Perkembangan Pidana Penjara Dari KUHP Ke Konsep KUHP Baru

(1)

PERKEMBANGAN PIDANA PENJARA DARI KUHP KE KONSEP KUHP BARU

S K R I P S I

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM

DISUSUN OLEH

050200070

AHMAD FAUZI ARHAM

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

F A K U L T A S H U K U M

U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A M E D A N


(2)

PERKEMBANGAN PIDANA PENJARA DARI KUHP KE KONSEP KUHP BARU

S K R I P S I

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM

DISUSUN OLEH

050200070

AHMAD FAUZI ARHAM

DISETUJUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 196 107 219 890 031 001 H. Abul Khair, SH., M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Warsani, SH.

NIP. 130 186 781 NIP. 197 503 072 002 122 002

Dr. Marlina, SH., M.Hum.

F A K U L T A S H U K U M

U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A M E D A N


(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAKSI ...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan ... 8

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

1. Defenisi Pidana ... 13

2. Defenisi Penjara ... 16

3. Perkembangan Pidana Penjara ... 17

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara ... 24

B. Pengaturan Pidana Penjara Menurut KUHP Dan Konsep KUHP... 26

1. Dalam KUHP ... 26

2. Konsep KUHP Baru... 30

C. Masalah Maksimum Dan Minimum Pidana ... 37

D. Pola Lamanya (Berat-Ringannya) Pidana Penjara ... 43

1. Pidana Penjara ... 43

2. Pidana Denda ... 46

BAB III PERKEMBANGAN PIDANA PENJARA DARI KUHP KE KONSEP KUHP BARU A. Jenis Dan Modifikasi Pidana Penjara ... 49

B. Lamanya Ancaman Pidana Penjara ... 55


(4)

2. Masalah Maksimum Pidana Penjara ... 62 3. Masalah Pidana Penjara Seumur Hidup ... 63 C. Penetapan Dan Perumusan Pidana Penjara ... 66 D. Kebijakan Legislatif Dalam Rangka Mengefektifkan Pidana Penjara 69 1. Defenisi Kebijakan ... 69 2. Dasar Pembenaran Eksistensi Pidana Penjara Dilihat Dari Sudut

Efektivitas Sanksi ... 71 3. Kebijakan Legislatif Dalam Rangka Mengefektifkan Pidana

Penjara ... 74

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiinn. Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas berkat dan rahmatnya-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini Penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah : “PERKEMBANGAN PIDANA PENJARA DARI KUHP KE KONSEP KUHP BARU”.

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S., SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH., MH., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH., MH., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak H. Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Ibu Prof. Warsani, SH., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberi petunjuk dan bimbingan kepada Penulis, sehingga skripsi ini selesai.


(6)

8. Ibu, Dr. Marlina, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi petunjuk dan bimbingan juga kepada Penulis, sehingga skripsi ini selesai.

9. Bapak dan Ibu Dosen serta pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang penuh perjuangan, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Orang Tua Penulis yang tercinta ayahanda Ir. Iskandar Arham dan Ibunda

Dra. Endang Karosmahyuti yang telah memberikan kasih saying dan dukungan financial sehingga Penulis selesai kuliah ;

2. Adik-adik tercinta Lila Meutia Iskandar, Reza Endara Arham, dan Aditya Gunadi Arham yang telah member perhatian dan dorongan semangat bagi Penulis dalam menyelesaikan kuliah ;

3. Rekan-rekan seangkatan Stb. 05, khususnya kepada kawan-kawan yang ada di kantin PB (ME), dan lain-lain yang belum disebutkan di sini yang telah memberikan kontribusinya bagi Penulis dalam penyelesaian skripsi ini ;

4. Kepada abang-abang dan kakak-kakak senior Fakultas Hukum USU ;

5. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang belum sempat Penulis sebutkan satu persatu.


(7)

ABSTRAKSI

Pada tahun 2010 ini, KUHP atau WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918) sudah berumur 92 tahun dan merupakan hukum positif di Indonesia di bidang hukum materil, dengan berbagai pengubahannya selama hampir 92 tahun ini juga. Dari 92 tahun itu, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia khususnya hukum pidana penjaranya. Alasannya adalah sudah tidak sesuai lagi dengan keadilan hukum masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, koruptor dan pencuri, hampir tidak ada bedanya dalam penegakan hukum di republik ini. Oleh karena itu, penulis mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi, dengan judul ”Perkembangan Pidana Penjara Dari KUHP Ke Konsep KUHP Baru “. Adapun permasalahan dari judul tersebut adalah bagaimana konsep pidana penjara dalam KUHP dan bagaimana perkembangan pidana penjara menurut Konsep KUHP Tahun 2006/2007.

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah konseptual. Sedangkan data yang diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif.

Jenis sanksi yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP, menggunakan 9 (sembilan) sembilan bentuk perumusan ancaman pidana. Dari kesembilan perumusan di atas terlihat, khususnya untuk perumusan pidana penjara, KUHP menempuh dua sistem perumusan. Pertama, sistem perumusan tunggal, yaitu pidana penjara dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan. Dan kedua, sistem perumusan alternatif, yaitu pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya sampai yang paling ringan. Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.

Menurut Konsep KUHP Baru, jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan. Bentuk perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP yang berlaku sekarang, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep KUHP pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya ; pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori ; ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan alternatif diterapkan secara kumulatif.

RUU KUHP yang sekarang masih dalam proses pengesahan harus segera direvisi dan disahkan oleh DPR bersama dengan Presiden. RUU ini harus diletakkan ke dalam bagian proyek besar reformasi saat ini. Seharusnya inilah yang menjadi politik hukum pidana (criminal law politics) RUU ini. Revisi dalam konteks criminal law politics inilah yang lebih perlukan, ketimbang revisi pada persoalan semantik dan lainnya. Sebab politik hukum pidana inilah yang menentukan jaminan terhadap civil liberties dan fundamental freedom warga negara.


(8)

ABSTRAKSI

Pada tahun 2010 ini, KUHP atau WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918) sudah berumur 92 tahun dan merupakan hukum positif di Indonesia di bidang hukum materil, dengan berbagai pengubahannya selama hampir 92 tahun ini juga. Dari 92 tahun itu, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia khususnya hukum pidana penjaranya. Alasannya adalah sudah tidak sesuai lagi dengan keadilan hukum masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, koruptor dan pencuri, hampir tidak ada bedanya dalam penegakan hukum di republik ini. Oleh karena itu, penulis mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi, dengan judul ”Perkembangan Pidana Penjara Dari KUHP Ke Konsep KUHP Baru “. Adapun permasalahan dari judul tersebut adalah bagaimana konsep pidana penjara dalam KUHP dan bagaimana perkembangan pidana penjara menurut Konsep KUHP Tahun 2006/2007.

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah konseptual. Sedangkan data yang diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif.

Jenis sanksi yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP, menggunakan 9 (sembilan) sembilan bentuk perumusan ancaman pidana. Dari kesembilan perumusan di atas terlihat, khususnya untuk perumusan pidana penjara, KUHP menempuh dua sistem perumusan. Pertama, sistem perumusan tunggal, yaitu pidana penjara dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan. Dan kedua, sistem perumusan alternatif, yaitu pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya sampai yang paling ringan. Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.

Menurut Konsep KUHP Baru, jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan. Bentuk perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP yang berlaku sekarang, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep KUHP pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya ; pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori ; ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan alternatif diterapkan secara kumulatif.

RUU KUHP yang sekarang masih dalam proses pengesahan harus segera direvisi dan disahkan oleh DPR bersama dengan Presiden. RUU ini harus diletakkan ke dalam bagian proyek besar reformasi saat ini. Seharusnya inilah yang menjadi politik hukum pidana (criminal law politics) RUU ini. Revisi dalam konteks criminal law politics inilah yang lebih perlukan, ketimbang revisi pada persoalan semantik dan lainnya. Sebab politik hukum pidana inilah yang menentukan jaminan terhadap civil liberties dan fundamental freedom warga negara.


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mencuri 3 buah kakao dihukum 1,5 bulan penjara, mencuri semangka dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik ini, berdasarkan putusan hakim yang sudah tetap, hanya dihukum satu tahun atau bahkan kurang, dan kalaupun di atas satu tahun, itu hanya tinggal tunggu remisi, maka koruptor tersebut dapat bebas dalam waktu yang singkat. Sungguh ironi memang apa yang sesungguhya terjadi pada penegakan hukum di Indonesia ini.

Dari kasus hukum di atas, sudah jelas sekali melukai hati rakyat kecil Indonesia sekaligus menggelitik hati dan akal setiap orang yang mendengar dan melihat kasus hukum tersebut. Mencuri digunakan KUHP warisan kolonial, sedangkan korupsi menggunakan undang-undang khusus (korupsi). Kalau dipikir-pikir, mencuri dan korupsi hampir tidak ada bedanya. Korupsi itu juga mencuri, yaitu mencuri uang negara (rakyat/pajak) dari milyaran sampai triliyunan rupiah. Dengan begitu, korupsi wajib hukumnya dihukum lebih berat daripada mencuri yang kecil-kecil. Apalagi yang mencuri adalah pejabat negara (publik).

Dari paparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa ada yang salah pada hukumnya atau perundang-undanganya, yaitu hukum materilnya (KUHP) yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman maupun keadilan masyarakat hukum Indonesia itu sendiri. KUHP sekarang yang masih berlaku efektif di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian. Oleh


(10)

karena itu, diperlukan suatu perubahan, pembaharuan atau apapun itu namanya terhadap KUHP warisan kolonial itu, khususnya mengenai sanksi pidana penjaranya.

KUHP versi lama (WvS), pidana penjara diatur dalam Pasal 12 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 15a, dan Pasal 29. Pada RUU KUHP yang baru sekarang (RUU Konsep 2006-2007) ada 11 pasal yang secara khusus mengatur pidana penjara yaitu dari Pasal 69 dan diakhiri pada Pasal 79. KUHP (WvS) sekarang berlaku, pidana pokok dirumuskan secara tunggal, yaitu pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal. Sedangkan berdasarkan Konsep, bentuk perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP di atas, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep KUHP pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya.

Sebagai pendahuluan, berbicara mengenai sanksi atau ancaman pidana (penjara) yang akan dibahas dalam skripsi ini, pola minimum khusus pidana penjara di dalam KUHP dan Konsep adalah sebagai berikut :

a. Menurut KUHP : berkisar antara 3 minggu (paling rendah) dan 15 tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan ;

b. Menurut Konsep : berkisar antara 1 tahun (maksimum paling rendah) dan 15 tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan.

Untuk minimum khusus dibawah 1 tahun menurut pola KUHP digunakan bulan dan minggu. Pola demikian tidak ada dalam Konsep karena maksimum paling rendah adalah 1 tahun. Untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara,


(11)

digolongkan sebagai tindak pidana ”sangat ringan” dan hanya diancam denda. Pola maksimum khusus paling rendah 1 tahun menurut Konsep dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai ”kejahatan ringan”. Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik ”kejahatan ringan” ini adalah 3 bulan, sedangkan menurut Konsep 6 bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda Kategori II. Dan hal-hal ini, detailnya akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.

Kembali kepada Konsep KUHP, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang saat ini draftnya masih dibahas di Departemen Hukum Dan HAM menuai banyak kritikan. Kritik yang utama adalah RUU ini dianggap “over criminalization”.1 Selain sangat luas, RUU KUHP memasukkan kejahatan-kejahatan dengan karakteristik khusus bagi dari segi materi hukum pidananya maupun hukum acaranya.2

Memperhatikan perkembangan Konsep KUHP yang sangat maju dibandingkan dengan KUHP (WvS) yang umurnya cukup tua itu, jelaslah bahwa masyarakat hukum Indonesia semakin menantikan hadirnya Konsep dalam penegakan hukum pidana Indonesia. Paling tidak dari segi substansi/materi hukum, Indonesia telah memiliki sebuah kodifikasi hukum pidana yang dibangun dengan pondasi kuat, idealis dan mengedepankan keadilan masyarakat. Dengan demikian diharapkan aspek penegakan hukum pidana lain seperti struktur dan kultur masyarakat akan tergerak untuk menegakkan keadilan sebagaimana telah

1

Ifdhal Kasim, “Ke Arah Mana Pembaruan KUHP ? Tinjauan Kritis Atas RUU KUHP”, Position Paper, ELSAM, September 2005. Diakses dalam situs http://elsam.or.id.pdf. Akses terakhir pada tanggal 18 Desember 2009.

2

Ifdhal Kasim, “Kodifikasi Hukum Pidana Dalam Kerangka Perlindungan Hak Asasi Manusia”, Makalah dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM, Jakarta, 28 Oktober 2006. Diakses dalam situs http://elsam.or.id.pdf. Akses terakhir pada tanggal 18 Desember 2009.


(12)

dijunjung dalam Konsep. Atas dasar hal-hal tersebut, Penulis mengangkat skripsi ini dengan judul “Perkembangan Pidana Penjara Dari KUHP Ke Konsep KUHP Baru”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep pidana penjara dalam KUHP ?

2. Bagaimanakah perkembangan pidana penjara menurut Konsep KUHP Tahun 2006/2007 ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui bagaimana pidana penjara dalam KUHP dan Konsep KUHP 2006/2007.

2. Mengetahui bagaimana perkembangan pidana penjara dari KUHP ke Konsep KUHP 2006/2007.

Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan pidana penjara dalam Konsep KUHP 2006/2007.


(13)

b. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum, tentang eksistensi pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana penjara baik dalam KUHP maupun Konsep KUHP Baru 2006/2007.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan pemerintah dalam melakukan penelitian, yang berkaitan dengan pidana penjara dalam Konsep KUHP Baru 2006/2007. b. Dapat memberi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan

masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam upaya menanggulangi pidana penjara dalam Konsep KUHP Baru 2006/2007.

D. Keaslian Penulisan

Sepengetahuan penulis ketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penulisan tentang “Perkembangan Pidana Penjara Dari KUHP Ke Konsep KUHP Baru” belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai tidak ada judul yang sama.

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat Penulis katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.


(14)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Defenisi Hukum Pidana

Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah “hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan”.3

Sedangkan menurut Moeljatno, menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

Pengertian lain adalah, ”hukum pidana adalah peraturan hukum tentang pidana”. Kata ”pidana” berarti hal yang ”dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan sehari-hari.

4

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ;

b. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan ;

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut ”.

3

Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1985, hlm. 1.

4


(15)

Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum. 5

a. Pidana Penjara ;

Untuk lebih lanjut, di bawah ini akan diuraikan jenis-jenis pidana yang diatur dalam Konsep KUHP terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 65 adalah :

b. Pidana tutupan ;6 c. Pidana Pengawasan ; d. Pidana Denda ; 7 e. Pidana Kerja Sosial.

dan

Sementara pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.8

a. Pencabutan hak tertentu ;

Jenis-jenis pidana tambahan dalam Konsep KUHP adalah :

b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

5

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 14.

6

Pidana tutupan adalah pidana yang dimaksudkan untuk mengganti pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku tindak kejahatan atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. PAF. Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 147.

7

Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Lihat : Pasal 80 ayat (1) Konsep KUHP.

8


(16)

c. Pengumuman putusan hakim ; d. Pembayaran ganti kerugian ; dan

e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.

Jenis-jenis sanksi dan urutan jenis pidana pokok dalam Konsep KUHP sangat berbeda dengan KUHP sekarang dimana dalam KUHP mengenal 5 pidana pokok dan tambahan yang mempunyai tata urutan yang juga berbeda. Tata urutan pidana pokok yang berbeda antara KUHP dengan Konsep KUHP ini mengindikasikan bahwa terjadi perubahan dalam penentuan jenis-jenis sanksi pidana. Pidana mati bukan lagi menjadi pidana pokok yang pertama namun menjadi pidana yang sifatnya khusus. Demikian pula dengan pidana tutupan menjadi pidana pokok kedua setelah pidana penjara dimana dalam KUHP, pidana tutupan ini adalah pidana yang berada pada urutan kelima.

Salah satu pidana pokok yang tidak lagi dicantumkan adalah pidana kurungan yang pada prinsipnya adalah sanksi pidana yang merupakan pembatasan kebebasan bergerak, sebagaimana pidana penjara, namun dijatuhkan bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran. Konsep KUHP yang tidak lagi mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran sebagaimana pembedaan dalam KUHP sehingga konsekuensinya adalah tidak perlu lagi adanya pidana kurungan.9

Pidana tambahan yang dicantumkan dalam Konsep KUHP juga merumuskan pidana tambahan baru yang dinyatakan secara tegas, misalnya tentang pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat

9

Meskipun pidana kurungan ini dijatuhkan pada orang-orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran, namun pidana kurungan ini juga diancamkan pada sejumlah kejahatan yang diancam dengan pidana kurungan yang diancam secara alternatif dengan pidana penjara bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana yang dilakukan secara tidak sengaja. PAF. Lamintang, op.cit., hlm. 84.


(17)

dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Jika dibandingkan dengan KUHP saat ini, dua jenis pidana tambahan tersebut di atas belum dinyatakan sebagai pidana tambahan karena dalam KUHP hanya mengenal 3 jenis pidana tambahan.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pidana menjadi ciri khusus dalam hukum pidana dan membedakan dari jenis yang lain. Pidana berarti nestapa, sengsara atau penderitaan yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana.

Dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia, pidana merupakan salah satu masalah urgen untuk diperbaharui. Oleh sebab itu, dalam Rancangan KUHP yang baru, jenis pidana dan aturan pemidanaan mengalami perombakan total yang signifikan serta mengedepankan aspek-aspek kemanusiaan dan hak asasi manusia.

2. Defenisi Pidana Penjara

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, penjara memiliki arti bangunan tempat mengurung orang hukuman (bersalah menurut pengadilan) ; bui.10 Begitu juga dalam Kamus Hukum, penjara adalah rumah, gedung, bangunan tempat yang dipergunakan untuk mengurung orang hukuman.11 Defenisi yang terdapat dalam Wikipedia, penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai macam pemerintah dan merupakan bagian dari sistem atau sebagai fasilitas untuk menaha12

10

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 1151.

11

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 460. Lihat juga Regelement Kepenjaraan Stbl. No. 1917 jo. Stbl. 1918 No. 77.

12

Diakses pada September 2009.


(18)

Menurut Andi Hamzah, pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan.13

Jan Remmelink, sehubungan dengan pidana penjara juga menyatakan bahwa pidana penjara adalah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan (pidana badan) terpenting.14

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.15

PAF. Lamintang dalam bukunya memberikan defenisi pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan.16

3. Perkembangan Pidana Penjara

Sejarah pembentukan RUU KUHP tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional

13

Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 37.

14

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Paparannya Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hlm. 465.

15

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1996, hlm. 44.

16


(19)

secepat mungkin diselesaikan.17 Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998. Konsep KUHP juga dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-Undangan pada tahun 1999/2000. Tahun 2006 Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan Konsep KUHP tahun 2004 sebagai revisi Konsep KUHP 1999/2000.18 Setelah Konsep KUHP tahun 2004 dikeluarkan, ada juga Konsep KUHP draft tahun 2005 dan terakhir adalah draft Konsep KUHP tahun 2006/2007. Menurut informasi, Konsep terakhir sudah diagendakan dalam program legislasi nasional (PROGLEGNAS) dan menjadi prioritas pembahasan DPR untuk tahun 2008.19

Dari sekian draft RUU Konsep KUHP tersebut, sudah jelas bahwa pengaturan pidana penjaranya pun mengalami perubahan atau pembaharuan dari konsep ke konsep. Perubahan atau pembaharuan konsep pidana penjara tersebut tentu harus disesuaikan dengan keadilan masyarakat hukum Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam Konsep KUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Adanya perubahan yang

17

K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm. 22.

18

Ahmad Bahiej, Sejarah Pembentukan KUHP, Sistematika KUHP, Dan Usaha

Pembaruan Hukum Pidana Indonesia. Diakses dalam situs

http://72.14.345132/search?q=cache:D63cKNaIO5cJ:syariah.uin-suka.ac.id/file_ilmiah/1.%2520sejarah%2520Sistematika%2520KUHP%2520dan%2520Pembahar uan%2520Hukum%2520Pidana.d%EA%80%A6.pdf+Pemabaharuan+Hukum+Pidana+Nasional& hl=id&ct=clnk&cd=8&gl=id akses terakhir pada tanggal 20 Desember 2009.

19

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 (Kata Pengantar Penerbit Cet. IV).


(20)

cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam Konsep KUHP selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jenis-jenis pidana pokok dalam Konsep KUHP menambahkan alternatif lain di luar pidana penjara dengan diaturnya jenis pidana baru di luar pencabutan kemerdekaan. Perkembangan dewasa ini, persoalan alternatif pencabutan pidana kemerdekaan selalu menjadi posisi sentral dalam stelsel sanksi pidana. Alasan menghindari pidana pencabutan kemerdekaan ini disebabkan karena banyaknya kerugian-kerugian yang kadang sulit diatasi dimana kerugian-kerugian tersebut dapat bersifat filosofis maupun praktis.

Jenis pidana pokok baru dalam Konsep KUHP, yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dimana pidana ini dimaksudkan untuk memberikan pilihan atas pidana selain penjara. Pidana pengawasan adalah pidana yang dapat dikenakan dengan mengingat keadaan pribadi dan perbuatan terdakwa dengan syarat-syarat khusus. Pidana pengawasan ini dalam penjelasan Konsep KHUP dinyatakan sebagai pidana yang pada umumnya dijatuhkan pada orang yang pertama kali melakukan kejahatan (first offender).

Sanksi pidana lain yang merupakan alternatif dari pidana penjara atau perampasan kemerdekaan adalah pidana kerja sosial. Jenis pidana ini dapat diterapkan jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.Penjatuhan pidana denda dengan mempertimbangakan hal-haltertentu dan pidana kerja sosial ini tidak boleh dikomersialkan.Dalam penjelasan Pasal 86 ditegaskan bahwa salah


(21)

satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana kerja sosial adalah harus ada persetujuan terdakwa.

Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.20

Dalam perkembangannya, pidana perampasan kemerdekaan atau pidana penjara sudah dianggap tidak relevan lagi dengan tujuan dari pemidanaan itu sendiri dan jauh dari penghormatan atas hak asasi manusia. Sebelum berbicara mengenai tujuan pemidanaan, ada baiknya kalau diketahui terlebih dahulu hakekat

Penjelasan Umum RUU KUHP juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

20


(22)

dari pidana itu sendiri. Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.21

Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakuka n pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolute and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.22

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah konseptual yaitu dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.23

21

Diakses pada situs http://jelita249.blogspot.com/2009/09/aspek-negatif-dari-pidana-penjara-dan.html. Akses terakhir pada tanggal 20 Desember 2009.

22

Fifth UN Congress On Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders, New York, Departement Of Economic and Social Affairs, United Nation, 1976, hlm. 38.

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Cet. II, Jakarta, 2005, hlm. 137.


(23)

2. Data Dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan. Merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberi informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pidana Penjara Menurut KUHP Dan Konsep KUHP Baru. Hal ini terdiri dari pembahasan mengenai defenisi pidana penjara, pengaturan pidana


(24)

penjara menurut KUHP dan Konsep KUHP, masalah maksimum dan minimum pidana penjara, pola lamanya (berat-ringannya) pidana penjara.

BAB III : Perkembangan Pidana Penjara Dari KUHP Ke Konsep KUHP Baru. Memberikan penjelasan mengenai jenis dan modifikasi pidana penjara, lamanya ancaman pidana penjara, penetapan dan perumusan pidana penjara, kebijakan legislatif dalam rangka mengefektifkan pidana penjara

BAB IV : Kesimpulan Dan Saran. Merupakan bagian akhir yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang diidentifikasikan.


(25)

BAB II

PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara

Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana penjara dilaksanakan dibelakang tembok yang tebal yang sama sekali asing bagi narapidana.

Lain halnya dengan pidana penjara yang mengandung pengertian tata perlakuan terhadap narapidana tersebut di buat jera agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum Hal ini akan mengandung persepsi yang berbeda-beda karena membuat orang jera akan di tempuh berbagai macam cara.

Padahal tidak demikian maksud dari pidana penjara, yang sebenarnya adalah satu-satunya derita yang diberikan oleh negara adalah dihilangkannya kemerdekaan bergerak dan di bimbing terpidana agar bertaubat, di didik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna.

Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 KUHP. Pidana penjara menurut Pasal 12 ayat (1) KUHP terdiri dari pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu.

Menurut Andi Hamzah, pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan.24

24


(26)

Jan Remmelink, sehubungan dengan pidana penjara juga menyatakan bahwa pidana penjara adalah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan (pidana badan) terpenting.25

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.26

Pidana penjara merupakan suatu sistem perlakuan pelanggaran hukum yang pada dasarnya memberi pola perlakuan reintegrasi yang bertujuan memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana dalam kapasitasnya sebagai mahluk pribadi dan mahluk sosial dalam konteks hak asasinya sebagai manusia. Pemulihan kesatuan ini memiliki masalah yang sangat kompleks. Masalah pembinaan pelanggar hukum adalah pembinaan manusia dari segala sisi termasuk yang paling prinsip yakni sisi hak asasi manusianya. Dalam upaya pemulihan kesatuan ini, yang terpenting adalah proses yang berfungsi sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut.27

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan erat dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dapat memberi cap jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila seseorang dijatuhi pidana penjara.

25

Jan Remmelink, loc.cit.

26

Barda Nawawi Arief, loc.cit.

27

Yahya AZ., Eksistensi Pidana Penjara Dalam Perspektif HAM. Dalam

http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/eksistensi-pidana-penjara-dalam.html. Akses terakhir pada tangga l 0 Januari 2009.


(27)

B. Pengaturan Pidana Penjara Dalam KUHP Dan Konsep KUHP Baru

1. Dalam KUHP

Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu (Pasal 12 ayat (1) KUHP). Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut (Pasal 12 ayat (2) KUHP.

Pasal 12 ayat (3) KUHP menyatakan bahwa : pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal 52.

Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun (Pasal 12 ayat (4) KUHP.28 Batas dua puluh tahun harus dipandang sebagai batas absolut, argumen ini muncul dari MvT yang merupakan penjelasan dari Pasal 10 ayat (4) WvS Belanda bahwa orang-orang berapun umurnya yang menjalani pidana penjara dua puluh (20) tahun tanpa terputus-putus kemungkinan besar akan kehilangan kemampuan dan kesiapan untuk kembali menjalani kehidupan bebas. Sebab itu ditetapkan bahwa dengan alasan apapun juga tidak diperkenankan menjatuhkan pidana penjara lebih dari apa yang ditetapkan ketentuan Pasal 10 ayat (4).29

28

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bina Aksara, Cet. 20, Jakarta, 1999, hlm. 6.

29

Jan Remmelink, ibid, hlm. 466. Pasal 10 ayat (4) ini diatur dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP Indonesia.


(28)

Penjatuhan pidana seumur hidup diterima namun dengan sejumlah kritik. Alasan menurut (mantan) Menteri Kehakiman Belanda, Modderman, adalah karena pada prinsipnya pidana demikian tidak akan berdaya guna (efektif). Akan tetapi karena takut masuknya kembali pidana mati ke dalam sistem hukum (Belanda), ia kemudian mencakupkan sanksi pidana ini, yakni tindakan membuat terpidana tidak berdaya secara permanen poena proxima morti (pidana yang berada paling dekat dengan pidana mati). Dalam arti juridical murni, seumur hidup akan berarti sepanjang hayat dikandung badan. Hanya melalui upaya hukum luar biasa, grasi, pidana penjara seumur hidup dapat diubah menjadi pidana penjara sementara, misal untuk selama 20 tahun.30

Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau kedua-duanya, begitu juga hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu, hal membedakan orang terpidana dalam golongan-golongan, hal mengatur pemberian Apabila dilihat lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP dikenal pidana penjara dengan sistem minimum umum (paling pendek satu hari) dan maksimum umum (paling lama lima belas tahun berturut-turut). Sedangkan ketentuan pada ayat (3) jo. ayat (4), Pasal 12 KUHP mengenal pidana penjara dengan sistem maksimum khusus (boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut).

Pasal 13 KUHP menyatakan bahwa : para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan. Pasal 14 KUHP, terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan Pasal 29.

Pasal 29 KUHP menyatakan :

30


(29)

pengajaran, penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan, dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undangundang sesuai dengan kitab undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang ini.

Jika perlu, Menteri Kehakiman menetapkan aturan rumah tangga untuk tempat-tempat orang terpidana.

Ketentuan yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan termasuk peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Ketentuan yang masih berhubungan dengan pidana penjara adalah tentang pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14a sampai dengan 14f KUHP, dan ketentuan tentang lepas bersyarat yang diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 KUHP.

Khusus tentang lepas bersyarat yang berkaitan erat dengan pelaksanaan pidana penjara diatur dalam Pasal 15 KUHP, yang menyatakan :

Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.


(30)

Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.

Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.

Pasal 15a KUHP juga menentukan adanya syarat umum yaitu terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan perbuatan lain yang tidak baik (ayat (1)). Di samping itu juga terdapat syarat khusus tentang kelakuan terpidana, asal tidak mengurangi kemerdekaan agama, dan kemerdekaan politik baginya (ayat (2)).

Jenis sanksi yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP, menggunakan sembilan bentuk perumusan ancaman pidana, yaitu :

a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu ; b. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu ;

c. Diancam dengan pidana penjara (tertentu) ; d. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan ;

e. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda ; f. Diancam dengan pidana penjara atau denda ;

g. Diancam dengan pidana kurungan ;

h. Diancam dengan pidana kurungan atau denda ; i. Diancam dengan pidana denda.


(31)

Dari kesembilan perumusan di atas terlihat, khususnya untuk perumusan pidana penjara, KUHP menempuh dua sistem perumusan, yaitu :31

a. Sistem perumusan tunggal, yaitu pidana penjara dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan ; dan

b. Sistem perumusan alternatif, yaitu pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya sampai yang paling ringan.

Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal. Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang paling ringan. Pidana tambahan bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik. 2. Konsep KUHP Baru

Pengaturan pidana penjara dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang baru, dimulai pada Pasal 69 dan diakhiri pada Pasal 79. Jadi ada 11 pasal yang secara khusus mengatur pidana penjara. Di bawah ini akan di berikan rincian pasal demi pasal dari pidana penjara itu sendiri. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

Pasal 69

(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. (2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas)

tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

31


(32)

(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.

(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 70

(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 71

Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut :

a. Terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun ;

b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana ; c. Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar ; d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban ;

e. Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar ;

f. Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain ; g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut ;


(33)

h. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi ;

i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain ;

j. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya ;

k. Pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa ;

l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa ;

m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga ; atau n. Terjadi karena kealpaan.

Pasal 72

(1) Narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagai Klien Pemasyarakatan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum.

(2) Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut, jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana.

(3) Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.


(34)

(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.

(5) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain, waktu tahanannya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 73

(1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) adalah :

a. Klien Pemasyarakatan tidak akan melakukan tindak pidana ; dan

b. Klien Pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik.

(2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru, yang semata-mata bertujuan membina terpidana. (3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 74

(1) Pembebasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan, Klien Pemasyarakatan dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


(35)

(3) Jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.

Pasal 75

(1) Keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas.

(2)

Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat, maka Balai Pemasyarakatanmemberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.

(3)

Pencabutan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum atas usul hakim pengawas.

(4)

Jika Klien Pemasyarakatan melanggar syarat-syarat yang diberikan, maka hakim pengawas dapat mengusulkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum agar pembebasan bersyarat dicabut.

(5)

Jika hakim pengawas mengusulkan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka hakim pengawas dapat memberi perintah kepada polisi agar Klien Pemasyarakatan ditahan dan hal tersebut diberitahukan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum.

(6)

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) paling lama 60 (enam puluh) hari.

(7)

Jika penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka Klien Pemasyarakatan dianggap meneruskan menjalani pidana sejak saat ditahan.


(36)

(8)

Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan Klien Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pidana Tutupan

Pasal 76

(1) Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan. (2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada

terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

Pidana Pengawasan Pasal 77

Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.

Pasal 78

(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.

(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat : a. Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana ;


(37)

b. Terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan ; dan/atau

c. Terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.

(6) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.

(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.

Pasal 79

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidan dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.


(38)

C. Masalah Maksimum Dan Minimum Pidana

Dalam menetapkan jumlah atau lamanya ancaman pidana, pembuat Konsep pertama dihadapkan pada dua alternatif sistem, yaitu :32

1. Sistem atau pendekatan absolut. Yang dimaksud disini ialah, untuk setiap tindak pidana ditetapkan “bobot/kualitasnya”nya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman minimumnya) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana ini kenal pula dengan sebutan “sistem indefinite” atau “sistem maksimum”. Dapat juga disebut dengan sistem atau pendekatan tradisional, karena selama ini memang biasa digunakan dalam praktik legislatif di Indonesia.

2. Sistem atau pendekatan relatif. Yang dimaksud ialah, bahwa untuk tiap tindak pidana tidak ditetapkan bobot/kualitas (maksimum pidananya) sendiri-sendiri, tetapi bobotnya di-”relatif”-kan, yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana dalam bebapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana itu. Sistem ini dapat juga disebut pendektatan imaginatif.

Kedua sistem di atas masing-masing mempunyai segi positif dan segi negatif. Menurut Colin Howard, segi positif dari sistem yang pertama (yang olehnya disebut “sistem indefinite” atau “sistem maksimum”) ialah adanya tiga keuntungan yang menyolok, yaitu :33

1 Dapat menunjukkan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana ; 2 Memberikan fleksibilatas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan ;

32

Barda Nawawi Arief, ibid, 116.

33


(39)

3 Melindungi kepentingan si pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan.

Ketiga keuntungan di atas secara teoritis mengandung aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu. Aspek perlindungan masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai simbol kualitas norma-norma sentral masyarakat yang ingin dilindungi dalam perumusan delik yang bersangkutan, dan aspek perlindungan individual terlihat dengan ditentukannya batas-batas kewenangan dari aparat kekuasaan dalam menjatuhkan pidana.34

1. Untuk pidana penjara tetap dibedakan antara pidana penjara seumur hidup dan untuk waktu tertentu ;

Dengan tetap akan dianutnya sistem absolut (sistem maksimum/indefinite), mau tidak mau Konsep mengahadapi masalah penentuan lamanya maksimum dan minimum pidana, khususnya untuk pidana penjara dan denda. Adapun pola maksimum dan minimum pidana yang digunakan adalah sebagai berikut :

2. Pidana penjara untuk waktu tertentu, minimal (umum) satu hari kecuali ditentukan lain maksimal berturut-turut 15 tahun yang dalam hal-hal tertentu dapat mencapai 20 tahun ;

3. Pidana minimal untuk denda adalah 1.500,- kecuali ditentukan lain dan maksimalnya ditetapkan dalam enam katagori, yaitu (Pasal 77 Konsep 1987/1988 ; Pasal 73 Konsep 1993) :35

34

Ibid.

35

Dalam perkembangan Konsep berikutnya, sejak Konsep 2000 s/d 2006/2007 katagori denda ini telah mengalami perubahan : minimal umumdenda adalah Rp. 15.000,- ; Katagori 1 maksimal Rp. 150.000,- ; Katagori I Rp. 500.000,- ; Katagori II Rp. 7.500.000,- ; Katagori III Rp. 30.000.000,- ; Katagori IV Rp. 75.000.000,- ; Katagori V


(40)

a. Katagori 1 maksimal Rp. 150.000,- ; b. Katagori 2 maksimal Rp. 500.000,- ; c. Katagori 3 maksimal Rp. 3.000.000,- ; d. Katagori 4 maksimal Rp. 7.500.000,- ; e. Katagori 5 maksimal Rp. 30.000.000,- ; f. Katagori 6 maksimal Rp. 300.000.000,-.

Pola maksimum dan minimum pidana di atas diatur dalam Aturan Umum (Buku I). Adapun perumusannya dalam dalam Buku I (yang memuat perumusan tindak pidana) digunakan pola perumusan sebagai berikut :

1. Apabila suatu tindak pidana yang menurut penilaian dianggap tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobot dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana “sangat ringan”. Golongan ini hanya diancam dengan pidana denda menurut katagori ke-1 sampai katagori ke-2 ; 2. Apabila suatu tindak pidana yang semula atau selama itu diancam pidana

penjara atau kurungan kurang dari 1 tahun tetap dinilai patut untuk diancam pidana penjara, maka akan diancam dengan maksimum pidana penjara paling rendah 1 tahun ;

3. Semua tindak pidana yang menurut penilaian patut diancam dengan pidana penjara maksimum 1 tahun sampai dengan 7 tahun, selalu akan dialternatifkan dengan pidana denda dengan penggolongan sebagai berikut :

a. Untuk golongan “ringan” (maksimum penjara 1 sampai 2 tahun), diancam dengan maksimum denda katagori ke-3 ;

Rp. 300.000.000,- ; dan Katagori VI rp. 3.000.000.000,-. Dalam Konsep 2006/2007, tercantum dalam Pasal 80.


(41)

b. Untuk golongan “sedang” (maksimum penjara 2 sampai 4 tahun) diancam dengan maksimum denda katagori ke-4 ;

4. Semua tindak pidana yang tergolong “sangat serius” (di atas 7 tahun penjara) tidak dialternatifkan dengan pidana denda, kecuali dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan maksimum denda menurut katagori ke-5 untuk delik yang diancam pidana penjara 7 tahun ke atas samapi dengan 15 tahun, dan menurut katagori ke-6 untuk yang diancam pidana penjara 20 tahun atau seumur hidup.

Untuk lebih jelasnya, pola di atas digambarkan dalam skema sebagai berikut :

Tabel 1. Skema Pola Maksimum Khusus Dalam Konsep 2006/2007

No. Tindak Pidana Penjara Denda

1. Sangat Ringan - Katagori 1 dan Katagori 2

2. Ringan 1-2 tahun Katagori 3

3. Sedang 2-4 tahun Katagori 3

4. Berat 4-7 tahun Katagori 4

5. Sangat Serius Di atas 7 tahun Tanpa denda, kecuali korporasi (dapat kena katagori 5 atau katagori 6)

Dengan pola di atas, hanya akan ada tiga katagori pengelompokan tindak pidana, yaitu :

1. Yang hanya diancam pidana denda (untuk delik yang bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara) ;

2. Yang hanya diancam pidana penjara atau denda secara alternatif (untuk delik yang diancam dengan penjara 1-7 tahun) ;

3. Yang hanya diancam pidana penjara (untuk delik yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 7 tahun).


(42)

Dari pola maksimum dan minimum pidana yang dikemukakan di atas, terlihat beberapa perbedaan dengan pola menurut KUHP yang saat ini berlaku, yaitu :

1. Ancaman pidana maksimum khusus yang paling rendah untuk pidana penjara 1 (satu) tahun. Menurut pola KUHP, maksimum khusus pidana penjara yang paling rendah adalah 1 hari, dan yang di bawah 1 tahun sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu ;

2. Konsep menganut sistem ancaman pidana minimum khusus yang selama ini tidak dikenal dalam KUHP. Dianutnya pidana minimum ini didasarkan pada pokok pemikiran :

a. Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya ;

b. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat ; c. Dianalogkan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu

maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidana pun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu. 3. Konsep menggunakan ukuran 7 tahun sebagai “batas maksimum yang cukup

tinggi” untuk pidana penjara. Alasan atau latar belakang pemikirannya adalah :

a. Batasan maksimum yang tidak terlalu tinggi dilatarbelakangi pula oleh pemikiran untuk menghindari ekses negatif dari pidana penjara yang terlalu lama ;


(43)

b. Juga dilandasi pemikiran introspektif, bahwa pembinaan atau melakukan rehabilitasi terpidana tidak dapat sepenuhnya diharapkan dari terlalu lamanya terpidana berada di dalam lembaga, pembinaan masih dapat dilakukan dan dicapai di dalam masyarakat itu sendiri, dengan melakukan program-program perbaikan dan pembinaan di luar lembaga. Jadi dilatarbelakangi pula oleh gagasan “deinstitusionalisasi” dan sistem peradilan pidana yang humanis (a humane system of criminal justice). 4. Konsep menggunakan sistem katagori denda dalam merumuskan ancaman

pidananya. Artinya, yang diancamkan dalam perumusan delik bukan suatu jumlah denda tertentu seperti dalam KUHP sekarang, tetapi hanya disebutkan katagori dendanya saja seperti tersebut dalam Aturan Umum Buku I (ada enam katagori denda).

Mengenai pola “minimum khusus” untuk pidana penjara dapat dikemukakan sebgai berikut :

1 Pada primsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu perkecualian, yaitu untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) : sebagai ukuran kuantitatif adalah delik-delik yang diancam pidana di atas 7 tahun (sampai pidana mati) sajalah yang dapat dikenakan minimum khusus, karena delik-delik itulah yang golongkan “sangat serius”, namun dalam hal-hal tertentu patokan itu dapat diturunkan pada delik-delik yang tergolong “berat” (yaitu yang diancam 4-7 tahun penjara.


(44)

2 Lamanya minimum khusus, pada mulanya dikembangkan pola yang berkisar antara 3-7 tahun. Hal ini didasarkan pada perbandingan pola yang ada di berbagai negara, antara lain Norwegia berkisar antara 2 bulan-8 tahun, Yugoslavia berkisar antara 3 10 tahun, Polandia berkisar antara 6 bulan-10 tahun, Korea berkisar antara 1 tahun-bulan-10 tahun, dan Jepang berkisar antara 3 bulan-7 tahun.

D. Pola Lamanya (Berat-Ringannya) Pidana Penjara

1. Pidana Penjara

Seperti halnya dengan KUHP (WvS), Konsep juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu. Untuk pidana penjara dalam waktu tertentu, pola sebagai berikut :

Tabel 2. Perbandingan KUHP Dan Konsep KUHP 2006/2007 Mengenai Waktu Pidana Penjara

Pola Minimum Pola Maksimum

Umum Khusus Umum Khusus

KUHP 1 Hari - 15/20 Thn Bervariasi

Sesuai Dengan Deliknya

KONSEP 1 Hari Bervariasi

Antara 1-5 Thn

15/20 Thn Bervariasi Sesuai Dengan Deliknya

Pola minimum khusus menurut Konsep pada mulanya berkisar antara 3 bulan sampai 7 tahun, namun dalam perkembangannya mengalami perubahan antara 1-5 tahun dengan kategori sebagai berikut :

Tabel 3. Ancaman Maksimum Dan Minimum Terhadap Tindak Pidana

Katagori Delik Ancaman Maksimum Ancaman Minimum

1. “Berat” 4 s.d. 7 Tahun 1 Tahun

2. “Sangat Serius” 7 s.d. 10 Tahun 2 Tahun 12 s.d. 15 Tahun 3 Tahun Mati/Seumur Hidup 5 Tahun


(45)

Dari pola di atas terlihat, bahwa penentuan ”minimum khusus” didasarkan atau diberdakan menurut ancaman maksimum khusus untuk delik yang bersangkutan. Ini hanya sekedar patokan objektif atau patokan formal. Tidak setiap delik yang termasuk dalam kategori seperti di atas, harus diberi ”minimum khusus”. Dalam menetapkan minimum khusus perlu dipertimbangkan akibat dari delik yang bersangkutan terhadap masyarakat luas (antara lain ; menimbulkan bahaya keresahan umum, bahaya bagi kesehatan/lingkungan atau menimbulkan akibat mati) atau faktor pengulangan tindak pidana (recidive). Pola umumnya delik-delik yang ”sangat serius” sajalah yang diberi ancaman minimum khusus. Catatan lain yang perlu disampaikan adalah, bahwa menurut Konsep ancaman minimum khusus ini pun dalam hal-hal tertentu tetap dapat dikurangi atau diperingan apabila ada hal-hal yang memperingan pemidanaan.

Pola minimum khusus pidana penjara di dalam KUHP dan Konsep adalah sebagai berikut :

a. Menurut KUHP : berkisar antara 3 minggu (paling rendah) dan 15 tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan ;

b. Menurut Konsep : berkisar antara 1 tahun (maksimum paling rendah) dan 15 tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan.

Untuk minimum khusus dibawah 1 tahun menurut pola KUHP digunakan bulan dan minggu. Pola demikian tidak ada dalam Konsep karena maksimum paling rendah adalah 1 tahun. Untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana ”sangat ringan” dan hanya diancam denda. Pola maksimum khusus paling rendah 1 tahun menurut Konsep dikecualikan


(46)

untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai ”kejahatan ringan”. Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik ”kejahatan ringan” ini adalah 3 bulan, sedangkan menurut Konsep 6 bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda Kategori II.

Pola pemberatan dan peringanan pidana menurut Konsep tidak berbeda dengan KUHP, yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Hanya menurut Konsep, pemberatan/peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan menurut Konsep dapat juga dikurangi setengahnya36

a. Anak (di bawah 18 tahun) ; dan

(jadi diancam dengan pidana separuh dari maksimum delik yang bersangkutan), yaitu untuk :

b. Percobaan tidak mampu37

Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan delik culpa, menurut KUHP adalah sebelum perubahan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1960, di dalam KUHP tidak ada keseragaman atau kesebandingan maksimum pidana untuk delik culpa dibandingkan dengan delik dolusnya. Misalnya untuk delik-delik

dolus dengan maksimum 4 tahun penjara (lihat Pasal-Pasal 231, 408, 426, 427, 477), delik culpanya ada yang diancam 1 bulan kurungan (Pasal 426 ayat (4) dan 409) dan ada yang 2 bulan kurungan (Pasal 426 ayat (2) dan 477 ayat (2)). Ancaman maksimum 3 bulan kurungan ini pun ternyata diancam juga untuk delik

culpa di dalam Pasal 334 yang delik dolusnya (Pasal 333) diancam dengan pidana

36

Dalam perkembangan berikutnya (mulai Konsep 2004), ada yang dikurangi 2/3 dari maksimum, yaitu untuk delik “persiapan” dan “permufakatan jahat”.

37

Dalam penjelasan Konsep KUHP, ketentuan dalam pasal percobaan ini tidak memberikan definisi tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana, pembuat tindak pidana telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana dan pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.


(47)

penjara 8 tahun. Dilihat dari sudut akibatnya (misalnya timbul bahaya bagi umum), memang terlihat ada keseragaman maksimum pidana untuk delik

culpanya, yaitu 4 bulan 2 minggu penjara atau 3 bulan kurungan, tetapi tidak sebanding dengan delik dolusnya yang diancam dengan pidana penjara yang berbeda-beda, yaitu ada yang maksimumnya 9 bulan (Pasal 191 bis), ada yang 9 tahun (Pasal 192) dan ada yang 12 tahun (Pasal 196 dan Pasal 200). Namun di samping itu, terlihat pola umum menurut KUHP sebagai berikut :

a. Untuk perbuatan dengan culpa, diancam dengan pidana kurungan (maksimum 1 sampai 3 bulan) atau denda ;

b. Untuk yang menimbulkan akibat, terlihat pola sebagai berikut :

Tabel 4. Ancaman Maksimum Pidana Dalam KUHP Akibat

Ancaman Maksimum Pidana Delik Dolus

(Penjara)

Delik Culpa

Penjara Kurungan Denda

Bahaya Umum 7-12 Thn. 4 Bln. 2 Mggu. 3 Bln. Ada Bahaya Bagi

Nyawa/Kesehatan

15 Thn. 9 Bln. 6 Bln. Ada

Mati SH/20 Thn. 1 Thn. 4 Bln. 1 Thn. Tidak Ada 2. Pidana Denda

Pola pidana denda dalam KUHP tidak mengenal ”minimum khusus” dan ”maksimum umum”. Yang ada hanya ”minimum umum” dan ”maksimum khusus”. Minimum umum pidana denda sebesar ”25 sen” (Pasal 30 ayat (1)) yang berdasarkan perubahan menurut Undang-Undang No. 18 Prp. 1960 dilipatgandakan menjadi 15 kali, sehingga menjadi Rp. 3, 75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Maksimum khususnya bervariasi sebagai berikut :

a. Untuk ”kejahatan” ; maksimumnya berkisar antara Rp.900,- (dahulu 60 Gulden) dan Rp.150.000,- (10.000 Gulden), namun ancaman pidana denda yang sering diancamkan ialah sebesar Rp.4.500,- (500 Gulden) ;


(48)

b. Untuk ”pelanggaran” ; denda maksimum berkisar antara Rp.225,- (dua ratus dua puluh lima rupiah) (Gulden) dan Rp.75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) (5.000 Gulden), namun yang terbanyak hanya diancam dengan denda sebesar Rp.375,- (tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) (25 Gulden) dan Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) (300 Gulden).

Dari pola di atas terlihat, bahwa menurut pola KUHP (WvS) maksimum khusus denda yang paling tinggi untuk ”kejahatan” ialah Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) (10.000 Gulden), dan untuk ”pelanggaran” paling banyak Rp.75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) (5000 Gulden). Jadi maksimum khusus ”kejahatan” adalah ”2 (dua) kali lipat” yang diancamkan untuk ”pelanggaran”.

Konsep mengenal ”minimum umum”, ”minimum khusus” dan ”maksimum khusus” pidana denda. Minimum umum sebesar Rp.1.500,- (seribu lima ratus rupiah). Ancaman maksimum khusus dibagi enam kategori. Minimum khusus pidana denda dapat ditentukan berdasarkan keenam kategori38

No.

itu. Adapun pengancaman maksimum khusus denda sebagai berikut :

Tabel 5. Ancaman Maksimum Khusus Pidana Penjara Dan Denda Dalam Konsep KUHP 2006/2007

Bobot Delik Penjara Denda

1. Sangat Ringan – Katagori I/II

2. Ringan 1-2 Tahun Katagori III

3. Sedang 2-4 Tahun Katagori IV

4. Berat 4-7 Tahun Katagori IV

5. Sangat Serius Di atas 7 Tahun Untuk “orang” tanpa denda ; Untuk “korporasi” terkena Katagori V.

38

Dalam perkembangan berikutnya sudah mengalami perubahan. Denda minimal Rp.15.000,- dan Kategorinya berkisar dari Rp.1.5 juta (Kategori I) sampai dengan Rp. 3 milyar (Katefori VI).


(49)

Dari pola di atas terlihat, bahwa baik menurut KUHP maupun menurut Konsep tidak ada ”maksimum umum” untuk pidana denda. Inilah yang menyebabkan sangat bervariasinya maksimum denda di luar KUHP.

Dari pembahasan pengaturan pidana penjara menurut Konsep KUHP, masalah maksimum dan minimum pidana, dan pola lamanya (berat-ringannya) pidana terlihat bahwa, jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan. Bentuk perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP di atas, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep :39

a. Pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya ; b. Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori ;

c. Ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan alternatif diterapkan secara kumulatif.

39


(50)

BAB III

PERKEMBANGAN PIDANA PENJARA DARI KUHP KE KONSEP KUHP BARU

A. Jenis Dan Modifikasi Pidana Penjara

Konsep KUHP 2006/2007 Buku I hanya dikenal 1 (satu) jenis pidana perampasan kemerdekaan, yaitu “pidana penjara”. Namun dalam konsep disebutkan juga bentuk modifikasinya berupa “pidana tutupan” dan “pidana pengawasan”. Pidana tutupan dan pidana pengawasan sebenarnya merupakan cara menjalankan pidana yang dikaitkan dengan ancaman pidana penjara jadi hanya merupakan “strafmodaliteit” atau “strafmodus”.

Bertolak dari Konsep KUHP 2006/2007 Buku I itu, maka dalam menghadapi perumusan delik yang mengandung ancaman pidana penjara, hakim hanya dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama, hakim dapat menjatuhkan pidana yang bersifat “custodial” (berupa pidana penjara atau pidana tutupan), atau kedua, menjatuhkan pidana yang bersifat “non-custodial” berupa pidana pengawasan. Pidana pengawasan yang dimaksudkan sebagai alternatif pidana penjara ini, menurut Konsep KUHP 2006/2007 Buku I, dapat dikenakan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau kurang (Pasal 66 Konsep).40

Konsep KUHP 2006-2007 mengintrodusirkan jenis pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara, jelas terlihat bahwa pembuat Konsep ingin menarik garis batas yang sangat sederhana dalam menghadapi pelaku tindak pidana. Pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara maksimum lebih dari tujuh tahun, secara objektif dianggap telah

40

Konsep 1982/1983 yang diedit s/d Maret 1984. Pasal ini menjadi Pasal 70 Konsep edisi Maret 1993 ; Pasal 72 Konsep 2000 ; Pasal 74 Konsep 2004 ; Pasal 77 Konsep 2006/2007.


(51)

melakukan tindak pidana berat dan oleh karenanya disediakan ancaman pidana penjara yang bersifat custodial. Sebaliknya bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana dengan maksimum pidana penjara tujuh tahun atau dibawah tujuh tahun, secara objektif dianggap melakukan tindak pidana yang lebih ringan, sehingga untuk pelaku disediakan pidana pengawasan (yang non-custodial). Jadi hakim dalam menghadapi pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun, dianggap melakukan tindak pidana yang sangat serius.

Garis batas yang sangat sederhana itu mengandung nilai yang sangat positif, karena bertujuan untuk mengurangi atau membatasi penerapan pidana penjara hanya pada orang-orang yang melakukan tindak pidana berat. Namun dirasakan ada sesuatu yang menggangu atau kurang layak, apabila “ukuran objektif” (yaitu batasan tujuh tahun) itu benar-benar diterapkan tanpa memperhatikan faktor-faktor subjektif atau kondisi suatu kasus. Misalnya dalam hal hakim mengahadapi perkara pencurian atau penganiyaan yang berakibat luka-luka berat. Menurut Pasal 362 dan 351 (2) KUHP yang sekarang berlaku, kedua tindak pidana itu hanya diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun. Jadi dilihat dari ukuran objektif, termasuk jenis tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana pengawasan. Hakim akan ingin mempertimbangkan untuk tidak menjatuhkan pidana pengawasan, maka alternatif lain hanya pidana penjara. Menurut Konsep (Pasal 70), dimungkinkan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana denda walaupun tindak pidana yang bersangkutan tidak diancam dengan denda. Kemungkinan tersebut hanya dapat dijatuhkan apabila hakim mempertimbangkan


(52)

untuk menjatuhkan pidana penjara pendek yang tidak lebih dari tiga bulan.41

Resiko negatif dari diterapkannya pidana penjara dan pidana denda secara terpisah, perlu disediakan kemungkinan atau alternatif ketiga bagi hakim untuk menggabungkan kedua jenis pidana itu. Jenis pidana gabungan antara pidana penjara dan pidana pengawasan ini dalam kepustakaan dikenal dengan istilah “combined incarceration and probation” atau juga disebut istilah “mixed or split sentence”.

Jadi dalam hal hakim mempertimbangkan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara pendek (tiga bulan kebawah) atau tidak menjatuhkan pidana denda, yaitu memasukkan terdakwa dalam lembaga pemasyarakatan dengan menjatuhkan pidana penjara atau hanya mengenakan pidana pengawasan. Kedua-duanya sudah barang tentu mengandung resiko negatif.

42

41

Dalam Konsep 2006/2007, penjara pengganti ini diatur dalam Pasal 83-84 (tidak bayar denda), Pasal 97 (tidak bayar harga lawan untuk perampasan barang yang tidak diserahkan), Pasal 98 (tidak bayar biaya pengumuman putusan hakim), Pasal 99 (tidak bayar pidana ganti rugi).

42

Maksudnya adalah hukuman yang digabungkan (penjara dan denda) atau hukuman tersebut dipecah/terpisah.

Pidana penjara, dimaksudkan, terpidana hanya menjalani sebagian dari pidana perampasan kemerdekaannya di dalam lembaga dan sebagian lainnya atau sisanya dijalani di luar lembaga (non-custodial) tetapi tetap dalam pengawasan. Jadi sebagian menjalani pidana penjara dan sebagian lagi menjalani pidana pengawasan. Jenis pidana ini dapat misalnya disebut dengan istilah “pidana penjara terbatas”. Jenis pidana ini merupakan “pidana-antara”, karena kualitasnya berada di antara pidana penjara dan pidana pengawasan. Artinya, lebih ringan dari pidana penjara biasa tetapi lebih berat dari pidana pengawasan. Sifat lebih berat dari pidana pengawasan, ditandai dengan adanya sifat custodial. Walaupun bersifat custodial, namun untuk memberikan sifar lebih ringan daripada pidana penjara biasa, dapat misalnya ditetapkan maksimum umum yang lebih


(53)

ringan untuk pidana gabungan ini. Pidana penjara biasa maksimum umumnya ditetapkan 15 tahun, maka untuk pidana gabungan dapat misalnya ditetapkan maksimum umum tiga tahun, yaitu sama dengan pidana pengawasan menurut Konsep (Pasal 62 ayat (2)). Sifat lebih berat dari pidana penjara dengan pidana pengawasan, maka disamping mengandung unsur custodial, juga kepada terpidana dapat dikenakan kewajiban-kewajiban tertentu yang bersifat kemanusiaan atau sosial selama terpidana berada dalam pengawasan di luar lembaga.

Gagasan pidana gabungan itu, secara teoritis didasarkan pada perlunya pengembangan jenis pidana yang diperkirakan dapat mewujudkan keseimbangan antara kepentingan perlindungan atau pengamanan masyarakat dan kepentingan individu. Atau dengan perkataan lain, diperlukan jenis pidana yang dapat mengkompromikan atau memanfaatkan segi-segi positif (sebaliknya juga berarti, mengindari segi-segi negatif) dari pidana penjara di satu pihak dan pidana pengawasan dilain pihak. Jadi mengkompromikan “pidana” dengan “tindakan”. Sedang dilihat dari sudut praktis, sekurang-kurangnya diharapkan ada dua keuntungan yang dapat dicapai, yaitu :

a. Memberikan dasar motivasi yang lebih mantap bagi para penegak hukum (jaksa dan hakim) untuk lebih mau mengefektifkan jenis pidana yang sifat

non-custodial. Dengan tidak tersedianya kemungkinan untuk menjatuhkan pidana gabungan, maka dalam praktik selama ini sangat sedikit perkara yang dituntut atau dijatuhi pidana bersyarat (hanya sekitar 1-5%). Alasan praktis yang dikemukan para jaksa dan hakim ialah, bahwa kemampuan untuk mengawasi terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat itu masih sangat terbatas. Dengan tersedianya kemungkinan untuk menjatuhkan pidana pengawasan


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dari skripsi ini, maka pada bab ini penulis akan memaparkan kesimpulan dan sarannya sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Jenis sanksi yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP, menggunakan sembilan bentuk perumusan ancaman pidana, yaitu :

a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu ;

b. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu ; c. Diancam dengan pidana penjara (tertentu) ;

d. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan ;

e. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda ; f. Diancam dengan pidana penjara atau denda ;

g. Diancam dengan pidana kurungan ;

h. Diancam dengan pidana kurungan atau denda ; i. Diancam dengan pidana denda.

Dari kesembilan perumusan di atas terlihat, khususnya untuk perumusan pidana penjara, KUHP menempuh dua sistem perumusan, yaitu :

a. Sistem perumusan tunggal, yaitu pidana penjara dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan ; dan

b. Sistem perumusan alternatif, yaitu pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya sampai yang paling ringan.


(2)

Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal. Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang paling ringan. Pidana tambahan bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik. 2. Menurut Konsep KUHP 2006/2007, jenis pidana yang diancamkan dalam

perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Bentuk perumusannya tidak berbeda dengan KUHP yang berlaku sekarang, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep KUHP 2006/2007 :

a. Pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya ; b. Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori ;

c. Ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan alternatif diterapkan secara kumulatif.

B. Saran

1. RUU KUHP yang sekarang masih dalam proses pengesahan harus segera direvisi dan disahkan oleh DPR bersama dengan Presiden. RUU ini harus diletakkan ke dalam bagian proyek besar reformasi saat ini. Seharusnya inilah yang menjadi politik hukum pidana (criminal law politics) RUU ini. Revisi dalam konteks criminal law politics inilah yang lebih perlukan, ketimbang revisi pada persoalan semantik (perubahan-perubahan makna) dan lainnya. Sebab politik hukum pidana inilah yang menentukan jaminan terhadap civil liberties dan fundamental freedom warga negara.


(3)

2. Sangat diperlukan penambahan jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan kerja sosial yang terdapat dalam Konsep KUHP 2006/2007 maupun konsep selanjutnya. Karena kedua jenis pidana tersebut merupakan jenis pidana pokok baru yang tidak ada dalam KUHP yang dimaksudkan untuk memberikan pilihan atas pidana selain penjara.

3. Begitu juga dengan dicantumkannya pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian dalam Konsep 2006/2007 dan konsep selanjutnya harus tetap dipertahankan yang menunjukkan bahwa ada pengakuan atas penderitaan korban kejahatan. Ketentuan ini lebih tegas jika dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP saat ini, yang meskipun juga mengatur tentang kerugian korban, KUHP sekarang tidak secara spesifik menempatkan ganti kerugian sebagai pidana tambahan tetapi sanksi berupa ganti kerugian hanya bisa diberikan jika ada permohonan dari korban atau Jaksa Penuntut Umum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Penanggulanngan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994.

__________________, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1994.

__________________, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1996.

__________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

__________________, Bunga Rampai Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

___________, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Howard, Colin, An Analisis Of Sentencing Authority, dalam Reshaping The Criminal Law ed. by P.R. Glazebrook, London, 1978.

Lamintang, PAF., Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984. Life Imprisonment, UN Publication.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Cet. II, Jakarta, 2005.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bina Aksara, Cet. 20, Jakarta, 1999.

Muladi (Edt), Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005. Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,

Bandung, 2007.


(5)

Radzinowicz, Leon & Roger Hood, A Dangerous Direction For Sentencing Reform, dalam The Criminal Law Review, Desember 1978.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Paparannya Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003.

Saleh, K. Wantjik, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.

Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1985.

Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.

______. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Syarifin, Pipin, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008.

United Nation, Fifth UN Congress On Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders, New York, Departement Of Economic And Social Affairs, 1976.

United Nations, Publication, 1991, No. E.91.IV.2, Ch I, Sect. C. 20.

United Nations, Report : Fourth Uniterd Nations Congress On The Prevention Of Crime And Treatment Of Offenders, 1970.

Situs/Website

Ahmad Bahiej, Sejarah Pembentukan KUHP, Sistematika KUHP, Dan Usaha Pembaruan Hukum Pidana Indonesia. Diakses dalam situs

http://72.14.345132/search?q=cache:D63cKNaIO5cJ:syariah.uin-suka.ac.id/file_ilmiah/1.%2520sejarah%2520Sistematika%2520KUHP% 2520dan%2520Pembaharuan%2520Hukum%2520Pidana.d%EA%80%A 6.pdf+Pemabaharuan+Hukum+Pidana+Nasional&hl=id&ct=clnk&cd=8 &gl=id


(6)

Ifdhal Kasim, “Ke Arah Mana Pembaruan KUHP ? Tinjauan Kritis Atas RUU KUHP”, Position Paper, ELSAM, September 2005. Diakses dalam situs http://elsam.or.id.pdf

Ifdhal Kasim, “Kodifikasi Hukum Pidana Dalam Kerangka Perlindungan Hak Asasi Manusia”, Makalah dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM, Jakarta, 28 Oktober 2006. Diakses dalam situs http://elsam.or.id.pdf

Yahya AZ., Eksistensi Pidana Penjarea Dalam Perspektif HAM. Dalam