BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga, karena di dalam dirinya melekat harkat martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi
anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus
cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Hak pertama yang harus didapat sebagai manusia adalah hak untuk
memperoleh suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan serta untuk mengetahui orang tuanya yang menjadi salah satu urusan umum Pemerintah
di bidang penyelenggaraan pendaftaran penduduk. Hal ini tercantum dalam UU No 23 Tahun 2002 pada pasal 5 yang menjelaskan bahwa; “Setiap anak berhak
atas nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan”. Seperti yang tertulis dalam www.idlo.intDOCNews256DOC.pdf, yang
melansir berita sebagai berikut:
“All children are obligation and gift from God, and have inherent dignity and rights as human beings. They are also the seeds of the future
and the generation that will take responsibility to fulfil the dreams of their family and the nation as well as playing a strategic role in ensuring
the sustainability of society. To ensure that every child is capable of achieving such a role and responsibility, they need to be given as many
opportunities as possible to live, grow, and develop to their utmost and to have their rights protected and upheld and to be free from discrimination.
The birth of a child can bring happiness to the family and parents will have to bear the responsibility in ensuring that the child is raised
properly so as to grow into a meaningful person, including in ensuring that the child is legally registered by means of a birth certificate. In many
cases, parents often overlook the need for obtaining birth certificates for their children despite the need to have them registered as legal citizens by
way of the prevailing regulations. Certain procedures have to be undertaken when registering children and having them recorded on a birth
certificate. A birth certificate is the beginning of a registration of a citizen before the Indonesian law.”
Anak yang baru lahir akan diakui status hukumnya jika telah memiliki
bukti tertulis dengan terlebih dahulu mendaftarkan peristiwa kelahiran pada Lembaga Catatan Sipil. Lembaga Catatan Sipil ini cukup penting dalam lapangan
keperdataan, sebab di Catatan Sipil dapat ditentukan kedudukan hukum seseorang, sehingga orang-orang yang berkepentingan dalam hal-hal yang berhubungan
dengan lembaga ini dapat dengan mudah memperoleh kepastian hukum mengenai status seseorang.
Tujuan umum diselenggarakannya catatan sipil adalah untuk memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya mengenai perisiwa-peristiwa yang dialami atau
terjadi atas diri seseorang, maka semua akta catatan sipil mempunyai kedudukan yang sempurna yang mutlak kebenarannya di depan hukum Victor S
Cormentyna S, 1991:69. Akta Catatan Sipil yang pertama dan paling utama wajib dimiliki ketika manusia lahir adalah berupa Akta Kelahiran.
Implikasi hukum atas hak diatas akan demikian luas dan mendasar. Akta kelahiran memiliki nilai penting sebagai identitas hukum seorang anak dan
pengakuan negara secara hukum terhadap keberadaan seorang anak, berkaitan dengan kewarganegaraan dan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena itu,
jika seorang anak tanpa akta kelahiran diperjualbelikan di luar negeri, secara hukum pemerintah Indonesia tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap anak
tersebut. Selain itu pada aspek penataan administrasi kependudukan sendiri, hal ini akan menjadi momentum penting karena dampak terkaitnya dengan aspek hak
dan kewajiban lain yang mengiringinya cukup banyak, seperti; hak dan kewajiban memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP, paspor, hak waris, Kartu Keluarga KK,
hak untuk bersekolah pada waktu yang tepat, hak mencari pekerjaan, serta hak lainnya.
Walaupun kepemilikan akta kelahiran merupakan hal yang sangat penting, pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan
pentingnya memiliki akta kelahiran. Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa masalah pencatatan kelahiran sebagai hanya teknis administrasi
kependudukan semata. Cara pandang seperti itu tidak melihat lebih jauh apakah seseorang itu eksis secara legal atau tidak. Padahal status legal seseorang
diperoleh dengan dicatatkannya seorang yang baru dilahirkan kepada negara. Jadi, akta kelahiran menunjukkan keabsahan legalitas seseorang dan menunjukkan
kewarganegaraan seseorang. Tanpa kewarganegaraan, seseorang tak mempunyai privilege-privilege tertentu dari negara, termasuk untuk mendapatkan KTP.
Warga negara yang tidak memiliki akta kelahiran akan banyak menemui hambatan dalam kehidupannya. Untuk dapat bersekolah seseorang harus dapat
menunjukkan akta kelahiran. Begitu pula jika masyarakat akan membuat KTP. Tapi kenyataan yang terjadi di Indonesia seseorang yang tidak memiliki akta
kelahiran dapat dengan mudah mendapatkan KTP dan di beberapa daerah di Indonesia seorang dewasa yang akan mengurus akta kelahiran terlambat harus
menunjukkan KTP terlebih dahulu. Fakta ini merupakan praktek menyimpang, karena untuk mendapatkan KTP seseorang harus memiliki status legal terlebih
dahulu yang ditunjukkan dengan kepemilikan akta kelahiran. Hal ini menunjukkan masih lemahnya sistem administrasi kependudukan kita. Ganjar
Kurnia, 2003. Kembali ke masalah kepemilikan akta; berdasarkan hasil penelitian yang
telah ada seperti Survey Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS yang dilaksanakan BPS pada tahun 2001, diketahui hanya empat dari sepuluh anak balita di
Indonesia yang mempunyai akta kelahiran atau baru 11 juta anak Indonesia yang mencatatkan kelahirannya. Dari jumlah 11 juta itu, hanya 25 persen yang bisa
menunjukkan akta kelahiran mereka. Selebihnya hanya mengaku mempunyai akta kelahiran, akan tetapi tidak dapat menunjukkan.
Tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia sebesar 39 persen. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya, seperti
Filipina yang mencapai 84 persen, Malaysia 98 persen, dan Thailand yang mencapai angka 96 persen. Sesuai dengan laporan UNICEF tahun 2002, Indonesia
termasuk dalam 19 negara yang terjelek pencatatan kelahirannya.
Ada beberapa alasan mengapa masih begitu banyak anak Indonesia yang kelahirannya tak dicatatkan. Selain karena ketidaktahuan masyarakat akan
pentingnya memiliki akta kelahiran, biayanya yang relatif mahal juga prosedur pengurusannya yang masih dianggap sulit dan rumit. Masih menurut data
Susenas, 23,97 persen dari mereka yang tidak mendaftarkan anaknya memandang biaya pengurusan akta kelahiran mahal. Kenyataan ini sebenarnya ironis karena
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan dalam Pasal 28 ayat 3 bahwa pembuatan akta kelahiran tidak dikenai
biaya. Mahalnya biaya pencatatan kelahiran itu bisa terjadi karena di beberapa daerah, pencatatan kelahiran dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah
Ganjar Kurnia, 2003.
Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Akta Catatan Sipil di Kota Surakarta, tempat penelitian ini
dilakukan, adalah Perda No. 6 Tahun 2002. Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa dalam penerbitan akta catatan sipil termasuk didalamnya akta kelahiran
masyarakat dikenakan biaya tertentu yang merupakan retribusi penyumbang PAD, serta terdapat pembedaan besaran retribusi antara Warga Negara Indonesia WNI
dengan Warga Negara Asing WNA. Maksud dari kebijakan tersebut adalah agar memudahkan pemantauan administrasi kependudukan serta kelancaran dan
ketertiban pelaksanaan pendaftaran penduduk. Besaran retribusi untuk pencatatan kelahiran dan penerbitan kutipan akta
kelahiran umum, dispensasi, terlambat, dan istimewa berbeda-beda. Retribusi yang harus dikeluarkan oleh WNI adalah sebesar Rp. 20.000,- hingga Rp. 25.000,-
sedangkan besar retribusi yang harus dikeluarkan oleh WNA antara Rp. 40.000,- hingga Rp. 50.000,-. Mungkin karena biaya penerbitan akta yang dirasa mahal
oleh sebagian masyarakat, menyebabkan masih banyak masyarakat yang belum memiliki akta kelahiran. Walaupun masalah besaran biaya bukan satu-satunya
alasan mengapa masih banyak masyarakat yang belum memiliki akta kelahiran seperti yang telah disebutkan pada bahasan sebelumnya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan antara UNICEF dengan BPS Kota Surakarta tahun 2003 yang mengambil sampel Kecamatan Serengan dan
Banjarsari didapatkan data sebagai berikut: Tabel 1.1 Jumlah Keluarga Yang Memiliki Akta Kelahiran
Menurut Kecamatan Kepemilikan Akta Kelahiran
Ya, Tunjuk
Ya, Tidak
Tunjuk Tidak Punya
Total
No. Kecamatan Jml
Jml Jml
Jml
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
1. Serengan
128 51,20
54 21,60
68 27,20
250 100
2 Banjarsari
156 62,40
22 8,80
72 28,80
250 100
Jumlah 284
56,80 76
15,20 140
28,00 500
100
Sumber : Penelitian BPS dan UNICEF 2003
Dari data pada tabel 1.1 diatas terlihat bahwa masih ada sekitar 28 keluarga dari dua kecamatan yang diteliti tidak memiliki akta kelahiran untuk
bayinya. Angka ini masih lebih tinggi dari hasil SUSENAS 2001 yang sekitar 21 . Jika jumlah bayi di kota Surakarta ada sebanyak 7.800 maka masih ada sekitar
1.640 bayi di Kota Surakarta yang belum memiliki akta kelahiran. Jumlah diatas hanya menunjukkan jumlah bayi yang belum memiliki.
Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Dispendukcapil Kota
Surakarta Dra Sri Suharyati MM, diperkirakan sampai bulan Januari 2006 masih ada 5.360 warga Solo berusia kurang dari 18 tahun yang belum memiliki akta
kelahiran, atau
91,2 dari
jumlah warga
Solo usia
tersebut www.suaramerdeka.com 3 Januari 2006. Berdasarkan data Susenas 2001 yang
menyebutkan bahwa dari 21,4 dari balita yang belum memiliki akta kelahiran, 30,3 menyatakan bahwa biaya pengurusannya mahal.
Berikut akan ditampilkan data perihal alasan tidak memiliki akta kelahiran menurut kecamatan.
Tabel 1.2 Alasan Tidak Memiliki Akta Kelahiran Menurut Kecamatan Alasan Tidak Memiliki Akta Kelahiran
Kecamatan Tdk
Tahu Cara
Berbelit Mahal
Belum Mengurus
Lainnya Total
1 2
3 4
5 6
7
Serengan 13
23,53
44
64,71
8
11,76
68
100
Banjarsari 2
2,78
1
1,39
7
9,72
39
54,17
23
31,94
72
100
Jumlah 2
1,43
1
0,71
23
16,43
83
59,29
31
22,14
140
100
Sumber : Penelitian BPS dan UNICEF 2003
Dari tabel 1.2 tersebut diketahui bahwa sekitar 16,43 warga dari dua kecamatan yang diteliti menganggap bahwa biaya pengurusan mahal. Berdasarkan
beberapa hal tersebut maka Perda No. 6 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Penduduk dan Akta Catatan Sipil perlu disesuaikan dengan Undang-undang No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Akhirnya pada tahun 2003 Pemerintah Kota Surakarta berhasil mengesahkan Peraturan Daerah No. 8 Tahun
2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 6 Tahun
2002 yang salah satu isinya menyatakan bahwa penerbitan akta kelahiran tidak dikenai biaya.
Mengenai batasan pembebasan biaya yang dimaksud dalam Perda tersebut adalah pemerintah membebaskan biaya penerbitan kutipan akta akan tetapi tetap
mengenakan biaya untuk keperluan fotokopi dan legalisasi akta sebesar Rp. 1.000,00 per lembar karena biaya legalisasi akta tidak masuk dalam APBD.
Pungutan ini tidak melanggar hukumlegal karena sesuai dengan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1994. Pembatasan ini perlu ditegaskan karena banyak masyarakat
yang salah persepsi mengenai batasan gratis. Banyak masyarakat khususnya masyarakat tingkat bawah yang menganggap bahwa pembebasan biaya tersebut
mulai dari penerbitan kutipan akta, fotokopi akta, hingga legalisasi akta. Ini merupakan tantangan bagi aparat pemerintah khususnya para pegawai di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, bagaimana sosialisasi yang tepat agar masyarakat tidak salah persepsi.
Dengan telah disahkannya Perda tersebut Pemerintah Kota Surakarta berharap akan terjadi peningkatan kepemilikan akta kelahiran sehingga dapat pula
meningkatkan sistem pencatatan administrasi kependudukan yang akan bermanfaat bagi segala bidang kehidupan. Perlu diketahui bahwa penelitian ini
lebih difokuskan pada peningkatan kepemilikan akta kelahiran baru yaitu akta kelahiran yang diterbitkan dalam jangka waktu 0 - 60 hari setelah kelahiran.
Atas dasar hal tersebut dipandang perlu adanya kajian yang mendalam tentang apresiasi terkini masyarakat Kota Surakarta terhadap akta kelahiran
terlebih setelah disahkannya Perda No 8 Tahun 2003. Diharapkan peningkatan
kepemilikan akta kelahiran ini bukan semata-mata karena bebasnya biaya, tapi karena meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kepemilikan akta
kelahiran.
B. Perumusan Masalah