RESUME DAN CRITICAL REVIEW TESIS

RESUME DAN CRITICAL REVIEW TESIS TUGAS AKHIR

Diajukan Sebagai Tugas dalam Mata Kuliah

Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI)

Oleh :

AULIA RAHMAT NIM 10.2.00.01.01.0086

Team Teaching :

Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.S.P.D. Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. Prof. Dr. A. Rodoni Dr. Muhaimin A.G.

Dr. Ahmad Luthfi, M.A. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. Dr. Yusuf Rahman, M.A. KONSENTRASI SYARI’AH PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (SPs UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1432 H

RESUME I

HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN : (ANALISIS PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN

HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN)

Oleh : Rini Sidi Astuti (NIM 03.2.00.01.01.0059)

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan normatifnya adalah sama dengan menerapkan konsep keadilan dan tidak adanya diskriminasi. Hal ini menuntut adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban. Konsep ini dalam politik hukum Indonesia terwujud dalam adanya pengakuan terhadap kesetaraan gender.

Salah satu bentuk diskriminasi yang masih terjadi adalah dalam masalah penyelesaian harta bersama. Contoh yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama adalah separuh- separuh, berdasarkan ketentuan dalam pasal 97 KHI. Padahal sebagian besar harta tersebut dihasilkan dari aktivitas Hughes di dunia entertainment.

Istilah harta bersama yang dibakukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Pelembagaan harta bersama ini dalam ketentuan hukum positif di Indonesia dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Konsep harta bersama dalam ketentuan tersebut pun bersifat kontradiksi. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa tidak ada perjanjian antara suami istri terhadap harta, maka harta yang didapat selama masa perkawinan adalah harta bersama. Sebaliknya, dalam KHI dinyatakan bahwa tidak ada harta bersama antara suami istri yang tidak pernah melakukan perjanjian sebelumnya.

Adanya kontradiksi dalam persoalan harta bersama antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan KHI kemudian diformulasikan dalam suatu pertanyaan yang menjadi major research question dalam penelitian ini, yaitu; “Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum islam dan peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia?”.

Dalam beberapa literatur ditemukan beberapa pendapat, di antaranya pendapat Hazairin dalam bukunya yang berjudul “Tinjauan mengenai undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974”, yang menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang spesifik dalam kitab-kitab suci agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha). Sementara itu, Bustanul Arifin menyatakan bahwa tidak ditemukan bahasan mengenai harta bersama dalam kitab-kitab fiqih klasik. Di lain sisi, Ismuha dan Sayuti Thalib menyatakan bahwa masalah harta bersama dapat dikategorikan sebagai syirkah dalam rumah tangga secara resmi dan cara-cara tertentu.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

1. Rumusan Masalah Major research question : Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ? Minor research question :

a. Bagaimanakah hukum Islam merespon persoalan harta bersama, apakah ada dalil yang lebih terperinci untuk menerangkannya ? a. Bagaimanakah hukum Islam merespon persoalan harta bersama, apakah ada dalil yang lebih terperinci untuk menerangkannya ?

c. Bagaimanakan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?

d. Apa akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

2. Batasan Masalah

a. Hukum Islam yang dimaksud dalam pembahasan tesis ini adalah yang berkenaan dengan teori-teori fiqih yang berkaitan dengan kasus harta bersama dalam putusan yang telah diputus oleh majelis hakim.

b. Putusan yang akan diteliti adalah Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 45/Pdt.G/2005/PJS; Putusan PA Jakarta Pusat Nomor 10/ 1985; Putusan PA Jakarta Barat Nomor 15/1/1985; dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 380/K/AG/2006.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap harta bersama akibat perceraian baik dari al- Qur’an, sunnah, ijma’, ataupun qiyas.

b. Mendeskripsikan kaitan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan harta bersama dalam perkawinan.

c. Memaparkan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.

d. Menjelaskan akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan.

b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

D. Kerangka Teori

Berdasarkan pendapat para ahli dalam beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama ikatan perkawinan berlangsung, baik yang didapatkan secara sendiri- sendiri ataupun secara bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.

Pengajuan harta bersama ini biasanya dikomulasikan dengan gugatan perceraian di pengadilan yang berwenang, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama. Penjelasan mengenai harta dalam perkawinan, disebutkan dalam ketentuan pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut ;

Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah telaah terhadap hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan yang kemudian dikaitkan dengan pembagian harta bersama; dan konsep harta bersama dalam hukum Islam dan peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian Penelitian tesis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian normatif dan deskriptif –kualitatif, dengan mengadakan penelitian kepustakaan terhadap data sekunder yang bersumber pada bahan kepustakaan. Penelitian ini adalah peneltian kasus (case study) terhadap putusan-putusan lembaga peradilan.

2. Metode Analisis Data Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah content analysis, dengan menganalisis data menurut isinya. Dalam kajian teoritis tentang harta bersama, ada dua pokok bahasan yaitu; hak dan kewajiban suami istri serta pembagian harta bersama akibat perceraian yang ditinjau dari sudut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.

Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode nalar (logika) deduktif dengan berpijak serta bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan harta bersama.

3. Sumber Data

a. Data Primer Data primer adalah data yang berhubungan dengan putusan dan yurisprudensi yang akan diteliti.

b. Data Sekunder

1) Bahan hukum primer seperti; al-Qur’an, hadits dan buku-buku yang ada relevansinya;

2) Bahan hukum sekunder seperti; buku-buku ushul fiqih yang relevan, dan;

3) Bahan hukum tersier seperti; kamus dan ensiklopedi.

4. Metode dan Teknik Penulisan Metode penulisan tesis ini mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: IAIN Press, 2002)”. Penggunaan transliterasi dalam penulisan tesis ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam “Panduan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ”.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pemikiran Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Islam oleh Iskandar

2. Pembagian Harta Bersama Karena Percaraian pada Masyarakat Islam Jakarta Selatan oleh M. Zein

3. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tembilahan)

4. Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Sudut Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.

BAB II : HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI TERHADAP HARTA DALAM PERKAWINAN

Hak-hak perkawinan (marital right) merupakan salah satu indikator penentu status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan antara kedua belah pihak. Namun jika seandainya terjadi ketidak-adilan dalam suatu rumah tangga, tidak jarang perempuan yang akan dirugikan. Hal ini menuntut adanya suatu jalan keluar untuk menyelamatkan hak-hak perempuan dalam perkembangan selanjutnya.

A. Pengertian Hak dan Kewajiban

1. Pengertian Hak Secara etimologi, kata “hak” berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu “haqq” yang artinya; kebenaran, lawan dari kata kezhaliman dan bahagian atau peruntukkan tertentu. Secara terminologi, hak didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli. Ada yang mendefenisikan dari segi materi, dan tidak sedikit pula yang memandangnya dari segi non materi. Dari beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa hak adalah kekuasan khusus yang dimiliki oleh seseorang yang ia peroleh berdasarkan ketentuan syara’ untuk mencapai kemashlahatan.

2. Pengertian Kewajiban Kewajiban adalah perintah yang dituntut oleh pembuat hukum (dalam hal ini adalah Allah SWT) berupa keharusan untuk melakukan sesuatu atau berupa sanksi dosa bagi yang meninggalkannya. Penjelasan mengenai hak dan kewajiban bagi pasangan suami istri dalam perkawinan secara terperinci telah dijelaskan dalam ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.

B. Macam-macam Hak dan Kewajiban Suami Istri

1. Hak Istri Terhadap Suami

a. Hak Materi

1) Mahar Mahar merupakan bagian terpenting dalam awal pembentukan rumah tangga dan merupakan pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri disebabkan adanya pernikahan. Akad nikah merupakan salah satu penyebab timbulnya hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak.

2) Nafkah Pengaturan masalah nafkah ini dijelaskan dalam al- Qur’an surat al-Thalaq [65] ayat 7. Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya, meskipun berapa besarnya tidak ditentukan secara terperinci karena hal ini digantungkan kepada kemampuan.

b. Hak Non Materi

1) Mendapat Perlakuan yang Baik dari Suami Perkawinan merupakan titik awal pembentukan masyarakat yang kokoh. Oleh sebab itu islam menganjurkan agar suami menunjukkan sikap yang baik dan lemah lembut kepada istrinya. Keduanya diharapakan untuk bisa saling pengertian, saling menghargai dan saling menghormati.

Penulis mengkritik makna hadits yang menyatakan; “Mereka (para istri) adalah orang yang lemah dari segi fisiknya dan membutuhkan orang lain untuk melindunginya ”. Karena stereotype wanita seperti itu merugikan, sementara dalam konteks kontemporer tidak sedikit wanita yang menggantikan profesi laki-laki.

2) Mendapat Perlindungan yang Layak dan Wajar Syari’at Islam mewajibkan suami untuk mencukupi kebutuhan istrinya, seperti; menjamin nafkah, sandang dan tempat tinggal yang bersifat materi. Tidak hanya sampai di situ, syari’at Islam juga tidak meremehkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kejiwaan (spiritual).

2. Hak Suami Terhadap Istri Suami mempunyai hak yang ditimbulkan dari kewajiban istri, di antaranya adalah suami berhak dita’ati dalam hal kebaikan dan tdiak untuk perbuatan maksiat. Terlepas dari perdebatan akademik tentang kedudukan perempuan dalam struktur sosial, penulis berpendapat bahwa, kepemimpinan laki-laki yang 2. Hak Suami Terhadap Istri Suami mempunyai hak yang ditimbulkan dari kewajiban istri, di antaranya adalah suami berhak dita’ati dalam hal kebaikan dan tdiak untuk perbuatan maksiat. Terlepas dari perdebatan akademik tentang kedudukan perempuan dalam struktur sosial, penulis berpendapat bahwa, kepemimpinan laki-laki yang

3. Hak Timbal Balik antara Suami Istri Berdasarkan beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa hak timbal balik antara suami istri adalah melakukan hubungan badan. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan dan argumen yang dikemukakan dalam fiqih yang kemudian diperkuat dengan beberapa dalil. Hal ini juga dijelaskan dalam pasal 34 ayat [3] Undang-undang Perkawinan dan dalam pasal 77 ayat [5] KHI yang menyatakan bahwa salah satu pihak boleh mengadu ke Pengadilan apabila ada salah satu pihak yang melalaikan kewajibannya.

C. Kewajiban Suami Istri Menurut Kompilasi Hukum Islam

1. Kewajiban Suami Terhadap Istri Kewajiban suami terhadap istrinya adalah; membimbing sitri dalam urusan rumah tangga, melindungi istri dan mencukupi kebutuhannya. Namun, kewajiban suami untuk memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya akan gugur apabila istrinya nusyuz.

2. Kewajiban Istri Terhadap Suami Kewajiban istri terhadap suami adalah berbakti lahir dan batin kepada suami selama berada dalam batas-batas yang dibenarkan dalam ajaran Islam. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dan kebutuhan sehari- hari sebaik-baiknya.

D. Hak Suami Istri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Mengenai hak suami istri dalam Undang-undang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 31 ayat [1], [2] dan [3]. Demikian juga dalam KHI pada pasal 79 ayat [1], [2] dan [3]. Penulis menyimpulkan bahwa kandungan ayat tersebut inkonsisten dan saling bertentangan. Dalam dua ayat terakhir dinyatakan bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang, sementara dalam ayat 1 dinyatakan bahwa suami dipatok sebagai kepala keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut mengindikasikan pembekuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin, sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Sebagai salah satu contoh adalah seorang istri yang ditugaskan untuk mengelola dan mengatur rumah tangga, berimplikasi pada masalah ketenagakerjaan.

BAB III : KONSEP HARTA DALAM PERPSPEKTIF HUKUM INDONESIA

A. Harta Bersama Menurut Hukum Islam

Ajaran Islam tidak menjelaskan secara transparan perihal pembagian harta bersama akibat perceraian. Artinya, Islam tidak mempunyai konsep pembagian harta bersama yang langsung merujuk kepada al- Qur’an dan Sunnah. Namun dapat dipahami dari makna al- Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 29. Dari ayat ini ditemukan 3 prinsip dasar dalam pembagian harta bersama.

1. Prinsip Kerjasama Prinsip kerjasama yang terkait dengan masalah harta adalah hal yang dasar di tengah-tengah masyarakat. Selaku makhluk sosial dan makhluk budaya, manusia mempunyai banyak kekurangan dan membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Hal inilah yang mendorong adanya sikap tolong menolong dan kerjasama guna menutupi kekurangan tersebut.

2. Prinsip Dasar Kepemilikan Pada dasarnya semua yang ada di bumi ini dipruntukkan bagi umat manusia. Materi yang ada boleh dimiliki secara individual ataupun komunal. Setiap individu yang hidup di dunia ini tidak akan mampu hidup sendiri karenanya ia akan 2. Prinsip Dasar Kepemilikan Pada dasarnya semua yang ada di bumi ini dipruntukkan bagi umat manusia. Materi yang ada boleh dimiliki secara individual ataupun komunal. Setiap individu yang hidup di dunia ini tidak akan mampu hidup sendiri karenanya ia akan

3. Pendekatan dan Metode

a. Pendekatan Ijma’ (konsensus) Di Indonesia, sebagian para ahli hukum Islam berpendapat bahwa Undang-undang Perkawinan dan KHI dipandang sebagai fiqih Indonesia. Kesimpulannya, ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan ijma’ (konsensus/kesepakatan) para ulama di Indonesia.

b. Pendekatan Qiyas (analogi) Secara umum, metode yang dipergunakan dalam mengkaji harta bersama adalah dengan menggunakan metode analogi (qiyas) antara harta bersama dengan konteks syirkah (perkongsian) dengan didasarkan kepada beberapa hadits.

c. Pendekatan Mashlahah Mursalah Tidak ada nash dalam al- Qur’an atau sunnah yang melarang akan adanya pembagian harta bersama dalam Islam. Namun di sisi lain, keterbatasan suami dan kerelaan istri untuk berbagi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga merupakan faktor pendorong terbentuknya harta bersama.

d. Pendekatan Istihsan Terlepas dari pro dan kontra penggunaan istihsan, metode ini dapat diterapkan dalam mengkaji harta bersama.

e. Pendekatan al-‘Urf (adat kebiasaan) ‘Urf baru bisa diterima apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dan tidak berlawanan dengan ketentuan yang sudah ada. Demikian juga halnya dengan harta bersama yang sudah memenuhi persyaratan bisa diterima sebagai hukum.

B. Harta Bersama Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Meskipun dijelaskan dalam istilah yang berbeda, namun ketentuan mengenai “harta bersama” dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35, 36, 37 dan pasal 65 ayat [2] dan [3].

1. Pembentukan Harta Bersama Pada dasarnya, ketentuan mengenai harta bersama telah dijelaskan secara tersirat dalam hukum Islam dan hukum adat yang tidak tertulis. Agar bisa diterapkan dan bersifat mengikat serta memaksa, dibutuhkan suatu legislasi. Bertitik tolak dari kodifikasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa harta yang diperoleh secara individu atau bersama setelah terjadinya perkawinan, dianggap sebagai harta bersama. Dalam proses selanjutnya, disimpulkan bahwa semua harta yang diperoleh sejak menikah menjadi harta bersama, kecuali warisan dan hibah yang bersifat pribadi bagi penerimanya. Hukum Islam tidak melarang adanya percampuran antara harta pribadi dengan harta bersama, hanya saja dituntut rasa saling pengertian antara suami istri. Oleh sebab itu maka perjanjian dalam perkawinan diperbolehkan.

2. Unsur-unsur dalam Harta Bersama Undang-undang Perkawinan, hukum adat dan hukum Islam secara jelas menggambarkan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh sejak akad perkawinan berlangsung. Permasalahan yang mungkin bisa timbul belakangan adalah jikalau seandainya suami istri melakukan perjanjian untuk memasukkan warisan dan hibah sebagai harta bersama. Demikian juga halnya 2. Unsur-unsur dalam Harta Bersama Undang-undang Perkawinan, hukum adat dan hukum Islam secara jelas menggambarkan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh sejak akad perkawinan berlangsung. Permasalahan yang mungkin bisa timbul belakangan adalah jikalau seandainya suami istri melakukan perjanjian untuk memasukkan warisan dan hibah sebagai harta bersama. Demikian juga halnya

C. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam

Konsep harta bersama dalam KHI dijelaskan secara rinci dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97. Dari KHI dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Bahkan lebih ditegas dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan di pengadilan. Inovasi pembagian harta warisan yang ditawarkan oleh KHI dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat.

D. Perceraian dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Bersama

1. Kemungkinan Tidak Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Hukum Islam meberikan hak kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai hak atas harta yang dimilikinya masing-masing, tanpa bisa digugat oleh pihak lain. Harta yang dimiliki suami istri itu terpisah satu sama lain. Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al- Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 32 dan al-Baqarah [2] ayat 233.

2. Kemungkinan Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al- Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 21 yang kemudian dipertegas dengan al- Qur’an surat al-Maidah [5] ayat 8 yang menjelaskan perihal pembagian harta bersama secara adil dan seimbang.

a. Waktu Pembagian Harta Bersama Apabila suatu ikatan perkawinan putus, maka harta bersama selaku institusi yang memenuhi kewajiban bersama juga ikut bubar dan karenanya maka pembagian harta bersama hendaknya dilakukan secepatnya, karena di dalamnya terhadap hak orang lain.

b. Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Ajaran Islam menganjurkan untuk melakukan pembagian harta bersama secara adil. Penulis menyatakan bahwa dari beberapa indikasi yang ada dalam ajaran Islam, terlihat bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin yang dibangun secara kuat. Meskipun perceraian merupakan perbuatan halal namun dibenci oleh Allah SWT, untuk menggapai tujuannya dibutuhkan harta bersama.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN DAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP KASUS HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN

A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Kasus yang dianalisis adalah kasus antara Made Hughesia Dewi dengan Achmad Hestiafin Tachtiar. Fokus analisis adalah penyebab perceraian, yaitu; terjadinya pertengkaran terus menerus sehingga tidak bisa mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Sementara kondisi empiris yang terjadi di lapangan, Made Hughesia Dewi –yang notabene adalah seorang public figure dengan penghasilan yang besar-- ternyata mempunyai saham dan prosentase yang lebih besar dalam pembentukan harta bersama di antara keduanya.

Berdasarkan pertimbangan hakim yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan, penulis tidak setuju karena dalam pembentukan harta bersama sebagian besarnya disumbangkan oleh pihak istri, sehingga ketika hal ini diterapkan Berdasarkan pertimbangan hakim yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan, penulis tidak setuju karena dalam pembentukan harta bersama sebagian besarnya disumbangkan oleh pihak istri, sehingga ketika hal ini diterapkan

Dalam menganalisis pembagian harta bersama, penulis menguraikan permasalahan kebebasan perempuan dalam memilih pasangan, hak dalam nafkah (jaminan kesejahteraan), hak dalam menikmati hubungan seksual, hak dalam urusan reproduksi dan hak dalam memutuskan perkawinan (talak/perceraian). Pertimbangan tersebut, diharapkan pendistribusian dapat dilakukan secara damai dan meminimalisisr rasa ketidak-puasan masing-masing pihak.

B. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Dalam membahas kasus ini, penulis tidak menyebutkan secara jelas identitas para pihak yang terlibat di dalamnya. Namun latar belakang masalahnya adalah kebalikan kasus antara Hughes dengan suaminya, namun dalam kasus ini suami lebih mendominasi dari pada istri. Alasan utama perceraian dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perkawinan. Dalam hal ini, pihak istri melalaikan kewajibannya, sementara suami telah memenuhi kewajibannya, bahkan istri mengancam akan melakukan perbuatan anarkis dengan alasan ketidak-jujuran suaminya perihal statusnya sebelum menikah.

Akibat dari perceraian ini, suami dikenai mut’ah dan biaya pemeliharaan anak serta adanya pembagian harta bersama dengan porsi setengah-setengah. Penulis menyimpulkan bahwa putusan Pengadilan Agama yang berkaitan dengan pembagian harta bersama tidaklah didasarkan kepada alasan dan penyebab terjadinya perceraian, namun lebih didasarkan kepada kemashlahatan anak dan istri. Jadi, walaupun harta merupakan penghasilan murni dari suami, namun istri-istri dan anak- anaknya tetap mendapatkan harta dengan pembagian yang telah ditentukan dalam putusan.

C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat

Identitas para pihak dalam kasus ini tidak dijelaskan oleh penulis. Alasan perceraian dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri di antara keduanya. Istri telah memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh Pengadilan Agama kepadanya dan dia tidak terbukti nusyuz, maka ia berhak menerima haknya dari suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak untuk mendapat kan mut’ah dan nafkah iddah.

