Hubungan ABRI dalam Golkar

48 mendatangi difusi kedalam tubuh PPP. Pemerintah akan memberikan restu kepada para pemimpin yang akomodatif terhadap pemerintah orde baru. 47 Rekonstruksi partai politik berhasil dilakukan, dari sembilan partai politik menjadi dua partai baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Demokrasi Indonesia PDI. Empat partai Islam yaitu NU, Parmusi, Partai Syarikat Islam dan Persatuan Tarbiyah Islam Indonesia difusi ke dalam PPP. Sedangkan lima partai lainnya, yakni PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik melebur kedalam PDI. 48

2.3.4 Hubungan ABRI dalam Golkar

Pada dasarnya partai politik tiidak hanya merasa dirugikan dengan adanya UU Partai Politik dan Golkar tersebut, tetapi dengan adanya restruktur tersebut juga membawa masaalah di internal partai. Jika sebelum difusi masing-masing partai bertikai antar partai, namun setelah itu menjadi konflik internal. Hal ini disebabkan berbedanya kepentingan-kepentingan masing-masing dan ideologi. Struktur politik yang terbangun di masa orde baru dapat dikatakan bahwa hubungan ABRI dan Golkar tak terpisahkan. Hali in dapat dipahami kkarena ABRI lah yang membidani lahirnya Golkar. ABRI dan Golkar dapar diibaratkan sebagai mesin pelanggeng kekuasaan Orde Baru. ABRI sebgai mesin politik untuk 47 Syamsudin Haris, PPP dan politik orde baru, grasindo, jakarta 1991. Hal 4-6 48 Arif Yulianto. Opcit Hal 285 49 melakukan represif dan intimidasi, sedangkan Golkar merupakan mesin politik melalui pemilihan umum. Kesuksesan yang diraih Golkar dalam pemilu merupakan kesuksesan yang berhasil dilakukan ABRI dalam mempertahankan kekuasaan. Peran ABRI pada Munas I Golkar tahun 1973 sangatlah besar baik sebagai alat pengamanan, juga sebgai alat dukungan politis untuk menegakkan kewibawaan Golkar di mata partai-partai lain. Dukungan lain juga diberikan dalam hal yang bersifat kelembagaan, yakni dengan terintegrasinya seluruh keluarga besar ABRI KBA kedalam jajaran pendukung utama Golkar dalam setiap Pemilu. Bahkan, erat hubungannya tercermin dari jumlah perwira aktif yang duduk di jajaran kepengurusan Golkar. 49 Struktur organisasi Golkar dalam Munas I juga mengalami perubahan, selain menetapkan Munas sebagai lembaga pembuat keputusan yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali dan menetapkan Dewan Pimpinan sebagai Badan Eksekutif. Dewan Pada Munas I Golkar di Surabaya, 4-9 september 1973, ABRI mampu menempatkan perwira aktif kedalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu hampir seluruh daerah tingkat I dan tingkat II jabatan ketua Golkar selalu dipegang oleh ABRI yang masih aktif. Untuk daerah tingkat II rata-rata mereka berpangkat perwira menengah setingkat kolonel, sedangkan untuk tingkat I mereka berpangkat perwira tinggi bintang satu. 49 Ibid hal 310 50 Pimpinan terdiri atas Dewan Pimpinan Pusat DPP dan Dewan Pimpinan Daerah DPD Tingkat I dan II. Setiap pimpinan dilengkapi dengan satu Dewan Pembina dipimpin oleh militer. Menjelang menjelang akhir tahun Munas II 1978, dilaporkan bahwa komandan militer daerah secara otomatis menjadi Ketua Dewan Pembina Daerah. 50 Pada waktu Jenderal M. Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI, mulai adanya upaya penataan ulang tentang jarak hubungan antara militer dengan Golkar. Pada Munas Golkar di Denpasar 1978, disetujui keputusan penting tentang ABRI yang masih aktif dilarang untuk menjadi pengurus Golkar, bahkan purnawiran harus menunggu sepuluh tahun untuk menjadi pengurus DPP Golkar dan juga Dewan Pembina di tingkat Provinsi dan kabupaten diganti dengan kepala wilayah masing- masing. Jika dicermati lebih dalam, kebijakan tersebut sebagai upaya meredam sejumlah kritikan yang muncul tentang besar intervensi militer terhadap sipil. Tidak hanya dominasi dikepengurusan DPP Golkar, tetapi juga menajdi sumber finansial bagi Golkar. Dukungan militer terhadap Golkar juga tercermin dalam banyaknya penggunaan kekerasan politik oleh aparat militer pada masyarakat dalam berbagai pelaksanaan pemilu dan gerakan-gerakan yang dianggap separatis seperti PKI. 51 50 Leo Suryadinata, Opcit hal 56. 51 Ikrar Nusa Bhakti. Opcit hal 173 51 Namun pada Munas II 1978, Golkar kembali mengadakan perubahan struktur organisasi. Jabatan Pembina Utama dan Pembina Kedua yang dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden dihapuskan. Hanya Dewan Pembina Pusat yang dipertahankan dan Soerharto dipilih sebagai Ketua Badan Pembina yang berhak untuk membekukan anggota dan pengurus. Kebijaksanaa ini dianggap sebagai awal sentralistik kekuasaan Golkar di tangan Soeharto. Struktur baru juga membentuk Dewan Pemimpin Harian yang terdiri sebelas orang dan tetap diketuai oleh militer yaitu Jenderal M. panggabean. 52 Meskipun Golkar telah mengalami kemajuan yang pesat dalam perolehan suara dalam pemilu maupun dalam keorganisasi, namun dengan seperti itu juga tidak memuaskan dahaga Golkar. Peningkatan simbol keagamaan dan primordial yang berlangsung tahun 1982, menjadikan golkar harus berhitung dengan cermat untuk mempertimbangkan kedua hal tersebut. Ketakutan akan ancaman menguatnya simbol-simbol islam berakibat pada akan menurunnya perolehan suara, untuk ini pemerintah melakukan persiapan secara komprehensif untuk konsolidasi sistem politik melalui pengesahan UU Pertahanan Keamanan 1982 dan Lima Paket RUU Politik. 53 Dalam Munas III, ada perubahan penting dalam anggaran dasar yaitu: pertama, Pasal 3 AD yang menyatakan bahwa Golkar adalah kekuatan sosial politik 52 Kompas, 27 Oktober 1978, sebagaimana yang dikutip Ikrar Nusa Bhakti hal 174 53 Arif Yulianto, Opcit hal 315 52 yang merekrut sekelompok kader dari setiap tingkatan tanpa memperhatikan latarbelakang sosial, kesukuan ataupun keyakinan agama, sejauh mereka setia pada ideologi negara, Pancasila dan program pembangunan. Kedua, Pasal 6 AD menyatakan bahwa Golkar akan semakin meningkatkan kerja sama dengan ABRI, terutama dalam hal dwifungsi, demi terwujudnya persatuan antara ABRI dan rakyat. Ketiga, Pasal 7 menyatakan bahwa Golkar berdasarkan sistem keanggotaan individual anggota Golkar adalah kader-kader bangsa. Dalam hal ini, Untuk pertama kalinya komposisi di DPP di dominasi oleh kalangan sipil tetapi ini buakanlah kemenangan sipil. 54 54 Ikrar Nusa Bhakti, Opcit hal 179 Dominasi sipil dalam kepengurusan pusat hanyalah strategi atas isu yang banyak berkembang bahwa militer terlalu banyak intervensi, sikap itu tercermin dari pemilihan umum 1987. ABRI berusaha tampil sebagai wasit yang lugas, bahkan ada suara dari ABRI yang diam-diam diberikan kepada PDI. Meskipun dukungan ABRI kepada Golkar terkesan setengah hati dalam pemilihan umum 1987 tetap saja Golkar mayoritas dalam pemilu. Hal itu dikarenakan, mesin birokrasi pemerintah masih menjadi tulang punggung kekuatan Golkar. Kedurnya intervensi militer didasarkan pada menurunnya ancaman pada azas tunggal pancasila dan berefek pada berkurangnya juga intimidasi terhadap masyarakat. 53 Mulai merosotnya perolehan suara pada pemilihan umum 1992 menjadikan para anggota ABRI berpikir ulang untuk melepaskan Golkar. Namun pada tahun 1966, Jenderal R. hartono justru secara terbuka menyatakan bahwa ABRI merupakan kader Golkar. Munculnya isu demokratisasi pada waktu itu juga sangat mempengaruhi penampilan Golkar dalam pemilihan umum 1992. Dengan adanya isu yang semakin santer tersebut, maka Golkar mengubah penampilannya dengan memunculkan tokoh yang mengejutkan yaitu terpilihnya Harmoko dalam Munas ke-5 sebagai ketua umum Golkar. 55 Terpilihnya Harmoko juga menimbulkan banyak kritik terutama datang justru dari Keluarga Besar ABRI KBA. Salah satu kritikan muncul dari purnawirawan ABRI yang menduduki jabatan penting di DPR yang menyatakan tidak puas akan terpilihnya Harmoko dikarenakan adanya dugaan aliansi Harmoko-Habibie akan memunculkan kekuatan politik baru. 56 Kehkawaitran ABRI akan bayang-bayang kekalahan Golkar menjadikan ABRI semakin represif untuk melakukan intervensi kepada partai politik diluar Golkar. Salah satu intervensi tersebut terjadi pada PDI yang dipimpin oleh Megawati ditumbangkan melalui insiden berdarah yang dikenal dengan insiden 27 juli. 57 55 Arif yulianto, Opcit hal 321 56 Leo Suryadinata, golkar dan kekuasaan, tempo 13 november 1993 57 Bambang Cipto, Duel Segi Tiga PPP, Golkar, PDI dalam pemilu 1997, Brigraf. Yogjakarta,1997 hal. 115 54 Meskipun Golkar kembali meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum 1997, pemberontakan anti Golkar terjadi di mana-mana. Kemenangan Golkar dan pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden mengundang gelombang protes dari berbagai kalangan. Dengan dalih untuk mengamankan Sidang Umum MPR dan pemilihan presiden, militer melakukan segala cara untuk membendung protes rakyat, termasuk kasus penculikan beberapa aktivis pro-demokratis. 58

2.3.5 Peran ABRI dalam Lembaga Legislatif