.
2. sistem hukum mempunyai substansi, yaitu berupa aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sitem tersebut.
3. sistem hukum mempunyai komponen budaya huku yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sitem hukum itu sendiri, seperti kepercayaan. Nilai, pemikiran serta harapannya.29
Perikatan Jual Beli dapat digolongkan dalam suatu perikatan bersyarat tangguh sesuai pasal 1253 KUHPerdata, dimana berdasarkan isi perjanjian jual beli hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam perjanjian tersebut ditangguhkan pelaksanaanya oleh para pihak, perikatan yang lahir digantungkan pada suatu peristiwa yang dalam hal ini adalah terpenuhinya syarat-syarat dalam melaksanakan perjanjian jual beli dihadapan PPAT sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 atau dengan kata lain isi pokok perjanjian dalam perikatan jual beli atas tanah sebagaimana diatur dalam peraturan tanah nasional akan dilaksanakan para pihak apabila hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut telah terpenuhi.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas) suatu benda kepada pihak lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan sesuai dengan pasal 1457 KUHPerdata.
29Lawrence M. Friedman,Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001,
(37)
Pasal 1458 KUHPerdata menyebutkan jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat dicapai kata sepakat mengenai benda yang diperjual belikan beserta harganya walaupun benda dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat dicapai kata sepakat mengenai benda yang belum diserahkan dan harga belum dibayar.
Dalam KUHPerdata juga disebutkan bahwa penyerahan benda tak bergerak dilakukan dengan suatu akta otentik, sebagaimana disebutkan dalam pasal 612 sampai dengan pasal 620 KUHPerdata, atau dengan kata lain kepemilikan suatu benda tak bergerak harus dibuktikan dengan surat atau akta tertentu dan pihak lain memberikan pengakuan atas kepemilikan tersebut.
Dalam jual beli tanah dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pihak pembeli dan pihak pembeli berjanji untuk membayar kepada pihak penjual dengan harga yang telah disepakati bersama. Yang harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik atas barangnya, jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi.30
Bentuk jual beli harus dilaksanakan dengan akta jual beli, tujuan akta itu hanya sekedar mensejajarkan jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan secara yuridis (juridische levering) disamping penyerahan nyata (feitelijk levering).31
30Subekti,Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 79 31M. Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, 1986, hal 182
(38)
Menurut hukum adat jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak harus dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harga tanah dibayar kontan, atau baru dibayar sebagian, dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.32
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi, mekipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
(39)
kenyataan. Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkominikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian bersangkutan.33
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.34 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.35 Suatu Kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.36 Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.37
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai
33Sanapiah Faisal, Format-Format penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
Hal. 107-108
34Samadi Suryabrata,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 3. 35
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU,2002, Hal.35
36Soerjono Soekanto,Op.Cit, Hal. 132
(40)
hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.38 kerangka konsep mengandung baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.39
Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.
Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dalam pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian “mengikat” kedua belah pihak, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Tidak saja leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketentuan yang diatur dalam bagian khusus Buku III. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang
38Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 hal.132 39M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80
(41)
ditetapkan dalam Buku III itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri.
Perikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi Kitab Undang-undang hukum perdata yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan pasal 1320 jo pasal 1338 Kitab Undang-undang hukum perdata sehingga dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Demikian dengan pemberian kuasa blanko yang diuraikan dalam pasal 26 ayat 3 Peraturan Jabatan Notaris yang berbunyi “ketentuan dalam pasal ini sebegitu jauh tidak berlaku terhadap surat-surat kuasa, sehingga diperkenankan untuk tidak mengisi dalam akta itu nama atau nama kecil dari yang diberi kuasa, kedudukan dan tempat tinggalnya.40
Pemberian kuasa blanko dipergunakan untuk melaksanakan akta jual beli yang definitive dihadapan PPAT yang berwenang untuk itu dimana letak objek jual beli tersebut berada dan mutlak dipergunakan hanya untuk kepentingan pihak pembeli.
