: ANAK ANGKAT DAN PERMASALAHANNYA

BAB III : ANAK ANGKAT DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Anak Angkat

1. Adopsi Secara bahasa (adoptie: Belanda, adopt: Inggris) berarti pengangkatan/ mengangkat anak sebagai anak kandung sendiri. Dalam Kamus Arab Mahmud Yunus (tabanniy) diartikan dengan mengambil anak angkat, dalam al-Munjid berarti (ittikhadafu ibban) menjadikan sebagai anak.

Dalam KHI dijelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlaih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Mahmud Syaltut membagi dua defenisi tersebut. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih saying tanpa memberi status sebagai anak kandung, namun diperlakukan seperti anak kandung. Kedua, mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya, saling mewarisi dan hak-hak lainnya.

2. Tabanny Tabanny merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Arab pra- Islam yang melakukan pengangkatan anak di khalayak ramai dan disertai dengan pemberlakuan hak-hak yang sama seperti layaknya anak kandung bagi anak yang diangkat tersebut.

3. Luqatha’ Luqatha’ (al-laqith) berarti pemungutan anak yang belum dewasa yang ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya. Dalam konteks ini, anak angkat diberlakukan layaknya anak kandung sendiri namun tidak dalam hal kewarisan.

B. Prosedur Pengangkatan Anak

1. Menurut Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek) Dalam BW, penjelasan mengenai prosedur pengangkatan anak didasarkan kepada Staatsblad 1917-129 lampiran III buku ke-4, pasal 5-15. Kemudian dilanjutkan dengan Ketetapan PN Istimewa Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 No. 588/63 dan Ketetapan PN Bandung tanggal 26 Februari 1970 No. 32/1970. Pelaksanaan adopsi berdasarkan BW berakibat pada pemutusan hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Mengenai batasan umur, tidak dijelaskan dalam ketentuan ini, namun digariskan jarak umur antara orang tua angkat dengan anak angkat adalam 18 tahun dan 15 tahun.

2. Menurut Hukum Adat Secara umum disimpulkan bahwa anak yang akan diadopsi disyaratkan; masih bayi atau berumur 3-16 tahun dan lebih muda daripada yang mengangkatnya serta belum diadopsi oleh orang lain. Di daerah Melayu Deli, dikenal 3 bentuk pengangkatan anak, yaitu; anak angkat pulang buntal (keseluruhan menjadi tanggung jawab orang tua angkat); anak angkat pulang nama (anak bertanggung jawab kepada orang tua kandungnya); dan anak angkat pulang serasi (berkaitan dengan masalah kesehatan anak). Pengangkatan anak yang dilakukan secara hukum adat tidaklah sama seperti yang diberlakukan pada masa jahiliyah, karena tidak terjadi perpindahan nasab.

3. Menurut Hukum Islam Persyaratan pengangkatan anak dijelaskan dalam Pendapat MUI Nomor U- 335/MUI/1982 tanggal 10 Juni 1982 yang secara singkat menjelaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, sehingga tidak ada kemungkinan salng mewarisi dengan orang tua angkat. Tujuannya adalah untuk pemeliharaan yang dilaksanakan oleh orang tua angkat yang seagama dengan anak tersebut.

Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu pernah melakukan praktek adopsi terhadap Zaid ibn Haritsah dan mengganti nasabnya menjadi Zaid ibn Muhammad yang dilakukan di khalayak ramai dan disertai dengan adanya perpindahan hak dalam hal mewarisi. Namun kemudian turun wahyu yang menyatakan larangan status “anak kandung” terhadap anak angkat (QS al-Ahzab [33]; 4-5).

C. Hak dan Kewajiban Anak dan Bapak Angkat dalam Pandangan Islam

1. Melihat kepada kedekatan kondisi psikologis antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, maka di antara kedua pihak berhak menerima hibah dan wasiat.

2. Penerapan “wasiat wajibah” antara kedua belah pihak karena kedekatan emosi mereka dan tiadanya hubungan nasab.

3. Sebagai jaminan di antara keduanya, maka dibentuklah institusi “wasiat wajibah” untuk menumbuhkan rasa keadilan.

4. Anak angkat wajib melindungi dan merawat orang tua angkatnya pada masa tua nantinya sebagai ungkapan terima kasih.

5. Anak angkat berhak mendapat pendidikan, tempat tinggal, pakaian dan makanan yang layak sesuai dengan kemampuan orang tua angkatnya.

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam BW dan sebagian ketentuan hukum adat, dapat disimpulkan akibat pengangkatan anak sebagai berikut;

1. Anak tersebut berhak memakai nama keluarga angkatnya;

2. Anak angkat menemati kedudukan yang sama dengan anak kandung;

3. Terputusnya hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya. Hubungan yang kekeluargaan yang timbulkan seperti yang dijelaskan di atas, tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan diharamkan, dengan alasan:

1. Mengangkat anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah dan di hadapan manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang diulang pengucapannya namun tidak akan menimbulkan kasih sayang seperti layaknya orang tua kandung;

2. Mengangkat anak seringkali dijadikan sebagai salah satu cara untuk menipu dan meyusahkan kaum keluarga (dalam masalah harta).

3. Mengangkat anak dan menetapkan status anak kandung akan menjadi tugas dan beban yang berat bagi keluarga ayah angkatnya, karena seandainya ayah angkat ini meninggal, maka kewajiban menafkahi anak tersebut pindah kepada keluarga ayah angkat yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah.