PERANAN BIBIT ULAT SUTERA DALAM KEGIATAN PERSUTERAAN ALAM

IV. PERANAN BIBIT ULAT SUTERA DALAM KEGIATAN PERSUTERAAN ALAM

Bapak, ibu serta hadirin yang saya hormati Bibit ulat sutera sebenarnya adalah telur ulat yang digunakan

dalam jumlah banyak seperti biji tanaman, sehingga kadang-kadang disebut bibit ulat. Warna dan bentuk telur bulat pipih, dengan lebar dalam jumlah banyak seperti biji tanaman, sehingga kadang-kadang disebut bibit ulat. Warna dan bentuk telur bulat pipih, dengan lebar

Mutu bibit atau telur ulat sutera adalah salah satu permasalahan yang banyak dibahas akhir-akhir ini. Sebagaimana diketahui bahwa mutu bibit berpengaruh langsung terhadap produksi kokon maupun benang yang dihasilkan. Mutu bibit yang rendah akan mengakibatkan produksi kokon menurun. Menurunnya produksi kokon akan berpengaruh terhadap sektor lain dalam usaha persuteraan alam seperti pasokan bahan baku bagi usaha pemintalan dan kurangnya permintaan telur pada produsen bibit.

Pemeliharaan ulat sutera pada dasarnya memiliki dua tujuan yaitu memproduksi kokon bibit dan memproduksi kokon untuk menghasilkan benang sutera. Pemeliharaan ulat sutera untuk produksi kokon bibit harus lebih intensif, teliti dan bebas penyakit. Hal ini perlu diperhatikan karena kualitas kokon atau pupa yang dihasilkan akan mempengaruhi kualitas telur yang dihasilkan kupu-kupu yang secara tidak langsung mempengaruhi keberlanjutan usaha lain dalam kegiatan persuteraan alam.

Kualitas bibit ulat sutera dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya teknik pemeliharaan, kuantitas dan kualitas pakan dan pencegahan penyakit. Di Sulawesi Selatan bibit ulat sutera secara resmi diproduksi oleh Perum Perhutani yang ditangani oleh KPSA Soppeng. Sebelum bibit Perum Perhutani dijual ke masyarakat terlebih

dahulu disertifikasi

oleh

Balai

Persuteraan Alam.

Perkembangan mutu bibit yang pasang surut menyebabkan munculnya produsen bibit ulat sutera yang bagi masyarakat dikenal sebagai bibit lokal. Meskipun bibit ini dianggap ilegal namun bagi masyarakat tetap diminati. Hasil penelitian Budisantoso dan Nurhaedah (2002) menunjukkan bahwa bibit ulat sutera lokal mempunyai mutu yang sama dengan bibit Perum Perhutani pada mortalitas ulat kecil, mortalitas ulat besar, kandungan pebrin dan kokon cacat. Selain itu juga didapatkan bahwa mutu bibit ulat sutera lokal memenuhi kriteria bibit komersial pada variabel daya tahan hidup, prosentase kulit kokon, panjang serat, daya gulung dan rendemen serat.

Bibit ulat sutera yang berkualitas merupakan salah satu faktor pendukung usaha persuteraan alam untuk mendapatkan produksi kokon yang tinggi. Bibit ulat sutera yang baik di samping mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi juga menghasilkan telur yang banyak dengan persentase penetasan tinggi. Agar hal tersebut dapat terwujud diperlukan penanganan larva sampai menjadi kokon yang baik untuk mendapatkan pupa yang sehat. Sebagaimana hasil penelitian yang dilaksanakan Nurhaedah (2006) yang menunjukkan bahwa waktu pengupasan kokon yang baik untuk penetasan dan rendemen ulat kecil (Bombyx mori L) adalah delapan hari, sedangkan untuk kepiridian dan jumlah pupa yang jadi ngengat adalah tujuh hari. Selain itu juga didapatkan bahwa waktu pengupasan kokon yang terlalu cepat dan tidak terseleksi menyebabkan waktu keluarnya ngengat lebih beragam.

Agar petani dapat memperoleh hasil yang cukup, maka diperlukan bibit yang berkualitas dan tepat waktu. Sebagaimana diketahui, di Sulawesi Selatan lokasi petani pemelihara ulat sutera terpencar di beberapa tempat atau Kabupaten. Sedangkan produsen telur atau bibit ulat sutera yang selama ini diakui oleh pemerintah

hanya satu yaitu Perum Perhutani yang berada di Kabupaten Soppeng. Untuk menjangkau lokasi yang terpencar diperlukan pengemasan dan pengangkutan yang aman agar bibit atau telur tersebut sampai ke tangan petani tepat waktu dengan kualitas terjaga. Jolly (1983) dalam Kaomini (2003) mengemukakan pengangkutan telur sebaiknya dilakukan sebelum masa inkubasi 5 hari dalam kotak kayu dengan ventilasi yang cukup dan diangkut dalam kondisi udara sejuk. Sedangkan hasil penelitian Nurhaedah (2007) menunjukkan bahwa lama waktu pengangkutan dan alat kemasan yang digunakan saat pengangkutan memberi pengaruh pada persentase penetasan telur. Waktu pengangkutan lama (kurang lebih 9 jam) dengan menggunakan ice box menghasilkan persentase penetasan sebesar 99,66%. Waktu pengangkutan pendek (kurang lebih 3 jam) dan pengangkutan sedang (kurang lebih 6 jam) dengan menggunakan kotak busa memberikan persentase penetasan masing-masing sebesar 95,33% dan 100%. Sehingga untuk jarak dekat dan sedang kotak busa efisien dari segi biaya karena terbuat dari bahan yang ringan sehingga biayanya murah untuk keperluan pengiriman.

Bapak ibu serta para hadirin yang saya hormati. Pada dasarnya keberhasilan usaha persuteraan alam

khususnya sektor hulu sangat tergantung pada teknik pemeliharaan yang

pemeliharaan termasuk penggunaaan bibit ulat sutera yang disertai dengan pemberian pakan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kadir et al., (2008) yang melaporkan bahwa teknik pemeliharaan yang berbeda akan menghasilkan jumlah kokon yang berbeda sehingga pendapatan yang diperoleh petani sutera juga akan berbeda.

dilakukan. Perbedaan

teknik

Dari pemaparan di atas, tampak bahwa pengelolaan pakan dan bibit ulat sutera sangat dibutuhkan dalam peningkatan produktivitas dan kualitas produk ulat sutera dan persuteraan alam secara luas.

Namun demikian, meskipun pemerintah telah memfasilitasi keberadaan pakan tanaman murbei dan bibit ulat sutera bermutu, namun keberhasilan usaha persuteraan alam tetap membutuhkan kerjasama berbagai pihak termasuk petani sutera sebagai pelaku usaha sektor hulu yang paling rentan terhadap berbagai resiko.