Peran politik militer(ABRI)orde baru terhadap depolitisasi politik Islam di Indonesia : Studi hegemoni politik militer orde baru terhadap politik Islam tahun 1967-1990
PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik Islam Tahun 1967-1990)
Oleh
EDHY HARIYANTO 101045222258
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(2)
PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik Islam Tahun 1967-1990)
Oleh
EDHY HARIYANTO 101045222258
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Penulis panjatkan atas
segala rahmat dan karunia-NYA yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, rasul paling mulia dan penutup
para Nabi, serta iringan doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya
yang selalu setia sampai akhir zaman.
Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis
yang merupakan perjalnan kecil dibalik kehidupan, telah penulis telusuri dengan
segala suka dan duka, bahagia bercampur haru mengiringi rasa syukur atas
karunia ini tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati yang paling dalam.
Akhirnya penulis tersadarkan bahwa perjalan dalam menyelesaikan skripsi
ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari, sekecil
apapun pekerjaan yang kita lakukan, apabila kita hadapi dengan penuh
penghayatan dan keikhlasan, maka tak akan menghasilkan kesia-siaan. Dan
seberat apapun pekerjaan bila kita nikmati sebagai tahapan pelajaran hidup yang
harus kita lalui, maka tidak akan terasa sulit sesuatu yang pada awalnya
menantang akan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Kebahagiaan besar bagi penulis adalah dapat menyelesaikan skripsi ini,
dan merupakan karya istimewa yang penulis capai. Untuk itu terimakasih yang tak
terhingga kepada Almarhum Ayahanda yang tercinta dan Ibunda yang tercinta dan
sangat aku sayangi dan cintai yang merupakan pahlawan dalam hidupku, yang
(4)
membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan, baik moril maupun materil
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sepenuhnya penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini
bukan semata-mata atas usaha penulis sendiri. Namun juga karena bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulisa ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
serta staf-stafnya.
2. Bapak Asmawi M.Ag, selaku ketua jurusan Siyasah Syar’iyah, Ibu
Sri Hidayati M.Ag selaku sekretaris jurusan Siyasah Syar’iyah yang
penuh keikhlasan dan kesabaran telah mencurahkan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis dalam masa studi.
3. Bapak Drs. Tabrani Syabirin M.Ag, selaku pembimbing skripsi ini
yang telah dengan tulus dan penuh kesabaran sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
4. Dosen-dosen fakultas Syari’ah yang telah memberikan beberapa
materi, ilmu dan tuntunan serta budi pekertinya semasa kuliah
hingga selesainya skripsi ini.
5. Pimpinan dan karyawan perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Syari’ah, perpustakaan Imparsial,
dan perpustakaan CSIS yang telah memberikan fasilitas terhadap
(5)
6. Sahabat-sahabat dan teman-temanku yang telah memberikan
motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi.
7. Terseleaikannya skripsi ini juga tidak terlepas dari motivasi dan
dorongan dari teman - teman yang tergabung dalam organisasi
primordial mahasiswa daerah Bangka Belitung, PAMALAYU
BABEL (Persatuan Mahasiswa Melayu Kepulauan Bangka
Belitung), Bung Juned, Bung Marbawi, Bung Alfi, Bung Cablak,
Bung Sigit, Bung Imam, dan semuanya.
Hanya kepada merekalah penulis berucap: terimakasih yang tiada taranya,
semoga pengorbanan, dukungan, ilmu, dan kebaikan serta ketulusan dan
keikhlasan mereka dibalas oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di
akhirat.Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna serta tidak lepas dari kesalahan-kesalahan, maka enulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penyusunan
skripsi.
Semoga skripsi ini menjadi petunjuk yang berharga bagi mereka yang
membacanya, dan khususnya bagi penulis sendiri. Akhirnya penulis hanya bisa
berdoa kepada mereka yang sudah membantu dengan tulus semoga jasa dan
kebaikan yang tak ternilai dapat balasan yang lebih dan berlipat ganda dari Allah
SWT. Amin Ya Robbul Alamin.
Ciputat, 20 Februari 2007
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 13
D. Metodelogi Penelitian ... 14
E. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II POTRET POLITIK ISLAM ERA AWAL ORDE BARU DAN 1990 ... 18
A. Pandangan Umat Islam Indonesia Terhadap Politik Kenegaraan Indonesia
... 18 B. Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampaknya Terhadap
Politik Militer
(7)
C. Peranan Politik Islam Masa Awal Orde Baru ... 49
D. Partai Politik Islam Tahun 1970-an ... 52
BAB III ORIENTASI ORDE BARU TERHADAP PEMBANGUNAN INDONESIA ...
57
A. Hubungan Orde Baru dan ABRI ... 57
B. Karakteristik Politik Militer ABRI ... 60
C. Misi Politik Militer ABRI Pada Masa Orde Baru ... 66
BAB IV ABRI DALAM MENATA PERPOLITIKAN NASIONAL ... 70
A. Sejarah Politik Hukum ABRI/TNI ... 70
B. Konsep Dwifungsi ABRI/TNI dan Dampaknya Terhadap Politik Sipil ... ... 91
C. Kegagalan Orde Lama dan Peran ABRI/TNI ... 103
D. Strategi ABRI Dalam Rangka Depolitisasi Politik Islam ... 107
BAB V PENUTUP ... 115
(8)
A. Kesimpulan (Runtuhnya Orde Baru, dengan Indikator-indikator politik militer di akhir Orde Baru)
... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 120
(9)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Setelah terjadi tragedi nasional gerakan tiga puluh September 1965 atau
lebih dikenal dengan G-30S/PKI yang gagal, maka suksesi kepemimpinan
nasional terjadi dalam keadaan tidak normal. Pada tahun 1966 Soeharto menerima
surat perintah 11 Maret 1966 dari presiden Soekarno dan diberi kekuasaan
eksekutif untuk mengamankan keadaan. Hal ini menggambarkan bahwa secara
nonsubstansial Soeharto telah menjadi pemimpin nasional. Tampuk kekuasaan
nasional nonsubstansial yang berada di tangan Soeharto pada tahun 1967 lewat
sidang umum MPRS telah memindahkan seluruh kekuasaan eksekutif kepada
Soeharto, dan secara resmi Soekarno tidak memiliki kekuasaan apapun.1 Pada saat pertama Jenderal Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, hal ini
menandai berakhirnya rezim Orde Lama dan lahirnya rezim baru yaitu Orde Baru.
Pada masa awal kelahirannya, Orde Baru yang diidentikkan dengan
Soeharto sebagai presiden yang berlatar belakang militer telah menyadari bahwa
tugas dari kaum militer bukanlah untuk membuat kebijakan-kebijakan
perekonomian.2 Dia mempercayakan pembuatan kebijakan ekonomi tersebut kepada orang-orang sipil, khususnya kepada sekelompok ahli ekonomi dari
Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro. Hal ini
1
Eep Saefulloh Fatah, Agenda – Agenda Besar Demokratisasi Psca Orde Baru,
(Bandung: Mizan), cet.I, h.163 2
Noor Azmah Hidayah, Millah Jurnal Studi Agama, ( Yogyakarta: Magister Studi Islam UII), vol.IV,h.49
(10)
ditandai dengan pengiriman beberapa orang dari kelompok ini oleh presiden
Soeharto ke Universitas California-Berkeley untuk mengikuti pelatihan yang
berkenaan dengan upaya stabilitas ekonomi dalam negeri, di samping bantuan dari
sebuah perutusan dana moneter internasional yang dikirim ke Jakarta untuk
pertama kalinya memperjelas posisi hutang luar negeri Indonesia.
Ciri terpenting bentuk daripada perpolitikan yang dijalankan oleh Orde Baru
pada masa awal terbentuknya rezim ini tahun 1967-1990 adalah dominannya
peran politik militer melalui penerapan ideologi “dwifungsi ABRI” sehingga
mensubordinasikan kekuatan politik lain secara relatif penuh. Sekalipun secara de
facto ”dwifungsi ABRI” telah dijalankan bersamaan dengan sejarah awal
terbentuknya republik, namun perumusan dwifungsi ABRI sebagai sebuah
konsepsi dan ideologi politik baru terjadi pada dekade 1950-an.3
Dalam pidatonya A.H. Nasution pada saat dies natalis Akademi Militer
Nasional di Magelang, 11 Nopember 1958 mengintrodusir konsepsi “jalan tengah
“tentang posisi dan peran militer di Indonesia.4 A.H. Nasution tidak menginginkan ABRI dalam posisi dan peran militer model negara Barat yang
hanya menjadi kekuatan HANKAM (Pertahanan dan Keamanan), dan tidak pula
dalam posisi militer model negara-negara junta militer sebagai diktator. Menurut
Nasution, ABRI harus mengambil posisi “jalan tengah” yaitu dengan menjalankan
3
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah Dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya 2000 ),cet I Edisi II, hal.135
4
(11)
fungsi sosial politik lain sambil tetap menghindari terbentuknya dominasi politik
militer atas sipil.5
Namun dalam perkembangan politik kemudian, konsepsi jalan tengah
Nasution diberi baju baru oleh rezim Orde Baru dipenghujung tahun 1960-an,
setelah Soeharto menjabat sebagai presiden RI. Baju baru itu, berupa konsep “
dwifungsi ABRI “ yang dihasilkan melalui seminar AD II ditahun 1966
melegitimasikan tidak saja peran politik militer terbatas, melainkan dalam
prakteknya sebuah kekuasaan politik yang sangat luas.6
Dilihat dari sisi pertarungan pemikiran politik, ideologi dwifungsi ABRI
yang kemudian disosialisasikan dan dimapankan dalam praktek politik Orde Baru
adalah hasil pertarungan antar tiga versi pemikiran tentang peranan militer dalam
politik yang berkembang diawal kelahiran Orde Baru, yaitu: versi Soeharto – Ali
Murtopo, versi A. H. Nasution, dan juga versi Mohammad Hatta. Soeharto
sebagai presiden dan Ali Murtopo menginginkan peran militer yang besar untuk
melakukan stabilisasi kehidupan politik. Nasution juga menginginkan peran
militer yang besar, namun kemudian segera dikurangi dari waktu ke waktu sejalan
dengan berkurangnya tingkat krisis sosial, ekonomi dan politik warisan Orde
Lama. Berbeda dengan keduanya, Hatta malah menyarankan militer untuk
kembali ke tangsi atau barak untuk membuka jalan bagi Orde Baru merealisasikan
janji-janji demokratisasi dan keadilan sosialnya.7
5
A.H.Nasution, Kekarjaan ABRI ( Jakarta : Seruling Mas,1971),cet. I, hal.19 6
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional , hal.136
7
(12)
Maka, dwifungsi ABRI dalam persepsi penguasa Orde Baru adalah
melibatkan militer dalam proses politik dan pemerintahan baik di tingkat lokal
maupun nasional secara luas. Elemen-elemen yang terlibat dalam proses politik
dan pemerintahan, seperti birokrasi, partai politik, parlemen, dan badan eksekutif
secara umum, hampir tidak ada satu pun yang steril dari penetrasi militer.8 Setelah terjadinya perdebatan antara ke tiga versi pemikiran di atas mengenai peran dan
fungsi militer dalam politik nasional, maka pada akhirnya versi Soeharto - Ali
Murtopo yang diterima untuk diterapkan. Ali Murtopo merupakan seorang
intelektual militer yang sangat anti dengan Islam. Ali Murtopo ketika itu
memangku jabatan sebagai komandan Intelijen yang merekayasa tentang politik
Islam.9 Dengan demikian, diterimanya versi Soeharto dan Ali Murtopo yang sangat Islamifobia (anti dengan gerakan Islam politik dan memusuhi Islam), dan
tergesernya versi Nasution dan Hatta, tidak saja menyebabkan Nasution harus
terdepak dari lingkaran kekuasaan dan dibatasi peranannya dalam pemerintahan
Soeharto, namun lebih jauh lagi berimplikasi terhadap keterbukaan jalan bagi
akumulasi kekuasaan ekonomi dan politik militer dan jalan untuk mereduksi dan
bahkan melenyapkan peran dan aktivitas politik Islam dari arena perpolitikan di
Indonesia. Budaya politik Orde Baru dengan jargon politiknya ideologi
“Depelopmentalisme “atau ideologi paham pembangunan ekonomi nasional yang
digagas dan dikembangkannya, kemudian dijadikan sebagai instrumen legitimasi
rezim. Ideologi yang dikonsepsikan oleh Orde Baru pada saat itu melalui sebuah
8
Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrsi Ala Orde Baru, Masalah Dan Masa Depan demokrasi Terpimpin Konstitusional, hal. 136
9
S. Yusnanto, et al, Gerakan Militan Islam (Jakarta: The Ridep Institute, 2003), cet. II, hal 8
(13)
langkah rekayasa politik, karena dengan rekayasa politik tersebut Orde Baru
menyakini dapat menciptakan stabilitas politik nasional. Dan dengan demikian
ideologi yang telah dikonsepsikannya dapat diterapkan. Dalam langkah
penerapan ideologi inilah Orde Baru pada akhirnya mewajibkan pengamalan
Pancasila secara mutlak dalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Cara ini
merupakan salah satu langkah Orde Baru untuk merealisasikan gagasan-gagasan
yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Orde Baru beralasan bahwa
pembangunan ini tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya kestabilan politik.
Sebab itu kestabilan merupakan syarat mutlak yang harus ada. Masa demokrasi
liberal dan masa demokrasi terpimpin telah membuktikan kegagalannya dalam
pembangunan yang disebabkan tidak adanya kestabilan politik atau keadaan
negara yang dipenuhi oleh kegiatan politik yang banyak ditandai oleh perdebatan
ideologis yang tidak habis-habisnya serta perebutan kursi dan jabatan antar
kelompok elit bangsa, sehingga energi pemerintah tercurahkan hanya untuk
mengurusi masalah-masalah yang dapat menghambat pembangunan.
Pada masa awal Orde Baru dengan diterapkan konsep Soeharto dan Ali
Murtopo tentang dwifungsi ABRI berdampak terhadap timbulnya perasaan dan
pikiran bahwa keterlibatan Islam dalam politik praktis cenderung mengganggu
kestabilan politik. Orde Baru dengan konsep dwifungsinya yang dijalankan oleh
ABRI telah menganggap bahwa gerakan Islam politik yang dijalankan oleh
kelompok aktivis politik Islam yang ketika itu diwakili oleh Masyumi sebagai
gerakan ekstrem kanan. ABRI pada saat itu telah menggap bahwa Masyumi sama
(14)
akan menindak tegas setiap individu atau kelompok yang menyimpang dari
Pancasila dan UUD 45.10 Ini dibuktikan dengan pernyataan ABRI ketika pada tanggal 21 Desember 1966 dalam pertemuan komandan militer wilayah ABRI,
yang dipimpin oleh Jenderal Panggabean, seorang Katolik yang taat, bahwa
pembentukan politik Islam yang terorganisasi akan menjadi tantangan terhadap
rezim baru dan kepemimpinan militer. Sikap ini juga berakar dari antagonisme
budaya masa lalu antara santri dan abangan, karena kebanyakan pejabat tinggi
pada waktu itu berkultur abangan sekuler.11 Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa Soeharto yang juga ditopang oleh ABRI tidak menyukai pengorganisasian
kembali politisasi Islam. Usaha menghidupkan atau memformulasikan kembali
agama Islam sebagai sebuah alat gerakan politik, seperti pada masa Orde Lama,
dimana Islam oleh kelompok politik tertentu telah dijadikan sebagai sebuah
ideologi untuk kepentingan politik mereka, dan itu oleh Orde Baru telah
dipersamakan dengan radikalisme Islam. Ali Murtopo yang Islamfobia ini
diangkat oleh Soeharto sebagai salah satu dari dua belas perwira staf pribadi
Soeharto, sebagai pembantu politik kepercayaannya. Dalam menjalankan tugas
dan perannya Ali Murtopo yang Islam fobia bersekutu dengan kelompok Katolik
dan tokoh Jawa. Tidak mengherankan jika kebijakan politik pada awal
pemerintahan Orde Baru banyak merugikan kaum muslimin, karena kelompok Ali
Murtopo yang memegang kendali pemerintahan didominasi orang-orang yang
cenderung memusuhi Islam. Dalam pikiran kelompok ini, Islam merupakan
potensi yang amat membahayakan apabila diberi kesempatan untuk terlibat di
10
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik; Era Orde Baru ( Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu 2001), cet. I, hal.36
11
(15)
dalam membuat dan mengatur kebijakan pemerintahan negara. Menurut asumsi
mereka, Islam itu identik dengan “ Darul Islam “ atau negara Islam dengan
hukum Islamnya. Sehingga mereka cenderung untuk menghancurkan dan
melenyapkan peran politik Islam.
Oleh karena itu pandangan yang dimiliki Orde Baru mengenai politik Islam
adalah pandangan yang menganggap Islam tidak lebih dari sebuah agama dalam
pengertian ibadah yang sempit dan soal-soal kemasyarakatan yang tidak bersifat
politik praktis.12
Orde Baru pada tahun 1973 dalam rangka menciptakan stabilitas politik dan
kehidupan masyarakat telah menetapkan beberapa kebijakan yaitu pemerintah
pada tahun 1973 telah memutuskan untuk melakukan restrukturisasi sistem
kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh partai politik, kecuali
Golkar harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai Islam; NU,
Parmusi, PSII dan Perti digabung dalam partai baru yaitu PPP (Partai Persatuan
Pembangunan ), yang tidak mencantumkan kata-kata Islam, baik dalam namanya
maupun dalam asasnya. Sedangkan lima partai lain yang berlatar belakang
nasionalis ( PNI, IPKI dan Murba ), Parkindo dan Katolik digabung dalam Partai
Demokrasi Indonesia ( PDI ). Dan pada tahun 1985 pemerintah memberlakukan
asas tunggal Pancasila untuk seluruh partai politik dan organisasi massa. Setelah
Pancasila dikukuhkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan politik dan
kemasyarakatan, tentu tidak boleh ada lagi perdebatan ideologi kenegaraan dan
kemasyarakatan, karena semua rakyat dan bangsa Indonesia, melalui MPR, telah
12
Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia, ( Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti 1991),cet.I hal.80
(16)
menyatakan kebulatan tekadnya untuk menganggap Pancasila sebagai
satu-satunya asas dalam kehidupan kenegaraan, politik dan kemasyarakatan.
Langkah-langkah dan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh
aktor-aktor politik Orde Baru tersebut merupakan sebuah langkah atau kebijakan dalam
rangka Orde Baru untuk melenyapkan peran dan aksi kelompok politik Islam atau
yang disebut dengan depolitisasi politik Islam. Oleh karena itu depolitisasi politik
Islam berarti sebuah usaha dan kegiatan yang diorganisasikan secara sistemik dan
prosedural oleh ABRI sebagai aktor utama Orde Baru untuk melenyapkan dan
menyingkirkan formalisasi ideologi Islam dari kehidupan panggung politik
nasional.
Peranan dan pengaruh presiden Soeharto yang berlatar belakang militer dan
di topang oleh ABRI sebagai penyokong utama penyelenggaraan kekuasaan yang
sangat besar dan tak terbatas atau suatu kekuasaan yang telah menjelma menjadi
suatu kekuasaan absolut atau otoriter. Dengan berbagai kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh Orde Baru dari masa awal kekuasaannya hingga tahun 1990
yang ABRI sebagai pilar utamanya telah memainkan peranan yang sangat besar
dalam menyingkirkan Islam sebagai gerakan politik atau golongan Islam politik
tidak akan mendapat tempat lagi untuk hidup dan bernapas dalam suatu alam di
mana Pancasila telah dikukuhkan sebagai satu-satunya sumber kehidupan sosial
dan politik di negara Indonesia.13
Pergantian rezim kekuasaan pemerintahan baru membuat kalangan
pemimpin dan aktivis politik Islam menaruh harapan yang sangat besar untuk
13
(17)
memainkan peran politik mereka. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan
pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama demokrasi terpimpin
benar-benar disudutkan oleh presiden Soekarno. Ini dikarenakan mereka merasa
menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok
fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosio-keagamaan dan sebagainya ) yang
telah behasil menghancurkan PKI dan menjatuhkn rezim Soekarno, dan mereka
sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik
nasional.
Sejarah politik Islam di Indonesia sejak dulu memang sering dipakai
hanya sebagai instrumen atau alat oleh kekuasaan pemerintahan. Harapan umat
Islam untuk politik keislamannya ternyata membuat umat Islam harus gigit jari
dan kembali bergumul seperti pergumulannya dimasa Orde Lama.14
Realita kegagalan politik Islam untuk berkiprah, yaitu dengan ditolaknya
rehabilitasi partai Masyumi oleh rezim Orde Baru pada 17 Mei 1967. Kenyataan
ini dipertegas oleh pernyatan presiden Soeharto, bahwa “ militer tidak menyetujui
rehabilitasi kembali partai Masyumi “. Dari pernyataan ini nampak jelas bahwa
kalangan militer masih amat curiga terhadap politik Islam. Seperti dicatat oleh
Harold Crouch, ini terutama amat terasa di kalangan “ perwira – perwira yang
pernah terlibat dalam pertempuran bersenjata melawan Darul Islam dan
pemberontakan pemberontakan regional lainnya yang dilakukan oleh kaum
muslim ”. Dan sebagai ganti dari partai Masyumi pemerintah memberikan izin
untuk mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), hal ini disepakati oleh
14
Al-Chaidar, Reformasi Prematur, Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total (Jakarta: Darul Falah, 1998), cet.I hal.32
(18)
Orde Baru setelah terjadi negosiasi antara aktivis politik Islam dengan pemerintah
Orde Baru. Kesediaan Orde Baru untuk mendirikan partai tersebut, setelah
pemerintah Orde Baru mempertimbangkan bahwa ketiadaan mekanisme politik
untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan
konstituen politik Islam di atas akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih
dalam, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka ke arah ekstrimisme politik
yang lebih membahayakan. Akan tetapi pemberian izin tersebut telah diikuti
dengan pembatasan dan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah terhadap para
mantan aktivis partai Islam Masyumi, kalau tidak , dilarang sama sekali.
Yang lebih penting lagi, obsesi memperoleh kemenangan mutlak di
seluruh wilayah Indonesia telah mengakibatkan rezim Orde Baru, yang
didominasi oleh kelompok militer (ABRI), menggunakan langkah koersif dan
kooptasi untuk mempengaruhi hasil pemilu.15
Berbagai perkembangan setelah pemilu I Orde Baru 1971 hanya
memperbesar rasa frustasi umat Islam. Kekalahan dalam pemilu tidak hanya
tercermin dalam merosotnya wakil Islam di parlemen. Dan ini juga tampak dalam
komposisi kabinet baru pemerinthan Orde Baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh
politik Islam benar-benar mulai dikebiri. Salah satu kasus yang paling jelas
mengindikasikan hal itu, yaitu mulai memudarnya dominasi NU (Nahdatul
Ulama) di Departemen Agama (Depag).
Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengetahui lebih
jauh dan mendalam tentang peran dan pengaruh hegemoni politik militer (ABRI)
15
(19)
serta pandangan militer tahun 1967–1990 terhadap politik Islam di Indonesia.
Bermula dari persoalan dan permasalahan diatas maka penulis bermaksud
menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA “(Studi hegemoni politik militer Orde Baru terhadap politik Islam tahun 1967 – 1990)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Praktek politik militer telah mendominasi panggung perpolitikan
nasional di Indonesia lebih kurang dua dekade. ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) yang pada masa Orde Baru terdiri dari Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian merupakan tulang punggung
penggerak dari sistem pengelolaan dan pengaturan sistem pemerintahan Orde
Baru. Dari ketiga angkatan dan satu dari kepolisian, Angkatan Darat merupakan
aktor atau pelaku utama dalam merekayasa sistem perpolitikan nasional.
Dominasi atau hegemoni kelompok elit militer terhadap panggung politik nasional
berimplikasi terhadap peran politik masyarakat sipil. Dengan permasalahan ini,
penulis akan membatasi pembahasan skripsi ini yaitu tentang peran yang telah
dilakukan oleh politik militer yang merupakan kekuatan nyata (real power) yang
didesain melalui institusi formal sistem pertahanan dan keamanan negara
Indonesia. Pembahasan ini akan ditinjau dari tahun 1967 – 1990. Dan juga akan
menganalisa proses serta peran atau kiprah yang telah dilakukan politik militer
(20)
Dari tema yang penulis ajukan dalam penulisan skripsi ini agar supaya
lebih terarah dan jelas dalam pembahasannya, maka obyek penelitian akan penulis
batasi hanya pada peran politik yang telah dimainkan oleh kelompok militer pada
masa Orde Baru yaitu dari tahun 1967-1990. Dan dampak apa yang telah
ditimbulkan oleh politik militer tersebut terhadap politik Islam, yaitu sebuah
usaha atau gerakan politik untuk menerapkan kembali Islam secara formalistik
sebagai sebuah ideologi politik atau disebut juga Islam politik.
Pembahasan skripsi ini penulis batasi hanya sampai pada tahun 1990
oleh karena penulis melihat kebijakan dan strategi politik pemerintahan Orde Baru
ketika mulai memasuki era 90-an sudah mulai berbalik arah, yaitu pemerintahan
Orde Baru ketika dimulainya dekade 90-an sudah banyak mengakomodir dan
menempatkan tokoh-tokoh muslim di dalam lingkaran kekuasaannya dan pada
waktu yang sama Soeharto juga menyingkirkan tokoh-tokoh militer (ABRI) yang
sudah mulai terlihat sulit untuk dikendalikan oleh Soeharto, dan mencapai
puncaknya ketika presiden Soeharto waktu itu mengizinkan berdirinya ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada tahun 1991 yang dimotori oleh
tokoh muslim kepercayaan Soeharto yaitu B.J.Habibie. Sikap akomodatif presiden
Soeharto terhadap tokoh-tokoh muslim ketika itu berarti menandai berakhirnya
dominasi politik militer Orde Baru dan strategi depolitisasi politik Islam oleh
kelompok militer (ABRI).
Dalam penulisan ini, agar pembahasan skripsi lebih terarah, jelas dan
mudah untuk dipahami penulis akan merumuskan masalah mengenai peran politik
(21)
rangka melakukan depolitisasi politik Islam di Indonesia yang merupakan
kelompok mayoritas.
Untuk lebih rinci dan jelasnya dapat penulis ajukan beberapa pertanyaan
sebagai berikut :
1. Apa peran yang telah dimainkan oleh kelompok politik militer ?
2. Bagaimakah kelompok militer menjalankan peran politiknya
pada masa dua dekade awal Orde Baru ?
3. Bagaimanakah kelompok militer memandang politik Islam yang
diperankan oleh kelompok muslim sebagai mayoritas penduduk ?
4. Bagaimanakah elit politik militer mereduksi dan bahkan
menyingkirkn kelompok politik Islam pada masa dua dekade
awal Orde Baru ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan munculnya berbagai permasalahan yang ada, sehingga tujuan
dan urgensi yang ingin penulis dapatkan dari penelitian ini sebagai berikut :
1. untuk mengetahui ideologi yang diperankan oleh militer
2. untuk mengetahui politik praktis militer dalam pengelolaan
pemerintahan negara
3. untuk mengetahui pandangan kelompok militer terhadap politik
Islam
4. untuk mengetahui politik militer pada dua dekade awal Orde
Baru 1967-1990
(22)
1. manfaat teoritis; hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dibidang ilmu politik,
khususnya yang berkenaan dengan politik militer di Indonesia
era 1967-1990 serta dapat menjadi bahan pertimbangan dan
masukan bagi para pengelola negara ini untuk tidak melibatkan
kalangan militer dalam panggung politik nasional.
2. manfaat praktis; yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dan prinsip kehati-hatian bagi
kalangan politik sipil, khususnya umat Islam di Indonesia untuk
tidak mengulang kembali sejarah kelam panggung politik
nasional masa lalu.
D. Metodelogi Penelitian
Dalam penelitian ini sesuai dengan tema yang penulis pilih, maka
penulis membutuhkan data-data yang berhubungan dengan tema penelitian
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu berdasarkan tema tersebut maka data yang
dibutuhkan yaitu data-data yang berhubungan dengan politik, baik politik militer
maupun politik sipil, khususnya pada masa Orde Baru. Dan juga literatur tentang
ideologi, pembangunan dan literatur tentang politik Islam.
Adapun data-data tersebut penulis dapatkan diantaranya diperpustakaan
utama UIN Jakarta, perpustakaan TNI, LIPI, Imparsial, tulisan berbagai media
yang berhubungan dengan penelitian dan juga diskusi dengan pakar politik militer
(23)
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach), maka
penelitian yang dipakai dan digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Penelitian kepustakaan
Penelitian ini digunakan untuk memperoleh landasan teori yang
dipakai dalam menganalisa data. Dasar-dasar dari teori ini
diperoleh dari mencari dan mengumpulkan serta buku-buku yang
bisa dikategorikan sebagai pustaka primer dan data pustaka
sekunder. Karena bertitik tolak dari penelitian yang bersifat
literer, maka sumber data penulisan skripsi ini sepenuhnya
didasarkan pada riset kepustakaan (library reseach). Artinya
pengumpulan data-data diperoleh dari karya-karya otoritatif
(sumber primer) dan karya-karya yang mendukung relevansi
pembahasan skripsi ini.
Kajian tentang politik militer di Indonesia sebelumnya telah
banyak ditulis oleh ilmuan dan para peneliti di bidang ilmu
politik, beberapa diantaranya karya: Abdoel Fatah
“Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer
1945-2004”, Bahtiar Effendy “Islam dan Negara”, M. Din Syamsuddin
“Islam dan Politik; Era Orde Baru” dan juga Bahtiar Effendy,
“Jalan Tengah Politik Islam;Kaitan Islam, Demokrasi, dan
Negara yang Tidak Mudah”, akan tetapi pembahasan yang
(24)
1990 belum penulis temukan, oleh karena itu penulis melihat
adanya pergeseran politik Orde Baru memasuki era 90-an.
2. Analisis data
setelah diperoleh data dari berbagai sumber (primer dan
sekunder) yang berkaitan dengan objek penelitian maka
selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh
tersebut.
Adapun metode analisis yang akan digunakan dalam penulisan skripsi
ini yaitu bersifat deskriptif analitif, yang mana hal ini dimaksud untuk
menggambarkan objek penelitian secara gamblang dan terperinci dengan cara
mengelaborasi berbagai pendapat atau data yang muncul, demi untuk
menggambarkan sosok dari sebuah objek. Selanjutnya menganalisis secara cermat
konsep maupun metodelogi pemikiran yang dipakai dimana ia menjadi titik tolak
pemikiran itu sendiri.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Jakarta press tahun
2004.
E. Sistematika penulisan
Untuk merealisasikan penulisan karya ilmiah ini, maka penulis
menuangkannya dalam bentuk sistematika penulisan agar memudahkan pembaca
(25)
BAB I.: Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II.: Potret politik Islam era awal Orde Baru dan 1990 yang terdiri dari
pandangan Islam terhadap politik kenegaraan Indonesia, budaya
politik Islam Indonesia dan dampaknya terhadap politik militer,
peran politik Islam masa awal Orde Baru, partai politik Islam tahun
70-an.
BAB III.: Orientasi Orde Baru terhadap pembangunan Indonesia yang terdiri
dari hubungan Orde Baru dan ABRI, karakteristik politik militer
ABRI, misi politik militer ABRI pada Orde Baru.
BAB IV.: ABRI dalam menata perpolitikan nasional terdiri dari sejarah
politik hukum ABRI/TNI, konsep dwifungsi ABRI/TNI dan
dampaknya terhadap politik sipil, kegagalan Orde Lama dan peran
TNI, strategi ABRI dalam depolitisasi politik Islam.
BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran serta beberapa
buku yang dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.
(26)
BAB II
POTRET POLITIK ISLAM ERA AWAL ORDE BARU SAMPAI 1990
A. Pandangan Umat Islam Indonesia Terhadap Politik Kenegaraan Indonesia
Negara Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, secara
kuantitas umat Islam sebagai komponen masyarakat sipil yang terbesar merasa
memiliki hak dan tanggungjawab terhadap perkembangan, pertumbuhan dan
kemajuan bangsa dan negara ini. Hal ini dikarenakan umat Islam telah berperan
besar dalam sejarah kelahiran negara bangsa Indonesia. Islam sebagai sebuah
agama dan Islam sebagi sebuah ajaran telah hadir jauh sebelum wujud negara
Indonesia tampak. Dan ia hadir dalam denyut jantung dari pra embrio sampai
menjadi embrio yang pada akhirnya lahir apa yang disebut dengan bangsa
Indonesia.16 Umat Islam Indonesia bukan hanya hadir sebagai bangsa Indonesia, tapi ia telah banyak melahirkan atau menjadi ibu kandung dari pergerakan
nasional sampai mengantarkan bangsa ini kepintu gerbang kemerdekaan untuk
lepas dari cengkeraman bangsa penjajah dan penindas.
Setelah negara bangsa Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, maka sejak saat itu bangsa
Indonesia memasuki tahapan baru dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara.
Pada tahun-tahun awal pasca revolusi kemerdekaan di negeri yang mayoritas
16
Adi Sasono, dalam pengantar; Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat Nurcholish Madjid-Mohammad Roem, ( Jakarta: Djambatan), hal.XIX
(27)
penduduknya Islam ini diwarnai dengan pergulatan demokrasi yang sangat kental.
Pergulatan tersebut terjadi di antara kelompok-kelompok yang ingin
memperjuangkan ide-ide mereka mengenai bentuk dan ideologi negara bangsa
menurut perspektif kelompok mereka masing-masing.
Perjalanan sejarah politik Indonesia, di mana Islam merupakan bagian
yang tak terpisahkan, juga diwarnai perdebatan ideologis yang justru mengganggu
usaha mereka dalam menegakkan negara demokratis. Perdebatan ideologis
pertama yang terjadi diantara para pendiri bangsa ini, yaitu dalam sidang pertama
BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Proklamasi Kemerdekaan Indonesia), yaitu
ketika para pendiri bangsa ini sedang mempersiapkan “perangkat lunak”
kenegaraan Indonesia.17 Pada kesempatan itu, semangat “formalisasi” hubungan antara Islam dan negara.
Menurut Herbert Feith di dalam buku “Partisipasi dan Partai Politik” yang
disunting oleh Miriam Budiarjo, bahwa konflik perdebatan ideologi telah terjadi
di Indonesia, yaitu sejak bangkitnya nasionalisme modern yang dimulai pada
tahun 1900 dan 1910-an. Faktor perselisihan ideologi ini terjadi di dalam gerakan
tersebut, yaitu perselisihan antara golongan Islam dan komunis pada tahun
1920-an, antara golongan Islam dan nasionalis sekuler pada permulaan tahun 1930-1920-an,
serta antara golongan nasionalis yang pro dan yang anti-Jepang pada tahun
sebelum 1942.18 Setelah proklamasi kemerdekaan, pada saat tokoh-tokoh gerakan nasionalis menjadi tokoh-tokoh pemerintahan, ruang lingkup mereka semakin
17
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam;Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah, (Jakarta: Ushul Press), hal.34
18
Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hal.227
(28)
meluas dan cepat. Mereka mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk
menuangkan ide-ide, ini disebabkan setelah 1945 pertentangan-pertentangan
ideologi semakin meruncing. Sehingga banyak dari kesatuan militer dari republik
muda itu yang berjuang melawan Belanda selama empat tahun berikutnya,
jelas-jelas mempunyai dasar ideologi-sosialis, nasionalis, Islam dan sebagainya.19 Sebagaimana semua partai politik, republik juga harus menghadapi
pemberontakan komunis dan pemberontakan kelompok Islam radikal, seraya tetap
mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk mengetahui bagaimana Umat Islam di Indonesia memandang
hubungan antara agama yang mereka anut, dengan negara sebagai sebuah
organisasi yang harus dikelola untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat. Dari fakta sejarah dapat kita ketahui bahwa,
kondisi bumi nusantara sebelum agama Islam datang sudah berkembang berbagai
kepercayaan, baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun
agama-agama Hindu dan Budha yang berasal dari Asia Selatan. Bahkan percampuran
ajaran pun (sinkretisme) dari berbagai kepercayaan dan agama-agama itu telah
berkembang dengan pesat. Dari keadaan itu dapat diketahui bahwa, bagian dari
masyarakat tertentu telah mencampur adukkan unsur-unsur dari ajaran agama.
Peranan agama dalam kehidupan masyarakat pada masa itu sangat besar
dan sangat mempengaruhi pola dan karakter kehidupan. Dari peninggalan sejarah
19
(29)
dapat diketahui bagaimana suatu agama sangat berperan dalam kehidupan
termasuk pengaruh agama terhadap kekuasaan dan susunan masyarakat.20
Masuknya agama Islam, tidak merubah hubungan agama dengan negara
(kekuasaan). Kerajaan-kerajaan Islam seperti raja-raja terdahulu, kerajaan Islam
sesuai dengan ajaran agama Islam mempergunakan agama sebagai landasan
kekuasaan raja.21 Perkembangan membawa perubahan dan perkembangan baru di kalangan masyarakat Indonesia.
Umat Islam Indonesia seperti umat Islam di negara lainnya, atau bahkan di
negara asal agama Islam itu sendiri, yaitu dunia Arab, memiliki satu pandangan
yang sama, bahwa eksistensi suatu negara adalah satu keniscayaan yang wajib dan
harus ada demi keberlangsungan kehidupan umat manusia. Artinya, mengutip
pendapat Husein Muhammad di dalam buku civic education dan pendidikan
kewargaan, negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan
masyarakat manusia secara bersama-sama. Kata negara telah diterima secara
umum, sebagai pengertian yang menunjukkan sebuah organisasi teritorial suatu
bangsa yang memiliki kedaulatan yang mandiri. Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara juga
sebagai sebuah agensi (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan
gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Ini dikarenakan manusia hidup
didalam suasana kerjasama dan antagonistis (pertentangan). Dan negara adalah
20
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, (Jakarta: CV. Rajawali), hal.36
21
(30)
organisasi yang di dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara
sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.22 Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas, yaitu pertama, mengendalikan dan mengatur
gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lainnya,
supaya tidak antagonistis yang membahayakan. Dan yang kedua,
mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.
Berdasarkan definisi negara di atas, dalam hubungannya dengan umat
manusia yang secara sosial memiliki hak dan tanggung jawab terhadap
pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Maka negara Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, memiliki pandangan yang beraneka ragam dalam
memahami hubungan antara agama dengan negara. Hal ini disebabkan perbedaan
cara memahami dan menginterpretasikan ajaran yang terdapat di dalam agama
Islam itu sendiri. Jadi tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan negara oleh
sebagian umat Islam tidak hanya dipandang sebagai tanggung jawab manusia
sebagai mahluk sosial akan tetapi juga sebagai mahluk Tuhan yang harus
mempertanggung jawabkan kehidupannya di kehidupan akhirat.
Hubungan antara agama dan negara telah menimbulkan perdebatan yang
terus berkelanjutan tidak hanya terjadi di negara Indonesia, namun juga di
negara-negara lainnya di belahan dunia ini. Pada hakekatnya, negara-negara sebagai sebuah
persekutuan hidup manusia secara bersama, merupakan suatu manifestasi dari
22
A.Ubaidillah (et.all), Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press), hal.33
(31)
sifat manusia yaitu sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan mahluk
sosial.23 Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara selain sebagai mahluk sosial, juga merupakan mahluk Tuhan.
Pada dasarnya yang menjadi perdebatan adalah, apakah hal-hal yang
berkaitan dengan negara hanya merupakan suatu manifestasi dari kesepakatan
antara manusia sebagai mahluk sosial, atau hal itu berkaitan dengan manusia
sebagai mahluk Tuhan yang menerima wahyu dan petunjuk dari Tuhan dalam
ajaran-ajaran-Nya. Oleh karena itu dasar ontologis manusia masing-masing sangat
menentukan pemahaman konsep hubungan antara agama dengan negara.24
Pola hubungan antara agama dan negara, pada umumnya terdapat
beberapa konsep menurut beberapa aliran dan paham yang berkembang di
beberapa negara dan termasuk juga di Indonesia.
1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi.
Menurut paham teokrasi bahwa hubungan antara agama dan negara seperti
dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama,
karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman
Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan
atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan dan politik merupakan
manifestasi firman Tuhan. Sistem pemerintahan teokrasi ada yang langsung dan
tidak langsung, menurut paham teokrasi langsung, raja atau kepala negara
memerintah sebagai penjelmaan Tuhan, maka dalam paham teokrasi tidak
23
Ibid, hal.124 24
(32)
langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan adalah raja atau
kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan atau kehendak Tuhan.
2. Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler.
Selain paham teokrasi, terdapat juga paham sekuler dalam praktik
pemerintahan, dalam kaitan hubungan agama dan negara. Menurut paham sekuler
agama dan negara harus dibedakan dan dipisahkan. Dalam negara sekuler, tidak
ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama. Dalam paham sekuler, negara
adalah mutlak urusan manusia dengan manusia lainnya (antroposentris).
Sedangkan agama adalah urusan manusia dengan sang penciptanya ( Tuhan ).
3. Hubungan agama dan negara menurut paham komunis.
Komunisme merupakan suatu paham yang berlandaskan pada filosofi
materialisme dialektis dan materialisme historis. Paham ini dipelopori oleh Karl
Marx. Dalam pandangan paham ini agama sebagai candu masyarakat.
Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam pandangan
ini merupakan suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya
sendiri. Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis
mahluk manusia, dan agama adalah keluhan mahluk tertindas, oleh karena itu
agama harus ditekan bahkan dilarang.
4. Hubungan agama dan negara menurut pandangan Islam
Dalam Islam, hubungn agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup
(33)
Azra, perdebatan ini telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung
hingga dewasa ini.25
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang agama dan
negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan negara (dawlah). Dan adapun menurut Munawir Sjadzali, ada
tiga aliran dalam rangka hubungan agama dan negara. Pertama, aliran yang
menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup
segala-galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu, agama tak dapat dipisahkan
dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya.
Aliran kedua, mengatakan bahwa bahwa Islam tidak ada hubungannya
dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau
pemerintahan. Menurut aliran ini, nabi Muhammad tidak punya misi untuk
mendirikan negara.
Aliran ketiga, berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segala-galanya,
tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan
bermasyarakat, termasuk bernegara. Maka ada dua model hubungan Islam dan
Negara dalam aliran ketiga tersebut, yaitu pertama model hubungan integralistik.
Model hubungan integralistik ini diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana
agama Islam dengan seperangkat ajarannya dan negara merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan lembaga yang menyatu
(integral). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
25
(34)
Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Menurut
model ini hubungan antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling
membutuhkan. Dimana agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini hanya dapat
dilaksanakan jika ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara juga
tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan
terjadi kekacauan dan amoral dalam negara. Menurut Ibnu Taimiyah (tokoh Sunni
salafi terkemuka), bahwa agama dan negara benar-benar berkelindan. Tanpa
kekuasaan yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Sementara itu,
negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.
Hal seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Al-Mawardi. Dalam buku
teori politiknya yang sangat terkenal “al-ahkaamu as-shulthaniyyah” Al-Mawardi
mengungkapkan bahwa “negara dibangun untuk menggantikan tugas kenabian
dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia “.
Dalam menafsirkan politik Islam di Indonesia dapat digunakan beberapa
tinjauan teoritis. Dalam tinjauan teoritis ini, hubungan Islam dan politik di
Indonesia telah memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya
dapat ditelususri ke belakang hingga abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika
pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan
sejarah inilah Islam sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas
sosio-kultural dengan politik setempat.
Upaya teoritisasi politik Islam di Indonesia didasarkan kepada kisah
mengenai kekalahan-kekalahan politik Islam secara formal.26 Upaya teoritisasi
26
(35)
politik Islam Indonesia berkembang menjadi kurang normatif dibandingkan
dengan upaya-upaya serupa di jantung wilayah Islam, baik pada periode klasik
maupun modern. Oleh karena itu, teori mengenai politik Islam Indonesia secara
substantif dibangun diatas landasan-landasan empirik dimana perjumpaan antara
Islam dan politik di kepulauan ini berlangsung.
Dari landasan di atas dapat dikemukakan, bahwa selama empat dekade
upaya-upaya teoritis tersebut, sedikitnya terdapat lima pendekatan teoritis
dominan yang pengaruhnya, hingga tingkat tertentu, masih terasa hingga dewasa
ini.
Pendekatan Dekonfensionalisasi Islam
Pendekatan ini dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze, ia
mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern
Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan
pembangunan bangsa dalam kerangka teori dekonfensionalisasi.27
Dalam teori politik dekonfensionalisasi ini yang dilihat adalah
kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik
Belanda. Situasi sosio-keagamaan Indonesia dimungkinkan dilakukannya studi
kasus perbandingan untuk menguji sejauh mana teori ini bisa diterapkan secara
lintas kultural dan kebangsaan. Indonesia pada periode awal kemerdekaan dapat
dilihat sebagai sebuah arena dengan cukup banyak aktor kuat dengan latar
belakang sosial-keagamaan yang berbeda (misalnya muslim, kristen, nasionalis,
sekularis, modernis, dan ortodoks).
27
(36)
Islam, menurut Cieuwenhuijze, adalah faktor yang dominan dalam
revolusi nasional. Kalangan Islam, dalam interaksi mereka dengan faktor-faktor
lain, rela melepaskan orientasi mereka “ yang formal dan kaku.” Ini, katanya lebih
lanjut, “agar daya panggil mereka mencakup daya jangkauan yang lebih luas, dan
pada saat yang sama tetap ada jaminan bahwa umat Islam mengakui peran yang
telah mereka mainkan”.
Pesan pokok pendekatan teoritis Nieuwenhuijze terhadap politik Islam di
Indonesia modern barangkali adalah keharusannya untuk menampilkan diri dalam
bentuknya yang obyektif, bukan subyektif, dan karenanya tidak “skripturalistik”.
Teori di atas dalam konteksnya merupakan penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip
Islam secara sedemikian rupa, dalam rangka memapankan kembali relevansinya
dengan kehidupan di Indonesia abad ke-20 an, yang lebih penting, di zaman
Indonesia kontemporer.
Pendekatan Domestikasi Islam28
Teori ini sering diasosiasikan dengan karya-karya Harry J.Benda
mengenai Islam di Indonesia. Dalam teori ini salah satu unsur terpenting adalah
perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam dan unsur-unsur non Islam
dalam masyarakat Indonesia.29 Indonesia pada periode pasca kolonial digambarkan sebagai duplikasi ajang pertempuran dimana perebutan kekuasaan
yang terulang kembali antara kalangan Islam dan Jawa tampaknya dimenangkan
kelompok yang terakhir, yaitu” Jawa”. Hal ini tampak dalam rangka tujuan yang
ingin dicapai yaitu: menghilangkan pengaruh “cengkeraman politik” Islam. Jika
28
Ibid, hal. 28 29
(37)
demikian, maka dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia kontemporer telah
didomestikasi secara terus menerus.
