operasional bank konvensional pada umumnya ditemukan adanya jaminan utang atau yang lazim disebut jaminan kredit.
9
1. Jaminan Kredit
Jaminan kredit atau jaminan utang pada umumnya dipersyaratkan dalam suatu pemberian kredit. Dari beberapa ketentuan yang berlaku di bidang
perbankan dapat disimpulkan bahwa jaminan keredit hampir selalu di persyaratkan pada setiap skim perkreditan. Tetapi sepanjang yang dapat
diketahui tidak terdapat suatu alasan bagi bank untuk mensyaratkan adanya kewajiban calon debitur untuk menyerahkan memberikan sesuatu jaminan
kredit, kecuali karena adanya ketentuan hukum jaminan yang berlaku, misalnya ketentuan pasal 1131 KUH Perdata tentang kedudukan harta pihak
yang berutang sebagai jaminan atas utangnya.
10
Pengertian Jaminan KreditJaminan Utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor atas pembayaran utang-utang yang telah diberikannya
kepada debitor, dimana hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assessoir terhadap perjanjian pokoknya-berupa
perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.
11
9
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007, h., 3
10
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007, h., 102
11
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012, h., 8
2. Dasar Hukum Jaminan
Dalam hukum positif Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang- undangan yang mengatur jaminan dalam rangka melaksanakan sistem kehati-
hatian prudential yang harus dilakukan oleh industry perbankan, termasuk perbankan syari‟ah. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain dapat
dilihat dalam ketentuan-ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, Peraturan Perundang-
undnagan Bank Indonesia dan KUH Perdata. Berikut beberapa pasal yang terkait urgensitas jaminan di perbankan :
12
a. Dalam UU No. 10 tahun 1998 terdapat pada pasal 8 dan penjelasan pasal 8
ayat 1 serta pasal 12 ayat 1 berikut ini: Pasal 8 ayat 1 berbunyi :
“…Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip sya
ri‟ah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan
debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang di perjanjikan”
Penjelasan atas Pasal 8 ayat 1 berbunyi :
“Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syari‟ah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti
keyakinan atas
kesanggupan nasabah
debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan bank. Untuk memeperoleh keyakinan tersebut,
12
Ah Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif Hukum Islam Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h., 197
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha
dari Nasabah Debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsure pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsure-unsur lain telah dapat
diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang
dibiayai dengan kredit yang ber
sangkutan…” Pasal 12A ayat 1 berbunyi :
“Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara
sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam Nasabah Debitur tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan yang dibeli tersebut
dicairkan secepatnya” b.
Dalam Peraturan Bank Indonesia PBI No. 57PBI2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah Pasal 2 ayat 1 dan penjelasannya,
dan pada PAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syari‟ah Indonesia
tahun 2003 Bank Indonesia : Penanaman dana Bank Syariah pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan
berdasarkan prinsip kehati-hatian. Pasal 2 ayat 1, “Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana
yaitu penanaman dana dilakukan antara lain berdasarkan : 1 Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-kurangnya factor 5C
Character, Capital, Capacity, Conditional of economy dan Collateral; 2 Penilaian terhadap aspek prospek usaha, kondisi keuangan dan
kemampuan membayar” PAPSI Pedoman Akutansi Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2003
“Pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak dipersyaratkan adanya jaminan, namun agar tidak terjadi moral hazard berupa
penyimpangan oleh pengelola dana, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad”
c. Dalam KUH Perdata pasal 1131 dan Pasal 1132
Pasal 1131 KUH Perdata, “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”
Pasal 1132 KUH Perdata,
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan”
3. Jaminan Kredit Sebagai Pengaman Pelunasan Kredit