Berkaitan dengan masalah harta bersama, di antara kedua belah pihak tidak terdapat kesepakatan, maka diajukan ke Pengadilan Agama. Pihak Pengadilan Agama memutus perkara ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan keduanya berhak atas bersama. Dalam hal ini, penulis mengkritik penggunaan term “harta bersama” dalam artian luas seperti dalam beberapa tafsir, namun penulis memberikan batasan penggunaan term ini pada harta bersama yang diperoleh selama perkawinan saja.

Untuk menganalisis kasus ini, penulis menguraikan beberapa hal seperti teori pembuktian yang dipakai dalam perkara perdata di Pengadilan Agama yang juga Untuk menganalisis kasus ini, penulis menguraikan beberapa hal seperti teori pembuktian yang dipakai dalam perkara perdata di Pengadilan Agama yang juga

D. Putusan Mahkamah Agung RI

Kasus perceraian ini adalah kasus antara Susmianah dengan Karmanudin yang pada tingkat pertamanya diputus oleh Pengadilan Agama Muara Enim dengan mengabulkan gugatan Susmianah. Analisis penulis pada tingkat ini difokuskan pada masalah pembagian gaji suami yang merupakan seorang karyawan PTBA yang disamakan dengan PNS. Penulis menganalisisnya dari tiga tinjauan yaitu sosiologis, filosofis dan yuridis. Secara yuridis, tidak ditemukan suatu ketentuan perundangan- undangan yang mengharuskan suami untuk membagi gajinya dengan istri yang telah diceraikannya. Secara sosiologis, seorang suami tidak mempunyai hak apa-apa terhadap istri yang telah diceraikannya, namun ia tetap mempunya kewajiban untuk menafkahi istriya jika berada istrinya keadaan sulit. Secara filosofis, penulis memandang adanya keganjilan dalam dasar filosofis peraturan tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa perbenturan pasal-pasal.

Untuk lebih menguatkan dasar hukum perceraian, kemudian Susmianah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Palembang dan dikabulkan. Dalam amar putusannya, Susmianah dinyatakan bercerai dengan suaminya dan berhak memperoleh nafkah serta pembagian harta bersama. Tidak puas terhadap putusan PTA Palembang, kemudian Karmanudin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan ini dengan alasan bahwa pertimbangan pada PTA Palembang sudah tepat dalam menerapkan hukum.

Pertimbangan-pertimbangan lembaga peradilan tersebut sesuai dengan apa yang dimuat ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, penulis juga menganalisis pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah perceraian dan harta bersama. Penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar aturan yang ada dalam ketentuan perundang-undangan sudah sesuai dengan fiqih. Namun masih dibutuhkan penyempurnaan dalam hal yang berkaitan dengan permasalahan harta bersama. Diharapkan dengan adaya penyempurnaan ini, akan nada kepastian hukum yang menjamin terjaganya hak di antara kedua belah pihak tanpa ada diskriminasi.

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses pembagian harta bersama harus dilakukan dengan itikad baik dan tanpa adanya diskriminasi. Pengelolaan harta bersama adalah berdasarkan porsi yang dihasilkan oleh masing-masing pihak dalam rumah tangga. Pemanfaatan harta bersama adalah perwujudan semangat kerjsasama dan nilai gotong royong yang berkembang pada masyarakat Indonesia.

2. Ada tiga lingkup dalam harta bersama yang harus dibedakan, namun terkadang juga harus disamakan, meliputi penguasaan, pemilikan dan pengelolaannya. Harta bersama yang terbentuk dalam masyarakat adalah berdasarkan perjanjian yang terbentuk secara diam-diam dalam rumah tangga dan menjadi adat yang berlaku dalam masyarakat.

3. Putusan Pengadilan Agama sebagian besar telah membahas pembagian harta bersama, sementara perkawinan belum putus, namun putusan ini merupakan bentuk perencanaan pembagian harta bersama dalam keluarga. Dalam hal ini, hakim dalam memutus perkara mengacu kepada petitum yang diajukan dan disandarkan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan harta bersama dalam keluarga pada didasarkan kepada kerjasama dan semangat gotong royong tanpa harus membedakan harta.

B. Saran

1. Perlu diadakan edukasi dan sosialisasi perihal harta bersama di tengah masyarakat. Luasnya makna harta bersama menuntut adanya singkronisasi antar ketentuan perundang-undangan.

2. Pengundang-undangan aturan pengurusan masalah surat-surat tanah antara suami istri oleh Badan Pertanahan Nasional.

3. Dibutuhkan adanya pengaturan teknis yang lebih rinci dalam pelaksanaan pembagian harta bersama akibat perceraian.

RESUME II PEMIKIRAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh : Iskandar (NIM 02.2.00.1.01.01.0035)

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan harta bersama dalam perkawinan di Indonesia pada dasarnya diawali dengan adanya adat kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang mengenal tidak adanya pembatasan atas harta antara suami istri. Dalam kondisi ini, hak dan kewajiban rumah tangga terutama yang berkaitan dengan masalah pembelanjaan harta diatur secara ketat. Ketentuan hukum Islam pada dasarnya tidak pernah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan. Tidak ada seorang ulama dari mazhab yang masyhur berbicara perihal harta bersama dalam kitab- kitabnya sebagaimana yang dijelaskan dalam adat istiadat.

Ismuha berpendapat bahwa pada dasarnya pelembagaan harta bersama setidaknya dapat dikategorikan ke dalam bahasan mu’amalah. Ketiadaan pembahasan masalah harta bersama dalam kitab fiqih klasik dapat diterima karena melihat kepada latar belakang perkembangan mazhab tersebut yang berada di daerah Arab. Sementara dalam adat daerah Arab, tidak pernah dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan. Ismuha dan Sayuti Thalib sama-sama berpendapat bahwa pelembagaan harta bersama bisa digolongkan shirkah.

Praktek harta bersama di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah masing-masing. Hazairin berpendapat bahwa tidak ditemukan dalam kitab suci agama mana pun perihal harta bersama. Dalam Islam, meskipun pembahasan mengenai harta bersama tidak pernah dijelaskan dalam al- Qur’an, hal itu bukan berarti praktek harta bersama dilarang. Praktek harta bersama boleh dilaksanakan dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pembahasan harta bersama di Indonesia dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan harta bersama dalam tesis ini dibatasi pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah pemikiran harta bersama di Indonesia dalam perpsepktif hukum Islam? Pertanyaan ini kemudian dikembangkan dalam 3 minor research question, yaitu; apakah pemikiran harta bersama di Indonesia telah sesuai dengan shar’iyyah Islamiyyah ? ; bagaimana kedudukan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ? ; dan bagaimanakah hukum Islam merespon pemikiran harta bersama di Indonesia ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui kesesuaian pemikiran harta bersama di Indonesia dengan shar’iyyah Islamiyyah ;

b. Untuk mengetahui hubungan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ;

c. Untuk mengetahui respon hukum Islam terhadap pemikiran harta bersama di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan ;

b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian dalam tesis ini adalah library research (kajian kepustakaan) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah sosio-historis dan yuridis normatif. Pendekatan sosio-historis dipergunakan untuk menguraikan konstruksi hukum. Sedangkan pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk melihat dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sumber primer dalam pembahasan tesis ini adalah Undang- undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan harta bersama.

E. Studi Kepustakaan

1. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Tesis Doktor yang dibukukan);

2. J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan (1991);

3. Lukman Chatib, Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan di Kalangan Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat (1981);

4. Tim Peneliti Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pelaksanaan Pembagian Harta Kekayaan Suami Istri Akibat Putusnya Perkawinan (1994).

F. Kerangka Teori dan Operasional

Pemikiran berarti cara atau hasil dari berpikir secara dalam; pendapat yang telah dipikirkan terlebih dahulu sehingga dapat diterima dan dijadikan bahan ilmiah. Harta bersama adalah harta kekayaan yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung di luar hadiah atau hibah, kedua belah pihak yang bekerja tidak mempersoalkan atas nama siapa harta yang didapatkan.

Peningkatan hukum Islam menjadi hukum positif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai bidang hukum. Perkembangan masyarakat Islam di Indonesia pada abad sekarang telah merubah paradigma berpikir. Pemikiran- pemikiran mengenai harta bersama di Indonesia telah dibahas secara sistematis dan dikategorikan dalam bahasan hukum kekeluargaan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.

BAB II : KETENTUAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam

1. Pengertian Perkawinan

a. Pengertian Nikah Secara Bahasa Term nikah disebut juga dengan perkawinan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-zawj yang berarti al-wat} (bersetubuh atau berhubungan badan), al-d}am (menindih) dan al- jam’u (bersenggama). Nikah mempunyai a. Pengertian Nikah Secara Bahasa Term nikah disebut juga dengan perkawinan yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-zawj yang berarti al-wat} (bersetubuh atau berhubungan badan), al-d}am (menindih) dan al- jam’u (bersenggama). Nikah mempunyai

b. Pengertian Nikah Menurut Ulama Ushul Ulama kelompok Hanafi mendefenisikan nikah secara hakiki dengan adanya hubungan badan. Sedangkan secara majazi, nikah itu adalah akad yang menghalalkan hubungan seksual. Ulama kelompok Syafi’i dan Maliki memberikan defenisi bahwa nikah dalam artian hakiki adalah akad yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan nikah secara majazi adalah adanya hubungan badan. Perbedaan sudut padang ini berakibat pada perbedaan pendapat terhadap nasab anak yang dilahirkan dari hubungan seksual di luar akad. Bertitik tolak dari beberapa ayat al- Qur’an dan kepastian hukum, penulis lebih cenderung mendukung pendefenisian nikah sebagai akad yang menghalalkan hubungan seksual.

c. Pengertian Nikah Menurut Ulama Fiqih Para ulama fiqih memberikan defenisi nikah itu dalam bahasa mereka sendiri. Namun dalam pendefenisian ini, mereka berbeda redaksi dalam penyampaian, namun mempunyai substansi yang sama. Defenisi nikakh yang relevan dan mempunyai aspek hukum dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal asy- Syakhshiyyah, “nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, saling bantu membantu dan ada hak serta kewajiban yang diperoleh oleh keduanya”.

2. Hukum Asal Perkawinan Para ulama sepakat bahwa nikah disyari’atkan dalam ajaran Islam. Perbedaan pendapat terjadi dalam penentuan hukum asal nikah itu sendiri. Dalil- dalil yang dipergunakan adalah QS. al- Nisa’ [4] ayat 3, al-Nur [24] ayat 32, hadits nomor 5066 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Bukhari, hadits nomor 1402 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Muslim. Alasan utama yang menyebabkan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan hukum asal nikah itu sendiri adalah dikarenakan perbedaan dalam memahami perintah-perintah yang terdapat dalam al- Qur’an dan hadits. Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum asal nikah itu adalah sunat, sebagaimana yang dinyatakan Nabi dalam sabdanya bahwa “nikah itu adalah sunnahku”. Ulama dari golongan al-Dzahiri berpendapat bahwa hokum asal nikah itu adalah wajib, karena perintah nikah yang dijelaskan dalam al- Qur’an menggunakan fi’il amr. Sementara itu, hakikat dari amr itu sendiri adalah wajib.

3. Hukum Perkawinan Dilihat dari Kondisi Seseorang

a. Wajib, apabila ia telah mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan ia tidak bisa lagi menahan gejolak nafsunya untuk melakukan hubungan badan, sementara ia takut berbuat dosa.

b. Sunat, apabila seseorang dihukum sunat untuk menikah apabila ia telah mampu untuk berumah tangga dan memikul beban dalam perkawinan, namun ia mampu menahan nafsunya. Namun ia lebih diutamakan untuk nikah.

c. Haram, apabila seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk membiayai kehidupan rumah tangga namun ia sangat ingin menikah. Ia yakin jika seandainya ia menikah, ia akan aniaya.

d. Makruh, apabila seseorang yang sudah mampu untuk menikah dan tidak takut akan godaan berzina, namun ia khawatir tidak akan mampu memenuhi kewajibannya kepada istrinya.

e. Mubah, apabila seseorang yang mempunyai kemampuan untuk. Namun ia manikah dengan tujuan pemenuhan syahwat saja, bukan untuk membina keluarga dan keselamatan kehidupan agama.

4. Sahnya Perkawinan

a. Rukun Perkawinan

1) Akad nikah, adanya ijab dan qabul;

2) Adanya pasangan calon mempelai laki-laki dan perempuan;

3) Adanya wali dari calon mempelai perempuan;

4) Adanya dua orang saksi

b. Syarat Perkawinan

1) Syarat yang berhubungan dengan akad, seperti kronologis akad, materi akad, tidak muhrim;

2) Syarat yang harus disempurnakan sebagai suatu susunan, seperti tanpa

batasan waktu, kerelaan di antara keduanya, adanya mahar;

3) Syarat yang berkaitan dengan keabsahan akad, seperti; kemerdekaan suami dan adanya izin dari wali perempuan;

4) Syarat yang berkaitan dengan kelestarian akad (menurut ulama kelompok Hanafi saja), seperti; hierarki perwalian dan kafaah.

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri

a. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri

1) Hak bersama suami istri, meliputi hak saling mewarisi setelah berlangsungnya akad nikah, hak untuk saling bergaul dengan baik.

2) Kewajiban bersama suami istri adalah membina hubugan rumah tangga yang harmonis yang didasari kepada rasa kasih sayang.

b. Hak istri dalam rumah tangga merupakan kewajiban suami, meliputi hak materil seperti kebutuhan rumah tangga (pangan, sandang, papan) dan non materil seperti bergaul dan menghormati istrinya.

c. Hak suami dalam rumah tangga merupakan kewajiban istri, meliputi kepatuhan istri terhadap suami dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran.

6. Nafkah Rumah Tangga Nafkah dalam konteks ini adalah nafkah dalam bentuk materi berupa pangan, sandang dan papan. Suami diharuskan memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga dengan cara yang baik ( ma’ruf). Prinsip pemisahan harta dalam perkawinan merupakan kosekuensi logis dari pembebanan pemenuhan nafkah kepada suami, sekalipun istri berasal golongan yang mampu. Dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, harta yang diperoleh setelah menikah menjadi harta bersama, tanpa membedakan siapa yang mencarinya. Kondisi dan situasi masyarakat Indonesia sekarang menghendaki adanya batasan dan ketentuan pencaharian bersama.

7. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

a. Ditinjau dari aspek agama, perkawinan merupakan ikatan yang teguh bukan saja antara dua orang saja, ia merupakan penyatuan dua keluarga.

b. Ditinjau dari segi hukum, perkawinan merupakan ikatan kontrak dalam konteks hubungan perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban.

c. Dalam konteks sosial, perkawinan merupakan ikatan persaudaraan dan rasa kasih sayang sehingga akan menguatkan hubungan masyarakat.

B. Perkawinan Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1).

Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, dan bukan dengan orientasi pemenuhan kebutuhan seksual semata, Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin, dan bukan dengan orientasi pemenuhan kebutuhan seksual semata,

2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maksudnya adalah pembinaan rumah tangga secara sah merupakan tanggung jawab kedua belah pihak dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dari sisi materil dan spiritual. Nilai-nilai ketuhanan yang dimaksudkan bertujuan untuk mencapai kondisi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

3. Sahnya Perkawinan Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing, sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (pasal 2 ayat [1]). Maksud pasal ini adalah, apabila sebuah perkawinan dilakukan dengan menyalahi ketentuan agama, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan dianggap belum pernah terjadi sehingga tidak menimbulkan akibat hukum apapun dan juga tidak mengikat bagi pihak manapun. Perkawinan juga harus dicatatkan (pasal 2 ayat [2]) yang merupakan bukti otentik telah terjadinya hubungan kontrak keperdataan yang berguna untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak.

