berbagai  macam  agen  penyakit. Tikus  juga  berperan  dalam  penyebaran  penyakit zoonosis,  seperti leptospirosis,  salmonellosis, rat-bite  fever,  leishmaniasis,  dan
plague Kia et  al. 2009. Tikus  rentan  terhadap  penyakit  infeksius  yang disebabkan oleh bakteria, virus, parasit, dan jamur. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan  menunjukkan  penyakit  yang terdapat  pada  tikus  seperti plague, tripanosomiasis, dan merupakan reservoir alami penyebab epidemic haemorrhagic
fever EHF virus Su et al. 1989; Coutinho dan Linardi 2007; Wei et al. 2010. Selain  itu,  tikus  di  alam  juga  dapat  dijadikan  sebagai  indikator  kehadiran  dan
dispersal dari  enam agen  mikroba  zoonotik,  seperti Rickettsia  typhi,  R.  Conorii, Toxoplasma sp., Coxiella burnetti, Bartonella henselae, dan Leishmania infantum
Anna et al. 2010. Selain  mempengaruhi  kesehatan  tikus  putih,  keberadaan  ektoparasit  juga
dapat mempengaruhi hasil dari penelitian yang menggunakan tikus sebagai hewan coba. Oleh  karena  itu,  sangat  penting diketahui  jenis-jenis  ektoparasit  yang
terdapat  pada  tikus  sebagai  hewan  coba. Info  mengenai  jenis-jenis  ektoparasit pada tikus ini belum pernah ditemukan sehingga penelitian ini diperlukan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan morfologi ektoparasit pada tikus putih R. norvegicus galur Sprague Dawley sebagai hewan
coba.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan dan jenis ektoparasit yang terdapat pada tikus putih R. norvegicus galur Sprague
Dawley  sehingga  dapat menjadi  bahan  pertimbangan dalam  menentukan penggunaan  tikus terinfestasi  ektoparasit  sebagai  hewan  coba  dan pengendalian
yang tepat.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1
Tikus putih R. norvegicus
Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian
medis  selama  bertahun-tahun.  Hal  ini  dikarenakan  tikus  memiliki  karakteristik genetik  yang  unik,  mudah  berkembang  biak,  murah  serta  mudah  untuk
mendapatkannya.  Tikus  merupakan  hewan  yang  melakukan  aktivitasnya  pada malam hari nocturnal.
Tikus  putih  R. norvegicus  atau  biasa  dikenal  dengan nama  lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat Sirois 2005.
Pada  wilayah  Asia  Tenggara, tikus ini  berkembang  biak  di Filipina,  Indonesia, Laos,  Malaysia, dan  Singapura  Medway  1983. Faktor  yang  mempengaruhi
penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih R. norvegicus yaitu faktor abiotik  dan  biotik. Faktor  abiotik  yang  penting  dalam  mempengaruhi  dinamika
populasi  tikus  adalah  air  minum  dan  sarang.  Air  merupakan  kebutuhan  penting bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk
melahirkan, membesarkan  anak-anaknya,  menyimpan  pakan,  berlindung  dari lingkungan  yang  kurang  menguntungkan,  dan  tempat  untuk  beristirahat.  Cuaca
tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah 1 tumbuhan
atau  hewan  kecil  sebagai  sumber  pakan, 2  patogen  penyebab  penyakit  dari golongan  virus,  bakteri,  cendawan,  nematoda,  protozoa,  dan  sebagainya,  3
predator  dari  golongan  reptilia,  aves,  dan  mamalia,  4  tikus  sebagai  kompetitor, khususnya  pada  populasi  tinggi,  dan  5  manusia  yang  merupakan  musuh  utama
bagi tikus Priyambodo 1995.
2.1.1 Klasifikasi Tikus Putih
R. norvegicus
Tikus  digolongkan  ke  dalam  Ordo Rodentia hewan  pengerat,  Famili Muridae dari kelompok mamalia hewan menyusui. Menurut Priyambodo 1995
Ordo Rodentia merupakan ordo terbesar dari  kelas  mamalia karena  memiliki jumlah spesies 40 dari 5.000 spesies di seluruh mamalia.
Klasifikasi tikus putih R. norvegicus menurut Myres  Armitage 2004. Kingdom
: Animalia Filum
: Chordata Kelas
: Mamalia Ordo
: Rodentia Subordo
: Sciurognathi Famili
: Muridae Sub-Famili
: Murinae Genus
: Rattus Spesies
: Rattus norvegicus GalurStrain
: Sprague Dawley Tikus  putih  merupakan  strain  albino  dari R. norvegicus.  Tikus  memiliki
beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan. Galur  yang  sering  digunakan  untuk  penelitian adalah  galur  Sprague  Dawley
Inglis 1980.  Galur  ini  berasal  dari peternakan  Sprague  Dawley,  Madison, Wiscoustin.
2.1.2 Ciri Morfologi Tikus Putih
R. norvegicus
Tikus putih  R. norvegicus yang  memiliki  nama  lain Norway  rat, termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini
yaitu  bertubuh  panjang  dengan  kepala  lebih  sempit. Telinga  tikus  ini  tebal  dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling
terlihat  adalah  ekornya yang  panjang. Bobot  badan tikus jantan  pada  umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus
memiliki  lama  hidup  berkisar  antara 4-5 tahun  dengan  berat  badan  umum  tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram Sirois 2005.
Tikus  dapat  mendengar  hingga  suara  ultrasonik  dengan  rentang pendengaran 70 dB yaitu 250 Hz-70 kHz dan rentang yang paling sensitif berkisar
antara  8-32  kHz. Suara  ultrasonik  ini  sangat  penting  sebagai  alat  berkomunikasi antara  induk  dengan anaknya. Galur  ini  memiliki  pertumbuhan  yang  cepat,
tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi Robinson 1979. Tikus putih  R. norvegicus  tersebar  luas  di  beberapa  tipe  habitat,  namun  tikus  putih
lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan tempat-
tempat yang lembab Pagad 2011.
2.1.3 Biologi dan Perilaku Tikus Putih
R. norvegicus
Tikus termasuk binatang pemakan segala makanan omnivora. Walaupun demikian,  tikus  cenderung  untuk  memilih  biji-bijian  serealia  seperti  jagung,
padi, dan gandum. Air sebagai sumber minuman dapat diambil dari air bebas atau dapat diperoleh dari pakan yang banyak mengandung air. Kebutuhan air bagi tikus
tergantung dari suhu, lingkungan, aktivitas, umur, dan jenis makanan. Kebutuhan air  berkurang,  jika  pakan  yang  dikonsumsi  sudah  banyak  mengandung  air. Pada
umumnya  tikus  makan  secara  teratur  pada  tempat  tertentu. Tikus  putih  R. norvegicus biasanya  membuat  sarang  pada tempat-tempat  yang  berdekatan
dengan  sumber  makanan  dan  air.  Tikus bermigrasi  jika terjadi  kekurangan makanan pada habitat awal yang ditempati Priyambodo 1995.
Menurut Smith  Mangkoewidjojo  1988 tikus  memiliki masa  kawin pada  saat  berumur  delapan  sampai  sembilan minggu. Tikus  merupakan  hewan
poliestrus  dan  berkembang  biak  sepanjang  tahun. Periode  estrus  terjadi  selama dua belas jam dan lebih sering terjadi pada malam hari dibandingkan dengan siang
hari. Kelahiran  anak  pada  tikus  putih dipengaruhi  oleh beberapa  faktor,  yaitu kondisi  iklim  dan  cuaca  yang  optimal  khususnya  suhu,  pakan  yang  melimpah,
sarang yang baik, umur, dan kondisi induk yang optimal.
2.2 Jenis Ektoparasit Pengganggu pada Tikus Putih
R. norvegicus
Penyakit  yang  dapat  diderita  oleh  tikus  salah  satunya  diakibatkan  oleh parasit luar. Ektoparasit yang dapat menginfestasi pada tikus ini meliputi Polyplax
spinulosa,  Laelaps  echidninus,  Bdellonyssus  bacoti,  Notoedres  cati,  Otodectes cyanotis, Echidnophaga gallinacea, dan Xenopsylla cheopis Sirois 2005.
Polyplax  spinulosa merupakan  kutu  yang
termasuk  dalam  ordo Phthiraptera  dan  famili  polyplacidae.  Kutu  ini  memiliki  ukuran  kecil,  yaitu
berukuran  mulai  1-10 mm,  bermetamorfosis  tak  sempurna  hemimetabola,  tipe mulut  untuk menusuk  dan menghisap, serta tidak  memiliki  sayap. Kutu  dapat
menyebabkan  hewan  tidak  bisa  tidur  gatal-gatal,  kehilangan  berat  badan, produksi berkurang, dan anemia Levine 1990. Selain itu, kutu juga dapat sebagai
vektor penyebaran penyakit pada tikus. Penyebaran penyakit ini dapat ditularkan melalui  gigitan  dari  kutu  yang  membawa  virus,  bakteri,  rikketsia, dan  penyakit
parasitik lainnya Omudu  Ati 2010. Laelaps echidninus merupakan jenis tungau yang biasa terdapat pada tikus
Gambar  1. Tungau  ini  memiliki  ukuran  yang  sangat  kecil  dan  aktif  menghisap darah. L. echidninus sendiri  merupakan  vektor  alami  dari Hepatozoon  muris dan
dapat  juga  mentransmisikan  agen tularemia  Francisella  tularensis  di antara rodentia  lain. Infestasi  tungau  pada  tubuh  tikus  dapat  menyebabkan  iritasi  dan
kegatalan. L. echidninus menyebabkan lesio  pada  telapak  kaki  tikus  Flynn
1973.
Gambar 1 Morfologi Laelaps echidninus ventral. a Kelisera, b Pedipalpus, c Peritreme, d Anus, e Keping anal, f Seta.
Bdellonyssus  bacoti atau  biasa  dikenal  dengan Ornithonyssus  bacoti, termasuk ke dalam famili Macronyssidae dan merupakan tungau yang biasa hidup
pada  tikus. Bdellonyssus  bacoti dapat  menyebabkan  dermatitis  dan  menularkan penyakit  tifus  pada  manusia. Tungau  ini  memiliki  kelisera  yang  lebih  kuat  dari
pada Dermanyssus sp. dan  lebih  mudah  terlihat  di bawah mikroskop. Morfologi lain  dari  tungau  yaitu  memiliki  satu  keping  dorsal  dan  anus  terletak  di  tengah
anterior  keping  anal. B. bacoti merupakan  inang  antara  dari Litmosoides  carinii Bowman et al. 2003. Selain itu, B. bacoti sebagai vektor mekanik Trypanosoma
cruzi Jimenez et al. 1994. Notoedres cati merupakan parasit pada kucing, tikus, kelinci, dan manusia
bersifat  sementara. Tungau  ini  memiliki ukuran  dewasa  mencapai  230-275 m 
dan memiliki  empat  kaki  yang  pendek Gambar  2.  Bagian  dorsal  tubuh  tungau terdapat sisik, namun tidak terdapat duri. Anus N. cati terletak pada bagian dorsal
antara  kaki  ketiga  dan keempat Flynn  1973. Tungau  ini  menginfestasi kucing, dan  dapat berpindah ke  hewan  lain  atau manusia,  tetapi  hanya  dapat  bertahan
hidup tidak lebih dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena tungau memiliki induk semang  inang  yang  spesifik  Nahm  Corwin  1997.  Peradangan  dan
a b
c
d e
f
keratinisasi  pada  kulit  menyebabkan  kulit menjadi tebal  dan  berkerut  Soulsby 1982.
Gambar 2 Morfologi Notoedres cati. a Alat penghisap, b sisik, c anus, d Flagela Urquhart et al. 1987.
Otodectes  cynotis merupakan  tungau  yang termasuk  ke  dalam famili Psoroptidae. Tubuh O. cynotis memiliki tarsi yang pendek, pedikulus pertama dan
kedua tidak memiliki segmen pada betina, serta di seluruh pedikulus pada jantan. Tungau  ini  menginfestasi  telinga  bagian  luar  dan  kulit  anjing,  kucing,  musang,
dan  rubah  yang  dapat  menyebabkan  iritasi. Karakteristik  dari  penyakit  yang ditimbulkan  oleh O.  cynotis adalah  produk  serumen yang  berwarna  gelap
Bowman et al. 2003. Echidnophaga  gallinacea sticktight flea,  umumnya  terdapat  pada  ayam
namun  dapat  menyerang  hewan  domestik.  Pinjal  ini  biasanya  menyerang  pada bagian  kepala,  terutama  pial  pada  ayam.  Beberapa  hewan  yang  dapat  dijadikan
inang oleh E. gallinacea antara lain burung-burung lokal kalkun, burung puyuh, tikus, anjing, kucing, dan terkadang manusia. Bentuk dewasa dari pinjal ini dapat
dikenali dari bentuk kepala dan tidak adanya pronatal serta genal ktenidia Mullen et al. 2009.
a
b c
d
Xenopsylla cheopis merupakan genus pinjal yang terdapat pada tikus serta dapat  menyerang  ke  manusia. Ukuran  tubuh  pinjal  kurang  lebih  2,5  mm. Tubuh
pinjal  terdiri  dari  kepala,  thoraks,  dan  abdomen. Bagian  kepala  dan  toraks memiliki  dua  segmen  dan  abdomen  memiliki  delapan segmen. X.  Cheopis
memiliki  tiga  pasang  kaki Gambar  3. Kaki belakang pinjal  memiliki  tungkai yang  panjang sehingga  pinjal  dapat  melompat  jauh. Ciri  morfologi  yang
membedakan X. cheopis dengan genus lainnya adalah tidak memiliki rambut dan bentuk  kepala  yang  lebih  bulat.  Pinjal  ini berperan penting  dalam  penyebaran
penyakit pes di Indonesia maupun di dunia Gage  Kosoy 2005.
a b
Gambar 3 Xenopsylla cheopis; a  jantan; b betina
2.3.1 Gambaran  Diferensiasi Sel Darah Putih pada  Tikus  Putih
R. norvegicus
Darah merupakan jaringan sirkulasi yang menyalurkan oksigen dan nutrisi serta  membuang  karbondioksida  dan  beberapa  materi  yang  tidak  diperlukan  oleh
tubuh  melalui  pertukaran  gas,  aktivitas  seluler,  dan  pertahanan  tubuh. Darah tersusun dari komponen-komponen darah, yaitu sel darah dan plasma darah.  Sel
darah  terdiri  atas  sel  darah  merah  red  blood  cell,  sel  darah  putih white  blood cell, dan keping darah platelete Samuelson 2007.
2.3.1 Sel Darah Putih
Leucocyte
Sel darah putih dikenal sebagai leukosit merupakan unit pertahanan tubuh yang  dibentuk  di  sumsum  tulang  belakang dan  sebagian  dibentuk  di  jaringan
limfoid.  Granulosit  dan  monosit  merupakan  sel  darah  putih  yang  dibentuk  di sumsum  tulang  belakang, sedangkan limfosit  dan  sel-sel  plasma  dibentuk  di
jaringan  limfoid.  Granulosit  merupakan  sel-sel  polimorfonuklear  yang  memiliki granular, seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit memiliki masa hidup
empat  sampai  delapan  jam  dalam  sirkulasi  darah  dan  empat  sampai  lima  hari berikutnya  pada  jaringan  yang  membutuhkan.  Namun,  pada  infeksi  yang  berat,
masa  hidup  keseluruhan  dapat  berkurang  lebih  cepat  karena  granulosit  bekerja lebih  cepat  pada  daerah  yang  terinfeksi,  melakukan  fungsinya,  dan  masuk  ke
dalam  proses  ketika  sel-sel  tersebut  dimusnahkan.  Monosit  memiliki  masa  edar yang  singkat,  yaitu  10-20  jam  dalam  darah, sedangkan  limfosit  memiliki  masa
hidup  berminggu-minggu  atau  berbulan-bulan  tergantung  dari  kebutuhan  tubuh terhadap limfosit Guyton  Hall 2008
Leukosit  mempunyai  peranan  dalam  pertahanan  seluler  dan  humoral. Neutrofil,  eosinofil,  basofil,  dan  monosit  berfungsi  sebagai  pelindung  tubuh
terhadap  zat  asing  dengan  cara  fagositosis seluler.  Fungsi  limfosit  dan  sel plasma  berkaitan  dengan  sistem  imun humoral. Diferensiasi  sel  darah  putih
dapat menjadi acuan  untuk  mengetahui  sistem  kekebalan  tubuh  pada  tikus jika terserang suatu penyakit Guyton  Hall 2008
2.3.2 Neutrofil
Neutrofil merupakan  sel  darah  putih  yang  tergolong  ke  dalam  sel polimorfonuklear  PMN.  Neutrofil dibentuk dalam  sumsum  tulang dan
dikeluarkan  dalam sistem  sirkulasi. Jumlah  neutrofil  normal  berkisar  antara  12- 37 dari  leukosit yang  beredar,  garis  tengah  sekitar  12
m  , dan terdapat dua
sampai  lima segmen Gambar  4a.  Sitoplasma banyak  diisi  oleh  granula-granula spesifik 0,3-0,8
m   dan berwarna merah muda Thrall et al. 2004.
Neutrofil  jarang  mengandung  retikulum  endoplasma  granuler,  sedikit mitokondria, aparatus  golgi  rudimenter, dan  sedikit  granula  glikogen.  Neutrofil
merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit partikel  kecil  dengan  aktif. Neutrofil  mempunyai  metabolisme  yang  sangat  aktif
dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil  untuk  hidup dalam  lingkungan  anaerob  sangat  menguntungkan karena
mereka  dapat  membunuh  bakteri  dan  membantu  membersihkan debris pada jaringan nekrotik Effendi 2003.
2.3.3 Eosinofil
Eosinofil  merupakan  sel  darah  putih  yang  termasuk  ke  dalam  granulosit. Jumlah  eosinofil hanya 0-6 dari leukosit dan mempunyai  garis  tengah  9 m
 , sedikit  lebih  kecil  dari  neutrofil Mitruka  Rawnsley  1981.  Inti  memiliki  dua
segmen, retikulum  endoplasma, mitokondria, dan  apparatus  Golgi  kurang berkembang Gambar 4b. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid dan mampu
melakukan  fagositosis terhadap komplek  antigen  dan  antibodi  Effendi  2003. Pada  infeksi  parasit,  eosinofil  diproduksi  dalam  jumlah  yang  besar  dan  akan
dimigrasikan  ke  daerah  yang  terinfeksi.  Selain  itu,  eosinofil  juga  mempunyai kecenderungan  khusus  untuk  berkumpul  di  jaringan  tempat  terjadinya  reaksi
alergi dan diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil Guyton  Hall 2008.
2.3.4 Basofil
Basofil merupakan  sel  darah  putih  yang memiliki jumlah kecil  di  dalam darah  tikus. Jumlah basofil  di  dalam  darah  berkisar  antara  0-3 Thrall et  al.
2004.  Basofil umumnya berbentuk seperti  huruf  S Gambar  4c.  Sitoplasma basofil berisi granul yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granul basofil
memiliki bentuk ireguler  berwarna  metakromatik. Basofil  merupakan sel  utama yang paling banyak ditemukan pada tempat peradangan atau alergi Caroline et al.
2009. Basofil  mengandung  heparin  dan  memiliki  protein  reseptor  pada  bagian
permukaan  yang  dapat  mengikat  IgE  Imunoglobulin  yang  berperan  dalam pertahanan terhadap alergi Guyton  Hall 2008.
2.3.5 Limfosit
Limfosit  merupakan  sel  yang  sferis, memiliki garis  tengah  6-8 m
 , dengan  jumlah 63-84 dari leukosit  darah Mitruka  Rawnsley  1981. Secara
normal, sel limfosit mempunyai inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi,  inti  kromatin padat,  anak  inti  baru  terlihat  dengan menggunakan mikroskop
elektron Gambar  4d. Limfosit  memiliki  sitoplasma yang  sangat sedikit, sedikit basofilik, dan mengandung  granula-granula  azurofilik. Limfosit  dalam  sirkulasi
darah normal  dapat  berukuran  10-12 m  . Ukuran  yang  lebih  besar  disebabkan
sitoplasmanya yang lebih banyak. Sel limfosit berada dalam kelenjar getah bening dan akan  tampak  dalam  darah  dalam  keadaan  patologis. Secara  fungsional,
limfosit dikelompokkan menjadi dua, yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T dan  B  dibentuk  dalam  sumsum  tulang.  Limfosit  T memiliki  jangka  waktu  hidup
lama dan berperan dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh sel. Limfosit B memiliki  jangka  waktu  hidup  yang  bervariasi  dan  berperan  dalam  produksi
antibodi Guyton  Hall 2008.
2.3.6 Monosit
Monosit  merupakan  sel  leukosit  yang berukuran besar dan  terdapat sebanyak 0 sampai 5 dari jumlah leukosit normal Mitruka  Rawnsley 1981
. Monosit  memiliki  diameter  9-10
m  , tetapi  pada  sediaan  darah  kering  diameter
mencapai  20 m 
atau  lebih. Inti  biasanya  eksentris,  adanya  lekukan yang  dalam berbentuk  tapal  kuda  dan  kromatin  kurang  padat Gambar  4e. Retikulum
endoplasma yang ditemui pada monosit sedikit. Monosit banyak ditemukan dalam darah dan terdapat di dalam darah selama beberapa jam Guyton  Hall 2008.
Monosit  tergolong  fagositik  mononuklear  sistem  retikuloendotel  dan mempunyai  tempat-tempat  reseptor  pada  permukaan  membrannya.  Monosit
beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk ke dalam jaringan
penghubung,  dan  berdiferensiasi  menjadi  makrofag. Di  dalam  jaringan  bereaksi dengan  limfosit  dan  memegang  peranan  penting  dalam  pengenalan  dan  interaksi
sel-sel  dengan antigen Samuelson 2007.
Gambar 4 Sel darah putih leucocyte dan sel darah merah erytrocyte ; a Neutrofil, b Eosinofil, c Basofil, d Limfosit, e Monosit
a b
c d
e
3 METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi  dan  Entomologi  Kesehatan,  Departemen  Ilmu Penyakit  Hewan  dan
Kesehatan  Masyarakat  Veteriner,  Fakultas  Kedokteran  Hewan,  Institut  Pertanian Bogor. Penelitian  ini  dilakukan  pada bulan  Maret sampai April  2010  dan
dilaksanakan  dalam tiga tahap,  yaitu  pengambilan  sampel,  pembuatan  preparat, dan identifikasi.
3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit
Sampel ektoparasit diambil dari empat  belas ekor tikus  putih  R. norvegicus galur Sprague Dawley.  Pengambilan  ektoparasit  pada  tikus  ini
dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan alkohol 70 dan pinset. Kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ini kemudian
ditempelkan ke bagian tubuh tikus yang terdapat ektoparasit. Hal ini dimaksudkan supaya  ektoparasit  pada  tubuh  tikus  mudah  untuk  didapatkan  dan  dikoleksi
sedangkan pinset digunakan sebagai alat bantu untuk mengambil ektoparasit yang menempel pada badan tikus.
Teknik  pengambilan  sampel  dilakukan selama sepuluh menit  dan  dilakukan pengulangan  sebanyak  dua  kali.  Sampel  yang  telah  didapatkan kemudian
dimasukkan  ke  dalam  cawan  petri  yang  berisi  alkohol  70.  Tiap-tiap  sampel ektoparasit  yang  telah  terkumpul  kemudian  dipisahkan  dengan  kotoran  yang
terikut di dalam cawan petri dan dipindahkan ke dalam tabung koleksi yang juga berisi alkohol 70 dan diberi label.
3.3 Pembuatan Preparat Ektoparasit
Pembuatan preparat dilakukan setelah sampel semua terkumpul. Spesimen yang  berasal  dari  alkohol  dikeluarkan  dari  botol,  kemudian  dicuci  dengan
menggunakan air dan spesimen direndam dengan menggunakan laktofenol dalam temperatur  kamar  selama  kurang  lebih  tujuh  hari.  Setelah  tujuh  hari  direndam
dengan larutan laktofenol, spesimen kemudian dicuci sebanyak tiga sampai empat kali sampai air tidak berkabut. Larutan Hoyer diteteskan kurang lebih satu sampai
dua  tetes  di  atas  gelas  objek  yang  akan  dipakai.  Lalu  satu  sampai  dua  spesimen diletakkan  ke  dalam  larutan  Hoyer  dengan  cara  menenggelamkan  ke  dalam
larutan. Preparat  kemudian  ditutup  dengan  gelas  penutup  dan  jangan  sampai  ada gelembung  udara  yang  masuk.  Namun,  jika  ada  gelembung  udara  yang  masuk
maka  gelas  objek dipanaskan  di  atas  api  secara  perlahan-lahan  sehingga gelembung udara ini akan menghilang. Setelah itu, slide disimpan ke dalam slide
warmer selama  empat  sampai  lima  hari  atau  di  dalam  temperatur  kamar  selama tujuh  sampai  sepuluh  hari.  Jika preparat tersebut  sudah  kering,  pada  sekeliling
gelas penutup diberikan lapisan kuteks secara merata.
3.4 Identifikasi Ektoparasit