5.1.3 Hasil Analisis Statistik
Hubungan rinitis alergi dengan kajadian asma bronkial dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6.Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial Asma Bronkial
Jumlah +
-
Rinitis Alergi +
16 64 20 13.6
36 20.9 -
9 36 127 86.4
136 79.1 Total
25 100 147 100
172100
Berdasarkan Tabel 5.6. tampak penderita asma bronkial yang juga menderita rinitis alergi bronkial sebanyak 16 responden 64, sedangkan
penderita asma bronkial tanpa disertai rinitis alergi sebanyak 20 responden 36. Dengan menggunakan SPSS Windows,
uji statistik dengan “Chi-Square” menunjukan perbedaan bermakna P 0,05 yaitu nilai p value adalah 0,001. Hal
ini berarti terdapat hubungan antara rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial.
5.2 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan secara studi potong lintang di Kota Medan.Desain ini dipilih karena dapat meneliti berbagai variabel sekaligus, relatif mudah
dilakukan, murah, tidak terancam drop out dan hasilnya yang cepat diperoleh. Desain penelitian ini tidak menggunakan kontrol sebagai pembanding, tetapi
perbandingan hanya dilakukan intern antara responden sendiri yaitu kelompok faktor risiko dibanding kelompok tanpa faktor risiko.Penelitian ini merupakan
penelitian analitik yang bertujuan menentukan hubungan rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial.Desain tersebut dapat digunakan untuk menncari
hubungan antara gejala pada saluran nafas dan gejala pada saluran nafas bawah.Hal ini dapat dihubungkan dan dianalisis secara statistik antara variabel
bebas dan variabel tergantung Ghazali, 2002. Penelitian ini menggunakan kuesioner ISAAC sebagai tolok ukur
menentukan variabel bebas dan variabel tergantung. Pemilihan kuesioner ISAAC
Universitas Sumatera Utara
dalam penelitian ini bertujuan agar pengisian dapat dilakukan secara mudah dengan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan istilah medis yang mudah
dimengerti. Penggunaan kuesioner yang berisi gejala rintis alergi dan gejala asma ini menjadi tulang punggung dalam penelitian ini. Cara ini memungkinkan
memperoleh sampel penelitian yang cukup besar dengan biaya yang relatif murah dan waktu yang singkat Zulfikar, 2008.
Kuesioner ISAAC telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Banyak penelitian telah menggunakan kuesioner ISAAC dalam penelitiannya. Kuesioner
ISAAC memiliki nilai sensitivitas 90, spesifitas 83,58, nilai prediksi positif NPP 68,12 dan nilai prediksi negatif NPN 95,73 Yunus, 2001. Kuesioner
ini juga telah diuji di 56 negara di 156 pusat asma yang mempunyai lingkungan dan bahasa yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan di Medan pada bulan Oktober, dalam penelitian ini subjek penelitian diberi penjelasan singkat mengenai gambaran dan pengertian
penyakit rinitis alergi dan penyakit asma bronkial serta cara pengisian kuesioner untuk mempermudah responden dalam menjawab kuesioner. Untuk meningkatkan
ketepatan jawaban dan menghindari kerancuan, pengisian kuesioner dapat dilakukan di rumah masing-masing dan boleh menanyakan ke orang tua masing-
masing dan diserahkan keesokan hari melalui guru sekolah. Selain itu desain kuesioner ISAAC yang dibagikan dirancang untuk menghindari cara pengisian
yang salah atau penyangkalan responden dalam pengisian kuesioner. Prevalensi kejadian rinitis alergi dan asma bronkial telah banyak diteliti
oleh banyak pihak, baik di dunia ataupun berbagai daerah di Indonesia. Dalam penelitian ini prevalensi rinitis alergi pada anak usia 13-14 tahun adalah sebesar
20,9. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 2006 oleh Baratawijaya dkk melalui studi ISAAC mendapatkan hasil
26,71. Perbedaan yang tidak cukup jauh ini mungkin disebabkan karena tempat dilakukan survei sama-sama di kota besar atau daerah urban dengan pandangan
bawah tingkat polusi lingkungan, tingkat pendidikan dan status nutrisi yang sama. Penelitian mengenai rinitis alergi dengan metode yang sama juga dilakukan oleh
Kholid pada tahun 2013 dan mendapati prevalensi rinitis alergi yang tidak jauh
Universitas Sumatera Utara
berbeda yakni sebesar 25,2 di Ciputat. Penelitian dengan metode berbeda juga pernah dilakukan di Medan pada kelompok usia dewasa dan mendapati prevalensi
rinitis alergi sebesar 38,2 Rajendran, 2009. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa rinitis alergi merupakan penyakit kronik pada saluran nafas atas yang tetap
ada sampai usia dewasa dan berhubungan dengan penyakit-penyakit terkait immunologis lainnya.
Selain itu dalam penelitian ini juga didapati prevalensi asma bronkial pada anak usia 13-14 tahun yakni sebesar 14,6. Hasil ini tidak jauh berbeda juga
dengan penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur pada usia 13-14 tahun dengan studi ISAAC yaknis sebesar 13,1 Yunus F. Dkk , 2001. Demikian juga jika
dibandingkan dengan penelitian anak usia 13-14 tahun di Jakarta Pusat tahun 2004 oleh Sundaru mendapatkan prevalensi asma sebesar 12,5. Perbedaan yang tidak
cukup jauh ini mungkin disebabkan oleh kesamaan karakteristik responden, karakteristik lokasi penelitian dan kesamaan desain dan metode yang dilakukan
oleh peneliti. Beberapa faktor dapat mempengaruhi tingginya prevalensi asma di kota besar antara lain lingkungan, gaya hidup, pajanan alergen, geografis, dan
polusi udara. Banyak juga penelitian yang ingin menghubungkan rinitis alergi dengan
kejadian asma bronkial, pada penelitian ini didapati responden yang menderita asma bronkial dan juga menderita rinitis alergi sebanyak 16 responden 64.
Secara statistik menggunakan uji Chi-Square didapati hubungan yang bermakna P0.05 yakni nilai P value 0.001 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95. Hasil
analisis ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosamarlina pada tahun 2008 di Jakarta yang menyatakan hubungan yang bermakna antara
rinitis alergi dan asma bronkial. Demikian pula dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rajendran pada tahun 2009 di Medan yang menyatakan
hubungan yang bermakna rinitis alergi dengan kejadian asma bronkial. Rinitis alergi dan asma dapat terjadi bersamaan dan paling sering
ditemukan pada anak. Faktor yang sangat berperan pada kedua penyakit ini adalah prediposisi genetik yang sama. Selain itu prediposisi lain yang turut berperan
adalah mukosa saluran napas yang sama, proses inflamassi yang serupa. Reaksi
Universitas Sumatera Utara
alergi karena paparan alergi pada hidung dapat mencetuskan gejala asma sehingga pengobatan rinitis yang efektif akan memperbaiki gejala asma dan pada akhirnya
akan meningkatan produktifitas dan kualitas hidup individu penderita rinitis alergi dan asma bronkial Zulfikar, 2011.
Saluran pernapasan atas dan bawah merupakan satu saluran yang sama dan berkesinambungan dengan peradangan sebagai proses inti patologis yang
mempengaruhi seluruh sistem. Jaringan limfoid mukosa MALT memainkan peran
kunci dalam
kaskade inflamasi
yang mencirikan
rinitis dan asma dimana mediator-mediator inflamasi dapat didistribusikan di hidung dan
cabang-cabang bronkial. Perbedaan utama antara hidung dengan bronkus adalah tingginya tingkat vaskularisasi di hidung sementara pada saluran nafas bawah
adanya otot polos. Hidung memainkan peran penting sebagai penghalang fisik, penghangat dan pelembab udara yang dihirup dan diteruskan ke saluran nafas
bawah dan ini adalah fungsi kunci yang dapat memiliki implikasi di saluran pernafasan bawah jika tidak berfungsi sebagai mana mestinya Mc Lane, 2000.
Perubahan respon inflamasi pada penderita rinitis alergi dan asma bronkial dapat dideteksi baik di saluran nafas atas dan saluran nafas bawah meskipun
belum dijumpai gejala klinis. Pada penderita rinitis, radang saluran napas bagian bawah dapat ditunjukkan oleh peningkatan kadar eNOnitrit oksida dan eosinofil
yang ditemukan di induksi dahak, cairan bronchoalveolar lavage dan biopsi bronkial. Demikian pula, pada pasien dengan asma, biopsi hidung menunjukkan
peradangan eosinofilik, bahkan pada mereka yang tidak memiliki gejala dari rinitis. Setelah dilakukan uji provokasi alergen langsung di salah satu bagian dari
napas, respon inflamasi dapat ditampilkan di kedua saluran nafas dalam waktu 24- 48 jam Gaga , 2000.
Studi klinis menunjukkan bahwa 80-100 dari pasien dengan asma memiliki rhinitis dan 50 dari pasien dengan rinitis memiliki asma, dan sudah
jelas bahwa baik adanya rinitis alergi dikaitkan dengan hasil buruk asma Corren, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Secara statistik dengan menggunakan uji Chi Square didapati hubungan
yang bermakna antara rinitis alergi dengan asma bronkial p 0.001.
6.2. Saran 1.Pada penderita rinitis alergi perlu dievaluasi dan di follow kedepannya
kemungkinan terjadinya asma bronkial. 2.Pada penderita asma bronkial perlu dievaluasi kemungkinan penyakit
rinitis alergi sebab adanya rinitis alergi dapat memperburuk gejala dari asma bronkial.
3.Bagi peneliti yang lain agar dapat menelaah lebih jauh faktor-faktor yang lain yang dapat mempengaruhi hubungan rintitis alergi dengan asma
bronkial seperti genetik,lingkungan, aero-allergen dan lain lain.
Universitas Sumatera Utara