Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perempuan Indonesia merupakan kelompok penduduk mayoritas dalam jumlah, namun dalam berbagai bidang kehidupan masih tetap menduduki posisi minoritas. Keadaan apapun perempuan selalu menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Hal ini disebabkan oleh faktor ketidakberdayaan perempuan termasuk anak-anak dalam beberapa aspek seperti fisik, ekonomi, psikis dan keberanian mempertahankan hak dan lain-lain Relawati, 2011: 95. Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga KDRT, diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi Mahendra, 2006: 45. Kekerasan dalam Rumah Tangga telah menjadi isu global dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, hal ini terdapat di dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa- Bangsa, 1993 yang berbunyi: Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi YLBHI, 2007: 23. Universitas Sumatera Utara Seorang pembantu yang bekerja selama 25 tahun, sebut saja namanya Butet. Ia mengalami penyiksaan sebagai pembantu rumah tangga. Ia adalah anak transmigran yang dirawat oleh keluarga tersebut sejak kira-kira berusia 5 tahun. Butet hingga kini tak bisa membaca dan menulis, hingga tak bisa dengan pasti menyebutkan berapa umurnya. Butet mengaku tak pernah mendapat upah. Tak hanya itu, warga Jalan Brigjen Katamso Gang Datuk, Medan ini pun mengaku kerap mendapat perlakukan kasar, hingga penganiayaan. Akses interaksi Butet pun ditutup total, layaknya hidup di penjara. Identitas Butet bahkan diubah oleh pihak majikan. Hal ini dibuktikan dengan sebuah kartu keluarga yang dibuat oleh sang majikan, hingga akhirnya Butet melarikan diri dari tempat kerjanya dan segera melaporkan ke kantor polisi Kompas, 2012: 1-2. Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2010 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan dalam rumah tangga terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1 pelaku: suami; 11,7 pelaku: orang tuamertua, anakcucu, dan famili; 19,6pelaku: tetangga; 2,5pelaku: atasanmajikan; 2,9 pelaku: rekan kerja; 0,2 pelaku: guru; dan 8,0 pelaku: lainnya Gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga sangat mendominasi, yakni dengan pelaku adalah suami tertinggi, kemudian pelaku kekerasan adalah orang tuamertua, anakcucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah atasanmajikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan. Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2010: 23. Universitas Sumatera Utara Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Hal ini terjadi, bukan saja pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan. Hampir tidak pernah ada kejadiankasus KDRT dilaporkan kepada pihak yang berwajib, bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa meratapi kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum. Berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan terkait erat dengan adanya akar budaya patriarkhi yang muncul dalam banyak wajah. Budaya patriarkhi ini telah menempatkan laki-laki dalam posisi sosial yang lebih tinggi dari perempuan. Perempuan dengan berbagai alasan, terpaksa menerima situasi yang serba tidak menguntungkan dalam relasinya dengan laki-laki Silawati, 2001: 12. Dalam konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut dapat terjadi di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT sumber : http:ditjenpp.kemenkumham.go.id, Diakses pada tanggal 18 februari 2014, Pada Pukul 10.43 WIB. Kekerasan dalam Rumah Tangga yang banyak terjadi adalah kekerasan fisik, intimidasi, deprivasi, ekonomi dan hubungan seksual. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lebih dipicu oleh kondisi latar belakang sosial ekonomi dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga KDRT yang paling parah adalah terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian Relawati, 2011: 95. Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada KUHP hanya mengenal istilah penganiayaan kekerasan fisik, sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain Pemerintah merumuskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU-PKDRT, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan Mahendra, 2006: 49. Universitas Sumatera Utara terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah dijamin perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun Undang-Undang PKDRT juga tidak mampu membuat pelaku-pelaku KDRT jera, ditambah lagi faktor budaya, ekonomi yang seakan akan kurang berpihak kepada anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan Sumber: http:ditjenpp.kemenkumham.go.id, Diakses pada tanggal 18 februari 2014, Pada Pukul 10.43 WIB. Sepanjang tahun 2009, berdasarkan hasil pemantauan Perkumpulan Sada Ahmo terhadap berbagai berita dari media lokal Medan tentang isu Kekerasan dalam Rumah Tangga, tercatat ada 81 orang atau 42 persen perempuan mengalami kekerasan seksual, sementara 17 orang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT. selama tahun 2009, dari 100 kasus yang ditangani, sebanyak 61 kasus atau 61 persen kasus yang muncul adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sementara kasus pelecehan seksual berjumlah 20 kasus atau 20 persen Sumber: http:female.kompas.comread2010030903190551KDRT.dan.Kekerasan.Seksual .Mendominasi, Diakses pada tanggal 24 Februari 2014, pada pukul 14.30 WIB. Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hu kum, yang perspekifnya praktis sama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan Universitas Sumatera Utara gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga Silawati, 2001: 12. Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk penanganan korban, karena memang tidakbelum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak Di kota Medan terdapat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam upaya perlindungan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan, salah satunya adalah Yayasan Pusaka Indonesia. Sejak awal pendirinya telah melakukan berbagai aktivitas mendukung pencapaian visi dan misi dalam mendorong terjadinya lahirnya kebijakan publik yang signifikan dalam mendukung penegakan, serta perlindungan hak anak dan perempuan dengan melakukan serangkaian kegiatan advokasi, kampanye dan sosialisai. Sepanjang tahun 2010 ada 21 kasus yang ditangani Yayasan Pusaka Indonesia dan 4 di antaranya adalah kasus KDRT, 2011 sebanyak 22 kasus dan 3 kasus KDRT, 2012 sebanyak 21 kasus dan 6 kasus KDRT, serta 2013 sebanyak 25 kasus dan 6 kasus KDRT. Dimana setiap tahun mengalami peningkatan kasus Profil Yayasan Pusaka Indonesia, 2008: 11. Mahendra, 2006: 48. Yayasan Pusaka Indonesia dalam pemecahan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan berkoalisi dan berjejaring untuk melakukan kegiatan advokasi dan menjalin koordinasi dengan Non Government Organization NGO Universitas Sumatera Utara lainnya, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten kotamadya, kecamatan, kelurahandesa dan pihak swasta. Prinsip tersebut didasarkan atassebuah kesadaran bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai jika mampu membangun satu pemahaman utuh di tataran komunitas dan pemerintah akan pentingnya kolaborasi untuk tujuan bersama. Yayasan Pusaka Indonesia juga menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran keterbatasan yang dimiliki. Kondisi tersebutlah yang membuat Yayasan Pusaka indonesia selalu merujuk kepada lembaga lain untuk penanganan selanjutnya jika tidak ada kapasitas di lembaga. Adapun beberapa kegiatan yang telah dilakukan sepanjang tahun 2013 diantaranya Penanganan Kasus anak dan perempuan, Sosialisasi Isu KDRT, Trafiking, Anak Berhadapan dengan Hukum ABH, Kawasan Tanpa Rokok KTR di lingkungan Sekolah, Ibu PKK di Kota Medan, Advokasi Perda KTR Kota Medan, Advokasi Kebijakan Penanganan Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Mencapai Keadilan Restoratif Berdasarkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Advokasi Penanganan Anak Pemakai dan Pengguna Narkotika dalam proses hukum. Berdasarkan alasan-alasan tersebutlah, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Yayasan Pusaka Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah