Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut

yaitu metode grid terpisah. dalam perangkat lunak GMT. Metode tersebut terdiri dari empat tahapan, yaitu grdmask, grdmath, grdgradient dan grdimage. Grdmask digunakan untuk memberikan batasan area dari data yang akan diinterpolasi sehingga data yang berada di luar grdmask akan diabaikan. Grdmath digunakan untuk melakukan proses matematis terhadap data dalam grdmask. Grdgradient digunakan untuk menghitung turunan dari data yang diinterpolasi menggunakan grdmath. Tahapan interpolasi terakhir, yaitu grdimage yang digunakan untuk memberikan perubahan warna setiap perubahan kedalaman sebesar 0.5 meter. Peta batimetri menunjukan bagian sisi yang lebih terjal dibandingkan bagian tengah jalur penelitian Gambar 20. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai informasi awal jalur lokasi peletakan pipa. Faktor lain yang harus diperhatikan, yaitu jalur pipa sebelumnya yang telah diletakan, jenis sedimen, pasang surut, dan arah pergerakan arus Yanto, 2007.

4.2.4 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut

Jenis sedimen dasar laut diklasifikasikan berdasarkan nilai kisaran amplitudo. Pada penelitian ini nilai amplitudo yang didapatkan berkisar antara 300 – 450 dengan interval setiap 50. Nilai amplitudo yang didapatkan pada setiap beam telah diinterpolasi sebelumnya menggunakan metode Gausian Weighted Mean. Jenis sedimen clayey silt merupakan jenis sedimen yang banyak didapatkan di lokasi penelitian dengan kisaran amplitudo sebesar 400 - 450. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas permukaan Urick, 1983. Wilayah 1 didimonasi oleh jenis sedimen silty clay. Jenis sedimen ini memiliki kisaran nilai amplitudo 350 – 400. Perbedaan nilai amplitudo disebabkan oleh impedansi akustik yang berbeda dari masing-masing jenis sedimen. Impedansi akustik merupakan hasil kali dari densitas dan cepat rambat gelombang akustik yang digunakan. Dalam hal ini densitas jenis sedimen yang berbeda akan memberikan nilai amplitudo yang berbeda pula. Nilai impedansi akustik yang lebih besar akan memberikan nilai amplitudo dari hambur balik yang lebih besar pula. Klasifikasi menggunakan kisaran amplitudo dan bukan nilai backscatter dB merupakan hal yang baru. Amplitudo didapatkan secara langsung berupa nilai hambur balik yang berasal dari dasar sementara itu backscatter didapatkan dengan menggunakan penurunan dari intensitas. Wilayah 2 dan 3 hampir seluruh bagian wilayahnya tertutupi jenis sedimen clayey silt. Hal ini telihat dari nilai sebaran amplitudo 400 – 450 yang menutupi wilayah tersebut. Nilai amplitudo yang didapatkan pada penelitian ini merupakan nilai amplitudo yang sudah diinterpolasi sebelumnya menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode ini dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo yang paling baik dari setiap beam. Amplitudo dari masing-masing beam dihitung menggunakan sudut lebar beam dan altitud sonar sehingga didapatkan keseluruhan nilai amplitudo pada seluruh cakupan lokasi penelitian. Kelebihan menggunakan metode ini adalah apabila variasi data tinggi maka metode ini bisa melakukan interpolasi dengan spasi yang sangat tepat sehingga menghasilkan resolusi data yang tinggi GMT 4.4, 2009. Spasi grid yang diberikan sebesar 5 meter. Pemberian nilai grid setiap 5 meter dilakukan berdasarkan perhitungan luas lajur perum dan kisaran total amplitudo. Jenis sedimen clayey silt mendominasi lebih dari 80 luas jalur pemeruman wilayah 2. Terdapat beberapa bagian pada wilayah 2 yang berwarna putih. Bagian tersebut merupakan bagian yang tidak teridentifikasi atau memiliki nilai amplitudo di luar kisaran 300 – 450. Nilai yang berada diluar kisaran tersebut merupakan nilai eror yang tidak terfilter dengan baik. Hal ini disebabkan filter yang digunakan untuk sudut datang dari dasar laut sehingga hambur balik yang berasal dari dekat draft transduser lolos dari filter. Hydrografer cenderung menggunakan minimum filter untuk menghilangkan noise tersebut MB-Systems Cook-Book 5, 2009. Wilayah 3 yang merupakan bagian ujung jalur pemeruman didominasi oleh jenis sedimen clayey silt. Sisi kanan wilayah 3 hampir 90 didominasi jenis sedimen tersebut. Pada wilayah 3 terdapat beberapa bagian yang tidak teridentifikasi. Karakteristik dasar laut diketahui dengan menganalisis struktur dan variasi signal yang diterima masing-masing beam. Analisis yang dilakukan merupakan analisis statistik dengan menerapkan prinsip Huygen-Freshnel dan Gaussian de Moustier, 1985. Pada bagian tengah wilayah 1, 2 dan 3 terdapat pola memanjang yang merupakan jalur peletakan pipa sebelumnya. Jalur peletakan pipa tersebut pada wilayah 1 tertutupi oleh jenis sedimen clayey silt dan silty clay. Pada wilayah 2 dan 3 jalur peletakan pipa sebelumnya tertutupi oleh jenis sedimen silt. Penutupan jalur pipa terjadi karena pembuatan parit untuk peletakan pipa. Pembuatan parit dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah karena kedalaman lokasi kurang dari 28 meter sehingga pipa harus dikubur sedalam 2 meter Yanto, 2007. Penutupan pipa oleh sedimen clayey silt dan silty clay pada wilayah 1 disebabkan kedua jenis sedimen tersebut banyak terdapat di lokasi. Kondisi yang berbeda terjadi pada wilayah 2 dan 3. Pada kedua wilayah tersebut didominasi oleh jenis sedimen clayey silt akan tetapi jenis sedimen yang menutupi pipa merupakan jenis sedimen silt dan silty clay. Hal tersebut dapat terjadi karena sedimen silt dan silty clay yang terbawa oleh arus dari wilayah 1 atau parit tempat pipa diletakan sengaja ditimbun sedimen tersebut. Penelitian yang dilakukan Charnila dan Manik 2010 menggunakan instrumen side scan sonar menyebutkan bahwa target yang terdapat dalam perairan balongan terdiri dari pole, box, bekas mooring dan potongan pipa. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi jenis sedimen yang terdapat di wilayah Perairan Balongan didominasi oleh jenis sedimen clay dan sand. Nilai amplitudo dengan nilai yang tinggi memiliki kenampakan yang lebih gelap dibandingkan dengan nilai amplitudo yang rendah. Klasifikasi nilai kisaran amplitudo untuk mendapatkan jenis sedimen dasar laut berpengaruh terhadap kegiatan peletakan pipa. Det Norske Veritas DNV merupakan suatu badan independen yang didirikan dengan tujuan mengatur prosedur keselamatan kerja, barang dan lingkungan. DNV pertama kali didirikan pada tahun 1864 di Norwegia dan sampai sekarang beberapa ketentuan DNV digunakan sebagai pedoman kegiatan teknis kerja, salah satunya dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut www.dnv.com. Dalam ketetapan DNV-RF-105 jenis sedimen dasar laut diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu tanah non kohesif clay dan silt dan tanah kohesif sand. Perbedaan kedua jenis sedimen ini berpengaruh saat menganalisis free span atau bentangan bebas pipa yang terjadi akibat ketidakteraturan dasar laut. Jenis sedimen kohesif memiliki nilai sudut geser dalam yang berkisar antara 28 o – 41 sedangkan sedimen non kohesif memiliki nilai tegangan geser yang berkisar dari 12 – 200 kNm 2 . Nilai tegangan geser dan sudut geser dalam harus diperhitungkan dalam penentuan jalur peletakan pipa sehingga pengaruh free span dapat dikurangi. Jenis sedimen silt, silty clay dan clayey silt memiliki nilai tegangan geser yang berbeda-beda sedangkan nilai sudut geser dalam yang dimilikinya bernilai nol. Silt memiliki tegangan geser terbesar, yaitu berkisar antara 25 kNm 2 – 50 kNm 2 sedangkan silty clay dan clayey silt masing-masing memiliki nilai tegangan geser berkisar antara 12.5 kNm 2 – 25 kNm 2 dan kurang dari12.5 kNm 2 . Nilai tegangan geser yang semakin tinggi akan menyebabkan pipa mudah bergeser. Dengan nilai tegangan geser yang lebih kecil dibandingkan jenis silt dan silty clay, jenis sedimen clayey silt merupakan jenis sedimen yang tepat sebagai lokasi peletakan pipa.

4.2.5 Penentuan jalur peletakan pipa