Pasang Surut Topografi Dasar Laut

SVP sangat penting dalam survei batimetri karena dapat digunakan untuk meramalkan arah penjalaran gelombang akustik. Secara empiris pengukuran kedalaman menggunakan metode hidroakustik adalah melakukan penghitungan terhadap cepat rambat gelombang akustik dibagi dua, kemudian dikali dengan waktu tempuhnya. Special publication No. 44 S.44-IHO menyebutkan bahwa data kedalaman yang akurat harus memperhitungkan nilai Total Propagated Error TPE terlebih dahulu termasuk didalamnya cepat rambat gelombang akustik.

4.2.2 Pasang Surut

Pasang surut di Balongan, Indramayu tergolong kedalam jenis campuran. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Madi 2010 yang menyebutkan bahwa jenis pasang surut di Eretan, Indramayu tergolong kedalam jenis campuran condong ke harian ganda. Pasang surut jenis campuran memungkinkan terjadinya pasang dan surut terjadi sebanyak dua kali dalam satu hari dengan periode yang berbeda-beda. Nilai MSL yang diperoleh sebesar 1.01 m. Nilai tersebut digunakan untuk mengkoreksi data kedalaman hasil pemeruman. Menurut Hasanudin 2009 data pasang surut yang digunakan sebaiknya data pasang surut lokasi penelitian atau lokasi terdekat dengan lokasi penelitian. Nilai MSL sebesar 1.01 m diartikan sebagai pergerakan dinamis rata-rata muka air laut yang terjadi di lokasi penelitian. Ketentuan pemerintah tentang peletakan pipa bawah laut menyebutkan bahwa kedalaman syarat pendam pipa dihitung berdasarkan kedalaman MSL. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi penurunan ketinggian air laut pada saat surut. Penghitungan nilai surut yang salah dapat menyebabkan ketinggian air laut berada dibawah nilai batas Yanto, 2007.

4.2.3 Topografi Dasar Laut

Data kedalaman hasil akuisisi diolah dengan menggunakan perangkat lunak Caris HIPSSIPS 6.1 milik BPPT dengan nomor seri CW9605878 untuk mendapatkan topografi dasar laut. Nilai offset dari setiap sensor yang digunakan harus dihitung terhadap center line. Nilai offset tersebut penting untuk melakukan koreksi dari beberapa sensor yang digunakan terhadap sumbu salib kapal. Berikut merupakan offset dari multibeam ELAC SEABEAM 1050D, DGPS Seastar 8200 VB dan CodaOctopus F180. Gambar 24 Gambar 25. Posisi Offset Sensor Pada Kapal Baruna Jaya IV CodaOctopus F180 diasumsikan berada tepat pada posisi center line. Dalam koreksi offset, jarak dari masing-masing instrumen tersebut dibuat nol sehingga ketiga instrumen tersebut diasumsikan berhimpit Poerbandono dan Djunarsjah, 2005. Pada sumbu x nilai -0.530 meter artinya posisi offset Seastar 8200 VB digeser ke arah kiri sejauh 0.530 meter sedangkan pada sumbu z, draft transduser dinaikan sejauh 3.40 meter sehingga diasumsikan berhimpit pada center line. Koreksi lain yang harus dilakukan, yaitu koreksi swath dan koreksi navigasi kapal. Koreksi swath bertujuan untuk menghilangkan atau melakukan interpolasi terhadap beam yang dianggap kurang baik Hasanudin, 2009. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh dari beam tersebut terhadap data Gambar 25. Gambar 26. Koreksi Swath Pada Data Multibeam Beam berwarna merah merupakan beam yang berasal dari bagian lambung kanan multibeam sementara beam berwarna hijau berasal dari bagian lambung kiri. Beam yang berada di luar kisaran dipilih kemudian dihilangkan atau diinterpolasi berwarna kuning. Setiap beam memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap data sehingga harus terhindar dari eror Moustier, 2005. Kecepatan kapal berpengaruh pada saat pemeruman. Kecepatan yang ideal pada saat pemeruman, yaitu sebesar 4 knot atau 7.408 kmjam dan diusahakan konstan Handbook off survey, 2004 dalam Sasmita, 2004. Dampak negatif dari kecepatan kapal yang tidak konstan menyebabakan data pemeruman yang didapatkan mengalami overlap. Hal ini disebabkan kemampuan setiap elemen transduser menerima kembali pulsa suara tergantung kepada metode kalibrasi terhadap gerak kapal Hammerstad, 2008. Koreksi terhadap kecepatan kapal dilakukan pada menu navigasi editor dalam perangkat lunak Caris Gambar 26. Gambar 27. Koreksi Kecepatan Kapal Koreksi kecepatan kapal dilakukan pada tahap processing karena kecepatan kapal pada saat akuisisi sering tidak konstan. Nilai kecepatan kapal yang berada jauh diluar kisaran dihilangkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas data sehingga pada tahap visualisasi, data yang digunakan tetap memiliki akurasi yang baik. Gambar 19 merupakan bentuk topografi dasar laut lokasi penelitian secara 2 dimensi. Nilai grid yang diberikan, yaitu sebesar 0.9 meter untuk mendapatkan gambar topografi dasar laut yang detail. Metode interpolasi yang digunakan, yaitu metode grid terpisah. dalam perangkat lunak GMT. Metode tersebut terdiri dari empat tahapan, yaitu grdmask, grdmath, grdgradient dan grdimage. Grdmask digunakan untuk memberikan batasan area dari data yang akan diinterpolasi sehingga data yang berada di luar grdmask akan diabaikan. Grdmath digunakan untuk melakukan proses matematis terhadap data dalam grdmask. Grdgradient digunakan untuk menghitung turunan dari data yang diinterpolasi menggunakan grdmath. Tahapan interpolasi terakhir, yaitu grdimage yang digunakan untuk memberikan perubahan warna setiap perubahan kedalaman sebesar 0.5 meter. Peta batimetri menunjukan bagian sisi yang lebih terjal dibandingkan bagian tengah jalur penelitian Gambar 20. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai informasi awal jalur lokasi peletakan pipa. Faktor lain yang harus diperhatikan, yaitu jalur pipa sebelumnya yang telah diletakan, jenis sedimen, pasang surut, dan arah pergerakan arus Yanto, 2007.

4.2.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut