28
memiliki air sumur, selain itu kualitas air dari PDAM lebih bagus dibandingkan air sumur sehingga pemilihan PDAM sebagai penyedia air bersih dirasakan cukup
tepat. Kebutuhan lainnya selain air bersih yang penting bagi masyarakat Kota
Banda Aceh adalah kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak BBM. Pemenuhan Bahan Bakar Minyak BBM berasal dari PT.Pertamina yang juga merupakan
perusahaan yang dikelola oleh negara. Bahan bakar yang biasa digunakan oleh penduduk Kota Banda Aceh adalah jenis premium dan solar. Hingga saat ini
kebutuhan penduduk terhadap BBM terpenuhi dengan baik. Hal ini dapat diduga dengan melihat tidak adanya antrian yang panjang di SPBU dan harga jual BBM
yang normal. Pertamina menyediakan beberapa unit SPBU Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum yang tersebar di beberapa kecamatan di Kota Banda Aceh
untuk memenuhi kebutuhan BBM, diantaranya yang terdapat di Kecamatan Kuta Alam, Ulee Kareng, Meuraxa, Syiah Kuala, Baiturrahman, dan Lueng Bata.
Kebutuhan listrik, air bersih, dan BBM di sektor perikanan khususnya di pelabuhan perikanan, menjadi kebutuhan yang cukup penting yang harus
dipenuhi. Ini terkait dengan aktivitas perikanan yang membutuhkan listrik, air bersih dan BBM untuk memperlancar aktivitas perikanan tersebut, misalnya untuk
aktivitas penanganan hasil tangkapan pencucian ikan dan kebutuhan melaut para nelayan. Dengan terpenuhinya kebutuhan akan listrik, air bersih, dan BBM
diharapkan seluruh aktivitas perikanan dapat berjalan lancar, dimulai dari aktivitas penangkapan, pendaratan, distribusi hingga pemasaran.
4.2 Kondisi Perikanan Tangkap Kota Banda Aceh
4.2.1 Unit penangkapan ikan
1 Armada penangkapan ikan
Ada beberapa jenis armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan yang ada di Kota Banda Aceh, diantaranya perahu tanpa motor, perahu motor
tempel, dan kapal motor. Perahu tanpa motor terbagi atas jukung dan perahu papan yang berukuran kecil, sedang, dan besar. Kapal motor yang terdapat di
kota ini adalah yang berukuran 5-50 GT Gross tonnage. Jenis armada penangkapan yang paling banyak digunakan oleh nelayan adalah jenis kapal
29
motor, sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah jenis perahu papan yang berukuran kecil.
Jumlah armada penangkapan ikan tahun 2008 mencapai 204 unit dimana jenis armada penangkapan yang dominan adalah jenis kapal motor yang
berukuran 20-50 GT dengan jumlah 73 unit atau sekitar 36 dari jumlah total armada penangkapan ikan yang terdapat di Kota Banda Aceh pada tahun tersebut.
Jenis armada penangkapan yang memiliki jumlah kedua terbanyak pada tahun 2008 adalah kapal motor yang berukuran 5-10 GT dengan jumlah 57 unit atau
sekitar 28 dari total keseluruhan armada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah armada penangkapan ikan dan pertumbuhannya di Kota Banda
Aceh tahun 2004-2008
Jenis Armada Tahun unit
2004 2005 2006 2007 2008 Perahu Tanpa
Motor Jukung ...
... ...
... ...
Perahu papan kecil ...
3 3
3 3
Perahu papan sedang ...
... ...
... ...
Perahu papan besar ...
... ...
... ...
Sub jumlah unit -
3 3
3 3
Pertumbuhan -
- Motor Tempel
... 14
14 14
14 Sub jumlah unit
- 14
14 14
14 Pertumbuhan
- -
Kapal Motor 5 GT
... ...
39 39
39 5-10 GT
... ...
... ...
57 10-20 GT
... 18
18 18
18 20-50 GT
... 73
73 73
73 Sub jumlah unit
- 91
130 130
187 Pertumbuhan
- -
43 44
Jumlah unit -
108 147
147 204
Pertumbuhan -
- 36
39 Rata-rata per tahun unit
121 Kisaran unit
3 – 73 Keterangan: ... = data tidak tersedia
Sumber: DKP NAD 2010; data diolah kembali
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa armada penangkapan yang paling banyak digunakan adalah kapal motor yang berukuran 20-50 GT dengan
jumlah armada 73 unit, diikuti dengan yang kedua terbanyak adalah kapal motor yang berukuran kurang dari 5 GT, lalu kapal motor dengan ukuran 10-20 GT,
diikuti oleh armada dengan jenis motor tempel sebanyak 14 unit dan yang terakhir adalah armada jenis perahu papan berukuran kecil sebanyak 3 unit. Tabel 3 juga
30
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah armada per tahun sebanyak 121 unit. Armada jenis kapal motor yang berukuran 10-50 GT biasanya digunakan untuk
penangkapan dengan menggunakan purse seine jaring lingkar, sedangkan untuk motor tempel atau kapal motor berukuran 5 GT biasanya digunakan untuk
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Jenis perahu tanpa motor dan motor tempel tidak mengalami pertumbuhan
selama 5 tahun terakhir, yang mengalami pertumbuhan adalah jenis kapal motor yaitu sebesar 43 pada tahun 2006, namun pada tahun 2007 jenis kapal motor ini
tidak mengalami pertumbuhan, pada tahun 2008 jenis armada ini mengalami peningkatan kembali dengan persentase pertumbuhan sebesar 44. Jika dilihat
dari keseluruhan jenis armada, pada tahun 2006 jumlah armada mengalami pertumbuhan sebesar 36, sedangkan pada tahun 2007 jumlah keseluruhan
armada tetapsama seperti tahun 2006, dan pada tahun 2008 jumlah armada mengalami pertumbuhan hingga mencapai 39 Tabel 6.
Selama 5 tahun terakhir yaitu sejak tahun 2004 sampai tahun 2008, jumlah armada penangkapan yang ada di Kota Banda Aceh hampir tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Peningkatan jumlah unit armada hanya terdapat pada jenis kapal motor yaitu pada tahun 2005 jumlah kapal motor sebanyak 91 unit dan
meningkat pada tahun 2006 sebanyak 130 unit. Namun, pada tahun 2007 jumlah armada ini tidak mengalami perubahan. Tahun 2008 jenis kapal motor kembali
meningkat hingga mencapai 187 unit. Jumlah armada untuk jenis motor tempel dan perahu tanpa motor pada tahun 2004-2008 tidak terjadi penambahan atau
pengurangan yakni, jenis motor tempel berjumlah 14 unit dan jenis perahu tanpa motor berjumlah 3 unit Gambar 2. Tidak adanya penambahan atau pengurangan
armada penangkapan yang signifikan di Kota Banda Aceh diduga karena armada yang terdapat di pelabuhan perikanan yang terdapat di Kota Banda Aceh tidak
mengalami kerusakan sehingga tidak diperlukan armada pengganti ataupun armada tambahan untuk menunjang aktivitas penangkapan di laut. Data jumlah
armada penangkapan untuk tahun 2004 tidak tersedia karena hilang saat tsunami.
31 Sumber: DKP NAD 2010; data diolah kembali
Gambar 2 Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008.
2 Alat tangkap
Kegiatan usaha penangkapan yang banyak dilakukan oleh nelayan yang ada di Kota Banda Aceh adalah penangkapan dengan menggunakan alat tangkap
pukat cincin purse seine, rawai, jaring insang gillnets, dan pancing. Menurut data dari DKP NAD 2010 terlihat bahwa pada tahun 2008 jumlah alat tangkap
purse seine di Kota Banda Aceh mencapai 90 unit, jaring klitik berjumlah 19 unit, jaring insang tetap berjumlah 60 unit, rawai tuna berjumlah 10 unit dan pancing
berjumlah 35 unit Tabel 7. Alat tangkap yang paling dominan digunakan pada tahun 2008 adalah alat tangkap purse seine, yang diikuti dengan jaring insang
tetap sebagai kedua terbanyak, sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah rawai tuna.
Perkembangan jumlah alat tangkap yang terdapat di Kota Banda Aceh dari tahun 2004-2008 mengalami fluktuasi Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 dapat
dilihat bahwa alat tangkap jaring klitik pada tahun 2007 tidak digunakan lagi, namun tahun 2008 mulai digunakan kembali dan mengalami peningkatan
sebanyak 19 unit. Alat tangkap jaring insang tetap dan rawai tuna tidak digunakan sejak 2 tahun berturut-turut sejak tahun 2006 sampai tahun 2007,
namun pada tahun 2008 mulai dioperasikan kembali, bahkan untuk alat tangkap
32
jaring insang tetap mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu langsung meningkat dengan dioperasikan sebanyak 60 unit. Alat tangkap pancing ulur
terlihat pada Tabel 4 bahwa terjadi penurunan yang cukup drastis untuk jumlahnya yaitu dari 168 unit pada tahun 2005 dan mulai menurun hingga
berjumlah 25 unit pada tahun 2006 dan 2007 serta sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga berjumlah 35 unit. Diduga alasan nelayan memilih alat
tangkap lain disebabkan biaya operasional alat tangkap yang sebelumnya lebih mahal dibandingkan alat tangkap yang baru, jumlah produksi hasil tangkapan alat
tangkap yang sebelumnya mulai menurun, atau bisa dikarenakan teknologi alat tangkap baru yang lebih baik dan lebih efektif.
Tabel 7 juga menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan alat tangkap pada tahun 2004-2008 cenderung mengalami penurunan. Tahun 2006, jumlah alat
tangkap mengalami penurunan sebesar 49 dan terus menurun sebesar 14 pada tahun 2007, namun tahun 2008 jumlah keseluruhan alat tangkap kembali
meningkat sebesar 46. Tabel 7 Jumlah alat tangkap dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun
2004-2008
Jenis alat tangkap Tahun unit
2004 2005 2006 2007 2008 Purse seine
... 34
90 90 90
Jaring klitik
... ...
19 ... 19
Jaring insang tetap
... 13
... ... 60
Rawai tuna
... 48
... ... 10
Pancing ulur
... 168
25 25 35
Jumlah unit
-
263 134
115 214 Pertumbuhan
- -
-49 -14 46
Rata-rata per tahun unit
145
Kisaran unit
13 – 168
Keterangan: ... = data tidak tersedia Sumber: DKP NAD 2010; data diolah kembali
Gambar 3 menunjukkan bahwa perkembangan alat tangkap pancing ulur dari tahun 2004-2008 menurun drastis, sedangkan purse seine cenderung tetap
atau tidak mengalami perubahan. Alat tangkap jaring klitik, jaring insang tetap, dan rawai tuna selama 5 tahun terakhir 2004-2008 cenderung fluktuatif.
33 Sumber: DKP NAD 2010; data diolah kembali
Gambar 3 Grafik perkembangan jumlah alat tangkap berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008.
Dibandingkan dari alat tangkap lainnya yang terdapat di Kota Banda Aceh, jumlah yang paling dominan digunakan adalah purse seine pukat cincin
yaitu 42, lalu yang kedua terbanyak adalah jaring insang tetap sebesar 28 dan yang paling sedikit digunakan adalah rawai tuna sebesar 5 Gambar 4.
Sumber: DKP NAD 2010; data diolah kembali
Gambar 4 Diagram komposisi jumlah alat tangkap di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008.
34
3 Nelayan
Dalam menjalankan suatu usaha penangkapan ikan terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi yaitu kapal, alat tangkap, dan nelayan. Nelayan adalah seseorang
yang bekerja setengah hari atau sehari penuh untuk menangkap ikan. Berdasarkan waktu tersebut nelayan dibagi atas beberapa kategori yaitu:
1 Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktunya digunakan untuk
bekerja menangkap ikan; 2
Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang pekerjaan utamanya digunakan untuk menangkap ikan, namun hanya setengah hari, sebagian waktu lainnya
digunakan untuk bekerja yang lain; dan 3
Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang pekerjaan sampingannya digunakan untuk menangkap ikan, namun hanya setengah hari, sebagian waktu
lainnya digunakan untuk melakukan pekerjaan utama. Jumlah nelayan di Kota Banda Aceh pada tahun 2007 sebanyak 1.370
orang dan meningkat 4,3 atau sebanyak 1.493 orang pada tahun 2008. Jumlah nelayan pada tahun 2008 tersebut terbagi atas nelayan penuh sebanyak 1.146
orang, nelayan sambilan utama berjumlah 231 orang, dan nelayan sambilan tambahan berjumlah 116 orang. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa
nelayan yang dominan yang terdapat di Kota Banda Aceh adalah jenis nelayan penuh DKP NAD, 2010. Pada tahun 2004-2006 tidak terdapat data mengenai
jumlah nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh sehingga tidak diketahui besarnya peningkatan atau penurunan jumlah nelayan.
4.2.2 Produksi hasil tangkapan
Kota Banda Aceh memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup baik, hal ini dikarenakan perairan Aceh memiliki komoditi atau hasil tangkapan yang
termasuk dalam komoditi ekonomis penting. Situasi daerah Aceh yang semakin kondusif membuat pengembangan usaha perikanan tangkap khususnya di Kota
Banda Aceh semakin membaik. Cukup banyaknya jumlah komoditi ekspor yang terdapat di Kota Banda Aceh akan dapat meningkatkan pendapatan daerah dan
menarik investor untuk menanamkan modalnya di sektor perikanan. Jenis ikan ekonomis penting yang terdapat di Kota Banda Aceh diantaranya adalah tuna,
35
tongkol, cakalang, kembung dan bawal DKP NAD, 2010. Produksi perikanan tangkap Kota Banda Aceh tahun 2008 mencapai 6.136,3 ton dengan nilai produksi
sebesar Rp 83.428.854,00. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kota Banda Aceh
mengalami fluktuasi sejak tahun 2004 sampai tahun 2008. Tahun 2004 produksi hasil tangkapan Kota Banda Aceh adalah 7.203,2 ton dan mengalami penurunan
pada tahun 2005 sebesar 3.980 ton, dan pada tahun 2006 mulai meningkat lagi dengan jumlah produksi 7.213 ton. Namun, tahun 2007 jumlah produksi kembali
menurun yaitu 5.919 ton dan tahun 2008 mengalami peningkatan produksi hingga mencapai 6.136,3 ton Tabel 8.
Berbeda dengan produksi, nilai produksi dari tahun 2004 hingga tahun 2008 cenderung mengalami peningkatan. Dimulai dari tahun 2004 nilai produksi
hasil tangkapan sebesar Rp 51.688.950,00; sementara itu pada tahun 2005 mengalami penurunan dengan nilai produksi Rp 26.943.909,00. Namun, pada
tahun 2006 kembali meningkat hingga tahun 2008 nilai produksi hasil tangkapan yang terdapat di Kota Banda Aceh mencapai Rp 83.428.853,00 Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah produksi pada tahun 2004-2008 cenderung fluktuatif. Tahun 2005 jumlah produksi
menurun 55, dan tahun 2006 jumlah produksi meningkat cukup tajam hingga mencapai 123. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun 18 dan
kembali meningkat pada tahun 2008 sebesar 3,7. Peningkatan jumlah produksi secara signifikan yang terjadi pada tahun 2006 diduga karena adanya penambahan
jumlah armada penangkapan ikan di Kota Banda Aceh. Tabel 8 Volume dan pertumbuhan serta nilai produksi hasil tangkapan di Kota
Banda Aceh tahun 2004-2008
Tahun Produksi
Nilai Produksi Rp Volume ton
Pertumbuhan 2004 7.203,2
- 51.688.950,00
2005 3.223,2 -55
26.943.909,00 2006 7.213,0
123 41.876.376,00
2007 5.919,0 -18
47.955.434,00 2008 6.136,3
3,7 83.428.854,00
Rata- ratatahun
5.938,9 -
50.378.705,00 Kisaran
3.223,2-7.213,0 -55 – 123
26.643.909,00 -83.428.854,00 Sumber: DKP NAD 2010; data diolah kembali
36
4.2.3 Daerah penangkapan ikan
Nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh biasanya melakukan kegiatan penangkapan di Pantai Utara Aceh dan Perairan Barat Sumatera. Nelayan yang
mengoperasikan alat tangkap purse seine biasanya menangkap ikan di perairan sekitar Sabang dan Kabupaten Aceh Barat, sedangkan untuk nelayan yang
mengoperasikan alat tangkap pancing dan jaring insang menangkap ikan di sekitar Perairan Banda Aceh atau Aceh Sigli. Perairan Sabang dan Kabupaten Aceh
Barat adalah area penangkapan jenis ikan karang, pelagis kecil, pelagis besar dan krustacea, sedangkan Perairan Banda Aceh atau Aceh Sigli adalah area
penangkapan jenis ikan pelagis kecil dan demersal DKP NAD, 2010. Dalam pencarian daerah penangkapan ikan, nelayan yang terdapat di Kota
Banda Aceh biasanya hanya mengandalkan pengalaman dan informasi dari nelayan lain dan panglima laot sejenis lembaga adat yang mengatur hukum adat
laut. Tidak ada alat bantu untuk penangkapan seperti fish finder untuk menentukan DPI. Biasanya DPI yang ditentukan nelayan juga berpindah-pindah,
bergantung pada musim ikan, musim puncak biasanya terjadi pada bulan April- Oktober, musim sedangbiasa pada bulan Januari-Desember, sedangkan pada
musim paceklik terjadi pada bulan November. Perbedaan jumlah hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan untuk masing-masing musim tidak mempengaruhi
jumlah trip penangkapan yang dilakukan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan diketahui bahwa nelayan melakukan trip penangkapan dengan jumlah
trip tiap bulannya sekitar 27 kali. Nelayan di Aceh tidak melakukan penangkapan hanya pada hari jumat, hari libur idul fitriidul adha, dan tanggal 26 Desember
untuk memperingati tsunami yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004 silam.
4.2.4 Prasarana perikanan tangkap di Kota Banda Aceh
1 Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan LPPMH
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan staf LPPMH dan
pengamatan di lapangan saat penelitian diketahui bahwa LPPMH yang dinaungi
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Nanggroe Aceh Darussalam adalah suatu lembaga sertifikasi yang berfungsi untuk menguji kualitas hasil tangkapan
yang didaratkan di beberapa pelabuhan perikanan yang ada di Aceh. Lembaga ini
37
didirikan pada tahun 1979, namun baru dioperasikandifungsikan pada tahun 1980. Saat ini gedung LPPMH berada di kompleks PPP Lampulo, tepatnya di
samping kantor UPTD PPP Lampulo.
Menurut DKP NAD 2010, LPPMH termasuk Unit Pelaksana Teknis
Daerah UPTD, dipimpin oleh seorang kepala UPTD yang membawahi beberapa sub bagian yaitu sub bagian tata usaha, seksi pengujian laboratoris, seksi
pengendalian mutu, dan kelompok jabatan fungsional. Selanjutnya DKP NAD menyebutkan bahwa tugas Kepala UPTD antara lain:
1 Memimpin UPTD dalam pelaksanaan tugas yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dari kebijakan pemerintah provinsi;
2 Menetapkan kebijaksanaan teknis dibidang pengendalian, pengawasan, dan
pengujian mutu produk perikanan; 3
Melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas-tugas dalam UPTD;
4 Melaksanakan kerjasama dengan instansi teknis terkait lainnya dan organisasi
lain yang menyangkut dengan bidang Laboratorium PPMHP dalam suatu sistem jaringan laboratorium;
5 Melakukan konsultasi dan koordinasi dalam pelaksanaan tugasnya dengan
pimpinan instansi teknis terkait lainnya yang menyangkut bidang laboratorium; dan
6 Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas.
Dalam pelaksanaan tugas mengenai kebijaksanaan teknis dibidang pengendalian, pengawasan, dan pengujian mutu produk perikanan, LPPMH di
Lampulo mungkin bisa melakukan koordinasi dengan UPTD PPP Lampulo. Dengan adanya koordinasi tersebut diharapkan mutu hasil tangkapan dapat lebih
ditingkatkan sehingga nelayan bisa menetapkan harga jual yang lebih mahal dan bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar, apalagi hasil tangkapan yang
didaratkan di PPP Lampulo termasuk yang memiliki tingkat kesegaran yang cukup baik. Selain itu, koordinasi antara kepala UPTD LPPMH dengan sub
bagian yang terdapat di LPPMH harus tetap dijalankan dengan baik agar kinerja
38
LPPMH dalam pengawasan mutu hasil perikanan dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan koordinasi penyusunan program kerja UPTD, pengelolaan urusan umum, perlengkapan,
keuangan, kepegawaian, pelaporan, dan hubungan masyarakat serta perpustakaan maupun pelayanan administrasi di lingkungan UPTD. Sub bagian yang sangat
penting di UPTD LPPMH ini adalah seksi pengujian laboratoris dan seksi pengendalian mutu. Adapun tugas dari Seksi Pengujian Laboratoris adalah
melaksanakan pengujian mutu produk secara mikrobiologi, kimiawi, organoleptik dan uji lapang terhadap sanitasi dan hygiene pengambilan contoh uji, sedangkan
Seksi Pengendalian Mutu mempunyai tugas melaksanakan pengendalian dan pengawasan teknik penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Sub bagian yang
terakhir adalah kelompok jabatan fungsional yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis UPTD sesuai dengan bidang keahlian,
kemampuan dan kebutuhan DKP NAD, 2010. Dalam pelaksanaan sertifikasi mutu hasil tangkapan dilakukan beberapa
tahap untuk pengeluaran sertifikat mutu. Adapun prosedur sertifikasi untuk pengujian mutu hasil tangkapan yaitu:
1 Eksportir membuat surat permohonan kepada LPPMH untuk melakukan
pengujian mutu hasil tangkapan yang akan diekspor; 2
Hasil tangkapan yang akan diekspor diuji di laboratorium; 3
Jika hasil tangkapan memiliki kualitasmutu yang layak untuk diekspor maka pihak UPTD LPPMH akan mengeluarkan surat sertifikasi mutu; dan
4 Hasil tangkapan yang sudah terdaftar dan disertifikasi bisa langsung diekspor
ke luar negeri. Berdasarkan wawancara dengan salah satu staf LPPMH diketahui bahwa
hasil tangkapan yang diuji kualitasnya di laboratorium ini adalah hasil tangkapan jenis ekonomis penting seperti tuna, cakalang dan udang yang ditujukan untuk
ekspor ke luar negeri. Namun saat ini, hasil tangkapan yang diuji kualitasnya hanya jenis udang yang berasal dari PPP Idi Aceh Timur yang biasanya akan
diekspor ke Jepang, sementara hasil tangkapan lainnya seperti tuna atau cakalang tidak diujikan di laboratorium ini. Ikan tuna biasanya didistribusikan ke Medan
39
dan diuji kualitasnya di Medan. Hal ini dikarenakan ikan tuna bukan menjadi hasil tangkapan dominan yang didaratkan di pelabuhan perikanan di Aceh. Selain
itu, belum adanya eksportir di Aceh sehingga dikhawatirkan pemasaran tuna tidak bisa berjalan dengan lancar.
4.3 Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Lampulo