Pendekatan Skismatik dan Aliran30
Jika Benda menawarkan analisis mengenai politik Islam di Indonesia
sebagai perebutan kekuasaan terus menerus antara Islam dan Jawa-isme, dimana
yang pertama selalu berhasil dikalahkan, maka teori ini mencoba untuk
menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari
pengelompokan-pengelompokan sosial politik yang berkembang dalam realitas politik di
Indonesia. Dari teori ini politik Indonesia di asumsikan sebagai arena pertarungan
politik antara ortodoksi dan sinkretisme. Teori ini memilah-milah lapisan yang
membentuk masyarakat politik Jawa kedalam “dua kelas religio-ideologis yang
secara logika berbeda satu sama lainn: Jawa (priyayi-abangan) dan Islam.
Menurut Clifford Geertz proses Islamisasi di Indonesia, khususnya pulau
Jawa merupakan proses sinkretisasi antara Islam dan Hinduisme. Pada tahun
1950-an Geertz, mengamati tiga varian kebudayaan Jawa, yaitu priyayi, santri dan
abangan, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, The Religion of Java.
Menurutnya, sub-varian priyayi banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha dan
pandangan mistik Jawa. Sementara sub-varian abangan sangat kental dipengaruhi
animisme Jawa. Hanya sub-varian santri yang lebih murni mempertahankan
ajaran Islam, dan itupun disertai pandangan elemen-elemen Jawa.31
30
Ibid, hal. 31 31
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana), hal.23
(38)
Dalam perkembangan, sub-varian santri dan abangan cenderung
membedakan umat Islam Indonesia menurut orientasi-orientasi keagamaan
mereka. Abangan merupakan kelompok umat Islam yang tidak menjalankan
kewajiban-kewajiban Islam dan masih mempraktikkan unsur-unsur tradisional
tertentu yang berhubungan dengan Hinduisme, Buddhisme dan Animisme.
Sebaliknya, santri adalah muslim yang taat, yang menjalankan
kewajiban-kewajiban Islam dalam kehidupan masyarakat.32 Pendekatan Trikotomi33
Dalam pendekatan ini dirumuskan pertanyaan bagaimanakah para aktivis
politik Islam memberi respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan
kepada mereka oleh kelompok elit penguasa. Dalam pandangan pendukung teori
ini, mereka mengakui obsesi masyarakat politik Islam dengan gagasan negara
Islam.34 Mereka juga menyadari antagonisme politik antara kelompok santri dengan abangan. Terlepas dari itu, mereka tidak otomatis mengasumsikan bahwa
semua aktivis politik Islam memperlihatkan intensitas yang sama sehubungan
dengan agenda negara Islam. Dalam teori ini nampak sekali keragaman dan
kompleksitas politik Islam, dan terdapat tiga pendekatan politik, yaitu
fundamentalis, reformis, dan akomodasionis dalam masyarakat politik Islam.35 Dalam pandangan ketiga kelompok aktivis politik Islam tersebut, Islam
merupakan bagian integral dari batang tubuh politik Islam. Akan tetapi dalam
32
Ibid, hal.24 33
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 40 34
Ibid, hal.40 35
(39)
pandangan mereka mengenai konsep dan ideologi perjuangan umat Islam terdapat
perbedaan yang sangat fundamen. Sejalan dengan konsep kekuasaan, maka tujuan
akhir dari konsep perjuangan politik kelompok fundamentalis, tidak diragukan
lagi, adalah pembentukan negara Islam.36 Sementara itu, bagi kelompok reformis, tujuan akhirnya adalah kemenangan partai-partai Islam secara formal dalam
pemilihan umum. Dengan itu, kesempatan untuk membangun sebuah masyarakat
Islam tidak serta merta harus dengan negara Islam. Sedangkan dalam pandangan
kelompok akomodasionis, bahwa tuntutan ideologis dan politisnya mendapatkan
jaminan-jaminan administratif dan politik.
Menurut Allan Samson dalam bukunya “Conception of Politik, Power, and
Ideology in Contemporary Indonesian Islam”, keragaman respon politik umat
Islam juga menunjukkan berkembangnya pandangan berdimensi ganda umat
Islam mengenai ideologi negara. Bagi kelompok fundamentalis, berbanding lurus
dengan pandangan mereka tentang kekuasaan dan perjuangan umat Islam,
pertarungan demi memperjuangkan ideologi Islam adalah sebuah tuntutan
imperatif. Sebaliknya, kelompok akomodasionis dan reformis bersedia menerima
kompromi ideologis untuk mendapatkan konsesi-konsesi politis tertentu.
Kepemimpinan dua kelompok politik terakhir ini jelas lebih pragmatis. Mereka
bisa bekerja sama dengan kelompok penguasa-penguasa sekular jika hal itu
menguntungkan kelompok-kelompok yang mereka wakili.
Dalam perdebatan mengenai masalah ideologi dan undang-undang dasar
negara, kelompok santri secara politik mengelompokkan diri dalam aliran politik
36
(40)
dengan ideologi yang agamis (Islam), sedangkan kalangan priyayi dan abangan
secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang
sekuler.37 Pada masa sebelum kemerdekaan memang telah terjadi perdebatan-perdebatan antara A.Hasan dan Mohammad Natsir dari kalangan modernis disatu
pihak dengan Soekarno dari kalangan sekuler.
Arti penting dari pendekatan trikotomi ini adalah untuk mendapatkan
gambaran bagaimana umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia dapat
memecahkan permasalahan politik dalam kerangka persoalan yang realistik.
Pendekatan Islam Kultural
Teori terakhir adalah pendekatan Islam kultural, yang dikembangkan oleh
Donald K. Emmerson. Dalam teori ini diupayakan untuk meninjau kembali kaitan
doktrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara.38 Menurutnya, kelompok Islam militan mungkin menganut pandangan bahwa Islam
yang berada di luar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap.
Emmerson juga mengatakan, jika diletakkan dalam perspektif historis dan
empirisnya di Indonesia, maka perumusan teori ini tampaknya dilandaskan kepada
upaya-upaya umat Islam, setelah tahun-tahun kekalahan politis pada sedikitnya
lima bidang: konstitusi, fisik, pemilihan umum, birokrasi, dan simbol untuk
mengerahkan kembali energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi
non-politis dari agama mereka. Hal ini dilakukan adalah untuk menghindari
37
Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern, (Jakarta: Khairul Bayan), hal.47
38
(41)
perseteruan politik dengan golongan lain dan sesama rekan sendiri, dalam rangka
menumbuhkan kesadaran keagamaan dan sosial para pengikutnya.
Yang lebih inheren dari pendekaan ini adalah agar supaya Islam yang
lebih substantif dan simpatik bisa hadir dan lebih memainkan perannya.39 Strategi ini dilakukan dengan cara menerapkan ajaran Islam sebagai kesalehan individu
para pengikutnya dan tidak dengan menonjolkan simbol-simbol yang bersifat
formalistik. Dari upaya ini diharapkan umat Islam dapat mempengaruhi
pemerintah yang bersifat otoriter dan menawarkan konsesi-konsesi yang tidak
merugikan umat Islam.
Dari kelima pendekatan teoritis yang dominan di atas, maka dapat
ditelusuri dan diketahui bagaimana umat Islam Indonesia memandang hubungan
politik dan negara. Umat Islam Indonesia bukan merupakan suatu kelompok umat
Islam yang tunggal dan homogenitas, akan tetapi umat Islam Indonesia
merupakan suatu umat yang sangat beragam dan heterogenitas. Sifat dasar Islam
Indonesia yang heterogenitas ini telah melahirkan pandangan yang berbeda-beda
di dalam umat Islam sendiri mengenai politik kenegaraan Indonesia.
Dengan tidak tunggalnya umat Islam yang ada di wilayah nusantara ini,
maka akan melahirkan pandangan yang berbeda-beda juga mengenai hubungan
politik dan negara. Dan dari lima pendekatan teoritis diatas, maka umat Islam
Indionesia dapat di kelompokkan ke dalam tiga kelompok arus utama dalam
memandang hubungan Islam dan negara.
39
(42)
Tiga arus utama (mainstream) politik Islam di Indonesia pada masa awal
Orde Baru tidak berbeda dengan politik Islam pada masa Orde Lama. Lahirnya
ketiga kelompok arus utama politik Islam di Indonesia juga merupakan hasil
dialektis antara umat Islam dengan sosio-kultural dan politik tertentu di tanah
air.40
Tiga arus utama politik Islam di Indonesia tersebut, yaitu arus Islam
formalistik, arus Islam substantivistik, dan arus Islam fundamendalistik. Arus
yang pertama dimaksudkan untuk mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang
mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal.
Dalam konteks politik mereka menunjukkan orientasi yang cenderung
mempertahankan bentuk-bentuk pra-konsepsi politik Islam, misalnya pentingnya
partai politik Islam yang formal (menggunakan nama Islam), ungkapan,
idiom-idiom, dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama, landasan organisasi secara
konstitusional Islam.41
Formalisme Islam dalam politik dapat dilihat, misalnya pada masa awal
Orde Baru berdiri. Kelompok ini sangat vokal menyerukan dihidupkan kembali
piagam Jakarta, karena menurut mereka umat Islam telah memainkan peran
penting dalam mendirikan rezim Orde Baru. Arus formalistik dan legalistik juga
dapat dilihat dalam orientasi politik para aktivis partai dari kalangan umat Islam,
yang secara historis telah menyakini bahwa partai politik dengan nama Islam
sebagai satu-satunya sarana yang mungkin bagi artikulasi kepentingan politik
orang-orang Islam.
40
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos), hal.151 41
(43)
Orientasi politik formalistik dan legalistik di satu pihak menunjukkan
bahwa kulturisasi Islam harus ditrasformasikan ke dalam politisasi. Dan politisasi
harus memunculkan simbolisme Islam.42 Agenda-agenda para aktivis politik Islam pada masa awal Orde Baru ini menurut sejumlah pengamat menggambarkan
keadaan bahwa ketidakmapuan mereka dalam mensintesakan landasan teologis
dan filosofis dengan realitas sosio-kultural dan politik yang ada.43 Hal ini khususnya berkenaan dengan upaya mereka untuk merumuskan hubungan antara
Islam dan negara yang dapat diterima secara nasional.
Arus yang kedua, yaitu arus yang menekankan keniscayaan adanya
lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk melaksanakan prinsip-prisip Islam
merupakan sifat dasar dari formalisme Islam. Kelompok ini menekankan
pentingnya tingkat makna substansial sambil menolak bentuk-bentuk pemikiran
formalistik.
Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang
menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas
politik, bukan sekedar manifestasinya yang normal, baik dalam ide-ide maupun
kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini, yang lebih penting adalah
eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk
mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan
budaya, menuju terwujudnya masyarakat Indonesia modern.44
42
Ibid, hal.153 43
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.128 44
(44)
Bagi kaum substantivis, bahwa dalam persfektif sejarah, kulturalisasi ini
telah memasuki persaingan antara kekuatan-kekuatan budaya yang beragam di
Indonesia, dan Islam hanya salah satu di antaranya. Agar Islam memenangkan
kompetisi ini, Islamisasi menurut kaum substantivis, mestinya mengambil bentuk
kulturalisasi, bukan politisasi; gerakan-gerakan Islam mestinya menjadi utamanya
gerakan budaya daripada gerakan politik.
Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi budaya telah diperjuangkan
oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis (pemikir yang
menekankan pentingnya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam
memahami Islam), yang berupaya memperhatikan cita-cita Islam bagi budaya
nasional Indonesia, yang membedakannya secara jelas antara Islam dan negara.
Sebagai sebuah strategi baru untuk revitalisasi Islam dengan penuh kesadaran para
pemikir-pemikir indigenis merasa yakin bahwa hanya dengan pendekatan Islam
“kultural” jangka panjanglah yang dapat menetralkan kecurigaan militer sambil
secara perlahan-lahan memperkuat akar Islam dalam kehidupan bangsa secara
keseluruhan.45 Salah seorang pencetus indigenisme adalah Abdurrahman Wahid, tokoh NU yang sejak awal tahun 80-an terkenal karena gagasannya tentang
“pribumisasi Islam” dalam menghadapi kultur masyarakat Indonesia, dimana
Islam hanya berfungsi sebagai salah satu faktor komplementer bagi bangsa
Indonesia secara keseluruhan.
Tapi, sebagaimana yang dikemukakan Fahry Ali dan Bahtiar Effendy,
bahwa pemecahan masalah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid sifatnya
45
Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam Di Era Negara Bangsa, (Yogya: Tiara Wacana), hal.106
(45)
temporal dan hanya bermakna praktis. Idenya Islam sebagai faktor komplementer
bagi kultur Indonesia hanya memberikan “manuver” politik sesaat, dan kemudian
hanya mengarah pada status quo.46 Ini dikarenakan Abdurrahman Wahid, sebagai aktivis dalam gerakan Islam, nampaknya telah menghadapi logika politik
situasional, yaitu pada saat munculnya ide pendirian ICMI (Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia) oleh B.J. Habibie yang telah berhasil merangkul beberapa
orang tokoh dan pemikir Islam. Dengan lantang Abdurrahman Wahid sebagai
ketua NU pada saat itu menolak untuk bergabung meskipun sudah didekati oleh
B.J Habibie, bahkan Abdurrahman menuduh bahwa ICMI sebagai sarang
fundamentalis Islam dan sektarianisme dan fokusnya adalah eksklusivistik dan
elitis daripada pan-Indonesia.47 Menurutnya perjuangan demokrasi dan keadilan dalam sejarah ini seharusnya menerima preseden yang kurang lebih inklusif,
termasuk dari komunitas muslim. Islam seharusnya tidak diidealkan sehingga ia
dianggap sebagai satu-satunya alasan untuk demokrasi, hukum atau keadilan
ekonomi. Sebaliknya Islam digunakan semata-mata sebagai “landasan
inspirasional untuk kerangka nasional tentang masyarakat demokratik”.48 Ide Abdurrahman tersebut dalam bacaan sebagian pemikir Islam ketika itu merupakan
sebuah ide responsif yang kelihatannya bersifat pragmatis, dan belum terbangun
secara utuh. Akan tetapi kritikan Abdurrahman Wahid tersebut sangat direspon
oleh sebagian kelompok militer yang memang sangat membenci Islam. Dan hal
ini sangat disadari oleh Abdurrahman Wahid, karena militer sudah mulai
46 Fahri Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan), hal. 191-192
47
Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, (Yogyakarta: Lkis), hal.23 48
Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam Di Era Negara Bangsa, (Yogya: Tiara Wacana), hal.139
(46)
ditinggalkan oleh Suharto dengan mendirikan ICMI itu adalah sebagai salah satu
jalan untuk mengimbangi penentang-penentangnya di militer, akan tetapi juga
untuk memecah belah gerakan pro-demokrasi berdasarkan garis keagamaan.
Akan tetapi kritikan dan tuduhan Abdurrahman Wahid terhadap ICMI ketika
itu telah ditanggapi oleh sebagian orang-orang yang tergabung di dalam ICMI,
bahwa Abdurrahmanlah yang sebenarnya mengipas-ngipas api sektarianisme dan
bukan mereka.49 Karena Abdurrahman Wahid setelah itu terlihat menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Jenderal L.B Moerdani dengan kelompok pro
demokrasi yang mereka bentuk, seorang jenderal Katolik Jawa yang sangat
membenci Islam. Hal ini menurut mereka berbeda dengan Nurcholish Madjid,
seorang pemikir “non-sektarian” substantivis. Dengan program pembaharuannya,
ia telah berupaya menawarkan kerangka pemikiran yang lebih substansial dan
sistematik.50
Nurcholish Madjid menemukan bahwa, Islam adalah agama fitrah yang
menekankan potensi-potensi yang inheren dalam diri manusia dalam kebebasan
dan kebaikan, Islam adalah agama universal yang mengajarkan cita-cita
kemanusiaan universal, yang mengajarakan inklusivisme, bukan eksklusivisme.51 Pandangan ini didasarkan oleh Nurcholis Madjid dari renungannya atas Islam dan
historisitas umat Islam Indonesia.52 Hakikat Islam yang inklusif ini, menurut Nurcholish Madjid menyatakan bahwa bentuk interrelasi dan interaksi yang
49
Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, hal.23 50
Ibid, hal. 193 51
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Kita, (Jakarta: Univ.Paramadina), hal.40 52
(47)
inklusif mesti ditegakkan oleh umat Islam Indonesia dalam hubungannya dengan
pluralisme masyarakat Indonesia.
Justifikasi filosofis dan historis para pemikir Islam mengenai hubungan
yang serasi antara Islam dan negara telah mendorong mereka melakukan
substansiasi atas bentuk-bentuk yang ada dari lembaga-lembaga politik. Tingkat
substansi dari pengamatan atas masalah-masalah umat Islam mendorong mereka
meluncurkan pengembangan masyarakat lewat kegiatan-kegiatan non-politik,
yang walaupun demikian memiliki implikasi politik. Oleh karena itu mereka
dimasukkan ke dalam mainstream politik substantivistik.
Arus yang ketiga yaitu, arus fundamentalisme yang secara diametral
mainstreamnya bertentangan dengan mainstream arus pertama dan kedua. Pada
arus ketiga ini cenderung untuk mengangkat kembali sendi-sendi Islam ke dalam
realitas politik sekarang. Mainstream ini, pada titik pangkalnya berkeyakinan
bahwa kedua mainstream pertama telah gagal menunjukkan Islam sebagai
keseimbangan tandingan dalam merespon sistem politik Indonesia.
Kemunculan fundamentalisme Islam di Indonesia dipengaruhi oleh faktor
internasional, yakni perkembangan fundamentalisme Islam di dunia Islam, dan
oleh dinamika dialektis internal dalam politik Islam Indonesia itu sendiri.53 Dengan disebabkan ketidakmampuan dan ketidakefektipan
gerakan-gerakan Islam yang mapan di hadapan rezim yang melakukan depolitisasi atas
Islam melahirkan kelompok penentang dalam masyarakat Islam Indonesia.
Kelompok ini bersikap sangat reaksioner dalam menantang penguasa, dan
53
(48)
diantara mereka juga menantang kemapanan Islam dengan menawarkan semacam
alternatif.
Sejarah Islam di Indonesia masa Orde Baru telah menyaksikan
kemunculan sejumlah kelompok sempalan, termasuk Islam Jamaah di Jawa
Timur, kelompok Islam Isa Bugis, Jamaah Tabligh dan Jamaah Tanbih. Selain itu
terdapat pula di kalangan generasi muda Islam lingkaran-lingkaran keluarga
(usrah).54
Bagi kalangan fundamentalisme menjelaskan bahwa, Islam terdiri dari
dasar –dasar yang imperatif untuk “aksi”, suatu ide yang keluar dari karakteristik
transformatif dari Islam dan pembelaannya yang nyata bagi orang-orang “lemah
dan dilemahkan” (mustad’afin). Ide tentang transformatif Islam dikemukakannya
dari elaborasi atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang
menyatakan bahwa misi Islam adalah mentransformasi masyarakat dari kegelapan
menuju terang.
Jika transformasi masyarakat berarti perubahan sosial, maka dapat
disimpulkan bahwa hakikat Islam transformatif menuntut suatu proses perubahan,
apakah itu secara revolusioner ataupun evolusioner. Maka pilihan antara kedua
kemungkinan perubahan ini tidak jelas dalam pemikiran mainstream politik
fundamentalis Islam Indonesia.55
Dan ketiga arus utama politik Islam tersebut masih tetap eksis hingga kini
di bumi nusantara ini. Semuanya menjadi bagian dari nuansa Islam Indonesia, dan
54
Ibid, hal.161 55
(49)
menjadi arus utama dalam memandang pemikiran hubungan antara Islam dan
negara.
B. Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampak terhadap Politik militer Politik Indonesia mencerminkan kompleksitas budaya dari suatu eksistensi
negara kepulauan (nusantara) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang
sangat beragam dalam geografi, bahasa, maupun identitas etnik disatu pihak, dan
dalam status sosial, posisi ekonomi, dan ideologi keagamaan dipihak lain.
Konstruksi fisik negara Indonesia dan sosial masyarakatnya yang sangat
heterogen ini sangat berpengaruh terhadap konstruksi bangsa Indonesia yang
dicita-citakan. Ikatan kebangsaan merupakan salah satu bentuk ikatan sosial,
disamping ikatan keluarga dan ikatan kesukuan.
Sebagai sebuah negara bangsa, kebangsaan Indonesia yang terdapat di
wilayah nusantara ini, dalam pembentukan awalnya sangat dipengaruhi oleh unsur
Islam sebagai agama mayoritas penduduknya.56 Dari realitas sosial, Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, maka dari sebagian elite bangsa
Indonesia menjadikan agama Islam sebagai ideologi perjuangan politiknya, dan
sebagian lagi menjadikan Islam sebagai panduan moral dan etika saja, dan bahkan
sebagian lagi Islam tidak dijadikan sebagai standar apapun di dalam politik
Indonesia.
Umat Islam di Indonesia, walaupun sebagai umat mayoritas negara
Indonesia, akan tetapi bukan merupakan suatu komunitas tunggal (monolitik)
56
Tatang Muttaqin, dkk, Membangun Nasionalisme Baru, (Jakarta: Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga BAPPENAS), hal.27
(50)
dalam pandangan dan budaya politiknya.57 Dari komunitas yang monolitik inilah, maka tercipta budaya politik yang sangat beragam dan kompleks. Budaya politik
di satu sisi dan Islam di sisi yang lain merupakan dua hal yang berkaitan sangat
erat dalam sejarah perjalanan pendirian negara dan bangsa ini.
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang
isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan, yang secara
kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menginterpretasi dan
memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai referensi atau
pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan)
sesuai dengan lingkup yang dihadapinya. Oleh karena itu, budaya merupakan
nilai- nilai dan adat kebiasaan yang terdapat di dalam masyarakat.58 Sedangkan Islam sendiri merupakan suatu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad, rasul
Tuhan dengan ajaran-ajaran yang langsung dari Tuhan untuk disebarkan kepada
seluruh umat manusia.
Kebudayaan lebih dekat dengan ilmu fenomena masyarakat, hal ini
disebabkan karena sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian dari sistem sosial
yang hidup dalam sociosphere yang merupakan bidang penelaahan bidang
sosiologi, antropologi, maupun geografi.59 Maka budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang terlibat di dalam politik kenegaraan secara
langsung dan orientasi para pelakunya terhadap kehidupan politik yang dihayati,
57
Asep Gunawan (ed), Artikulasi Islam Kultural, Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.VIII
58
A.Ubaidillah,dkk, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani,
(Jakarta: IAIN Jakarta Press), hal. 14 59
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo), hal. 24
(1)
________________, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung, Remaja Rosda Karya, cet.I, 2000
Fattah, Abdoel, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, Yoyakarta, LKiS, cet.I, 2005
Feith, Herbert, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin (terj), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet. I, 1995
Gunawan, Asep (ed), Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 2004
Harmain, Bennya K, Konfiurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, ELSAM ,cet. I, 1997
Hefner, W Robert dan Horvatich, Patricia, Islam Di Era Negara Bangsa; Politik dan Agama Muslim Asia Tenggara, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Hefner, W Robert, Islam Pasar Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi,Yogyakarta: Lkis, 2000
Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, Bandung,P.T Remaja Rosda Karya, 1998
Jamhari (ed), Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 2004
(2)
Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Bandung, Sinar Baru Algesindo, cet. VI, 1990
Karim, M. Rusli, Negara Dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet.I, 1999
Kompas, Persoalan Paradigmatis RUU TNI, 16 Agustus 2004
Liddle, R.William, Islam, Politik Dan Modernisasi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet.I, 1997
Liddle,R.William, Pemilu-Pemilu Orde Baru:Pasang Surut Kewenangan Politik, Jakarta,LP3ES
Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta, Univ.Paramadina Jakarta, cet. III, 2004
Marpaung, Rusdi,dkk, Menuju TNI Profesional Tidak Berbisnis Dan Tidak Berpolitik, Jakarta, Imparsial, cet. I, 2005
Mukmin, Hidayat (ed), Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, cet.VII, 1993
Muttaqin, Tatang,et.all, Membangun Nasionalisme Baru, Jakarta, Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, Dan Olah Raga (Bappenas), cet. I, 2006
(3)
Nasution, Abdul Haris, Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini, Djkarta, Prisma, 1980
___________, DwiFungsi ABRI, Djakarta: Seruling Masa, cet.I,1971 ___________, Kekarjaan ABRI, Jakarta, cet.I,1974
___________, Tjatatan-Tjatatan tentang Politik Militer Indonesia, Djakarta, C.V.Pembimbing, cet. I, 1955
Noer, Deliar, Mohammad Hatta: Biografi Politik, Jakarta, cet.I, 1974
Novianto,Cholid et all, Memenangkan Hati Rakyat; Akbar Tanjung Dan Partai Golkar 1998-2004, Jakarta, cet. II, 2004
Nurhasim, Moch (Ed), Praktek-praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma, Filifina dan Korea Selatan, Jakarta, The Ridep Institute, 2003
Nusa Bhakti, Ikrar (et.all), Tentara Yang Gelisah, Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi, Bandung, Mizan, cet. I, 1999
Pauker, J Guy, The Bridge Between Generations in Indonesian Military Politics, May 1976, Internet, http:/www.rand.org/publications/P/P5655/
Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985
Said, Salim, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta, Aksara Karunia, cet.I, 2002
(4)
_________, Genesis of Power, General Sudirman And The Indonesian Military in Politic 1945-49, Institute of Southeast Asian Studies and Pustaka Sinar Harapan, Singapore & Jakarta, cet.I, 1992
_________, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta, pustaka sinar harapan, cet.IV 2001
Samego, Indra, Bila ABRI Menghendaki, Bandung, Mizan, cet.I, 1998
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan Pembangunan, Jakarta, CV.Rajawali, cet. II, 1982
_________, Perwakilan Politik Di Indonesia, Jakarta, CV.Rajawali, cet. I, 1985 Santoso, Agus Edy (peny), Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Nurcholish
Madjid-Mohammad Roem, Jakarta, Djambatan, cet.II, 2000
Simatupang,T.B., Saya adalah Orang yang Berhutang, Victor Matondang (ed), Percakapan dengan Dr.T.B.Simatupang, Jakarta, Gunung Mulia,1955 Sjahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok; Sebuah Tinjauan Prospektif, Jakarta,
LP3ES, cet. I, 1986
Stanley, Adi Prasetyo & Toriq Hadad (ed), Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain, Terj.Bambang Cipto, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996
Stanley, Adi Prasetyo (ed), Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai :Perjalanan hidup A.H.Nasution, Jakarta : pusat data analisa Tempo
(5)
__________, Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai :Perjalanan hidup A.H.Nasution, Jakarta : pusat data analisa Tempo
__________, The Role of Military in Indonesia, dalam John J. Johnson (ed), The Role of the Military in Underdeveloped Countries, Princeton, New Jersey: Princeton University Press,1962
Sundhaussen, ULF, Politik Militer Inonesia 1945-1966; Menuju Dwifungsi ABRI ,(terj). Hasan Basari, Jakarta,LP3ES,cet,I, 1986
Suseno, Fanz Magnis, Etika Politik; Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. VI, 2001
Symsuddin, Nazaruddin, Alfian, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, cet.I, 1991
Tebba, Sudirman, Islam Orde Baru; Perubahan Poltik Dan Keagamaan, Yogyakarta, cet. I, 1993
Widjajanto, Andi, dkk, Dinamika Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta, Imparsia; The Indonesian Human Rights Monitor,cet. I, 2005
Yani,Ahmad, The Indonesian Doctrine of War, Djakarta: Indonesian Army Informtion Service, 1965
Yulianto, Dwi Pratomo, Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Yogyakarta, Narasi, cet.I, 2005
(6)