Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan

sesuai dengan ketentuan dan prosedur untuk sampai pada satu keputusan, disetujui atau tidak permohonan kredit yang diajukan. Dengan tingkat persaingan sekarang, setiap bank berupaya untuk memberikan pelayanan yang cepat kepada para nasabahnya, termasuk dalam menentukan jangka waktu lamanya suatu permohonan kredit harus diputuskan. Berkaitan dengan jangka waktu pemutusan kredit, ada bank yang menentukan pemutusan dua minggu, satu minggu, bahkan ada yang beberapa hari.

1. Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan

Kredit atau biasa disebut Pembiayaan dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dijelaskan pada Pasal 1 ayat 25, Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna‟; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah danatau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai danatau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 UU Perbankan mendefinisikan kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pasal tersebut terdapat beberapa unsur perjanjian kredit yaitu : a. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu; b. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain c. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktru tertentu; d. Pelunasan utang yang disertai dengan bunga. Unsur pertama dari Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu; uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai sejumlah dana tunai dan saldo rekening giro baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Dalam pengertian “penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu” adalah cerukan overdraft, yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang factoring dan pengambilalihan pembelian kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi hasil ekspor. Unsur kedua dari kredit adalah persetujuan atau kesepakatan antara bank dan debitur. Sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata, agar suatu perjanjian menjadi sah diperlukan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, terdapat obyek tertentu dan ada suatu kausa cause yang halal. Selain kesepakatan antara debitur dan kreditur juga diperlukan ketiga syarat lain tersebut di atas sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian. Unsur ketiga dari kredit adalah adanya kewajiban debitur untuk mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang dipinjam kepada kreditur dalam 1 vide Pasal 1 angka 11 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya hubungan pinjam meminjam antara debitur dan kreditur. Unsur yang terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit yang dipinjamkan. Bunga merupakan nilai tambah yang diterima kreditur dari debitur atas sejumlah uang yang dipinjamkan kepada debitur dimaksud. Selain pengertian mengenai Kredit sebagaimana dimaksud di atas, dalam UU Perbankan juga dikenal adanya Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang merupakan bentuk penyediaan dana yang dilakukan oleh Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 2. Regulasi Bank Indonesia Terkait Pemberian Kredit Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan atau biasa disebut OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain yang diatur dalam pasal tertentu, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia melakukan himbauan moral kepada Perbankan. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank Indonesia No. 72PBI2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utang setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Uundang-Undang Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Salah satunya adalah Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum. Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas- azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat. Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 27162KEPDIR tanggal 31 Maret 1995. Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut : a. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan; b. Organisasi dan manajemen perkreditan; c. Kebijakan persetujuan kredit; d. Dokumentasi dan administrasi kredit; e. Pengawasan kredit; f. Penyelesaian kredit bermasalah. Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.

3. Penggolongan Kredit