TINJAUAN PUSTAKA Gambaran demografis penyakit perlemakan hati non-alkoholik dengan diabetes melitus tipe II di RSUP Fatmawati Tahun 2013-2014

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Perlemakan Hati non-Alkoholik PPHNA 2.1.1 Definisi PPHNA World Gastroenterology Organization pada tahun 2012 mendefinisikan perlemakan hati sebagai suatu kondisi akibat akumulasi lemak berlebihan dalam bentuk trigliserida steatosis dalam hati secara histologis 5 dari hepatosit. 2 Perlemakan hati ditegakan bila didapati a adanya bukti steatosis hepatis baik secara pencitraan atau secara histologis b tidak ditemukan adanya penyebab perlemakan hati sekunder seperti konsumsi alkohol yang signifikan, 20 gramhari penggunaan obat-obatan steatogenik atau kelainan hati yang bersifat herediter tabel 2.1. 9 Tabel 2.1 Penyebab Utama Steatosis Hepatik Sekunder 1 Macrovascular steatosis a. Konsumsi alkohol yang berlebihan b. Hepatitis C genotype 3 c. Penyakit Wilson d. Lipodistrofi e. Kelaparan f. Nutrisi parenteral g. Abetaliprproteinemia h. Obat-obatan contoh; amiodarone, methotrexate, tamoxifen, kortikosteroid 2 Microvascular steatosis a. Sindrom reye b. Obat-obatan valproate, obat anti retroviral c. Penyakit perlemakan hepar akibat kehamilan 6 d. Sindrom HELLP e. Gangguan metabolisme bawaan contoh; defisiensi LCAT, penyakit penyimpanan kolesterol ester, penyakit wolman Sumber: Chalasani N, Younossi Z, Lavine J, et al. 2012. 9 American Gastroenterology Association pada tahun 2012 mendefinisikan perlemakan hati sebagai suatu spektrum penyakit perlemakan hati pada individu yang tidak mengkonsumsi alkohol secara signifikan 14 gelas pada wanita dan 21 gelas pada pria atau 20 gr ethanol per hari, dengan rentang yang meliputi perlemakan hati hingga steatohepatitis dan sirosis. 8,9 2.1.2 Epidemiologi PPHNA Prevalensi perlemakan hati yang dikeluarkan oleh WGO adalah sebanyak 6,437 juta jiwa dengan jumlah pria lebih banyak dibanding wanita yakni 3,244 berbanding 3,193 juta jiwa. 2 Penelitian Amarapukar DN et.al, pada tahun 2007 prevalensi pasien perlemakan hati di Jepang berkisar antara 9-10, di Cina 5-24, 18 di Korea, 5-28 di India, 15-17 di Malaysia dan 30 di Indonesia. 10 Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan penyakit perlemakan hati diketahui telah menjadi masalah baru yang muncul di asia pasifik. 7 Table 2.2 Prevalensi Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik PPHNA pada Populasi Dewasa di Negara Asia-Pasifik Negara Pasien PPHNA Jepang 9-30 9-10 China 5-24 Korea ~18 India 5-28 Indonesia ~30 Malaysia 17 15-17 Singapura 5 Sumber: Amarapurkar DN, Hashimoto E, Lesmana LA, et.al. 2007 10 Pada pendertita DM tipe II didapati adanya peningkatan jumlah perlemakan hati sebanyak 2-3 kali lipat. 8 Penyakit perlemakan hati telah menyerang sepertiga pasien diabetes melitus dan dua per tiga pasien obesitas di Amerika, pada 19 pasien tersebut dijumpai adanya SHNA yang merupakan respon inflamasi terhadap perlemakan hati tersebut. 11 Perlemakan hati merupakan gangguan hati yang sangat lazim dijumpai di negara-ngeara barat, berdasarkan hasil publikasi penelitian yang dilakukan oleh Farrel G et.al pada tahun 2008 jumlah pasien perlemakan hati mencapai 20-30 dari populasi umum. 8 Di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasan didapatkan bukti USG adanya steatosis sebanyak 30 pada populasi urban di Jakarta dengan jumlah pasien DM tipe II sebanyak 8,1 juta jiwa dan di perkirakan prevalensi perlemakan hati ini akan terus mengalami peningkatan selaras dengan meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus tipe II. 5 8 Table 2.3 Prevalensi Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik pada Populasi Beresiko Tinggi di Asia Pasifik Negara Diabetes Obesitas Dyslipidemia Jepang 40-50 50-80 42-58 Cina 35 70-80 57 Korea 35 10-50 26-35 India 30-90 15-20 NR Indonesia ~52 ~47 ~56 Sumber: Amarapurkar DN, Hashimoto E, Lesmana LA et.al. 2007 11 2.1.3 Klasifikasi PPHNA Secara umum perlemakan hati di bagi menjadi dua yakni penyakit perlemakan hati alkoholik dan penyakit perlemakan hati non alkoholik. Terminologi “perlemakan hati non alkoholik” menggambarkan berbagai kondisi termasuk didalamnya etiologi, perjalanan alamiah, dan respon terapi yang terkait dengan perlemakan hati pada penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol. 12 Luasnya pengertian penyakit perlemakan hati mengakibatkan penyakit perlemakan hati ini semakin sulit untuk dipelajari dan hingga saat ini belum ada konsensus yang dapat mengklasifikasikan gangguan perlemakan pada hati dengan jelas. 12 Secara histologis perlemakan hati dikategorikan menjadi perlemakan hati non alkohlik PHNA dan steatohepatitis non alkoholik SHNA: a. PHNA didefinisikan sebagai adanya steatosis hepatik tanpa adanya bukti cedera hepatocellular dalam bentuk balloning dari sel hepatik. b. SHNA didefinisikan sebagai adanya steatosis hepatik yang disertai inflamasi dengan cedera hepatosit ballloning dengan atau tanpa fibrosis. 13 9 2.1.4 Faktor Resiko dan Kondisi yang Berhubungan dengan PPHNA Menurut WGO, pada tahun 2012 faktor resiko terkecil seseorang untuk menderita perlemakan hati adalah pada orang dengan usia muda, sehat, tidak mengkonsumsi alkohol, dan tidak obesitas, sementara itu faktor resiko dan kondisi yang berhubungan dengan perlemakan hati dijelaskan pada tabel 2.2. 2 Table 2.4 Faktor Resiko PPHNA Faktor resiko Progresivitas penyakit Kondisi yang berhubungan  Resistensi insulin sindroma metabolik  Obesitas, peningkatan IMT dan lingkar pinggang  Diabetes yang tidak terkontrol, hiperglikemia, hipertrigliseridemia  Gaya hidup yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang  Resistensi insulin  Sindroma metabolik  Usia  Faktor genetik  Hiperlipidemia  Resistensimetabolik sindrom  Diabetes melitus tipe 2  Hepatitis C  Penurunan berat badan yang cepat  Nutrisi parenteral total  Penyakit wilson, penyakit weber- christian, lipoproteinemia beta, diverticulosis, sindrom polikistik ovarian, obstructive sleep apnea  Operasi Jejunoileal bypass  Usia; 40-65 tahun dapat terjadi pada anak diabawah 10 tahun  Etnik: asia dan hispanik resiko tinggi, afrika dan amerika resiko rendah  Predisposisi genetik;adnya riwayat dalam keluarga  Obat-obatan dan toxin; amiodarone, coralgit, tamoxifen, perhexiline maleate, kortikosteroid, 10 estrogen sintetik, methotrexate, tetrasiklin IV, obat- obatan antiretroviral aktivitas tinggi atau highly active antiretroviral drugs HAARD Sumber: World Gastroenterology Organisation, 2012. 