4. Syarat Sah Perkawinan Berbeda dengan konsep fiqih, undang-undang perkawinan tidak memberikan penjelasan dan batasan mengenai rukun perkawinan ia hanya memberikan batasan dalam bentuk syarat-syarat. Keabsahan perkawinan yang digantungkan kepada ketentuan keagamaan merupakan inti dalam undang- undang ini. Ketiadaan pembahasan mengenai rukun perkawinan tidak berarti undang- undang ini “lepas tangan” dalam konteks ini. Ia tetap memberikan batasan-batasan tertentu.

a. Syarat Materil yang Berlaku Umum

1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat [1])

2) Usia minimal pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat [1])

3) Tidak berada dalam ikatan perkawinan (pasal 9), poligami lain hal.

4) Tidak sedang ber-iddah (pasal pasal 11)

b. Syarat Materil yang Berlaku Khusus

1) Tidak melanggar larangan perkawinan (pasal 8-10)

2) Izin dari orang tua bagi yang di bawah usia minimal (pasal 6 ayat [2])

c. Syarat Formil

1) Melaksanakan pencatatan perkawinan (pasal 2 ayat [2])

2) Mengadakan pemberitahuan kehendak perkawinan (pasal 3 ayat [1])

3) Pelaksanaan pengumuman oleh pengawai pencatat perkawinan

4) Penandatanganan akta perkawinan (pasal 11 ayat [1])

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri Penjelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri dijelaskan dalam ketentuan pasal 30-34. Suami istri dibebani kewajiban untuk menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar masyarakat. Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga, dan masing-masing mempunyai kesempatan yang sama dalam bertindak hukum. Suami menjadi kepala keluarga dan istri menjadi ibu rumah tangga.

6. Perjanjian Perkawinan Perjanjian kawin dijelaskan dalam pasal 29. Perjanjian boleh dibuat ataupun tidak, kedua belah pihak bebas menentukan terkecuali yang berkaitan dengan peniadaan harta bersama dalam perkawinan. Perjanjian yang dilakukan 6. Perjanjian Perkawinan Perjanjian kawin dijelaskan dalam pasal 29. Perjanjian boleh dibuat ataupun tidak, kedua belah pihak bebas menentukan terkecuali yang berkaitan dengan peniadaan harta bersama dalam perkawinan. Perjanjian yang dilakukan

C. Perkawinan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam

1. Dasar-dasar Perkawinan Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqa ghalidha untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2). Tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (pasal 3).

2. Rukun dan Syarat Perkawinan KHI menjelaskan rukun dan syarat perkawinan yang diakomodasi dari ketentuan fiqih klasik. Rukun perkawian dijelaskan dalam pasal 14, yaitu; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab kabul. Sedangkan syarat nikah disesuaikan dengan undang-undang. Dalam KHI, batasan minimal bagi calon mempelai laki-laki adalah 21 tahun dan 19 tahun bagi perempuan.

3. Perjanjian Perkawinan Berbeda dengan undang-undang, KHI mengatur perjanjian kawin secara panjang lebar dalam pasal 45-52. Taklik talak dikategorikan sebagai perjanjian kawin. Berkaitan dengan harta, boleh dilaksanakan perjanjian.

BAB III : SUMBER DAN KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA

A. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Bersama

1. Penghasilan Suami Istri Harta dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35 undang-undang perkawinan. Harta yang dihasilkan oleh masing-masing individu setelah berlakunya akad perkawinan menjadi harta yang dikuasai secara bersama. Harta pencaharian suami istri menjadi harta bersama sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 454 K/Sip/1970 tanggal 11 Maret 1971.

2. Harta Benda yang Dibeli Selama Perkawinan Semua harta benda yang dimiliki dengan pembelian setelah perkawinan menjadi harta bersama. Objek batasan dalam konsep ini adalah waktu pembelian harta tersebut, bukan dengan harta masing-masing pihak. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803 K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1970.

3. Penghasilan Harta Pribadi Dalam konteks harta pribadi yang telah dimiliki sejak sebelum perkawinan, maka yang menjadi harta bersama hanyalah penghasilan yang didapatkan setelah akad, objek pokok dari harta tersebut tetap milik pribadi.

4. Harta yang Dibuktikan Diperoleh dalam Perkawinan Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan dikategorikan sebagai harta bersama. (Mahkamah Agung No. 808 K/Sip/1974).

5. Harta yang Dibeli Sesudah Perceraian Suatu harta atau benda bisa dikategorikan sebgai harta bersama apabila harta tersebut dibeli dengan menggunakan harta bersama, sekalipun telah terjadi perceraian. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803/Sip/1972 tanggal 5 Mei 1970.

B. Perkawinan dan Harta Bersama Dalam Perspektif Hukum Adat

1. Bentuk Perkawinan

a. Bentuk Perkawinan Masyarakat Patrilineal Konsep perkawinan dalam masyarakat ini adalah dengan mengambil calon istri dari luar clan sendiri, seperti kawin jujur di daerah Gayo dan Batak.