Metode Beda Hingga Finite Difference

Kendala pertama merupakan persamaan beda yang menyatakan perubahan pada peubah keadaan dari waktu � ke � + 1, � = 0,1, … , − 1. Tu 1993

2.4.4 Prinsip Maksimum Pontryagin

Syarat perlu tercapainya kondisi optimum bagi MKOK diperoleh dengan menerapkan prinsip maksimum Pontryagin. Teorema 1 Prinsip Maksimum Pontryagin Misalkan sebagai kontrol admissible yang membawa state awal , kepada state terminal , dengan dan secara umum tidak ditentukan. Syarat perlu agar ∗ , ∗ menjadi solusi optimum adalah ter- dapat vektor ∗ sedemikian rupa sehingga: 1. ∗ dan ∗ merupakan solusi dari sistem kanonik: ∗ = ∗ , ∗ , ∗ , ∗ = − ∗ , ∗ , ∗ , dengan fungsi Hamilton H diberikan oleh , , , = , , + ∙ , , . 2. ∗ , ∗ , ∗ , , , , . 3. Semua syarat batas terpenuhi. Bukti dapat dilihat pada Lampiran 1. Tu 1993

2.4.5 Syarat Batas Syarat Transversalitas

Jika dan belum ditentukan maka diperlukan syarat batas atau syarat trans- versalitas berikut − � = + + � = = 0. dengan � dan � bernilai nol jika waktu dan nilai variabel state telah ditetapkan lihat Gambar 3. Apabila dan keduanya juga belum ditentukan, maka syarat batas menjadi − � = 0, + + � = 0, = 0. Tu 1993 Ilustrasi masalah di atas dapat dilihat pada Gambar 3.

2.4.6 Masalah Waktu Terminal

T Tetap Jika waktu terminal T tetap, maka � = 0 syarat batas menjadi − � = = 0 Terdapat tiga kasus untuk masalah ini, salah satu di antaranya adalah kasus dengan state terminal bebas, untuk kasus ini jelas bahwa � ≠ 0 sehingga diperoleh = . Apabila tanpa fungsi scrap , = 0, maka syarat batas menjadi = 0. Tu 1993

2.4.7 Metode Pengali Lagrange

Syarat perlu tercapainya kondisi optimum bagi MKOD adalah dengan menerapkan me- tode pengali Lagrange. Didefinisikan fungsi Lagrange = � � , � , � + � + 1 [ � + −1 �=0 � , � , � − � + 1] dengan � + 1 adalah pengali Lagrange yang berhubungan dengan persamaan beda dari kendala pertama. Syarat perlu agar ∗ , ∗ menjadi solusi optimal adalah: 1. � = � � + � + 1 � = 0. 2. � = � � + � + 1 1 + � − = 0. 3. 1+ � = � + − � + 1 = 0 4. � = − � = 0. Syarat terakhir diperlukan jika state akhir bebas. Conrad Clark 1987

2.5 Metode Beda Hingga Finite Difference

Method Misalkan diberikan persamaan diferensial orde-2 sebagai berikut: ′′ = ′ + + , , = �, = . Gambar 3 Grafik syarat transversalitas secara umum. Persamaan diferensial orde dua tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan pende- katan secara numerik terhadap ′′ dan ′. Caranya adalah pertama, dipilih sebarang bilangan bulat yaitu � 0 dan membagi interval [a,b] dengan � + 1, hasilnya dinamakan h yaitu ℎ = − � + 1 . Dengan demi- kian maka titik-titik � yang merupakan sub- interval antara a dan b dapat dinyatakan � = + �ℎ, � = 0,1, … , � + 1. Pencarian solusi persamaan diferensial melalui pendekatan numerik dilakukan dengan memanfaatkan polinomial Taylor untuk mengevaluasi ′′ dan ′ pada �+1 dan �−1 seperti berikut ini: �+1 = � + ℎ ′ � + ℎ2 2 ′′ � �−1 = � − ℎ ′ � + ℎ2 2 ′′ � . Jika kedua persamaan di atas dijumlahkan maka diperoleh �+1 + �−1 = 2 � + ℎ 2 ′′ � . Dari sini ′′ dapat ditentukan ′′ � = �+1 + �−1 − 2 � ℎ 2 . Dengan cara yang sama, ′ � dapat diten- tukan ′ � = �+1 − �−1 2 ℎ . Selanjutnya persamaan ′′ dan ′ disubstitusi- kan ke persamaan diferensial maka − �+1 − �−1 +2 � ℎ2 + � �+1 − �−1 2 ℎ + � � = − � . Dinyatakan bahwa �+1 = �+1 dan � = � serta �−1 = �−1 sehingga persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut − 1 + ℎ 2 � �−1 + 2 + ℎ 2 � � − 1 − ℎ 2 � �+1 = −ℎ 2 � dengan i = 1,2, ... N. Yang ingin dicari ialah 1 , 2 , … , � dengan dan �+1 su dah diketahui, yaitu = � dan �+1 = ; keduanya dikenal sebagai syarat batas boundary values. Topik yang sedang dibahas ini juga sering disebut sebagai masalah syarat batas boundary value problem. Persamaan terakhir merupakan sistem persamaan linear yang berbentuk operasi matriks �� = � dengan A adalah matriks tridiagonal berukuran � × �. Karena elemen-elemen matriks A dan b sudah diketahui, maka vektor solusi w dapat dicari menggunakan beberapa metode peme- cahan sistem persamaan linear, seperti elimi- nasi Gauss, eliminasi Gauss-Jourdan, iterasi Jacobi dan iterasi Gauss-Seidel. Suparno 2011 A  2  h 2 qx 1  1  h 2 px 1     1  h 2 px 2  2  h 2 qx 2  1  h 2 px 2    1  h 2 px 3  2  h 2 qx 3  1  h 2 px 3   1  h 2 px 4  2  h 2 qx 4  1  h 2 px 2             1  h 2 px N 1  2  h 2 qx N 1  1  h 2 px N 1      1  h 2 px N  2  h 2 qx N  , b  h 2 rx 1   1  h 2 px 1  w h 2 rx 2  h 2 rx 3  h 2 rx 4   h 2 rx N 1  h 2 rx N   1  h 2 px N  w N 1 , w  w 1 w 2 w 3 w 4  w N 1 w N . III PEMBAHASAN

3.1 Sistem Inventori Produksi