2 2.1.5 Patogenesis PPHNA Patogenesis perlemakan hati merupakan suatu mekanisme yang kompleks dan rumit. Saat ini telah banyak penelitian yang melaporkan adanya peranan resistensi insulin dalam patogenesis perlemakan hati. Salah satu penelitian tersebut ialah penelitian yang dilakukan oleh Day dan James pada tahun 1998, kedua peneliti tersebut merupakan peneliti pertama yang mengasumsikan adanya hubungan antara resistensi insulin dengan perlemakan hati dan dikenal sebaga i “ two hit hypothesis”. 14 Kondisi “hit” pertama merujuk kepada akumulasi trigliserida dalam sel hati atau steatosis sedangkan k ondisi “hit” yang ke dua menggambarkan peningkatan sitokin proinflamasiadipokines, disfungsi mitokondrial dan stress oksidatif berupa peroksidasi lipid, yang meningkatan sensitivitas sel hati terhadap cedera sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi dan nekrosis pada sel hati atau steatohepatitis danatau fibrosis. 15 11 Gambar 2.1 Two Hit Hypothesis Sumber: Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. 2010. 15 Namun, meskipun “two hit hypothesis” sangat populer dan banyak di terima, pada perkembangan selanjutnya terdapat berbagai penemuan baru dalam patogenesis perlemakan hati. Free fatty acids FFA ditemuakan peranannya secara tidak langsung dalam mekanisme cedera pada hepatosit. Hal ini menyebabkan adanya modifikasi dari teori “two-hit hypothesis” menjadi “modified two-hit hypothesis”. 15 Gambar 2.2 Modified 2-Hit Hypothesis Sumber:Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. 2010. 15 12 Pada pasien yang menderita obesitas dan resistensi insulin dijuumpai adanya peningkatan influx FFA kedalam hati. Peningkatan ini dapat melalui tiga cara: 1. Lipolisis hidrolisis FFA dan gliserol dari trigliserida dalam jaringan adiposa sebanyak 60 2. Asupan lemak dalam diet sebanyak 15 3. Lipogenesis de novo DNL sebanyak 26, dimana pada orang normal yang sehat jumlahnya 5. 15 Didalam hati FFA akan mengalami -oksidasi atau re-esterifikasi dengan gliserol untuk membentuk trigliserida. Trigliserida yang dibentuk dalam hati dapat mengalami dua hal yakni: 1. Disimpan dalam droplet lemak yang mengakibatkan steatohepatis 2. Dikemas bersama apolipoprotein B apo-b dan disekresikan ke dalam sirkulasi dalam bentuk very low density lipoprotein VLDL. 15 Gambar 2.3 Mekanisme Akumulasi Lemak dalam Hepatosit Sumber: Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. 2010. 15 Timbulnya steatosis hepatik dikarenakan adanya hal-hal berikut yang terjadi secara bersamaan, yakni: 13 1. Peningkatan sintesis trigliserida dalam hepatosit 2. Peningkatan distribusi lipid ke hepatosit 3. Penurunan sekresi VLDL oleh karena perubahan dalam sintesis dan sekresi apob 4. Penurunan oksidasi lipid. 15 Saat ini ditemukan adanya bukti bahwa secara langsung FFA yang masuk ke dalam hepatosit merupakan zat toksik bagi hepatosit, hal ini dikarenakan FFA dapat meningkatkan stress oksidatif dengan cara mengaktivasi jalur inflamasi. Oleh sebab itu pengubahan FFA menjadi trigliserida yang menimbulkan timbulnya perlemakan pada hepatosit merupakan mekanisme protektif untuk mencegah efek toksik yang disebabkan unesterified FFA. 15 Pada perkembangan selanjutnya ditambahkan kondisi “hit ke-γ” dalam patogensis perlemakan hati. Kondisi “hit ke tiga” ini merefleksikan proliferasi hepatosit yang inadequat. 15 Gambar 2.4 Three Hit Hypothesis Sumber: Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. 2010. 