Oleh karena itu definisi operasional dalam penelitian ini yaitu :
(42)
a. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.41
b. Kuasa Blanko adalah kuasa dimana penerima kuasa tidak dicantumkan namanya didalam akta tetapi hanya ada titik-titik atau dikosongkan dalam Akta.
c. Akta adalah akta notaris sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 7 UUJN, akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
d. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu mempunyai hak dan pihak yang lainnya mempunyai kewajiban.42
e. Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual dengan berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikatkan diri dengan berjanji untuk membayar harga.43
f. Perikatan Jual beli adalah perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut.44
41
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),Op.Cit,pasal 1792
42J.Satrio,Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal.3 43M. Yahya Harahap,Op.cit, hal 182
(43)
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sitematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Saat ini sangat diperlukan metode yang akan dipergunakan untuk memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang akan dibahas.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu analitis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparisi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.45
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris didukung oleh pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melihat kenyataan secara langsung yang terjadi dalam praktek di lapangan sedangkan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mengingat permasalahan yang diteliti pada peraturan-peraturan
45Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
(44)
perundang-undangan yaitu hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan (Library Research) yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer yakni :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Umum Pembuat Akte Tanah (PPAT).
Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, antara lain, pandangan ahli hukum atau pendapat para sarjana.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan bahan sekunder, antara lain, kamus besar bahasa Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan penelitian lapangan. Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan wawancara beberapa orang dari praktisi Notaris di Kota Medan.
(45)
3. AlatPengumpulan Data a. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research) yaitu dilakukan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi teori-teori atau doktrin-doktrin yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro dokumen pribadi dan pendapat ahli hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder.46
b. Wawancara
Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan wawancara langsung dengan narasumber dengan mempergunakan pedoman wawancara yang bertujuan untuk mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil wawancara. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang Notaris di Kota Medan sebagai narasumber yaitu :
1. Notaris Soeparno, SH
2. Notaris Darmansyah Nasution, SH 3. Notaris Suprayitno, SH
4. Notaris Alimin Danutirto, SH 5. Notaris Abidin S Panggabean, SH 6. Notaris Mangatas Nasution, SH 7. Notaris Muhammad Syafei, SH 8. Notaris Junita Ritonga, SH 9. Notaris Ekoevidolo, SH 10. Notaris Erna Waty Lubis, SH 11. Notaris Tri Yanty Putri, SH 12. Notaris Iflina Roswani, SH 13. Notaris Dewi Lestari, SH
(46)
14. Notaris Irma Yolanda Handayani, SH 15. Notaris Elvina Yuliana, SH
16. Notaris Zulnafriyanti, SH
17. Notaris Adawiyah Nasution, SH, MKn 18. Notaris Agustina Karnawati, SH 19. Notaris Indira Teratai Anniezoen, SH
20. Nyonya Delima (Pegawai Pensiunan Notaris) 4. Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas.47
Semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah untuk mendapatkan gambaran yang sesuai dengan kebutuhan, kemudian dianalisi dengan menggunakan analisis kualitatif, data-data primer, data skunder maupun data tertier dikumpulkan kemudian diseleksi dan kemudian ditentukan data yang penting dan data yang tidak penting kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan cara deduktif agar mendapatkan jawaban dari permasalahan.
47 Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-Metode
(47)
BAB II
KEDUDUKAN AKTA PERIKATAN JUAL BELI PADA HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT OLEH NOTARIS
A. Pengertian Akta
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan) tentang peristiwa hukum yang dibuat, dan disahkan oleh pejabat resmi.
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian mengenai akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.48
Subekti mengatakan suatu akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.49
A Pitlo menyebutkan akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat, untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.50
1. Akta Notaris
Semua akta yang dibuat di hadapan notaris dapat disebut sebagai akta otentik. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah sebuah akta yang dibuat dalam
48
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, Hal. 149 49Subekti,Hukum Pembuktian, Pradya Paramitha, Jakarta, 1995, Hal 25
50
A Pitlo,Pembuktian dan Daluarsa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, diterjemah oleh M Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1986, Hal 52
(48)
bentuk akta yang ditentukan oleh undang-undang atau dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat pembuatan akta itu. Akta otentik itu proses pembuatan dan penandataganannya dilakukan dihadapan notaris. Akta otentik dapat membantu bagi pemegang/pemiliknya jika tersangkut kasus hukum.
Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik dapat dibedakan menjadi akta yang dibuat ”oleh” pejabat umum dan akta yang dibuat ”dihadapan” pejabat umum. Akta yang dibuat ”oleh” pejabat umum lazimnya disebut dengan istilah ”akta pejabat” atau ”relaas akta”. Akta tersebut merupakan uraian secara otentik tentang suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum yaitu Notaris didalam menjalankan jabatannya.51 Contohnya berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas. Dalam akta tersebut, notaris hanya menerangkan atau memberikan kesaksian dari semua yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain.
Sedangkan akta yang dibuat ”dihadapan” pejabat umum, lazimnya disebut dengan istilah ”akta partij” (akta pihak).52 Akta ini merupakan akta yang berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan Pejabat Umum (Notaris), artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh
51
Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Telematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), hal. 128
52 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta,
(49)
para pihak kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya.53Contohnya adalah akta-akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka umum atau lelang), wasiat, kuasa dan lain-lain.
Di Indonesia jabatan notaris diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN). Di dalam undang-undang tersebut yang disebut notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.54 Undang-undang ini mengatur secara detail tentang praktik kenotariatan di Indonesia.
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris Indonesia harus mengacu kepada UUJN.55
Pasal 1Reglement op het Notaris Ambt in IndonesieStaatsblad 1860 Nomor 3 menyatakan:56
De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen,
53G.H.S Lumban Tobing,Op. Cit., hal. 51 54Pasal 1 angka 1 UUJN
55Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum
Pengaturan Notaris, Renvoi, Nomor 28.Th.III, 3 September 2005, Hal. 38
56Artinya Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
(50)
waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afshriften en uittreksels uit te geven; alles voorzover het opmaken dier akten door eene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.
Adapun pengertian notaris berdasarkan bunyi Pasal 1 butir 1 jo Pasal 15 ayat 1 UUJN menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara.57 Menempatkan notaris sebagai jabatan58merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
57 Suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh negara, baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum (Beleidsregel atau Policyrules). Bagir Manan,Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal. 15
58
Penyebutan Notaris sebagai jabatan dalam UUJN tidak konsisten, karena dalam UUJN disebut pula notaris sebagai suatu profesi atau sebagai suatu profesi jabatan. Misalnya dalam UUJN pada Konsiderans Menimbang huruf c disebutkan, bahwa notaris merupakan jabatan yang menjalankan profesi. Pasal 1 angka 5 UUJN, disebutkan bahwa Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris. Pengertian Jabatan dan Profesi berbeda. Kehadiran lembaga notaris merupakan Beleidsregel dari negara dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) atau jabatan notaris sengaja diciptakan negara sebagai implementasi dari negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya dalam pembuatan alat bukti yang otentik yang diakui oleh negara. Profesi lahir sebagai hasil interaksi di antara sesama anggota masyarakat, yang lahir dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri.
(51)
(kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.59 Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.60
Dengan demikian Notaris merupakan suatu Jabatan Publik mempunyai karakteristik, yaitu:61
1. Sebagai Jabatan;
UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu;
59 Secara substantif akta notaris dapat berupa: (1) suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum yang dikehendaki oleh para pihak agar dituangkan dalam bentuk akta otentik untuk dijadikan sebagai alat bukti;(2) berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa tindakan hukum tertentu wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.
60Habib Adjie, Buku I,Op.Cit., Hal. 32 61Ibid., Hal.32
(52)
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar wewenang.
3. Diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah;
Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, pemerintah.
Salah satu unsur penting dari pasal tersebut penyebutan Notaris sebagai Pejabat Umum, yang berarti bahwa kepada Notaris diberikan dan dilengkapi dengan kewenangan atau kekuasaan umum yang menjangkau publik (openbare gezag). Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum (public service), dalam arti bidang pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Notaris, yang melekat pada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris.
Pelayanan kepentingan umum merupakan hakekat tugas bidang pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. Dalam bidang tertentu, tugas itu oleh undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada Notaris, sehingga oleh karenanya
(53)
masyarakat juga harus percaya bahwa akta notaris yang diterbitkan tersebut memberikan kepastian hukum bagi para warganya. Tugas notaris adalah mengkonstatir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.62 Adanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan kepercayaan (trust) dari masyarakat yang dilayani itulah yang menjadi dasar tugas dan fungsi Notaris dalam lalu lintas hukum.63
2. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
Selain Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disebut PPAT) juga berwenang membuat akta otentik. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 yaitu PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.64
Khususnya Perbuatan hukum atas penguasaan dan pemilikan hak atas tanah tidak terlepas dari peran serta notaris atau PPAT. Salah satu tugas notaris dan PPAT adalah dalam hal pembuatan akta pengalihan hak atas tanah.
Pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat dilakukan oleh Notaris. Sedangkan pengalihan hak atas tanah yang telah bersertifikat dilakukan dihadapan PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti
62
Tan Thong Kie,Op. Cit., hal. 159
63 Paulus Effendy Lotulung, Perlindungan Hukum Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam
Menjalankan Tugasnya, Notariat, April-Juni 2003, hal. 64-65.
(54)
mengenai perbuatan hukum tertentu atas tanah. Dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah65 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, kepala kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu atas tanah sebagai dasar alat bukti peralihan hak atas tanah.
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran untuk melakukan perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Jenis-jenis perbuatan hukum yang memerlukan akta PPAT yaitu :66
a. Jual beli b. Tukar menukar c. Hibah
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik g. Pemberian hak tanggungan
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan
65Indonesia,Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN
No.59 Tahun 1997,TLN N0.3696
(55)
Notaris dikatakan sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Notaris/PPAT bekerja untuk kepentingan Negara, namun Notaris/PPAT bukanlah pegawai, sebab notaris/PPAT tidak menerima gaji dari pemerintah, tetapi adalah berupa honorarium sebagai penghasilannya dari klien,67 untuk pembuatan akta-akta dan pekerjaan Notaris/PPAT yang lainnya.
Dalam hal jual beli hak atas tanah, diatur bahwa dalam melakukan jual beli hak atas tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal tanah tanah yang telah bersertipikat maka pejabat yang berwenang adalah PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di tempat tanah yang diperjualbelikan tersebut berada. Selain itu akta pemindahan haknya yaitu akta jual belinya juga dibuat oleh PPAT dan akta jual beli tersebut adalah merupakan akta otentik dimana bentuk dan isinya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelum melakukan jual beli hak atas tanah dihadapan pejabat yang berwenang yaitu PPAT, maka para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah sebelumnya harus memenuhi semua persyaratan yang telah diatur dalam pelaksanaan jual beli tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dapat dibuktikan dengan adanya tanah atau tanda bukti sah lainnya mengenai hak tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain.
(56)
Jual beli harus dibayar secara lunas dan semua pajak yang berkaitan dengan jual beli seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak pembeli yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga harus telah dilunasi oleh pihak-pihak yang akan melakukan jual beli agar pembuatan akta jual belinya dapat dilakukan di hadapan PPAT serta selanjutnya melakukan pendaftaran tanah untuk pemindahan haknya.
Namun apabila persyaratan-persyaratan tersebut belum dapat terpenuhi maka pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli hak atas tanah belum dapat dilakukan di hadapan PPAT untuk membuatkan akta jual belinya sebagai akibat belum terpenuhinya semua syarat tentang pembuatan akta jual beli.
Keadaan tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan atau bahkan dapat merugikan para pihak yang melakukan jual beli hak atas tanah, karena dengan keadaan tersebut pihak penjual di satu sisi harus menunda dulu penjualan tanahnya, akibatnya penjual harus menunda keinginannya untuk mendapatkan uang dari penjualan hak atas tanahnya tersebut. hal yang sama juga berlaku terhadap pihak pembeli, dengan keadaan tersebut maka pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan hak atas tanah yang akan dibelinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, dan guna kelancaran tertib administrasi pertanahan maka dibuatlah Akta Perikatan Jual Beli yang dilaksanakan dihadapan Notaris dimana isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian pendahuluan.
(1)
tidak adanya pengaturan pemakaiannya sehingga perlu penafsiran yang lebih dalam guna pemakaian kuasa blanko tersebut. Sebagaimana bunyi pasal 16 ayat 5 UUJN yang menyebutkan akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap. Sedangkan Pasal 26 ayat 3 PJN menyebutkan tidak melarang kuasa blanko in minuut dan juga tidak mensyaratkan ketentuan pencantuman huruf pertama, pekerjaan dan alamat dari yang diberi kuasa. Kuasa blanko dipergunakan bila penjual berhalangan hadir pada saat penandatanganan akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan digunakan oleh orang lain atau pegawai notaris mewakili pihak penjual.
B. Saran
1. Walaupun tidak ada pengaturaan secara khusus tentang pembuatan akta perikatan jual beli, para pihak harus mengetahui, apabila syarat-syarat untuk jual beli telah terpenuhi sebaiknya dibuat akta jual belinya dihadapan PPAT yang berwenang dimana letak objek jual beli karena demi menghindari perubahan peraturan-pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
2. Pemberian kuasa blanko dalam akta perikatan jual beli hanya untuk pembayaran yang lunas, jika pembayaran belum lunas maka kuasa blanko sebaiknya tidak dimasukkan dalam akta perikatan jual beli. Apabila kuasa blanko dipergunakan maka siapa saja nantinya nama yang dicantumkan dalam kuasa blanko tersebut berarti para pihak telah menyetujuinya sehingga para pihak tidak akan
(2)
menyalahkan PPAT jika kebetulan nama orang yang menandatangani akta jual belinya adalah orang yang tidak disenangi para pihak.
3. Bagi para pembuat Undang-Undang Jabatan Notaris hendaknya memberikan ketegasan yang jelas terutama dalam hal pemakaian kuasa blanko, ini demi perbaikan Ilmu Kenotariatan kedepannya dan dalam rangka kepastian hukum. sehingga pengguna jasa notaris dapat pelayanan lebih baik. Apabila kuasa blanko dipergunakan dalam akta perikatan jual beli sebaiknya dimasukkan klausula bahwa pihak pertama melepaskan haknya untuk menaruh keberatan atas penggunaan kuasa blanko oleh pihak kedua atau yang ditunjuk sepihak oleh pihak kedua.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A Buku
Adjie, Habib, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009
, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung, Refika Aditama, 2009
Andarsasmita, Komar, Contoh Akta Otentik Dan Penjelasan (Notaris II), Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa, Barat, 1990
Arrasjid, Chainur,Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan penjelasan, Alumni, Bandung, 1993
Bustami, Chairani,Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002
Faisal, Sanapiah, Format-Format penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
Harahap, M. Yahya,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,1986
Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU,2002
Kie, Tan Thong, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000
(4)
Komariah,Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2005
Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994 Lubis, Suhrawardi K,Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002
M. Friedman, Lawrence,Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001
Manan, Bagir,Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004
Meliala, Djaja S, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bandung, Nuansa Aulia, 2008
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006 Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang
Metode-Metode Baru, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Moeleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
__________________,Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta, Rajawali, 1982
Perangin-angin, Effendy, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986
Prodjodikoro, R. Wirjono,Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1993,
Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991
Rasjidi, Lili dan Arief Sidarta,filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, CV. Remadja Karya, Bandung, 1989
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002
(5)
R.Subekti,Aneka Perjanjian, Alumni ,Bandung, 1984
Satrio, J.,Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Sutedi, Andrian, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Suryabrata, Samadi,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998 Soekanto, Soerjono,Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983
_______________,Pengantar Penelitian Hukum, UI Presss, Jakarta, 1986 Subekti,Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990
Sutrisno,Komentar UU Jabatan Notaris, Buku II, Diktat, Medan, 2007
Salim, HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993
Soedjendro, J Kartini, Perjanjian Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta, Kanisius, 2001
Tirtaamidjaja, MR.,Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, 1970 Tobing, G.H.S.Lumban,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983
Wicaksono, Frans Satriyo, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, Visimedia, Jagakarsa, 2009
B. Peraturan
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN No.59 Tahun 1997,TLN N0.3696
(6)
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, No. 30 Tahun 2004, LN No. 117 Tahun 2004 TLN No. 4432
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998, LN No.52 Tahun 1998, TLN N0.3746
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, Pasal 1792
C. Majalah / Artikel
Sudikno Mertokusumo, Artikel “Arti Penemuan Hukum”, Majalah Renvoi, edisi tahun I, Nomor. 12, Bulan Mei 2004
Pieter E. Latumeten,Kuasa Blanko (Blanko Volmacht) Dalam Minuta Akta, Majalah Renvoi, Bulan September 2011
Herlien Budiono, artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, Edisi tahun I No. 10, Bulan Maret 2004
Maria S. Sumardjono, Aspek Teoritis Peralihan Hak Atas Tanah Menurut UUPA, disampaikan pada pelatihan Teknik Yustisial Peningkatan Pengetahuan Hukum Pada Wakil Ketua/Hakim Tinggi Peradilan Umum 21 Juli 1995 di Semarang.
Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris, Renvoi, Nomor 28.Th.III, 3 September 2005