Lamanya Ancaman Pidana Penjara

B. Lamanya Ancaman Pidana Penjara

Menentukan lamanya atau berat ringannya pidana penjara merupakan salah satu bagian dari masalah kebijakan pemidanaan sentencing policy. Kebijakan pemidanaan ini termasuk masalah yang cukup kontroversial saat ini. 45 Mengenai masalah minimum dan maksimum pidana penjara ini, Konsep KUHP 20062007 Buku I tampaknya tetap ingin mempertahankan sistem yang selama ini berlaku menurut KUHP WvS, yaitu : Kesulitan timbul tidak hanya dalam lapangan teori, tetapi terjadi dalam lapangan praktik. Dalam praktik legislatif selama ini, masalah ukuran pemidanaan ini pun sering timbul. 46 a. Tetap membagi pidana penjara untuk seumur hidup dan untuk waktu tertentu ; b. Untuk pidana penjara dalam waktu tertentu tetap dianut sistem minimum dan maksimum umum serta maksimum khusus untuk tiap-tiap jenis tindak pidana. Seperti halnya dengan KUHP WvS, minimum umum tetap satu hari. Hanya sayangnya tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam rumusan pasal yang bersangkutan Pasal 58 Konsep tetapi hanya disebutkan di dalam “penjelasan pasal”. 47 45 Herbert L. Packer, The Limits Of Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 13-14. 46 Dalam perkembangannya, Konsep juga menganut “minimum khusus”. 47 Dalam perkembangannya, minimum umum penjara satu hari ditegaskan secara eksplisit. Maksimum umum yang ditetapkan juga sama dengan KUHP WvS, yaitu 15 tahun dan dapat menjadi 20 tahun apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau seumur hidup atau apabila ada pemberatan pidana. Universitas Sumatera Utara Jadi, pada prinsipnya sistem yang dianut di dalam Konsep tidak jauh berbeda dengan sistem KUHP WvS. Hanya saja terlihat dua ketentuan baru yang selama ini tidak terdapat di dalam KUHP, yaitu : 48 a. Hakim dapat menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap pembuat pidana yang diancam dengan pidana mati, walaupun pidana penjara seumur hidup itu tidak secara nyata diancamkan terhadap tindak pidana yang bersangkutan ; b. Menteri Kehakiman 49 Sehubungan dengan pendirian Konsep yang demikian, dalam skripsi ini akan diterangkan secara berturut-turut mengenai sistem atau pendekatan dalam melakukan rekonstruksi lamanya ancaman pidana penjara, masalah lamanya minimum dan maksimum pidana penjara dalam waktu tertentu, dan masalah pidana penjara seumur hidup. , atas usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, dapat mengubah pidana seumur hidup menjadi maksimum 15 tahun apabila terpidana telah menjalani pidana penjara sekurang-kurangnya 10 tahun pertama dengan berkelakukan baik. Seperti yang diungkapkan di atas, sistem atau pendekatan yang ingin ditempuh oleh Konsep Buku I KUHP 20062007 adalah dengan tetap mempertahankan sistem dan maksimum seperti yang terdapat dalam KUHP yang sekarang berlaku. Tetap dianutnya sistem ini memang sudah terlihat dalam praktik legislatif selama ini yang selalu menetapkan maksimum khusus pidana penjara 48 Lihat Pasal 58 Konsep 1982 Buku I dan penjelasannya. Dalam perkembangan Konsep, pidana mati selalu dirumuskan secara alternatif. 49 Sekarang Departemen Hukum Dan HAM. Universitas Sumatera Utara untuk tiap tindak pidana. Penetapan maksimum khusus untuk tiap tindak pidana ini, dikenal dengan sebutan “sistem indefinite” atau “sistem maksimum”. 50 Menurut Colin Howard, sistem ini merupakan praktik legislatif yang tradisional dan merupakan cara terbaik untuk mendistribusikan kekuasaan pemidanaan dari badan legislatif kepada badan atau kekuasaan pemidanaan lainnya di tingkat bawah. Ada tiga keuntungan yang mencolok dari sistem ini menurut Colin Howard, yaitu : 51 a. Sistem ini menunjukkan tingkat keseriusan tindak pidana kepada badan-badan atau kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah ; b. Memberikan fleksibilitas dan kebijaksanaan diskresi kepada kekuasaan- kekuasaan di tingkat bawah itu ; dan c. Melindungi kepentingan-kepentingan si pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan di tingkat bawah itu. Ketiga keuntungan yang disebutkan di atas, secara teoritis mengandung aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu. Aspek perlindungan masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai simbol kualitas norma-norma sentral masyarakat yang terkandung dalam perumusan delik yang bersangkutan. Aspek perlindungan individu terlihat dengan diberikannya kebebasan kepada hakim untuk memilih lamanya pidana penjara dalam batas-batas minimum dan maksimum yang telah ditetapkan. 50 Colin Howard, An Analisis Of Sentencing Authority, dalam Reshaping The Criminal Law ed. by P.R. Glazebrook, London, 1978, hlm 407. 51 Ibid, hlm. 408. Universitas Sumatera Utara Namun perlu ditegaskan, bahwa usaha untuk melakukan rekonstruksi dan rekodifikasi sistem maksimum khusus secara rasional dan komprehensif adalah sulit. Terlebih adanya pendapat, bahwa bobot suatu kejahatan atau pelanggaran norma itu bersifat relatif. Bertolak dari pandangan relativisme inilah, maka dalam usaha melakukan rekonstruksi sistem ancaman berat ringannya pidana, ada yang menempuh pendekatan imaginatif untuk menyederhanakan dan membuat standarisasi tingkatan kelompok kejahatan. Misalnya Model Penal Code yang dirancang oleh The American Law Institute, meredusir semua kejahatan ke dalam tiga tingkatan kejahatan berat felony dan dua tingkatan kejahatan ringan misdemeanor. Masing-masing tingkatan mempunyai pidana maksimum yang umumnya lebih pendek daripada yang berlaku di Amerika. Maksimum pidana itu dapat diperpanjang atau diperberat oleh hakim, apabila ; a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan suatu perbuatan yang sangat kejam atau mengerikan ; atau b. Si pelanggar termasuk orang yang sangat berbahaya. Pendekatan imaginatif dengan melakukan penyederhanaan tingkatan maksimum pidana untuk setiap kelompok atau tingkatan tindak pidana, juga tidak luput dari kritik. Kritik yang demikian ialah, bahwa pendekatan demikian memberi kebijaksanaan yang sangat luas kepada para hakim. 52 52 Leon Radzinowicz Roger Hood, A Dangerous Direction For Sentencing Reform, dalam The Criminal Law Review, Desember 1978, hlm. 715. Selain pendekatan imaginatif tersebut, ada pendekatan lain yaitu pendekatan praktis, yaitu menyarankan maksimum pidana baru yang disesuaikan dengan maksimum pidana yang pada umumnya sering dijatuhkan secara nyata dalam praktik pengadilan. Universitas Sumatera Utara Konsep KUHP 20062007 Buku I tetap menghendaki sistem maksimum, maka jalan yang paling mudah ialah mengikuti atau menetapkan “begitu saja” maksimum khusus yang selama ini telah ditetapkan oleh KUHP dan produk perundang-undangan lainnya di luar KUHP. Namun sudah barang tentu, cara ini kurang bijaksana, karena sebenarnya sama sekali tidak melakukan rekonstruksi yang mendasar dan menyeluruh. Cara yang ideal seperti diungkapkan di atas, ialah dengan melakukan review dan rekonstruksi keseluruhan sistem maksimum khusus yang selama ini ada dalam perundang-undangan pidana. Cara ini jelas sulit, namun memang demikianlah konsekuensi logis yang “seharusnya”. Keharusan untuk melakukan rekonstruksi sistem maksimum khusus yang dirumuskan selama ini tampaknya tidak dapat dihindari karena berbagai alasan. Pertama, seperti telah dikemukan di atas, karena perlunya melakukan pembaharuan KUHP terutama didasarkan pada alasan politik, filosofis dan sosiologis. Kedua, dalam lokakarya Buku II KUHP yang diselenggarakan pada bulan Juni 1985 yang lalu antara lain dinyatakan, bahwa peniadaan penggolongan “kejahatan” dan “pelanggaran” pada prinsipnya dapat diterima. Penghapusan penggolongan kedua jenis tindak pidana ini jelas mempunyai akibat terhadap sistem maksimum khususnya, karena menurut sistem KUHP yang sekarang berlaku, perbedaan itu didasarkan pada kualitas delik yang bersangkutan dan oleh karena itu, dibedakan pula kualitas dan kuantitas pidananya. Terlebih dengan ditiadakannya pidana kurungan menurut Konsep, maka menjadi masalah bagaimana mengkonversi lamanya maksimum pidana kurungan yang selama ini pada umumnya diancam terhadap tindak pidana pelanggaran menjadi pidana penjara. Ketiga, dalam lokakarya Buku II itupun dikemukakan pendapat agar Universitas Sumatera Utara diadakan “regrouping” tindak pidana berdasarkan ilmu pengetahuan hukum yakni berdasarkan pembagian tata hukum. Di samping itu juga tampaknya diusulkan adanya “restrukturisisasi” dan “rekonstruksi” terhadap jenis-jenis dan pengelompokan jenis-jenis tindak pidana di dalam Buku II KUHP 20062007. Kesemuanya itu, jelas memerlukan rekonstruksi yang menyeluruh terhadap sistem maksimum khusus yang selama ini ada. Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa ada tiga sistem atau pendekatan dalam menetapkan lamanya ancaman pidana penjara, yaitu : a. Pendekatan tradisional dengan sistem indefinite atau sistem maksimum, yaitu dengan menetapkan maksimum umum dan maksimum khusus untuk tiap tindak tindak pidana ; b. Pendekatan imaginatif atau pendeketan relatif, yaitu dengan melakukan penyederhanaan penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana itu ; dan c. Pendekatan praktis, yaitu dengan menetapkan maksimum pidana yang disesuaikan dengan maksimum pidana yang pada umumnya sering dijatuhkan dalam praktik pengadilan secara nyata. 1. Masalah Minimum Pidana Penjara Telah dikemukan di atas, bahwa minimum umum pidana penjara menurut Konsep ditentukan satu hari. Ketentuan minimum itu tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam perumusan pasal yang bersangkutan Pasal 58 Konsep, tetapi disebutkan di dalam “penjelasan”. Mengenai batas minimum ini, tidaklah sama di berbagai negara. KUHP Jepang dan Korea menetapkan minimum umum satu bulan. KUHP Norwegia Universitas Sumatera Utara menetapkan batas minimum 21 hari dan KUHP Polandia menetapkan minimum umum tiga bulan. Ditetapkannya minimal penjara satu hari menurut Konsep, berarti diberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana penjara pendek terhadap semua jenis tindak pidana. Penggunaan pidana penjara pendek ini, dalam Konsep 20062007 Buku I juga ingin dibatasi dengan memberikan kemungkinan atau alternatif kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda. Kemungkinan itu diberikan dalam hal tindak pidana yang bersangkutan diancam dengan pidana penjara maksimum 7 tahun atau kurang, dan dalam hal hakim bermaksud menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari tiga bulan lihat Pasal 70 Konsep. 53 Agar ketentuan minimal umum satu hari itu tidak menyebabkan kemungkinan terjadinya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya. Menurut Barda Nawawi Arief, perlu diimbangi dengan pidana minimal khusus. Di samping bertolak dari pemikiran demikian, perlunya minimal khusus ini didasarkan pada pemikiran yang analog dengan dimungkinkannya maksimum umum maupun maksimum khusus Dengan adanya ketentuan ini, secara teoritis sebenarnya dapat dikatakan, bahwa hakim hendaknya menjatuhkan pidana penjara minimal tiga bulan; kalau akan menjatuhkan dibawah tiga bulan, sebaiknya menjatuhkan pidana denda. Dengan perkataan lain, di dalam Pasal 70 Konsep itu sebenarnya terkandung minimal umum pidana penjara tiga bulan. Hanya saja pembuat Konsep bersikap hati-hati untuk tidak menegaskan hal itu, dengan maksud tetap memberi kemungkinan dijatuhkannya pidana penjara pendek dalam hal-hal tertentu. 53 Dalam Konsep berikutnya Pasal 70 ini dihapus. Universitas Sumatera Utara diperberat dalam hal-hal tertentu. Analog dengan itu, minimum umum satu hari itupun hendaknya dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Secara teknik perundang-undangan, kemungkinan memperberat minimal umum itu dapat dicantumkan dalam Aturan Umum Bab I atau dalam Buku II dengan menetapkan minimal khusus untuk delik-delik tertentu, khususnya untuk delik-delik yang dikualifikasi atau yang diperberat oleh akibatnya erfolgqualifizierte delikte atau delik-delik yang menurut pandangan masyarakat dipandang sangat membahayakan atau merugikan. Perlunya minimal khusus inipun, dapat dirasakan dari keresahan atau kekurangpuasan warga mayarakat terhadap pidana penjara yang selama ini dijatuhkan dalam praktik, terutama pidana yang tidak jauh berbeda antara pelaku tindak pidana kelas kakap dan kelas teri. 54 2. Masalah Maksimum Pidana Penjara Lamanya maksimum khusus menurut KUHP dan perundang-undangan lainnya selama ini sangat bervariasi. Maksimal khusus untuk pidana penjara yang selama ini diancamkan di dalam KUHP berkisar dari maksimum 3 minggu samapi maksimal 20 tahun, sedangkan dalam undang-undang di luar KUHP berkisar dari maksimal 1 tahun sampai maksimal 20 tahun. Dari jumlah maksimal khusus yang sangat bervariasi itu, sulit diketahui pola yang digunakan oleh pembuat undang- undang selama ini, malah terkadang dirasakan adanya kekurangpadanan. Ketiadaan patokan atau pola penetapan maksimum pidana ini sangat dirasakan sekali di dalam praktik legislatif. 54 Barda Nawawi Arief, ibid, hlm. 180. Universitas Sumatera Utara 3. Masalah Pidana Penjara Seumur Hidup Belum jelas apa sebenarnya alasan atau latar belakang tetap dianutnya pidana penjara seumur hidup dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP 20062007. Kebanyakan KUHP negara lain juga menganut sistem maksimum seumur hidup ini, walaupun ada yang tidak menganutnya. 55 Pidana penjara seumur hidup atau menetapkan maksimum pidana penjara tertentu yang tinggi, tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran filsafati mengenai tujuan diadakannya pidana penjara. Dilihat dari konsepsi “pemasyarakatan”, pada hakikatnya “perampasan kemerdekaan” seorang itu hanya bersifat “sementara” untuk waktu tertentu sebagai sarana untuk memulihkan integritas terpidana agar ia mampu melakukan re-adaptasi sosial. Maka secara teoritis-filsafat sebenarnya tidak ada tempat untuk pidana penjara seumur hidup. Jika di Indonesia akan tetap dianut, maka bertolak dari pemikran di atas, pidana penjara seumur hidup harus bersifat eksepsional dan sekedar untuk memberikan ciri simbolik. Sifat eksepsional ini didasarkan terutama pada tujuan untuk melindungi atau mengamankan masyarakat dari perbuatan-perbuatan dan pelaku tindak pidana Di banyak negara, termasuk Indonesia, pidana penjara seumur hidup berhubungan pula dengan fungsi subsidair, yaitu sebagai pengganti untuk delik- delik yang diancam dengan maksimum pidana mati. Dikaitkan dengan fungsi subsidair, sebagai pidana pengganti, kelihatannya dihadapkan kepada dua pilihan sederhana sekali dalam menentukan pengganti pidana mati. Pertama, dengan menetapkan pidana penjara seumur hidup atau kedua, dengan menetapkan maksimum pidana penjara tertentu yang tinggi. 55 Negara-negara yang telah menghapuskan pidana penjara seumur hidup, antara lain Portugis 1976, Spanyol 1980, Norwegia 1981, Brazil 1988 dan Colombia 1991. Lihat Life Imprisonment, UN Publication STSCDHA24, 1994, footnote, p. 2. Universitas Sumatera Utara yang dipandang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat. Namun terhadap kriteria eksepsional yang demikian inipun harus tetap berhati-hati, karena kriteria “membahayakan atau merugikan masyarakat” itupun merupakan kriteria yang cukup sulit. Di samping kriteria itu bersifat relatif, juga karena pada hakikatnya setiap tindak pidana adalah perbuatan yang membahayakan atau merugikan masyarakat. Bertolak dari pemikiran “relativitas”, bahwa tidak ada perbuatan yang secara absolut terus-menerus membahayakan dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri, maka akan dirasakan lebih aman bila tidak menggunakan pidana penjara seumur hidup yang di dalamnya mengandung unsur “absolut” dan “definite”. Perbuatan atau orang yang dipandang “membahayakan masyarakat” itu, dapat dinetralisasi dengan merelatifkan sifat berbahaya itu dalam jangka waktu tertentu. Misalnya batas waktu antara 25-40 tahun merupakan batas waktu yang dipandang cukup untuk menganggap bahwa “bahaya” itu telah dihilangkan atau dinetralisasi. Dari uraian di atas, dapatlah dikonkritkan, bahwa pidana penjara seumur hidup hanya dapat diterima secara eksepsional dalam arti hanya sekedar untuk memberikan ciri simbolik. Jadi tidak untuk benar-benar secara harafiah dijatuhkan, tetapi sekedar untuk memberikan “peringatan” kepada warga masyarakat akan sangat tercelanya perbuatan yang bersangkutan. Secara teknik perundang-undangan, dapat dirumuskan sebagai “maksimum umum” untuk delik-delik yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup. Jadi cukup dirumuskan dalam bagian umum KUHP. Dengan demikian, berbeda dengan sistem perumusan yang selama ini digunakan, yaitu Universitas Sumatera Utara pidana seumur hidup dialternatifkan dengan pidana penjara maksimum 20 tahun dalam perumusan delik yang bersangkutan. Satu hal yang juga menarik untuk ditinjau, ialah ketentuan Pasal 58 ayat 2 yang menyatakan bahwa pidana seumur hidup dapat dikenakan apabila tindak pidana yang dilakukan juga diancam dengan pidana mati. Dalam “penjelasan” dikemukakan, bahwa hal ini merupakan ketentuan “baru” di mana hakim, dapat menjatuhkan pidana seumur hidup meskipun tidak secara nyata diancamkan terhadap tindak pidana yang bersangkutan. Sebenarnya hal ini tidak merupakan hal baru sama sekali, karena memang dalam sistem KUHP maupun ketentuan di luar KUHP selama ini, ancaman pidana mati selalu dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup. Jadi memang selama ini tidak ada tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana mati secara tunggal, sehingga wajar tidak ada ketentuan seperti dalam Pasal 58 ayat 2 Konsep itu. Dengan adanya Pasal 58 ayat 2 Konsep sebagai “aturan umum”, berarti tidak perlu lagi pidana penjara seumur hidup diancam secara alternatif dalam perumusan delik yang memuat ancaman pidana mati. Jika demikian konsekuensinya, berarti sebaiknya tetap saja dianut sistem perumusan seperti yang sekarang berlaku, yaitu pidana penjara seumur hidup selalu dirumuskan sebagai alternatif dari pidana mati dan selalu dialternatifkan dengan pidana penjara dalam waktu tertentu. Terlebih dari penjelasan Pasal 57 Konsep juga ditegaskan, bahwa pidana mati harus diancam secara alternatif. Universitas Sumatera Utara

C. Penetapan Dan Perumusan Pidana Penjara