15 14 Dalam kondisi hati yang sehat, adanya kematian hepatosit atau nekrosis sel menstimulasi replikasi dari hepatosit yang matur yang nantinya menggantikan hepatosit yang mengalami nekrosis dan merekonstruksi fungsi jaringan yang normal. Namun, stress oksidatif yang merupakan kunci utama dalam patogenesis perlemakan hati, menginhibisi replikasi hepatosit tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya ekspansi dari populasi hepatic progenitor cell HPC atau sel oval. 15 Selanjutnya pada cedera hati kronik, perkembangan hati menuju fibrosis atau sirosis bergantung pada kemampuan regenerasi hepatosit tersebut, sehingga kematian sel yang disertai dengan adanya gangguan dalam proliferasi hepatosit progenitor merepresentasi “hit ke tiga” dalam patogenesis perlemakan hati. 15 2.1.6 Perjalanan Alamiah PPHNA Gambar 2.5 Histological Spectrum and Estimated Prevalence of Liver Lesions in Non-Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD. Sumber: Hubscher SG. 2006. 16 15 PPHNA merupakan istilah yang diggunakan untuk menggambarkan kondisi penyakit hati mulai dari: 1. Bentuk beningna; perlemakan hati sederhana, yang dapat reversibel 2. Steatohepatitis non-alkohlik SHNA yang ditandai dengan adanya inflamasi, degenerasi balooning dan fibrosis pada sel hati 3. Bentuk akhir; karsinoma hepatoseluler KHS. 17 Tabel 2.5 Kategori Perlemakan Hati Non Alkoholik PPHNA Berdasarkan Temuan Histologis Kategori Patologi Hubungan dengan patologi klinis Tipe 1 Steatosis sederhana Non-progresive Tipe 2 Steatosis dengan inflamasi lobular Kemungkinan benigna tidak di anggap sebagai SHNA Tipe 3 Steatosis, inflamasi lobular dan degenerasi ballooning SHNA tanpa fibrosis – dapat progresif menjadi sirosis Tipe 4 Steatosis, degenerasi ballooning dan badan Mallory, danatau fibrosis SHNA dengan fibrosis – dapat progresif menjadi sirosis dan gagal hati Sumber: Miele L, Forgione A, Hernandez AP, et. Al, 2005. 17 2.2. Diabetes Melitus 2.2.1 Definisi Diabetes Melitus International Diabetic Federation IDF pada tahun 2013 mendefinisikan diabetes sebagai penyakit kronik yang terjadi pada saat tubuh tidak memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efisien. 6 Menurut American Diabetes Association ADA pada tahun 2010, Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan 16 karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. 18 Menurut World Health Organization pada tahun 2010 diabetes merupakan penyakit kronik, yang terjadi pada saat pankreas tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, atau pada saat tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah hiperglikemia. 19 Dari beberapa definisis diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronis akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah hiperglikemia. 2.2.2 Klasifikasi Diabetes Tabel 2.6 Klasifikasi Diabetes Diabetes melitus tipe I destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut A. Immunologik B. Idiopatik Diabetes melitus tipe II bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin Diabetes melitus tipe lain A. Defek Genetik fungsi sel  Kromosom 12, HNF-1α MODY3  Kromosom 7, glucokinase MODY2  Kromosom 20, HNF-4α MODY1  Kromosom 13, insulin promoter factor-1 IPF-1; MODY4  Kromosom 17, HNF-1 MODY5  Kromosom 2, neurod1 MODY6  DNA Mitokondria  Lainnya B. Defek genetik kerja insulin: Resistensi insulin tipe A, Leprechaunism, Sindrom 17 Rabson-Mendenhall, Diabetes Lipoatrophic, Lainnya C. Penyakit eksokrin pakreas: Pancreatitis, Traumapancreatectomy, Neoplasia, Cystic fibrosis, Hemochromatosis, Fibrocalculous pancreatopathy, Lainnya D. Endocrinopathies: Acromegaly, Cushings syndrome, Glucagonoma, Pheochromocytoma, Hyperthyroidism, Somatostatinoma, Aldosteronoma, Lainnya E. Karena obat zat kimia: Vacor, Pentamidine, Nicotinic acid, Glucocorticoids, Thyroid hormone, Diazoxide, -adrenergic agonists, Thiazides, Dilantin, -Interferon,lainnya F. Infeksi: Congenital rubella, Cytomegalovirus, Lainnya G. Imunologi jarang: “Stiff-man” syndrome, Anti-insulin receptor antibodies, Lainnya H. Sindroma genetik lain: Down syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, Wolfram syndrome, Friedreich ataxia, Huntington chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, Myotonic dystrophy, Porphyria, Prader-Willi syndrome, Lainnya Gestational diabetes mellitus Sumber: ADA, 2010 18 2.2.3 Diagnosis Diabetes Melitus Keluhan yang dapat ditemukan pada penyandang diabetes melitus: 1. Keluhan klasik diabetes melitus: Poliuria, polifagia, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya 2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. 20 18 Menurut PERKENI pada tahun 2011 diagnosis diabetes melitus dapat ditegakan dengan cara: 1. Keluhan klasik DM + Glukosa plasma sewaktu 200 mgdl 2. Keluhan klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mgdk 3. Tes toleransi glukosa oral TTGO. 20 Sedangkan menurut ADA pada tahun 2010, diagnosis diabetes dapat ditegakan dengan cara: 1. Hba1c ≥6,5. Tes dilakukan di laboratorium menggunakan metode yang telah terstandarisasi dan bersertifikat DCCT assay. Atau 2. GDP≥ 1β6 mgdl 7,0 mmolL. Puasa didefinisikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya dalam waktu 8 jam. Atau 3. GDβPP ≥ β00 mgdl pada saat TTGO. TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Atau 4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia GDS ≥ β00 mgdl 11,1 mmolL 18 Apabila hasil tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu TGT atau glukosa darah puasa terganggu GDPT. 20 1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mgdl 7,8-11,0 mmolL 2. GDPT: diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mgdl 5,6-6,9 mmolL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam 140 mgdl 19 Gambar 2.6 langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa Sumber: PERKENI, 2011. 20 2.3 Hubungan Penyakit Perlemakan Hati non-Alkoholik dengan Diabetes Melitus Tipe II DM tipe II 2.3.1 Etiologi PPHNA Penyebab steatohepatis pada pasien perlemakan hati dapat dibagi kedalam dua kelompok besar: A. Steatosis makrovaskular: 1. Obesitas 2. Diabets melitus tipe II, hiperlipidemia 3. Malnutrisi protein kalori MPK 4. Bedah pintas jejuno-ileal 5. Nutrisi parenteral total NPT 6. Obat-obatan; kortikosteroid, estrogen dosis tinggi, dsbnya. 21 20 B. Steatosis mikrovaskular: 1. Perlemakan hati akut pada kehamilan 2. Obat-obatan; tetrasiklin 3. Keadaan lain yang jarang di temukan reye’s syndrome. 21 2.3.2 Penyakit Perlemakan Hati non-Alkoholik pada Diabetes Melitus tipe II 2.3.2.1 Peranan Insulin dalam Proses Metabolisme Insulin merupakan suatu hormon yang disintesis oleh sel beta pankreas. Secara struktural insulin merupakan suatu protein yang terdiri atas 51 asam amino dan tersusun dalam dua rantai peptida yakni rantai A; 21 asam amino dan rantai B; 31 asam amino, kedua rantai ini dihubungkan melalui ikatan disulfida. 22 Dalam kondisi normal, peningkatan kadar glukosa dalam plasma akan memicu sintesis dan sekresi insulin yang secara umum bertujuan untuk menurunkan kadar glukosa dalam plasma tersebut dengan cara mengatur sistem metabolisme tubuh. 22 Efek insulin dalam sistem endokrin dapat dilihat pada tabel 2.7 Tabel 2.7 Efek Insulin dalam Sistem Endokrin No Organ Target Efek Insulin 1 Hati - Inhibisi glikogenolisis - Inhibisi konversi asam lemak dan asam amino menjadi asam keton meningkatkan sintesis protein dan trigliserida dan pembentukan VLDL - Inhibisi konversi asam lemak menjadi glukosa - Memicu penyimpanan glukosa dalam bentuk glikogen induksi glukokinase dan glikogen sintase, inhibisi fosforilase 2 Otot - Meningkatkan sintesis protein meningkatkan transport asam amino dan sintesis protein oleh ribosom 21 - Meningkatkan sintesis glikogen meningkatkan transport glukosa ke dalam otot, induksi glikogen sintetase dan inhibisi fosforilase 3 Jaringan adiposa - Meningkatan simpanan trigliserida aktivasi dan induksi lipoprotein insulin, inhibisi intraseluler lipase, meningkatkan transpot lipoprotein dan glukosa ke dalam adiposit Sumber: Gardner D, Shoback D. 2011. 22 2.3.2.2 Penyakit Perlemakan Hati non-alkoholik pada pasien DM tipe II Pada orang yang sehat, ikatan insulin dengan reseptornya menyebabkan fosforilasi berbagai substrat termasuk insulin reseptor substrates IRS-1, -2, -3 dan -4 gambar 2.3. Stimulasi insulin pada IRS-1 dan IRS-2 akan menyebabkan aktivasi PI3K intraseluler phophoinositide 3-kinase dan jalur AKTPKB protein kinase B, yang kemudian secara langsung berperan dalam efek metabolisme insulin. 22 Pada dasarnya, aktivasi AKTPKB menyebabkan translokasi dari vesikel yang mengandung glucose transporter GLUT4 ke membran plasma, sehingga memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel. 22 Gambar 2.7 Efek Insulin pada Sel Sumber: greenspan endocrinology 9th ed. 2011. 22 22 Selain itu melalui pengaturan dari forkhead FOXO transcription factor activity, insulin memegang peranan dalam metabolisme sel lemak berupa peningkatan ekspresi gen lipogenik dan penurunan ekspresi gen glukoneogenik. Insulin memiliki aksi yang poten untuk menghambat lipolisis dari jaringan adiposa. Namun pada kondisi resitensi insulin dan diabetes melitus, kemampuan insulin dalam menghambat lipolisis terganggu, hal ini mengakibatkan peningkatan efflux FFA dari jaringan adipposa. 22 Kondisi hiperinsulinemia pada resistensi insulin mengakibatkan; 1. Up-regulasi dari faktor transkripsi strerol regulatory element binding protein 1-c SREBP-1c yang merupakan regulator transkripsional utama pada gen yang berperan dalam DNL 2. Inhibisi proses -oksidasi FFA yang merupakan salah satu penyebab timbulnya akumulasi lemak pada hepatosit. 22 Pada pasien diabetes melitus tipe II tergagnggunya fungsi kerja insulin menyebabkan metabolisme lemak dalam tubuh khususnya dalam hepatosit terganggu berupa peningkatan timbunan lemak dalam hepatosit atau yang dikenal dengan steatosis hepatis. 2.4 Diagnosis Perlemakan Hati non-Alkoholik 2.4.1 Riwayat Pasien dan Manifestasi Klinik Pada kebanyakan kasus pasien dengan Perlemakan Hati non-Alkoholik tidak menunjukan adanya manifestasi klinis apapun atau disebut juga dengan asimtomatik. Namun dapat pula dijumpai gejala gejala ringan berupa lemah, malaise, dan rasa tidak nyaman pada regio abdomen terutama di kuadran kanan atas. 2 Pasien dengan riwayat penyakit dibawah ini dan dijumpai adanya abnormalitas pada nilai SGPTSGOT diharuskan untuk mengikuti prosedur pemeriksaan PHNA atau SHNA; 2 23 1. Obesitas, khusunya obesitas yang dengan morbiditas yang tinggi BMI 35 2. Diabetes Mellitus tipe II 3. Sindroma Metabolik 4. Riwayat obstructive sleep apnea 5. Riwayat resistensi insulin 6. Peningkatan SGPTSGOT yang bersifat kronik Pada pasien perlemakan hati non alkoholik perlu didapatkan adanya riwayat konsumsi alkohol 20ghari pada wanita dan 30ghari pada pria. Hal ini penting dikarenakan tidak adanya tes diagnostik yang dapat membedakan perlemakan hati alkoholik dengan perlemakan hati non-alkoholik. 2 Pada pemeriksaan fisik pasien perlemakan hati progresif atau lanjut dapat ditemukan adanya bentuk progresif pada penyakit hati lanjut lainnya yakni berupa spider angioma, asites, hepatomegali, splenomegali, eritema palmar, jaundice, dan ensefalopati hepatik. 2 2.4.2 Pemeriksaan laboratorium dan pencintraan hati Beberapa hal dibawah ini perlu diperhatikan untuk menegakan diagnosis perlemakan hati non-alkoholik: 2 a. Hepatitis virus: hepatitis B surface antigen, hepatitis virus antibody atau HCV-RNA, antibodi Ig M terhadap hepatitis A, antibodi terhadap hepatitis E b. Penyakit hati yang berhubungan dengan konsumsi alkohol; termasuk steatohepatitis alkoholik c. Penyakit hati yang disebabkan proses autoimun d. Penyakit hati kronik akibat kelainan kongenital; hemokromatosis herediter, penyakit wilson, defisiensi alpha-1 antitripsin, sindrom ovarium polisiklik e. Penyakit hati yang disebabkan penggunaan obat-obatan 2 24 Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan hati dalam penegakkan diagnosis penyakit perlemakan hati non-alkoholik; 1. Penigkatan SGPT dan SGOT: Pada pasien perlemakan hati dan 10 pasien dengan SHNA, nilai SGPT dan SGOT dapat dijumpai dalam keadaan normal. Rasio SGOTSGPT pada pasien perlemakan hati menurut WGO dapat membedakan perlemakan hati pada pasien yang mengkonsumi alkohol dan yang tidak. Pada pasien perlemakan hati non alkoholik dijumpai rasio SGOTSGPT 1 sementara pada pasien dengan alkoholik hepatitis rasio tersebut didapati 2. 2 2. Pencitraan hati yang dapat menggambarkan akumulasi lemak pada hepatosit: a. Magnetic resonance imaging MRI dapat memberikan nilai quantitatif derajat perlemakan hepar namun tidak dapat membedakan antara SHNA dan SHA. b. Ultrasound atau USG merupakan pemeriksaan screening utama yangdigunakan untuk mendiagnosis perlemakan hati. 2 Pada pemeriksaan ultrasound, tingkat keparahan steatosis dapat diukur mulai dari ringan, sedang, atau berat berdasarkan penilaian subjektif dari “kecerahan” hati atau “bright liver” dan intensitas dari “atenuasi posterior”. 23 25 Table 2.8 Derajat perlemakan hati secara ultrasonografi No. Derajat Gambaran pada USG 1. Derjat ringan mild Peningkatan ekogenitas difus parenkim hati dibandingkan dengan korteks ginjal, tetapi pembuluh darah intrahepatic masih tervisualisasi normal 2. Derjat sedang moderate Peningkatan ekogenitas difus moderat parenkim hati dengan visualisasi pembuluh darah intraheik sedikit kabur 3. Derajat berat severe Peningkatan ekogenitas hati nyata dengan sulitya visualisasi dari dinding vena porta dan diafragma. Bagian hati yang lebih dalam juga mungkin sulit divisualisasikan Sumber: Bisset RAL, Khan AN. 2002. 23 Sporea I, Sirli R, Basa E, Corianu M, Popescu A, et al. 2009. 24 Gambar 2.8 Grades of Fatty Liver on Visual Analaysis Gambaran ultrasonografi memperlihatkan a ekogenitas hati normal b perlemakan hati derajat 1 dengan peningkatan ekogenitas hati c perlemakan hati derajat 2 dengan ekogenitas hati mengaburkan percabangan dinding vena porta d perlemakan hati derajat 3 dengan garis diafragma kabur. Sumber: Singh D, Das CJ, Baruah MP. 2013. 25 26 Menurut world gastroentrology organization pada tahun 2012 belum ada pencitraan yang dapat mengidentifikasi lemak pada hati secara akurat bila kadarnya 33 atau membedakan SHNA dengan SHA. 2 Penelitian yang dilakuakn oleh saporea I, et.al. Tahun 2009, sensitivitas ultrasound dalam mendiagnosis steatosis setidaknya pada tingkat moderate adalah 64 sementara spesifisitasnya 77. Pada penelitan tersebut disimpulkan pemeriksaan ultrasound dapat dijadikan sebagai predictor yang baik dalam diagnosis steatosis hepatis terutama jika pemeriksaan tersebut dilakukan oleh ultrasonograper yang berpengalaman. 23 2.4.3 Biopsi Hati PPHNASHNA merupakan diagnosis eksklusi, dan biopsi hati seringkali dibutuhkan untuk menegakan diagnosis penyakit tersebut. Biopsi hati juga dibutuhkan dalam staging penyakit, mengeksklusi penyakit hati lain, dan memutuskan apakah dibutuhkan terapi agresif segera. 2 Gambar 2.9. Gambaran Histopatologis PHNA dan SHNA Gambar A. Perlemakan Hati Non-Alkoholik PHNA. Gambar B. Steatohepatitis Non-Alkoholik SHNA. Haematoxylin and eosin. H, Vena Hepatika. Sumber: Hubscher SG. 2006. 16 Biopsi hati dan pemeriksaan histologis diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosis SHNA, mengetahui keparahan penyakit serta mengeksklusi diagnosis lain dengan satu atau lebih temuan dibawah ini: B A 27 1. Ferritin serum yang abnormal tanpa peningkatan saturasi transferrin 2. Sitopenia 3. Spleenomegali 4. Adanya gejala klinis yang mennjukan penyakit hati kronik 5. Diabetes dan peningkatan abnormal ASTALT presisten 6. Obesitas dan usia 45 tahun atau abnormal ASTALT 7. Hepatomegali yang tidak dapat dijelaskan. 2 Tabel 2.9 Uji Diagnostik untuk Penyakit Perlemakan Hati Tes Sensitivitas Spesifisitas Remarks Histologis, biopsi hati Gold standar Tidak dapat membedaka n SHNA dengan SHA Dapat dijumpai perbedaan yang signifikan antar klinisi dalam membaca sampel yang sama; dibutuhkan hepatophatologist yang berpengalaman dalam menentukan diagnosis Enzim hati Rendah Rendah ASTALT biasanya 1,0; nilainya dapat normal Pencitraan USG Terbatas Terbatas Tidak sensitive terkecuali bila steatosis telah mencapai 33; bergantung operator MRI, MRS, CT scan ± contrast enhancement Hasilnya dapat beragam dan tidak dapat dipastikan not well verified Tes nya mahal, tidak mudah dijumpai, tidak dapat membedakan steatosis dan fibrosis atau SHNA dengan SHA atau keparahan penyakit, dan 0tidak sensitive bila steatosis 33 Sumber: World Gastroenterology Organization. 2012. 2 28 2.5 Kerangka Teori 29 2.6 Kerangka Konsep 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN