MEMBANGUN KOLABORASI DALAM PENGELOLAAN HUTAN Hadirin yang saya hormati,

IV. MEMBANGUN KOLABORASI DALAM PENGELOLAAN HUTAN Hadirin yang saya hormati,

Potensi yang terdapat dalam kawasan hutan khususnya yang terdapat dalam KHDTK maupun Taman Nasional mengundang berbagai pihak untuk ikut memanfaatkannya. Para pihak yang berkepentingan tersebut lazim disebut sebagai stakeholders yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi (menerima dampak) dari keputusan yang diambil (Freeman, 1984; Salam and Noguchi, 2006).

Stakeholders yang dapat terlibat dalam pengelolaan KHDTK maupun dalam pengelolaan Taman Nasional diantaranya adalah masyarakat sekitar hutan, pemerintah di tingkat desa dan kecamatan, pemerintah pusat (Dephut), pemda (instansi teknis terkait), Badan Petanahan Nasional (BPN), perguruan tinggi/lembaga penelitian, LSM, dan lembaga adat (Kadir W, 2010; Kadir W, 2011; Bisjoe et al, 2008). Setiap stakeholder memiliki kepentingan, kebutuhan, dan sudut pandang yang berbeda dan harus dapat dikelola dengan baik sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud (Friedman and Miles, 2006). Untuk itu diperlukan suatu model pengelolaan yang dapat mengakomodir semua kepentingan stakeholder. Pengelolaan kolaborasi atau yang lazim dikenal dengan istilah co-management atau collaborative management menjadi salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk mengakomodasi kepentingan, potensi, dan peran stakeholder dalam pengelolaan hutan (Borrini-Feyerabend et al, 2000; Tadjudin, 2000; Awang et al, 2005).

Alasan paling logis untuk melakukan kegiatan kolaborasi adalah karena adanya konflik antara dua orang atau dua kelompok yang memiliki kepentingan dan tujuan atas sesuatu yang berbeda (Awang et al, 2005). Kolaborasi dapat pula didasarkan karena adanya kepentingan yang sama antara dua orang atau dua kelompok sehingga dapat saling mendukung dalam proses pencapaian tujuan bersama Lank (2006).

Beberapa prinsip dan nilai-nilai utama dalam pengelolaan kolaborasi antara lain (Awang et al, 2005; Jusuf et al, 2010; Marshall, 1995) :

1. Mengakui adanya perbedaan nilai-nilai, kepentingan dan kepedulian dalam pengelolaan sumberdaya hutan

2. Terbuka terhadap kemungkinan hadirnya ragam tipe-tipe pengelolaan sumberdaya hutan diluar sesuatu yang sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan formal

3. Keterbukaan dan pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam

4. Memungkinkan masyarakat sipil memainkan peranan yang lebih penting dan bertanggung jawab

5. Menghormati suatu

hal yang penting dibandingkan orientasi hasil-hasil dalam waktu singkat

proses

sebagai

6. Belajar dan bekerja melalui revisi-revisi kegiatan yang sedang berjalan dan terus meningkatkannya dalam pengelolaan sumberdaya hutan

Hadirin yang saya hormati,

Kolaborasi antara BPK Makassar dengan masyarakat sekitar KHDTK yang dituangkan dalam bentuk Surat Kesepakatan Pola Kemitraan maupun kolaborasi dengan pemerintah setempat dan LSM Kolaborasi antara BPK Makassar dengan masyarakat sekitar KHDTK yang dituangkan dalam bentuk Surat Kesepakatan Pola Kemitraan maupun kolaborasi dengan pemerintah setempat dan LSM

pihak. Wolf (2010) mengemukakan bahwa kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika dibangun melalui tiga pondasi yaitu networking, koordinasi dan kerjasama.

peran

masing-masing

Proses kolaborasi dalam pengelolaan TN Babul telah berjalan antara pihak pengelola kawasan (Balai TN Babul) dengan Universitas, lembaga penelitian, LSM dan masyarakat sekitar. Proses kolaborasi yang terjadi cukup efektif dalam mengidentifikasi permasalahan- permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan TN Babul serta upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada melalui dukungan penelitian maupun kegiatan fasilitasi.

Proses kolaborasi yang telah berjalan selama ini baik dalam pengelolaan KHDTK maupun dalam pengelolaan taman nasional sedapat mungkin dipertahankan dan dilakukan revisi-revisi jika diperlukan sesuai perkembangan yang terjadi. Kolaborasi dengan pihak yang memiliki kemampuan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat seperti Badan Penyuluhan yang terdapat di setiap daerah dan perlu dijalin. Rendahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (Kadir W, 2008; Kadir W, 2010; Kadir W et al, 2010). Dengan meningkatnya kapasitas masyarakat sekitar, maka pembukaan lahan baru dalam kawasan hutan dapat diminimalkan dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan menjadi berkurang.