Eksekusi Jaminan Eksekusi Hak Tanggungan Pada Kredit Macet

memiliki dana, sehingga tidak dapat menambah modal dan tambahan modal dari bank diperlukan untuk kelancaran usaha debitur c. Kombinasi antara bank dan nasabah Bank akan menghitung kembali todal dana yang dibutuhkan oleh debitur kemudian setelah diperhitungkan kebutuhan modal tersebut, maka modal tersebut sebagian berasal dari bank berupa tambahan kredit dan modal nasabah, yaitu dengan mencarikan pemodal baru atau dari pemilik modal lama. Kombinasi ini, merupakan cara terbaik, karena bank menilai bahwa debitur serius untuk menyelesaikan kreditnya, dengan ikut serta menambah modal. 14

D. Eksekusi Jaminan

Eksekusi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara yang merupakan lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. 15 Eksekusi juga dapat dikatakan sebagai pelaksanaan putusan hakim dalam sengketa perdata yang pada hakikatnya merupakan penyelesaian perkara bagi para pihak yang bersengketa. 16 Dalam jaminan, eksekusi disebut juga pencairan jaminan kredit. Eksekusi atau pencairan jaminan kredit dapat terjadi karena debitur wanprestasi atas perikatan yang disepakatinya dengan pihak bank yang mengakibatkan terjadinya penunggakan pelunasan kredit sehingga 14 Ismail, Manajemen Perbankan dari Teori Menuju Aplikasi Jakarta : Kencana, 2011, h., 130 15 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Jakarta : Sinar Grafika, 2013, h., 1 16 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Jakarta : Sinar Grafika, 2012, h., 188 pelunasannya diharapkan dari hasil penjualan jaminan kredit. Pencairan jaminan kredit tidak harus selalu terjadi karena masih adanya prospek pelunasan kredit dan upaya pelunasan lain oleh debitur kepada bank. 17 Namun, biasanya bank tidak mau mengambil risiko dengan membiarkan kredit macet yang terlalu lama. Ketentuan-ketentuan mengenai eksekusi pencairan jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga jaminan yang terkait, harus dipatuhi dengan baik oleh pihak kreditur bank.

E. Eksekusi Hak Tanggungan Pada Kredit Macet

Proses eksekusi Hak Tanggungan merupakan proses menjual benda yang merupakan obyek HT ketika utang debitur pemberi HT sudah tidak dibayar pada waktu jatuh tempo. 18 Upaya Bank dalam menghindari adanya kredit macet adalah dengan menggunakan aturan kesepakatan atas Jaminan Hak Tanggungan pada sertifikat kepemilikan nasabah jika bentuknya asset tak bergerak tanah dan bangunan atau penerapan Jaminan Fidusia jika jaminan berupa benda bergerak mobil, mesin dan lain-lain. Terhadap ketentuan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan pinjaman, negara telah menerbitkan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang tersebut mengatur tentang Jaminan antara Bank dengan Debitur dalam transaksi pinjam meminjam serta 17 Ah Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif Hukum Islam Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h., 204 18 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang Jakarta : Erlangga, 2013, h., 90 peraturan-peraturan tentang tata cara apabila terjadinya keadaan wanprestasi tidak membayar apabila Debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Didalam praktek, apabila terdapat Debitur yang wanprestasi, biasanya Bank akan mengirimkan Surat Peringatan kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya diajukan paling sedikit sebanyak 3 tiga kali untuk memenuhi syarat keadaan wanprestasinya debitur. Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan pembayaran kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan Debitur. Penjualan atas dasar eksekusi dilakukan melalui suatu pelelangan umum. 19 Bank biasanya lebih banyak mengajukan permohonan Lelang Jaminan Hak Tanggungan kepada Balai Lelang Swasta. Selanjutnya Balai Lelang Swasta akan meneruskan permohonan tersebut kepada KPKNL Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang merupakan salah satu unit kerja pada Dit. Jend Kekayaan Negara Departemen Keuangan RI. Ketika Balai Lelang Swasta bertindak sebagai Fasilitator pelaksanaan Lelang, landasan aturan hukum yang dipakai adalah Pasal 14 UU RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang mengisyaratkan bahwa Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang 19 Ah Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif Hukum Islam Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h., 206 sama dengan putusan hukum pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde. Proses eksekusi hak tanggungan merupakan proses menjual benda yang merupakan objek hak tanggungan ketika utang dari debitor pemberi hak tanggungan sudah tidak dibayar pada waktu jatuh tempo. Beberapa model eksekusi hak tanggungan adalah sebagai berikut: 1. Eksekusi dengan jalan mendaku; 2. Eksekusi dengan jalan menjual bawah tangan secara langsung; 3. Eksekusi dengan jalan menjual lelang sendiri oleh kreditornya tanpa ikut campur kantor lelang; 4. Eksekusi dengan jalan menjual lewat kantor lelang tanpa perlu campur tangan pengadilan; 5. Eksekusi secara fiat eksekusi melalui pengadilan dengan menggunakan kekuatan irah-irah dalam sertifikat hipotek; 6. Eksekusi dengan jalan gugatan perdata biasa melalui pengadilan. Akan ditinjau kemungkinan eksekusi tersebut satu per satu sebagai berikut. 1. Eksekusi dengan Jalan Mendaku Istilah ―mendaku‖ di sini kira-kira dimaksudkan sebagai ―menjadikanku yang mempunyainya‖. Sehingga, yang dimaksud dengan eksekusi hak tanggungan secara mendaku adalah eksekusi hak tanggungan dengan cara mengambil barang objek hak tanggungan untuk dijadikan milik kreditor secara langsung tanpa melewati transaksi apa pun. Apakah eksekusi hak tanggungan secara mendaku ini dapat dibenarkan oleh hukum? Undang-undang Hak tanggungan melarang eksekusi hak tanggungan secara mendaku ini. Pasal 20 ayat 4 dari undang-undang tersebut menyatakan antara lain, bahwa setiap eksekusi selain yang dibenarkan dalam undang-undang itu batal demi hukum null and void. Sedangkan model eksekusi yang dibenarkan oleh Undang-undang Hak Tanggunganpun adalah eksekusi dengan fiat eksekusi, eksekusi melalui kantor lelang tanpa perlu campur tangan pengadilan, eksekusi dengan penjualan langsung oleh kreditor, dan masih dimungkinkan meskipun memang tidak diatur dalam undang-undang tersebut eksekusi lewat pengadilan melalui gugatan perdata biasa. Memang, di negara yang beradab mana pun di dunia ini eksekusi jaminan utang dengan jalan mendaku dilarang oleh hukum. 2. Eksekusi dengan Jalan Menjual Bawah Tangan secara Langsung Objek hak tanggungan dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi mengeksekusi tanpa lewat pengadilan dengan cara menjual benda objek hak tanggungan secara langsung oleh kreditor di bawah tangan, asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu. Menurut Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 Pasal 20 ayat 2 dan 3, syarat-syarat agar suatu objek hak tanggungan dapat dieksekusi secara langsung di bawah tangan adalah sebagai berikut: a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima hak tanggungan. Perlu diketahui bahwa pemberian persetujuan atau kesepakatan tersebut dapat dilakukan oleh para pihak pada saat diikatkan hak tanggungan, pada saat berlangsungnya hak tanggungan, maupun pada saat menjelang proses eksekusinya. b. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi danatau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dua surat kabar yang beredar didaerah bersangkutan danatau media massa setempat. e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi danatau pemegang hak tanggungan. f. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Perlu pula diketahui bahwa pihak pemberi hak tanggungan yang semula sudah menyetujui proses eksekusi secara langsung ini tentu di kemudian hari tidak dapat mengubah pendapatnya dengan mengajukan keberatan terhadap proses eksekusi itu. 3. Eksekusi dengan Menjual Lelang Sendiri oleh Kreditornya Tanpa Ikut Campur Tangan Kantor Lelang Meskipun tidak ditegaskan dalam undang-undang, eksekusi objek hak tanggungan dapat juga dilakukan dengan jalan menjual lelalng sendiri oleh kreditornya, tanpa ikut campur tangan kantor lelang maupun pengadilan. Cara penjualan seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu varian dari eksekusi secara parate mengeksekusi tanpa lewat pengadilan, dengan cara menjual benda objek hak tanggungan tersebut langsung oleh kreditor secara di bawah tangan, asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu – yaitu syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 Pasal 20 ayat 2 dan 3. 4. Eksekusi dengan Jalan Menjual Lewat Kantor Lelang Tanpa Perlu Campur Tangan Pengadilan Eksekusi hak tanggungan dapat juga dilakukan dengan jalan mengeksekusinya sendiri oleh pemegang hak tanggungan lewat lembaga pelelangan umum kantor lelang, di mana hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya. Parate eksekusi lewat pelelangan umum ini dapat dilakukan tanpa melibatkan pengadilan sama sekali khusus untuk pemegang hak tanggungan pertama – lihat Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. Ketentuan ini menghapuskan keragu-raguan sebelumnya bahwa seolah-olah setiap eksekusi lewat kantor pelelangan umum harus dengan penetapan pengadilan. Padahal, anggapan ini tidak benar sama sekali, karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengenal model janji untuk mengeksekusi hipotek melalui kantor lelang. Tanpa perlu ikut campur tangan pengadilan sama sekali. 5. Eksekusi secara Fiat Eksekusi melalui Pengadilan Menggunakan Kekuatan Irah-irah dalam Sertifikat Hipotek Ada beberapa akta yang mempunyai titel eksekutorial, yang disebut dengan istilah ―grosse akta‖, yaitu sebagai berikut: a. Akta Hipotek berdasarkan Pasal 224 HIR; b. Akta Pengakuan Utang berdasarkan Pasal 224 HIR; c. Akta Hak Tanggungan berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996; d. Akta Fidusia berdasarkan Undang-undang Fidusia No. 42 Tahun 1999. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata HIR, setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi ―Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖ memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat yang demikian dapat dieksekusi dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya mencakup tempat diam atau tempat tinggal debitor itu atau tempat kedudukan yang dipilih, menurut cara yang dinyatakan dalam Pasal-pasal sebelumnya dari Pasal 224 ini, tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika putusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri yang memerintahkan pelaksanaan putusan itu, maka haruslah dituruti ketentuan dalam Pasal 195 ayat 2 dan seterusnya dari HIR. Selanjutnya, Pasal 14 dari Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan memuat irah- irah ―DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA‖. Sertifikat hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek sepanjang mengenai hak tanggungan atas tanah. Kemudian, Pasal 15 dari Undang-undang tentang Fidusia No. 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata- kata ―DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA‖. Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang penuh. Dari Pasal-pasal tersebut terlihat bahwa salah satu syarat agar suatu fiat eksekusi dapat dilakukan adalah bahwa dalam akta tersebut terdapat irah- irah yang berbunyi ―DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA‖. Irah-irah inilah yang memberikan titel eksekutorial, yakni titel yang mensejajarkan kekuatan akta tersebut dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa perlu lagi putusan pengadilan. Karena itu, yang dimaksud dengan diat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta, seperti ketika mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Caranya, dengan meminta ―fiat‖ dari ketua pengadilan, yaitu memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR. Ada yang belum jelas dalam undang-undang dan juga dalam praktik, yaitu manakala ada pihak yang keberatan atas fiat eksekusi tersebut: kemanakah harus diajukan, bagaimana prosedur pengajuannya, dan siapakh yang harus memutuskannya. 6. Eksekusi dengan Jalan Gugatan Perdata Biasa melalui Pengadilan Sekalipun tidak disebutkan dalam Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, pihak kreditor tetap dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke pengadilan. Sebabnya, keberadaan Undang-undang Hak Tanggungan dengan model eksekusi khusus tidak ditujukan untuk meniadakan hukum acara umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang ada dalam hukum secara umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam Undang-undang Hak Tanggungan – khususnya tentang cara eksekusinya – yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan biasa ke pengadilan negeri yang berwenang. Sebagai tambahan, keberadaal model-model eksekusi khusus dalam Undang-undang Hak Tanggungan tersebut justru untuk mempermudah dan membantu pihak kreditor dalam menagih utang yang mempunyai jaminan hak tanggungan, dengan jalan mengeksekusi hak tanggungan tersebut. Satu dan lain hal yang menyebabkan eksekusi hak tanggungan lewat gugatan biasa memakan waktu yang lama dan dengan prosedur yang berbelit-belit, dan ini sangat tidak praktis serta tidak efisien bagi utang dengan jaminan hak tanggungan ini. 20 20 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang,Jakarta : Erlangga, 2013, h,. 90 57

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KUPANG NOMOR