: ANAK ANGKAT DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG NEGARA
BAB IV : ANAK ANGKAT DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG NEGARA
A. Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 171 point h dalam KHI menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlaih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Dalam hal pembagian warisan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 176-193 KHI, pembagian untuk angkat dijelaskan dalam pasal 209 ayat [1] dan [2]. Wasiat wajibah yang dimaksud dalam pasal ini adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta.
Wasiat wajibah yang dijelaskan dalam KHI lahir sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Pengangkatan anak yang lazim terjadi dalam masyarakat dan sangat dihargai hanyalah pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan sebagaimana layaknya orang tua, tanpa adanya pengalihan nasab. Konsep pengangkatan anak yang berbeda dengan konsep tabanny yang dikenal selama ini pada akhirnya menimbulkan pengakuan terhadap lembaga pengangkatan anak dan mendorong adanya institusi “wasiat wajibah” di Indonesia. Keberadaan wasiat wajibah merupakan salah satu bentuk jaminan untuk menikmati harta peninggalan yang merupakan konsekuensi logis adanya kedekatan hubungan psikologis di antara orang tua angkat dan anak angkat. Wasiat wajibah hanya akan diterima apabila pihak yang ditinggalkan tidak menerima wasiat biasa dari harta peninggalan.
B. Penetapan Anak Angkat di Pengadilan Agama
Kekuasaan mengadili perkara pengangkatan anak pada Peradilan Agama dijelaskan dalam pasal 49 UU No. 7/1989. Dalam proses sidang pemeriksaan perkara pengangkatan anak, alat bukti yang akui sesuai dengan pasal 5-10 BW. Peradilan Agama hanya menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada anak angkat, nasabnya tetap dihubungkan kepada keluarga kandungnya, dan kedudukan ayah angkat hanya sebatas pemelihara terhadap dirinya. Berkaitan dengan permasalahan anak angkat, ketentuannya secara sistematis dijelaskan dalam KHI pasal 171 (h), 209 dan 103. Karena anak angkat tidak mempunyai hubungan biologis yang sah dari pihak yang mengangkatnya maka Islam dengan tegas menolak kedudukannya menjadi anak Kekuasaan mengadili perkara pengangkatan anak pada Peradilan Agama dijelaskan dalam pasal 49 UU No. 7/1989. Dalam proses sidang pemeriksaan perkara pengangkatan anak, alat bukti yang akui sesuai dengan pasal 5-10 BW. Peradilan Agama hanya menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada anak angkat, nasabnya tetap dihubungkan kepada keluarga kandungnya, dan kedudukan ayah angkat hanya sebatas pemelihara terhadap dirinya. Berkaitan dengan permasalahan anak angkat, ketentuannya secara sistematis dijelaskan dalam KHI pasal 171 (h), 209 dan 103. Karena anak angkat tidak mempunyai hubungan biologis yang sah dari pihak yang mengangkatnya maka Islam dengan tegas menolak kedudukannya menjadi anak
C. Pembagian Waris Bagi Anak Angkat
1. Perspektif Hukum Adat
a. Pada masyarakat adat patrilineal di daerah Batak Toba, Lampung dan Bali, anak angkat menjadi ahli waris secara penuh dari ayah angkatnya dan ia terlepas dari keluarga kandungnya.
b. Pada masyarakat adat matrilineal di Minangkabau, anak angkat tidak mewarisi dari orang tua angkatnya, namun tetap dari orang tua kandungnya.
c. Pada masyarakat adat parental di daerah Jawa, anak angkat berhak mendapat warisan baik dari orang tua kandungnya ataupun dari orang tua angkatnya. Di daerah Aceh, anak angkat tidak menerima warisan orang tua angkatnya.
2. Perspektif Burgerlijk Wetoboek (BW) Merujuk kepada Staatsblad 1917-129, kecenderungan perlakuan anak adopsi sebagai layaknya anak sah. Imbasnya terlihat dalam pasal 830-1130 BW (anak angkat mendapat warisan karena ia berkedudukan sebagai anak sah).
3. Perspektif Hukum Waris Islam Berdasarkan beberapa firman-Nya dan hadits, dapat disimpulkan bahwa tidak perlu memberikan warisan kepada anak angkat dan tidak perlu untuk mengakuinya sebagai anak kandung. Anak angkat yang dikenal dalam Islam hanya dari segi pemeliharaannya saja, dengan tidak memutuskan hubungan nasabnya dengan orang tua kandungnya.
D. Kedudukan Anak Angkat di Pengadilan Agama Kotamadya Medan
Berdasarkan hasil penelitian penulis di Pengadilan Agama Kota Medan, hakim- hakim mempunyai persepsi bahwa tidak ada warisan bagi anak angkat karena ia tidak diakui sebagai anak kandung dalam Islam. Diharapkan dengan adanya KHI, akan bisa membantu hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara dengan putusan yang sama.
Konsep “wasiat wajibah” yang dikenal dalam KHI menurut beberapa pakar hukum seperti M. Daud Ali, Yahya Harahap dan Abdullah Kelip merupakan bentuk adaptasi bentuk hukum adat secara terbatas dalam hukum Islam. Keberadaannya juga merupakan bentuk penyelarasan pelaksanaan hukum adat dan hukum Islam dengan nilai keadilan. Lebih jauh lagi penulis mendukung pedapat al- Yasa’ Abu Bakar menjelaskan bahwa landasan keberadaan wasiat wajibah dalam KHI adalah pertimbangan mashlahah mursalah dan mashlahah ‘ammah. Anak yang menerima wasiat wajibah disyaratkan anak yang tidak menerima wasiat biasa, dan tidak berlaku bagi saudara angkat atau orang tua angkat.
Keberadaan wasiat wajibah ini juga dikuatkan dengan adanya pendapat ibn Hazm yang menyatakan bahwa penguasa –dalam hal ini Pemerintah– mempunyai hak untuk memberikan bagian wasiat bagi pihak yang dapat dibenarkan dalam alasan hukum. Namun dalam pendapatnya, Ibn hazm tidak merincikan secara jelas kepada pihak mana wasiat wajibah itu diberikan dan berapa kadar maksimalnya.