2.4. Mekanisme yang Mendasari Hubungan antara Rinitis Alergi dan Asma Bronkial
2.4.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi
hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan langsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung,
dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan- bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme
terjadinya asma Slavin, 2008. Rinitis alergi dan asma bronkial, keduanya merupakan manifestasi dari
adanya proses inflamasi di si stem saluran nafas yang berkelanjutan Continous Airway System.Banyak kelainan yang bisa terjadi pada saluran nafas yang dapat
menganggu proses pertukaran udara, salah satunya adalah obstruksi.Sumbatan atau obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi berlebihan,edema
jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol, ketika terpapar suatu alergen maka mukosa hidung
mengalami hiperaktifitas, sel goblet menghasilkan sekret lebih banyak serta adanya vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan
alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung
otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Ketika terjadi serangan otot polos pada bronkus mengalami konstriksi sehingga resistensi jalan nafas
meningkat dan menganggu pertukaran keluar masuk udara.Berbeda dengan rhinitis yang tidak mengancam jiwa pada serangan asma dengan obstruksi total
bronkus dapat mengancam jiwa penderita Slavin, 2008. Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang
ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bisa terjadi meski tidak ada riwayat
sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting
Universitas Sumatera Utara
diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma
diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas Pawankar, 2004. Secara fisiologis, asma dan rinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks
nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga
kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang Thomas, 2006.
Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah
mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita
hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homeostatik di saluran nafas bawah Casale, 2001.
Paparan alergen pada hidung akan menginduksi teraktifasinya sel-sel inflamasi di saluran nafas atas ataupun lebih rendah dan sebaliknya. Mengobati
hidung dapat mempengaruhi peradangan di saluran napas bagian bawah. Fase awal khas dan fase akhir yang umum dan sesuai untuk kedua penyakit saluran
nafas rhinitis dan asma. Studi pada pasien dengan rhinitis alergi menunjukan adanya hiperresponsif bronkial dan peningkatan sel-sel peradangan. Paparan
alergen pada hidung selanjutnya akan meningkatkan pengeluaran eosinofil. Eosinofil telah terbukti banyak dalam mukosa hidung pasien dengan asma, bahkan
dalam ketiadaan gejala rinitis Casale, 2001. Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan
merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau
uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat
hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Hubungan Imunopatologis Mukosa saluran nafas kaya akan sel mast yang sangat penting sebagai
efektor dan sistem imun saluran nafas. Sel mast menyimpan berbagai mediator inflammasi diantaranya histamine,heparin dan berbagai jenis leukotrine. Histamin
berfungsi meningkatkan permeabilitas vaskular,sebagai protease dan sebagai eosinofil chemotactic factor.Sel mast berasal dari sel progenitor sumsum tulang.
Sel progenitor tersebut bersirkulasi melalui darah dan masuk ke jaringan-jaringan dan nantinya ber-proliferasi dan berkembang Junquiera, 2005.
Pada permukaan sel mast terdapat reseptor spesifik immunoglobulin E IgE.Ketika IgE berikatan pada reseptornya pada sel mast akan menyebabkan
keluarnya granul-granul mediator inflammasi pada sel mast.Adanya sel mast pada saluran nafas ini secara signifikan menyebabkan hubungan immunopatologis
naso-bronki sangat erat melalui respon pelepasan cytokine pada proses alergi dan inflammasi.Selain itu pada saluran nafas terdapat pula jaringan lymphoid yakni
mucosal associated lymphoid tissue MALT yang tersebar banyak mulai dari hidung dan bronkus Junquiera, 2005.
Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita yang mempunyai bakat alergi atopik dan presentasi alergen oleh sel APC kepada
sel B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 IL-4 memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada
bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit
kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam
keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang
positif Bergeronet, 2005. Pada asma bronkial ada beberapa mediator yang berperan penting.
Kemokin seperti thymus and activation-regulated chemokines TARC dan macrophage-derived chemokines MDC, cysteinyl leukotriens, sitokin, histamin
Universitas Sumatera Utara
dan prostaglandin D2 berperan dalam proses penyempitan dan hiperesponsive saluran nafas pada patofisiologi terjadinya asma Cummings, 2005.
Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang
menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi
pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal
berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut.
Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih
hebat dibandingkan fase pertama Cummings, 2005. Mediator inflammasi dari saluran nafas atas dapat mencapai saluran nafas
bawah melalui aliran nafas itu sendiri.Selain itu mediator inflammasi juga dapat mencapai saluran nafas bawah melalui darah. Mediator inflammasi seperti
histamine,leukotrien, dan beberapa sitokin mempunyai kemamuan untuk beredar melalui sirkulasi darah.Meskipun demikian kebanyakan dari sitokin tersebut
memiliki waktu paruh yang singkat.Peneliti menemukan bahwa mediator inflammasi seperti IL-5 dan GM-CSF pada paru dapat sampai ke sumsum tulang
dimana akan merangsang pelepasan sel-sel progenitor ke sirkulasi dan ke target organ.Ini terbukti setelah pemaparan antigen atau allergen menunjukan
peningkatan produksi sel T pada sumsum tulang dan peningkatan affinitas dari reseptor IL-5 yang erat kaitannya dengan peningkatan jumlah sel progenitor
eosinofil Mehta, 2014.
2.4.3. Refleks-Refleks Neural Setiap inflamasi pada hidung, ada efek yang terjadi bersamaan pada daerah
bronkus. Dari penelitian yang dilakukan oleh Fontanari dkk, yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat dingin es. Didapatkan meningkatnya
Universitas Sumatera Utara
tahanan dari tracheobronchial tree dan paru, sehingga tidak respon terhadap
anestesi topikal dan bronkodilator inhalasi.
Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rinitis alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu
adalah refleks nasobronkial dan bronkial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui
jalur saraf parasimpatis disebut refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat disebut refleks bronk
ial O’Hollaren, 2005.
2.5. Pengaruh Rinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma