Pelayanan Sosial Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2tp2a) Kota Tangerang Selatan

(1)

PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) KOTA

TANGERANG SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

RENA DWITIYA RAHAYU

NIM : 1111054100001

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i 1111054100001

Pelayanan Sosial bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga ibarat gunung es. Data yang diketahui, jumlahnya lebih kecil dibanding data (kejadian) sebenarnya di masyarakat. Hal ini karena tidak banyak masyarakat yang melapor. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti peran Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan di lingkungan masyarakat. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui Bagaimana proses pelayanan sosial yang diberikan P2TP2A Kota Tangerang Selatan kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga?., Bagaimana upaya P2TP2A Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga?.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang kemudian dituangkan dalam metode deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dengan informan yang dipilih secara sengaja. Peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena

ada pertimbangan tertentu (purposive sampling). Informan dalam penelitian ini

berjumlah 11 orang yang terdiri dari pegawai, pengurus, konselor, dan klien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pelayanan sosial di P2TP2A Kota Tangerang Selatan adalah klien melapor (datang langsung, melalui telepon, atau rujukan) kemudian mengisi formulir pengaduan, staf penerima pengaduan mengasesmen dan mewawancara klien, lalu klien dirujuk ke pelayanan sesuai dengan kebutuhan klien dan didampingi, staf penerima pengaduan dan pengurus memantau kasus klien dan melakukan pencatatan serta pelaporan. Selanjutnya, upaya P2TP2A Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga dilakukan melalui beberapa kegiatan yang meliputi pencegahan, pelayanan, dan pemulihan.

Kata kunci: Pelayanan Sosial, Kekerasan dalam Rumah Tangga, Konseling, Advokasi, Pemberdayaan, Rehabilitasi Sosial.


(6)

ii

Alhamdulillah wa syukurillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita masih dapat merasakan hidup yang penuh berkah ini. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa peneliti haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya.

Skripsi peneliti yang berjudul “Pelayanan Sosial bagi Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan” diajukan untuk

melengkapi salah satu persyaratan penyelesaian Program Strata 1 (S1) Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung kepada :

1. Bapak Drs. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan para Wakil Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Ibu Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW selaku Ketua Prodi Kesejahteraan

Sosial dan juga sebagai dosen pembimbing peneliti. Berkat dukungan, kesabaran dan bimbingannya, peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu.

3. Bapak Amirudin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih

atas nasehat serta bimbingannya.

4. Seluruh dosen prodi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu


(7)

iii

yang selalu mendo’akan, mendukung, memberikan motivasi dan kasih sayang kepada peneliti. Skripsi ini peneliti persembahkan untuk kalian Ibu dan Bapakku tercinta, dan juga kakakku tersayang Sulistiya Septiharini yang selalu memotivasi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Keluarga di Karawang, Bibi Chairun Ni’mah dan Om Ayub Ston, sepupuku Ahmad Fauzi Ghiffari dan Muhammad Faisal Basyir. Terima

kasih selalu memberikan do’a, dukungan, motivasi dan semangat kepada

peneliti.

7. Pimpinan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan beserta Staff BPMPPKB

yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di P2TP2A Kota Tangerang Selatan.

8. Ketua P2TP2A Kota Tangerang Selatan beserta Pengurus, Staff Penerima

Pengaduan, Konselor Hukum, Konselor Psikis, dan Konselor Perkawinan. Terima kasih atas bantuannya selama peneliti melakukan penelitian.

9. Teman-teman Kesejahteraan Sosial Angkatan 2011, khususnya teman

karibku, Mira, Puspita, Ranny, Arini, Ita, dan Dini terima kasih selalu memberikan semangat dan semoga kita sukses yaa. Aamiin ya Allah.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini menjadi langkah awal peneliti untuk sukses

kedepannya. Aamiin ya Rabbal alamin.

Jakarta, 13 Juni 2015 Peneliti


(8)

iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

1. Pembatasan Masalah ... 7

2. Perumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Manfaat Penelitian ... 8

D.Metodologi Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis Penelitian... 10

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 10

4. Teknik Pemilihan Informan ... 10

5. Sumber Data... 13

6. Teknik Pengumpulan Data ... 13

7. Teknik Analisis Data... 15

8. Teknik Keabsahan Data ... 15

9. Teknik Penulisan ... 16

E. Tinjauan Pustaka ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORI ... 20

A.Pelayanan Sosial ... 20

1. Pengertian Pelayanan Sosial ... 20

2. Fungsi Pelayanan Sosial ... 23

3. Tujuan Pelayanan Sosial ... 24

B. Pelayanan Sosial Medis ... 25

1. Pengertian Pelayanan Sosial Medis ... 25

2. Peran Pekerja Sosial Medis ... 25

C.Pelayanan Hukum ... 27

1. Advokasi ... 27

D.Pelayanan Psikis ... 28

1. Konseling ... 28

2. Konseling Pernikahan ... 30

E. Rehabilitasi Sosial ... 30

F. Teori Pemberdayaan ... 31

G.Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 31

1. Pengertian Kekerasan... 31

2. Pengertian Rumah Tangga ... 32

3. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 33


(9)

v

BAB III GAMBARAN UMUM P2TP2A ... 47

A.Sejarah Pembentukan P2TP2A ... 47

B. Profil P2TP2A ... 49

C.Visi dan Misi ... 50

1. Visi ... 50

2. Misi ... 51

D.Tujuan P2TP2A ... 51

BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA ... 52

A.Pelayanan Sosial di P2TP2A ... 52

1. Pelayanan Medis ... 53

2. Pelayanan Hukum ... 55

3. Pelayanan Psikis ... 59

4. Konseling Perkawinan... 61

5. Pelayanan Rehabilitasi Sosial ... 62

B. Proses Pelayanan Sosial P2TP2A bagi Perempuan Korban KDRT ... 64

C.Upaya P2TP2A dalam Mengatasi Masalah KDRT ... 79

1. Upaya Pencegahan ... 79

2. Upaya Penanganan ... 82

3. Upaya Pemulihan ... 84

BAB V PENUTUP ... 89

A.Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(10)

vi

1. Tabel 1 Informan ... 12

2. Tabel 2 Alur Pelayanan P2TP2A Kota Tangerang Selatan ... 69

3. Tabel 3 Alur Pelayanan Klien Windu ... 73

4. Tabel 4 Alur Pelayanan Klien Warni ... 75

5. Tabel 5 Alur Pelayanan Klien Wilis ... 77


(11)

vii

1. Surat Bimbingan Skripsi ... 98

2. Surat Izin Penelitian ke BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ... 99

3. Surat Izin Penelitian ke P2TP2A Kota Tangerang Selatan ... 100

4. Surat Izin Penelitian dari BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ... 101

5. Surat Keterangan Penelitian di P2TP2A Kota Tangerang Selatan ... 102

6. Hasil Observasi ... 103

7. Pedoman Wawancara ... 114

8. Transkrip Wawancara ... 117

9. Hasil Studi Dokumentasi ... 165

10. Formulir Wawancara dan Pengaduan Klien ... 174


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama penebar kasih sayang sangat tidak kompromi pada tindakan kekerasan terhadap perempuan. Baik menurut ajaran agama maupun logika, tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga, atau disingkat dengan KDRT.

KDRT sebenarnya dapat menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan istri oleh suami. Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan korban KDRT adalah istri. Sudah barang tentu pelakunya adalah suami “tercinta”.1

Kesetaraan gender belum muncul secara optimal di masyarakat,

ditambah lagi dengan budaya patriarki yang terus langgeng membuat

perempuan berada di dalam kelompok yang tersubordinasi menjadi rentan terhadap kekerasan. Di sini laki-laki dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan perempuan. Anggapan istri milik suami dan seorang suami memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada anggota keluarga

yang lain, menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan.2

1

Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h. 22.

2

Nani Kurniasih, “Kajian Yuridis Sosiologis terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender,” h. 5.


(13)

Peran laki-laki di dalam al-Qur’an ditegaskan sebagai pelindung bagi perempuan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah an-Nisa/4: 34

berikut:3

م ۟ا قف أ ٓا ب ضعب ٰى ع م عب ََٱ َ ف ا ب ءٓاسِ ٱ ى ع م َٰ ق اجِ ٱ

ا ب بيغ ِ تٰظف ٰح تٰت ٰق ت ٰح َٰص ٱف ۚ م ٰ مأ

َ ه ش فاخت ىتَٰٱ ۚ ََٱ ظفح

اَيبس َ ي ع ۟ا غبت َف م ع أ إف َ ه ب ضٱ عجا

ٱ ىف َ ه جهٱ َ ه ظعف

اا يبك ااي ع اك ََٱ َ إ

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.

Ayat diatas senada dengan pendapat Elli Nurhayati sebagaimana dikutip Kholifah bahwa:

“Laki-laki yang menjadi pelindung/pemimpin adalah laki-laki yang memiliki keutamaan, yakni dihubungkan dengan tanggung jawab yang diembannya. Menurut Muhammad Abduh, kepemimpinan laki-laki dalam ayat ini bukan pemimpin yang otoriter, melainkan kepemimpinan yang

didalamnya ada ikhtiar guna mewujudkan keluarga bahagia.”4

Tetapi ayat 34 Surah an-Nisa diatas sering dijadikan alat legitimasi keabsahan suami memukul istri. Interpretasi yang salah terhadap ayat

3

Alquran-Indonesia, “Surah an-Nisa/4: 34”, data diakses pada 06 Juni 2015 dari http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/4/30

4 Kholifah, “Sikap Islam terhadap Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga,” Kordinat,


(14)

tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Pengertian kekerasan dalam keluarga/rumah tangga (domestic

violence) menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 1 Ayat

1 sebagai berikut:5

“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

KDRT biasanya terjadi karena beberapa hal. Pertama, fakta bahwa

lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kedua,

masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun. Ketiga, kebudayaan kita mendorong perempuan atau istri supaya

bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Keempat,

masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai

persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami-istri. Kelima, pemahaman

yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki

boleh menguasai perempuan.6

Dampak perlakuan KDRT yaitu Pertama, secara fisik dapat

mengakibatkan luka bahkan cacat serius yang berkepanjangan. Kedua,

5

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

6


(15)

secara psikis/kejiwaan dapat mengakibatkan trauma atau rasa takut yang

berkepanjangan, dan membenci laki-laki dalam hidupnya. Ketiga, secara

ekonomi keluarga akan terlantar baik anak atau istri dari segi sandang,

pangan, papan, maupun pendidikan. Keempat, secara sosial perempuan

korban biasanya minder dan tidak dapat bergaul dengan wajar dengan

masyarakat sekitarnya karena merasa minder.7

Berdasarkan deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, negara berkewajiban melindungi warganya dari serangan kekerasan, baik di lingkup publik maupun di dalam rumah tangga. Untuk itu diperlukan jaminan hukum maupun sarana rehabilitasi guna mengatasi persoalan

kekerasan dalam rumah tangga.8

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga ibarat gunung es. Data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga bersedia melaporkan kejadian yang dialaminya. Hal itu disebabkan antara lain: korban malu membuka aib sendiri tentang diri yang tercemar/terluka secara fisik, psikologis dan sosial; korban khawatir bila lapor malah semakin menambah luka (karena proses peradilan,

pemberitaan media); pembalasan dari pelaku/keluarga (semakin

dipersalahkan/dikucilkan); dan korban sadar akan sulitnya pembuktian

demi keperluan peradilan, biasanya korban sudah siap bercerai.9

7Kholifah, “Sikap Islam terhadap Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga,” h. 124. 8

Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 46.

9

Dadang Hawari, Penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga (Domestic Violence)


(16)

Menurut data Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU KTP) yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2010, dari 105.103 kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengaduan, kekerasan terhadap istri menempati angka tertinggi, yakni

98.577.10

Dalam data yang ada, pada 2009 kasus KDRT yang berhasil dicatat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) berdasar pada data Kepolisian sebanyak 143.586 kasus. Pada 2010

berjumlah 105.103 kasus. Memasuki 2011, sebanyak 119.107 kasus.11

Untuk meminimalisir tindakan KDRT ini, maka perlu adanya

lembaga yang concern menangani masalah KDRT, salah satunya yaitu

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan yang dibentuk berdasarkan SK Walikota

Tangerang Selatan Nomor: 147.141/Kep.402-HUK/2010.12 Tujuannya

yaitu memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan serta berupaya memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan perempuan dan anak dalam rangka terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Di wilayah Tangerang Selatan sendiri jumlah kasus KDRT pada tahun 2011 sebanyak 140 kasus dan pada tahun 2012 ada 116 kasus

10Ufi Ulfiah, “Islam, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Al Arham Edisi 41

(A),” artikel diakses pada 24 Februari 2015 dari

http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=840:islam-perempuan-dan-kekerasan-dalam-rumah-tangga&catid=19:al-arham&Itemid=328

11Dewi Mardiani dan Ahmad Reza Safitri, “Kasus KDRT Meningkat,” artikel diakses pada

24 Februari 2015 dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/27/m34tjt/-kasus-kdrt-meningkat

12


(17)

(berdasarkan laporan dari Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Keluarga

Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan).13

Peneliti memilih P2TP2A Kota Tangerang Selatan karena lembaga ini merupakan upaya Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah Kota Tangerang Selatan. P2TP2A Kota Tangerang Selatan sudah memberikan pelayanan kepada 57 klien sepanjang tahun 2014. Berdasarkan dokumentasi dari P2TP2A mengenai data klien berdasarkan jenis kekerasan yang dialami yaitu kekerasan fisik ada 8 klien, kekerasan psikis ada 37 klien, kekerasan seksual ada 23 klien, dan penelantaran ada 10 klien (satu klien ada yang mendapatkan dua atau lebih tindak

kekerasan).14

Alasan peneliti tertarik membahas dan meneliti adalah

dilatarbelakangi fakta kasus KDRT setiap tahun semakin meningkat dan membutuhkan penanganan dari lembaga yang khusus menangani masalah perempuan agar dapat meminimalisir kasus KDRT. Selain itu persepsi masyarakat yang menganggap bahwa masalah KDRT adalah masalah internal keluarga (aib rumah tangga) yang orang lain tidak perlu tahu menyebabkan KDRT menjadi sesuatu yang lumrah. Padahal KDRT termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan masalah sosial.

13 Riani, “Hingga Agustus, KDRT Tangsel Sebanyak 36 Kasus,” artikel diakses pada 01

Maret 2015 dari http://www.bantenhits.com/metropolitan/1841-hingga-agustus-kdrt-tangsel-sebanyak-36-kasus

14


(18)

Perempuan yang kebanyakan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ini mengalami banyak penderitaan, baik berupa penderitaan fisik seperti luka dan memar, penderitaan psikis seperti merasa terancam, merasa takut, penelantaran dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana program pelayanan sosial bagi perempuan korban KDRT di P2TP2A Kota Tangerang Selatan ini dapat membantu meminimalisir masalah tentang KDRT dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat KDRT. Dari pemikiran diatas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian

“Pelayanan Sosial bagi Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah

Tangga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka peneliti memfokuskan dan membatasi masalah penelitian ini pada proses pelayanan sosial dan upaya P2TP2A Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi masalah KDRT.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan ini pada:


(19)

1. Bagaimana proses pelayanan sosial yang diberikan P2TP2A Kota Tangerang Selatan kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga?

2. Bagaimana upaya P2TP2A Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi

masalah kekerasan dalam rumah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui proses pelayanan sosial yang diberikan P2TP2A

Kota Tangerang Selatan kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Untuk mengetahui upaya P2TP2A Kota Tangerang Selatan dalam

mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga.

2. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di atas maka manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan pengetahuan bagi dunia pekerjaan sosial, khususnya yang berfokus di bidang pelayanan sosial bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.


(20)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian dapat sebagai informasi untuk penelitian lebih lanjut, memberikan kontribusi dan masukan terhadap P2TP2A Kota Tangerang Selatan, serta memberikan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat tentang manfaat pelayanan sosial bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.

D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Untuk penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana peneliti melakukan penelitian dengan menguraikan fakta-fakta yang didapat di lapangan berdasarkan hasil dari penelitian lapangan (field research) yang kemudian diolah, dikaji dan dianalisis agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan.

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.15

Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya

maupun dalam peristilahannya.16

15

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), h. 4.

16


(21)

2. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis, dimana peneliti akan mendeskripsikan secara akurat pelayanan sosial bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan diharapkan mampu memberi gambaran secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan obyek yang akan diteliti.

Moh. Nazir berpendapat bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada

masa sekarang.17

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. Raya Viktor No. 58 RT. 01 RW. 01 Kel. Ciater Kec. Serpong Kota Tangerang Selatan, Telp/Fax : (021) 28719966. Penelitian ini dilakukan bulan Februari sampai April 2015.

4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik yang digunakan untuk penentuan subjek dalam penelitian

ini adalah teknik purposive sampling (bertujuan). Purposive sampling

merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

17

Andi Prastowo, Memahami Metode-metode Penelitian (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 201.


(22)

Kita memilih orang sebagai sampel dengan memilih orang yang benar-benar mengetahui atau memiliki kompetensi dengan topik penelitian

kita.18 Informan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dan

dianggap sebagai orang-orang yang tepat dalam memberikan informasi tentang pelayanan sosial bagi perempuan korban KDRT di P2TP2A Kota Tangerang Selatan.

18

Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder


(23)

Tabel 1 Informan

No. Nama

Informan Usia Pekerjaan/Jabatan

Informasi

yang dicari Keterangan 1.

Herlina Mustikasari, S.Pd, MA.

45

Tahun Ketua P2TP2A

Gambaran lembaga, pelayanan sosial yang ada, proses pelayanan sosial, hasil yang dicapai, faktor penghambat dan pendukung, upaya mengatasi KDRT. Pengurus P2TP2A Kota Tangerang Selatan 2. Hj. Listya Windyarti, S.Sos, MKM. 55

Tahun Wakil Ketua II

3. Dini Kurnia,

S.Si

25 Tahun

Staf Penerima Pengaduan

4. Dra. Diana

Mutiah, M.Si

47 Tahun

Ketua Divisi Pelayanan Psikis

5. Ahmad Zainus

Sholeh, S.H.I 38 Tahun Ketua Divisi Perlindungan dan Pendampingan Hukum

6. Rizky Dwi

Pradana, S.H.I

25

Tahun Konselor Hukum

Pelaksanaan program pelayanan sosial, faktor penghambat dan pendukung, hasil yang dicapai, gambaran profil perempuan korban KDRT. Konselor P2TP2A Kota Tangerang Selatan

7. Kisma Fawzea,

S.Psi

33

Tahun Konselor Psikis

8. Dra. Tati

Astariati 53 Tahun Konselor Perkawinan 9. Windu (bukan nama sebenarnya) 42

Tahun Karyawan Swasta

Profil diri, profil masalah, dan pelayanan yang diberikan lembaga. Klien P2TP2A Kota Tangerang Selatan 10. Warni (bukan nama sebenarnya) 47

Tahun Ibu Rumah Tangga

11.

Wilis (bukan nama

sebenarnya)

40


(24)

5. Sumber Data

Bila dilihat dari sumbernya, teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari para informan yang ada di P2TP2A Kota Tangerang Selatan pada waktu penelitian. Data primer ini diperoleh melalui observasi partisipasi moderat dan wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui sumber-sumber informasi tidak langsung, seperti dokumen-dokumen yang ada di perpustakaan, pusat penelitian dan lain sebagainya.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan untuk dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan penelitian ini. Teknik pengumpulan ini dilakukan dengan cara :

a. Observasi

Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan tetapi, observasi atau pengamatan disini diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan


(25)

pertanyaan-pertanyaan.19 Observasi sebagai alat pengumpul data yang peneliti lakukan yaitu observasi partisipasi moderat artinya peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam

beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya.20

b. Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan

tujuan tertentu.21

c. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan

metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.22

Reiner menjelaskan istilah dokumen dalam tiga pengertian (1) dalam arti luas, yaitu yang meliputi semua sumber, baik sumber tertulis maupun sumber lisan; (2) dalam arti sempit, yaitu yang meliputi semua sumber tertulis saja; dan (3) dalam arti spesifik, yaitu hanya yang meliputi surat-surat resmi dan surat-surat negara, seperti surat

perjanjian, undang-undang, konsesi, hibah dan sebagainya.23

19

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 69.

20

M. Junaidy Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 170.

21

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 180.

22

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010), h. 82.

23

Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 175.


(26)

7. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengolahan, penyajian, interpretasi dan analisis data yang diperoleh dari lapangan, dengan tujuan agar data yang disajikan mempunyai makna, sehingga pembaca dapat mengetahui

hasil penelitian kita.24

Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display,

dan conclusion drawing/verification.25

a. Data Reduction (reduksi data). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

b. Data Display (penyajian data). Penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie card, pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami.

c. Conclusion Drawing/Verification. Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

8. Teknik Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan teknik

Triangulasi Sumber. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui

24

Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif , h. 143.

25


(27)

beberapa sumber.26 Dalam hal ini adalah ketua, pengurus, konselor di P2TP2A Kota Tangerang Selatan dan klien/korban KDRT tersebut.

9. Teknik Penulisan

Adapun penulisan yang digunakan mengacu pada pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan

oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan tinjauan atas kepustakaan (literatur) yang berkaitan dengan topik pembahasan penelitian yang dilakukan pada penulisan skripsi ini. Tinjauan pustaka digunakan sebagai acuan untuk membantu dan mengetahui dengan jelas penelitian yang akan dilakukan untuk penulisan skripsi ini. Adapun tinjauan pustaka dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan literatur berupa skripsi dan tesis yang berkaitan dengan penelitian skripsi peneliti.

Tesis dari Pepi Hendrya, Program Pasca Sarjana Kajian Strategik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, 2011 yang berjudul Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam Perspektif Ketahanan Individu Studi Kasus Perempuan Korban KDRT Klien P2TP2A DKI Jakarta. Isi pokok skripsi ini

26


(28)

membahas tentang pemberdayaan psikologis yang dilakukan P2TP2A DKI Jakarta kepada klien korban KDRT.

Skripsi dari Momba Donna Sari Lubis, Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 yang berjudul Advokasi Sosial untuk Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di LBH APIK Jakarta. Isi pokok skripsi ini membahas tentang peran LBH APIK Jakarta dalam memberikan perlindungan untuk perempuan korban KDRT, bagaimana pola penanganan kasus KDRT, implementasi UU PKDRT dan hambatan yang dialami.

Skripsi dari Irwan Ahmad, Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013 yang berjudul Adat dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Watanhura II, Solor Timur, Flores Timur, NTT). Isi pokok skripsi ini membahas tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan pandangan adat Desa Watanhura II mengenai kekerasan dalam rumah tangga.

Skripsi dari Ilman Nafi’an, Konsentrasi Kesejahteraan Sosial

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009 yang berjudul Analisis Faktor Penyebab dan Bentuk Kekerasan (Studi Kasus Pada Klien Woman Crisis Center Tahun 2008 Di Cirebon). Isi pokok skripsi ini membahas tentang faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga.


(29)

Skripsi yang peneliti bahas berbeda dengan penelitian sebelumnya yang membahas mengenai pemberdayaan psikologis korban kekerasan dalam rumah tangga, peran LBH APIK Jakarta dalam memberikan perlindungan untuk perempuan korban KDRT, sudut pandang suatu adat terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan analisis faktor dan bentuk kekerasan. Pada penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada pelayanan sosial bagi perempuan korban KDRT di P2TP2A Kota Tangerang Selatan. Dimana fokus lembaga tersebut adalah sebagai pusat pengaduan dan tempat perlindungan korban KDRT yang bertujuan memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penelitian ini, maka peneliti membagi sistematika penyusunan ke dalam lima bab. Dimana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini peneliti mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.


(30)

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan membahas mengenai pelayanan sosial, pelayanan medis, pelayanan hukum, pelayanan psikis, teori pemberdayaan, rehabilitasi sosial, dan kekerasan dalam rumah tangga.

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA

Pada bab ini peneliti mengemukakan latar belakang berdirinya P2TP2A Kota Tangerang Selatan, profil P2TP2A, visi dan misi, dan tujuan P2TP2A.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Pada bab ini akan membahas tentang pelayanan sosial yang ada di P2TP2A, proses pelayanan P2TP2A bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan upaya P2TP2A dalam mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini peneliti mengemukakan kesimpulan dari penelitian tentang pelayanan sosial bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan saran-saran untuk perbaikan ke depan bagi lembaga.


(31)

20

A.PELAYANAN SOSIAL

1. Pengertian Pelayanan Sosial

Alfred J. Khan menyebutkan pelayanan sosial sebagai pelayanan yang diberikan oleh lembaga kesejahteraan sosial. Menurut Khan, pelayanan sosial terbagi dalam dua golongan yaitu pertama: pelayanan sosial yang sangat rumit dan komprehensif sehingga sulit ditentukan identitasnya. Kedua: pelayanan sosial yang jelas ruang lingkup dan batas-batas kewenangannya walaupun selalu mengalami perubahan. Kahn melihat pelayanan sosial pada butir dua sebagai pelayanan umum yang berisikan program-program yang ditujukan untuk membantu melindungi dan memulihkan kehidupan keluarga, membantu perorangan untuk mengatasi masalah yang diakibatkan proses perkembangan serta mengembangkan kemampuan orang untuk memahami, menjangkau dan menggunakan

pelayanan-pelayanan sosial yang tersedia.1

Pengertian pelayanan sosial menurut Syarif adalah suatu aktivitas yang terorganisir yang bertujuan untuk menolong orang-orang agar terdapat

suatu penyesuaian timbal-balik antara individu dengan lingkungan sosial.2

1

Edi Suharto, ed., Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h. 201.

2


(32)

Romanyshyn memberikan arti pelayanan sosial sebagai usaha-usaha untuk mengembalikan, mempertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga-keluarga melalui (1) sumber-sumber sosial pendukung, dan (2) proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu-individu dan keluarga-keluarga untuk mengatasi stres dan

tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang normal.3

Pada dasarnya pelayanan sosial merupakan program kegiatan yang memberikan jasa kepada orang perorang untuk membantu dalam mewujudkan tujuan serta menyelesaikan berbagai masalah mereka, dan bukan untuk kepentingan orang-orang yang memberi pelayanan sosial tersebut. Pengertian mengenai pelayanan sosial ini, Muhidin membedakan

menjadi dua sebagai berikut:4

1. Pelayanan sosial dalam arti luas, adalah pelayanan sosial yang mencakup

fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

2. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut pelayanan kesejahteraan

sosial, yakni mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung, seperti pelayanan sosial bagi anak

(Yogyakarta: B2P3KS, 2005), h. 16.

3

Adi Fahrudin, Pengantar Kesejahteraan Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), h. 51.

4

Warto, dkk., Efektivitas Program Pelayanan Sosial di Panti dan Non Panti Rehabilitasi Korban NAPZA (Yogyakarta: B2P3KS Press, 2009), h. 10-11.


(33)

terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna susila, dan sebagainya.

Maka dapat ditegaskan bahwa pelayanan sosial adalah suatu usaha kesejahteraan sosial yang mengarah pada terciptanya kondisi sosial sasaran garap, sehingga mereka memiliki harga diri dan rasa percaya diri yang selanjutnya dapat digunakan untuk melaksanakan fungsi sosialnya dalam

hidup bermasyarakat.5

Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pekerja sosial yang akan

memberikan pelayanan kepada korban diharuskan untuk:6

1. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman

bagi korban;

2. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan

perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

3. mengantarkan korban ke rumah yang aman atau tempat tinggal alternatif;

dan

4. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada

korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

5

Warto, Efektivitas Program Pelayanan Sosial, h. 11.

6

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 139.


(34)

2. Fungsi Pelayanan Sosial

Kegiatan pelayanan sosial perlu dilaksanakan karena berfungsi sangat urgent untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan sosial baik secara individu maupun kelompok. Menurut Muhidin, program pelayanan

sosial berfungsi sebagai berikut.7

a. Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan, dimaksudkan

untuk mengadakan perubahan dalam diri anak dan pemuda dalam program pemeliharaan, pendidikan dan pengembangan. Tujuannya adalah untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak.

b. Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan, dan rehabilitasi,

bertujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang baik secara individu maupun secara kelompok (keluarga dan masyarakat) agar mampu mengatasi masalahnya.

c. Pelayanan akses, yaitu pelayanan yang membutuhkan adanya birokrasi

modern, perbedaan tingkat pengetahuan, dan pemahaman masyarakat terhadap berbagai perbedaan kewajiban atau tanggung jawab, diskriminasi dan jarak geografi antara lembaga pelayanan dan orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial. Dengan keberadaan kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial mempunyai fungsi sebagai

7


(35)

akses untuk menciptakan hubungan secara sehat antara berbagai progam, sehingga dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Richard M. Titmuss mengemukakan bahwa fungsi pelayanan sosial

adalah sebagai berikut.8

a. Meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, serta masyarakat

untuk masa sekarang dan mendatang.

b. Melindungi masyarakat.

c. Investasi manusiawi yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan

sosial.

d. Sebagai program kompensasi bagi orang-orang yang tidak mendapat

pelayanan sosial, misalnya kompensasi kecelakaan industri.

3. Tujuan Pelayanan Sosial

Apabila dilihat dari segi pelaksanaannya, menurut Abdul Untung,

pelayanan sosial dilakukan dalam upaya mencapai tujuan sebagai berikut.9

a. Untuk membantu orang agar dapat mencapai ataupun menggunakan

pelayanan yang tersedia, dalam hal ini dikenal bentuk pelayanan sosial

yang disebut pelayanan akses (access service) mencakup pelayanan

informasi, rujukan (referral), perlindungan (advocacy) dan partisipasi.

b. Untuk pertolongan dan rehabilitasi, dikenal adanya pelayanan terapi

8

Sulistyo, Pengkajian Kebutuhan Pelayanan Sosial, h. 18.

9


(36)

termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan seperti pelayanan

yang diberikan oleh badan yang menyediakan counseling, pelayanan

kesejahteraan anak, pelayanan pekerjaan sosial medik dan sekolah, serta sejumlah program koreksional, perawatan bagi orang lanjut usia atau jompo, dan sebagainya.

c. Untuk pengembangan, dikenal dengan pelayanan sosialisasi dan

pengembangan seperti taman penitipan bayi ataupun anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda, pusat kegiatan masyarakat dan sebagainya.

B.PELAYANAN SOSIAL MEDIS

1. Pengertian Pelayanan Sosial Medis

Pelayanan sosial medis adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien untuk membantu menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, maupun emosional yang dihadapi oleh pasien akibat dari suatu penyakit atau kecacatan yang diderita, agar pasien dapat berfungsi sosial kembali di

dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya.10

2. Peran Pekerja Sosial Medis

Dr. Henry Richardson, seorang tokoh pekerja sosial medis

10Fitrah Nasuha, “Pelayanan Sosial Medis bagi Penderita Paraplegia d

i Instalasi Rehabilitasi

Medik RSUP Fatmawati Jakarta,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam


(37)

mengatakan bahwa pekerja sosial medis mempunyai tujuan jangka pendek menghilangkan tekanan-tekanan baik dari dalam maupun dari luar diri

pasien. Tujuan akhir ialah membantu pasien menggunakan

kemampuan-kempuannya untuk mencari dan mempergunakan perawatan medis, untuk mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi lebih lanjut, dan

untuk mempertahankan kesehatannya.11

Berikut enam fungsi pokok pekerja sosial medis:12

a. Memberi bantuan dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah

emosional dan sosial seorang pasien, yang timbul sebagai akibat penyakit yang dideritanya.

b. Membina hubungan kekeluargaan yang baik.

c. Memperlancar hubungan antara rumah sakit, penderita dan keluarga.

d. Membantu proses penyesuaian diri pasien dengan masyarakat dan

sebaliknya.

e. Memantapkan pemahaman staf rumah sakit tentang pekerjaan sosial dan

berusaha mengintegrasikan Bagian Pekerjaan Sosial secara integral dalam tim rumah sakit.

f. Melibatkan diri dalam aksi masyarakat.

11

Mary Johnston, Relasi Dinamis antara Pekerja Sosial dengan Klien dalam Setting Rumah Sakit (Solo: Sri Laksana Purna, 1988), h. 38.

12

Johnston, Relasi Dinamis antara Pekerja Sosial dengan Klien dalam Setting Rumah Sakit, h. 48.


(38)

C.PELAYANAN HUKUM 1. Advokasi

Zastrow mengartikan advokasi adalah aktivitas menolong klien atau sekelompok klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak suatu lembaga atau suatu sistem layanan, dan membantu memperluas

pelayanan agar mencakup lebih banyak orang yang membutuhkan.13

Tujuannya adalah untuk membantu orang menghadapi berbagai hambatan

dalam mencapai tujuan hidup dan mendapatkan akses pelayanan sosial.14

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 25 bahwa dalam hal memberikan

perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:15

a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai

hak-hak korban dan proses peradilan;

b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan

13

Suharto, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial, h. 170.

14

Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Dyawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 50.

15

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 25.


(39)

pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

D.PELAYANAN PSIKIS

1. Konseling

Menurut The American Psychological Association, Division of

Counseling Psychology, Committee on Definition mendefinisikan konseling

sebagai sebuah proses membantu individu untuk mengatasi

masalah-masalahnya dalam perkembangan dan membantu mencapai perkembangan yang optimal dengan menggunakan sumber-sumber

dirinya.16

Berdasarkan perspektif Pekerja Sosial, konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yakni membangun relasi, menggali masalah secara

mendalam, dan menggali solusi alternatif.17

a. Membangun Relasi

Tahap ini melibatkan pertunangan (engagement) atau pertemuan

awal antara Pekerja Sosial dan klien. Pekerja Sosial dituntut untuk membangun suasana yang kondusif dan menyenangkan, sehingga klien tidak memiliki keraguan atau bahkan ketakutan dalam mengemukakan masalahnya. Pekerja Sosial perlu menunjukkan sikap penerimaan,

16

Gantina Komalasari, dkk., Teori dan Teknik Konseling (Jakarta: PT Indeks, 2011), h. 9.

17


(40)

respek dan perhatian kepada klien.

b. Menggali Masalah Secara Mendalam

Pada tahap ini Pekerja Sosial dan klien terlibat dalam penggalian informasi secara lengkap dan mendalam mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami klien. Dimensi masalah yang perlu digali pada tahap ini berkisar pada: (1) jenis masalah yang dialami klien, (2) tingkat masalahnya, (3) lama masalah tersebut telah terjadi, (4) penyebabnya, (5) perasaan klien mengenai masalah tersebut, dan (6) kekuatan serta kemampuan fisik dan mental klien dalam menghadapi masalah yang dialaminya. Pekerja Sosial jangan tergesa-gesa untuk segera memberikan solusi sesaat setelah masalah klien teridentifikasi.

c. Menggali Solusi Alternatif

Setelah masalah diyakini telah terungkap secara mendalam, tahap berikutnya yang perlu dilakukan Pekerja Sosial dan klien adalah menggali berbagai kemungkinan yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah. Peran Pekerja Sosial pada tahap ini umumnya mengidentifikasi beberapa alternatif untuk kemudian menggalinya bersama klien guna mencari kecocokan, kelebihan dan keterbatasan dari setiap alternatif-alternatif tersebut. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah bahwa klien memiliki hak menentukan nasibnya


(41)

beberapa alternatif yang paling sesuai dengan aspirasi dan keadaannya. Tugas Pekerja Sosial adalah membantu klien memahami dan memperjelas konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing alternatif yang tersedia, dan umumnya bukan memberi saran atau pilihan secara sepihak kepada klien.

2. Konseling Pernikahan

Konseling pernikahan (marriage counseling) adalah upaya membantu

pasangan (calon suami-istri, dan suami-istri) oleh konselor profesional, sehingga mereka dapat berkembang dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya melalui cara-cara yang saling menghargai, toleransi, dan dengan komunikasi yang penuh pengertian, sehingga tercapai motivasi berkeluarga, perkembangan, kemandirian, dan kesejahteraan seluruh

anggota keluarga.18

E.REHABILITASI SOSIAL

Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang bertujuan untuk mengintegrasikan seseorang yang mengalami masalah sosial ke dalam kehidupan masyarakat dimana dia berada. Pengintegrasian tersebut dilakukan melalui upaya peningkatan penyesuaian diri, baik terhadap keluarga, komunitas maupun pekerjaannya. Dengan demikian, rehabilitasi

18


(42)

sosial merupakan pelayanan sosial yang utuh dan terpadu, agar seseorang dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup

bermasyarakat.19

F. TEORI PEMBERDAYAAN

Zastrow mendefinisikan konsep pemberdayaan (empowerment)

sebagai proses menolong individu, keluarga, kelompok dan komunitas untuk meningkatkan kekuatan personal, interpersonal, sosial ekonomi, dan

politik dan pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas hidupnya.20

Payne mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment)

pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya

yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.21

G.KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

1. Pengertian Kekerasan

Kekerasan didefinisikan secara sederhana sebagai bentuk tindakan

19

Suharto, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial, h. 186.

20

Ariefuzzaman dan Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, h. 51.

21

Isbandi Rukminto Adi. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial


(43)

yang melukai, membunuh, merusak, dan menghancurkan lingkungan.22 Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan. Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kultural, dan langsung. Kekerasan langsung sering kali didasarkan atas penggunaan kekuasaan

sumber (resource power).23

Kekerasan langsung (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus

pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka-luka

pada tubuh.24

2. Pengertian Rumah Tangga

Rumah tangga, dapat diartikan sebagai semua orang yang tinggal bersama di satu tempat kediaman. Rumah tangga adalah suatu unit sosial yang berorientasikan pada tugas, unit ini lebih besar dari individu tetapi lebih kecil daripada ketetanggaan atau komunitas. Dalam rumah tangga ada sejumlah aturan-aturan dan pembagian fungsi dan tanggung jawab setiap anggotanya. Pembagian ini berkaitan dengan produksi, mengumpulkan dan

membagikan, penerusan nilai-nilai, dan ketetanggaan.25

22

Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 114.

23

Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, h. 118.

24

Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, h. 121.

25

Purnianti dan Rita Serena Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga


(44)

Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah:26

a. Suami istri atau mantan suami istri;

b. Orang tua dan anak-anak;

c. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah;

d. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang

lain yang menetap di sebuah rumah tangga;

e. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau

pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu).

3. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga atau Domestic Violence adalah

rangkaian kata yang terdiri dari dua kata yaitu kekerasan atau violence yang

menjadi penekanan utamanya; dan kata rumah tangga atau domestic yang

menjelaskan tempat peristiwa violence itu sendiri. Secara sederhana

domestc violence dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang terjadi dalam

lingkup rumah tangga.27

Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang meliputi penyerangan, pemukulan, perkosaan dan pembunuhan, yang dilakukan oleh

26

Achie Sudiarti Luhulima, ed., Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Bandung: PT. Alumni, 2000), h. 109.

27


(45)

seseorang kepada orang lain (yang dilakukan oleh pelaku kepada korban) dalam hubungan intim. Hubungan intim ini termasuk hubungan antara suami-istri, pasangan seksual, orang tua, anggota keluarga besar, dan

pacaran.28

Menurut Mansur Faqih, “Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

adalah serangan atau invasi (assault) yang menyakitkan terhadap fisik

maupun integritas mental psikologis seseorang.”29

Pada tahun 1993 Laporan Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Home Affairs Select Committee (HASC), mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai: “Semua bentuk penganiayaan fisik, seksual atau emosional yang berlangsung dalam konteks suatu hubungan yang erat. Dalam banyak kasus, hubungan yang terjadi diantara pasangan (yang

dinikahi, kumpul kebo, atau yang lainnya) atau bekas pasangan.”30

Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 Ayat 1, pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”31

28

Dewita Hayu Shinta dan Oetari Cintya Bramanti, Kekerasan dalam Rumah Tangga Reduksi Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam RUU KUHP (Jakarta: LBH APIK, 2007), h. 38.

29

Eti Nurhayati, Bimbingan, Konseling & Psikoterapi Inovatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 127.

30

Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 28.

31


(46)

Terdapat teori lingkaran kekerasan untuk memahami mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya. Teori lingkaran kekerasan terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap

bulan madu.32

Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus-menerus, atau tidak saling memerhatikan, atau kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini biasanya dianggap sebagai bumbu perkawinan. Kemudian, pada tahap kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik, atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti kalau si perempuan pergi dari rumah atau si laki-laki sadar apa yang dia lakukan, atau salah seorang perlu dibawa ke rumah sakit.

Pada tahap bulan madu, laki-laki sering menyesali tindakannya. Penyesalannya biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Bahkan, tidak jarang laki-laki sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Kalau sudah begitu, biasanya perempuan menjadi luluh dan memaafkannya karena ia masih

Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 1 Ayat 1.

32

Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 32.


(47)

berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya mengapa perempuan tetap memilih bertahan meski menjadi korban kekerasan karena pada tahap bulan madu ini perempuan merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi. Terjadi tahap kedua, munculnya ketegangan dan kekerasan. Selanjutnya, terjadi bulan madu kembali. Demikian seterusnya lingkaran kekerasan ini berputar jalin-menjalin sepanjang waktu.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku yang disebabkan oleh suatu kebutuhan untuk mengendalikan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terentang dari ancaman, mengganggu percakapan telepon dan pembuntutan (seperti mengikuti korban ke dan dari pekerjaan, dan mengancam korban), hingga sentuhan seksual yang tidak dikehendaki dan pemukulan. Kekerasan ini juga dapat didefinisikan sebagai seseorang

merusak milik pasangannya.33

Kebanyakan perempuan menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan suaminya adalah kekhilafan sesaat. Dan biasanya suami terus minta maaf, bersikap mesra lagi pada istrinya. Biasanya, suami melakukan

kekerasan fisik dengan pola perputaran sebagai berikut:34

a. Rasa cinta: Ketika suami melakukan kekerasan pada istri, istri biasanya

menunjukkan rasa sayang dan cintanya pada suami, memaklumi,

33

Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 29.

34


(48)

mencoba untuk mengerti.

b. Berharap: Istri selalu berharap suami akan berubah menjadi baik,

sehingga selalu bersabar.

c. Teror: Biasanya setelah suami dimaafkan istri, maka hari-hari berikutnya

jika menghadapi masalah keluarga suami kembali melakukan teror, mengancam, menakut-nakuti akan dipukul, ditinggal, dan sebagainya. Istri kembali menangis, memaafkan, memaklumi, bersabar dan berharap suami berubah, sampai suami kembali melakukan kekerasan. Demikian seterusnya. Ini adalah siklus perputaran terjadinya kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga dalam prakteknya sulit diungkap

karena beberapa sebab. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga terjadi

dalam lingkup kehidupan rumah tangga yang dipahami sebagai urusan yang

bersifat privasi, dimana orang lain tidak boleh ikut campur (intervensi).

Kedua, pada umumnya korban (istri/anak) adalah pihak yang secara struktural lemah dan mempunyai ketergantungan khususnya secara ekonomi dengan pelaku (suami). Dalam posisi ini, korban pada umumnya selalu mengambil sikap diam atau bahkan menutup-nutupi tindak kekerasan tersebut, karena dengan membuka kasus kekerasan dalam rumah tangga ke

publik berarti membuka aib keluarga. Ketiga, kurangnya pengetahuan dan

kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak hukum yang dimilikinya. Keempat, adanya stigma sosial bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami


(49)

dipahami oleh masyarakat sebagai hal yang mungkin dianggap wajar dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang memang mempunyai otoritas untuk melakukannya. Pada posisi ini, korban sering enggan melaporkan kepada aparat penegak hukum karena khawatir justru akan

dipersalahkan (blame the victim).35

4. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pada dasarnya bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak berbeda dengan bentuk kekerasan lainnya tetapi didalamnya terdapat hubungan yang saling menyakiti, dan adanya tujuan pelaku untuk melestarikan kekuasaan dan

kendali atas pasangannya.36

Kekerasan dalam rumah tangga tidak melulu harus diartikan dalam bentuk tindakan fisik (memukul, menjambak), termasuk juga kekerasan dalam bentuk psikis, seperti terus-menerus ditekan atau dipojokkan oleh keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau kata-kata kasar atau memelototi,

sudah dianggap sebagai bentuk kekerasan.37

Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan

35

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender (Purwokerto: Pusat Studi Gender, 2006), h. 50-51.

36

Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 31.

37


(50)

dalam rumah tangga dapat berwujud:38

1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat;

2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;

3. Kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu;

4. Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan

orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

38

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


(51)

Secara garis besar, bentuk-bentuk kekerasan dapat dikelompokkan dalam lima bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologi atau emosional, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual. Seorang korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya mengalami satu bentuk kekerasan saja, bisa jadi dia mengalami beberapa bentuk kekerasan secara berlapis (kumulatif), artinya mengalami beberapa jenis kekerasan

atau kombinasi jenis-jenis kekerasan tersebut.39

Menurut Ashcraft, Fine, Hegde, Schechter dan Walker dalam Journal

of Counseling & Development Vol 81 Tahun 2003, kekerasan dalam rumah

tangga mencakup bentuk perilaku sebagai berikut:40

1. Kekerasan fisik, seperti: menghantam, mendorong, menampar, menusuk,

menendang, menggunakan senjata, melempar benda, mematahkan barang-barang, menarik rambut, dan mengurung.

2. Kekerasan verbal, seperti: menjatuhkan, mencaci maki, mengkritik,

bersilat lidah, menghina, membuat perasaan berdosa, memperkuat perasaan takut.

3. Kekerasan ekonomi, seperti: mempekerjakan dalam suatu pekerjaan,

memberhentikan/membatasi pekerjaan, memanfaatkan peluang

penghasilan, meminta paksa dukungan.

4. Kekerasan dengan pengasingan sosial, seperti: mengawasi pergaulan dan

39

Purnianti dan Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 32.

40


(52)

ruang gerak, membatasi keterlibatan di masyarakat.

5. Kekerasan seksual, seperti: memaksa untuk melaksanakan tindakan

seksual yang tidak dikehendaki, menyeleweng, melakukan hubungan sodomi dengan kekerasan, menuduh menyeleweng, menghina cara mencapai kepuasan seks, tidak memberi kasih sayang.

6. Mengerdilkan/menyepelekan, seperti: mudah melakukan kekerasan,

menuduh keras yang tidak terjadi, membalas dengan kekerasan, menyalahkan melakukan kekerasan.

7. Mengintimidasi, seperti: menunjukkan perangai yang menakutkan,

menghancurkan barang milik, melukai binatang kesayangan,

mengancam dengan senjata, mengancam untuk meninggalkan, mengambil anak-anak, mengancam bunuh diri, mengancam untuk mengungkapkan homoseksualitas ke masyarakat, para pekerja, keluarga, atau mantan pasangan.

5. Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga lahir dipengaruhi oleh banyak variabel kebudayaan, hukum, politik, ekonomi dan agama yang akar

masalahnya adalah sebagai berikut:41

1. Masyarakat memposisikan lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang

bersifat private affair (urusan pribadi) dan oleh karenanya orang lain

41


(53)

tidak boleh ikut campur dalam persoalan rumah tangga. Implikasi dari persepsi ini mengakibatkan lahirnya persepsi bahwa apapun yang terjadi dalam lingkup rumah tangga termasuk tindak kekerasan terhadap anggota keluarga yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain, orang lain tidak boleh ikut campur.

2. Relasi suami istri bersifat struktural yang menempatkan suami sebagai

kepala rumah tangga yang mempunyai otoritas penuh terhadap anggota keluarganya. Pada posisi ini suami mempunyai hak mengendalikan dan mengontrol secara penuh anggota keluarganya.

3. Praktek kekerasan dalam rumah tangga lahir dipengaruhi oleh

dominannya budaya patriarki dan legitimasi tafsir keagamaan yang pada umumnya bias gender.

Budaya patriarki memiliki imbas negatif dalam kehidupan keluarga yang berlanjut kepada marginalisasi perempuan, aturan/larangan/sanksi dalam keluarga, ketidaksetaraan gender dan penyembunyian kasus kekerasan (hidden phenomena). Hal ini ikut mendorong timbulnya krisis dalam

keluarga dan melahirkan kekerasan suami kepada istri (KESTI).42

4. Secara substantif, ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam ketentuan

UU PKDRT banyak yang tidak jelas (clearness), disamping belum

adanya kesadaran masyarakat tentang konsep kesetaraan gender,

42

Erna Surjadi, Bagaimana Mencegah KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2011), h. 106.


(54)

sehingga masyarakat belum mengetahui hak dan kewajibannya dihadapan hukum.

Penyebab kekerasan dalam rumah tangga secara umum adalah kompleks. Wolley menemukan empat kategori penyebab terjadi kekerasan

terhadap istri, antara lain:43

1. Amukan dan frustasi oleh masalah yang tidak terselesaikan dari pelbagai

sumber.

2. Penggunaan alkohol. Meskipun keadaan mabuk sering menjadi alasan,

tetapi bukan alasan untuk melakukan kekerasan.

3. Perbedaan dalam status, seperti suami mempunyai pendidikan dan

pendapatan lebih rendah daripada istrinya.

4. Ketakutan istri tergantung pada suami, padahal suami tidak mampu

menanggung.

Penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap istri menurut R. Langley dan C. Levy adalah karena suami sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, pandangan masyarakat seperti melegalkan tindakan kekerasan suami terhadap istrinya, komunikasi suami istri yang tidak harmonis, persoalan seks (seperti: disfungsi seks, penyelewengan, ketidakpuasan seks), citra diri rendah, frustasi, perubahan situasi dan

43


(55)

kondisi ekonomi, dan bentuk kekerasan sebagai kebiasaan penyelesaian

masalah.44

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:45

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai

superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan di bidang ekonomi. Diskriminasi dan

pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak. Istri yang tidak bekerja, menjadikannya

menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak. Konsep wanita sebagai hak milik bagi

laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.

44

Nurhayati, Bimbingan, Konseling & Psikoterapi Inovatif, h. 136.

45 M. Thoriq Nurmadiansyah, “Membina Keluarga Bahagia Sebagai Upaya Penurunan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Perspektif Agama Islam dan Undang-undang,” Musawa, Vol. 10, no. 2 (Juli 2011): h. 221.


(56)

Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

6. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

Biasanya akibat dari perlakuan kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan trauma. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat

mengalami trauma fisik, psikologis (mental) dan psikososial antara lain:46

1. Fisik

Luka fisik, kerusakan syaraf, pingsan, cacat permanen, gugur kandungan, kehamilan, gangguan organ reproduksi (infeksi), penyakit kelamin dan kematian.

2. Psikologis/Mental

Kehilangan nafsu makan, gangguan tidur (insomnia, mimpi buruk), cemas, takut, tidak percaya diri, hilang inisiatif/tidak berdaya, tidak percaya pada apa yang terjadi, mudah curiga/paranoid, kehilangan akal sehat, depresi berat.

Seringkali akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa korban secara langsung, tetapi juga anggota lain dalam rumah tangga secara tidak langsung. Tindak kekerasan seorang suami terhadap istri atau sebaliknya, misalnya, dapat meninggalkan kesan negatif

46


(57)

yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Kesan negatif ini pada akhirnya dapat pula menimbulkan kebencian dan malah benih-benih dendam yang tak berkesudahan terhadap pelaku. Bukan itu saja, rumah tangga yang dibangun untuk kepentingan bersama akan berantakan. Dalam pada itu, tidak jarang sang pelaku turut menderita karena depresi dan tekanan mental berlebihan yang dialaminya akibat penyesalan

yang tiada lagi berguna.47

47Mohammad „Azzam Manan, “Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif


(58)

47

DAN ANAK (P2TP2A) KOTA TANGERANG SELATAN

A. SEJARAH PEMBENTUKAN P2TP2A

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Tangerang Selatan (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan dibentuk pada tahun 2010 dibawah naungan Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Dimana sebenarnya P2TP2A ini adalah program nasional, jadi setiap kabupaten/kota dianjurkan membentuk P2TP2A sebagai tempat yang menangani kasus kekerasan (kekerasan pada anak, kekerasan dalam

rumah tangga) dan trafficking.1

Awal pembentukan P2TP2A Kota Tangerang Selatan yaitu dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus tindakan kekerasan yang terjadi baik di lingkup rumah tangga atau publik terhadap perempuan dan anak di Kota Tangerang Selatan. Karena penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kasus-kasus kekerasan yang memang para korban tidak berani melaporkan khususnya untuk kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Oleh karena itu, dibentuklah P2TP2A yang akan menangani kasus-kasus tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain juga pembentukan

1

Wawancara Pribadi dengan Herlina Mustikasari, S.Pd, MA, Tangerang Selatan, 17 April 2015, lihat lampiran IX.


(59)

P2TP2A ini merupakan amanah dari kementerian dan undang-undang, yang memang diharapkan setiap kabupaten/kota dapat membentuk tempat perlindungan perempuan dan anak.

Di dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat

dan martabat kemanusiaan.2 Selain itu di dalam Undang-undang Republik

Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak

asasi manusia.3

Dasar Hukum pembentukan P2TP2A Kota Tangerang Selatan yaitu Surat Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor : 147.141/Kep. 402-Huk/2010 tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan.4

Pada pembentukan pengurus tahun 2010, banyak sekali yang menjadi pengurus yaitu dari semua sektor dilibatkan baik itu dari

2

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

4


(60)

masyarakat, dunia usaha, maupun dari jajaran pemerintahan, karena beranggapan bahwa semakin banyak yang terlibat dalam penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak maka angka kekerasan akan berkurang dan menjadi nol. Tetapi seiring berjalannya waktu, ini tidak efektif selain juga dengan kesibukan masing-masing, yang concern terhadap penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak ini juga tidak sebanyak yang diharapkan pada waktu awal. Oleh

karena itu, susunan pengurus dievaluasi dan dikurangi agar tetap berjalan.5

Sebelumnya pengurus P2TP2A Kota Tangerang Selatan melakukan studi banding ke beberapa wilayah seperti di Solo dan Yogyakarta dimana pengurus P2TP2A-nya tidak terlalu banyak, hanya kerjasama dengan lembaga bantuan hukum dan lembaga psikolog, serta memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial yang bergerak dibidang yang sama. Jadilah itu diserap oleh pengurus P2TP2A Kota Tangerang Selatan untuk bekerjasama dengan lembaga bantuan hukum, lembaga psikolog,

dan memperluas jaringan.6

B. PROFIL P2TP2A

P2TP2A adalah pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi perempuan dan anak korban tindakan kekerasan di Kota Tangerang

5

Wawancara Pribadi dengan Hj. Listya Windyarti, S.Sos, MKM (Wakil Ketua II P2TP2A), Tangerang Selatan, 07 April 2015, lihat lampiran VI.

6

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Zainus Sholeh, S.H.I (Ketua Divisi Perlindungan dan Pendampingan Hukum), Tangerang Selatan, 06 April 2015, lihat lampiran V.


(61)

Selatan yang meliputi Pelayanan Medis, Pelayanan Hukum, Pelayanan

Psikis, dan Pelayanan Rehabilitasi Sosial.7

P2TP2A adalah tempat anda :8

1. Mendapatkan informasi tentang pemberdayaan perempuan dan

perlindungan anak.

2. Konsultasi masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Perdagangan

Orang (trafficking).

3. Pengaduan dan tempat perlindungan korban Kekerasan dalam Rumah

Tangga (KDRT).

Di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

(P2TP2A) Kota Tangerang Selatan disediakan:9

1. Konselor Perkawinan / Kerohanian

2. Konselor Medis

3. Konselor Psikologis

4. Konselor Hukum

5. Konselor Sosial

C. VISI DAN MISI 1. Visi

Terwujudnya Kota Tangerang Selatan yang layak huni dan

bersahabat untuk perempuan dan anak.10

7

Brosur P2TP2A Kota Tangerang Selatan.

8

Brosur P2TP2A Kota Tangerang Selatan.

9

Brosur P2TP2A Kota Tangerang Selatan.

10


(62)

2. Misi

a. Memberikan pelayanan pelaporan kasus kekerasan.

b. Memberikan kemudahan bagi masyarakat khususnya perempuan dan

anak untuk mendapatkan pelayanan yang baik, mudah dan cepat.

c. Memberdayakan dan memberikan perlindungan kepada perempuan

dan anak dari kekerasan dan kejahatan secara preventif, kuratif, rehabilitatif dan promotif.

d. Memberikan pelayanan konsultasi bagi pemecahan berbagai

permasalahan yang dialami oleh perempuan dan anak.

e. Lembaga mediasi (tempat pelayanan antara) untuk rujukan berbagai

masalah perempuan dan anak ke sarana pelayanan lanjutan yang

diperlukan.11

D. TUJUAN P2TP2A

Tujuan P2TP2A yaitu memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan serta berupaya memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak

dalam rangka terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.12

11

Dokumen P2TP2A Kota Tangerang Selatan tahun 2013.

12


(63)

52

PELAYANAN SOSIAL BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DI PUSAT PELAYANAN TERPA DU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) KOTA TANGERANG SELATAN

A. Pelayanan Sosial di P2TP2A Kota Tangerang Selatan

Romanyshyn memberikan arti pelayanan sosial sebagai usaha-usaha untuk mengembalikan, mempertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga-keluarga melalui sumber-sumber sosial pendukung, dan proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu-individu dan keluarga-keluarga untuk mengatasi stres dan

tuntutan-tuntutan kehidupan sosial yang normal.1

Menurut Abdul Untung, pelayanan sosial dilakukan dalam upaya mencapai tujuan untuk membantu orang agar dapat mencapai ataupun menggunakan pelayanan yang tersedia, dalam hal ini dikenal bentuk

pelayanan sosial yang disebut pelayanan akses (access service) mencakup

pelayanan informasi, rujukan (referral), perlindungan (advocacy) dan

partisipasi.2

Tujuan P2TP2A Kota Tangerang Selatan adalah sebagai tempat yang memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan serta berupaya memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan

1

Adi Fahrudin, Pengantar Kesejahteraan Sosial, h. 51.

2


(64)

dan perlindungan perempuan dan anak dalam rangka terwujudnya

kesetaraan dan keadilan gender.3

Di P2TP2A Kota Tangerang Selatan terdapat 5 pelayanan yaitu pelayanan medis, pelayanan hukum, pelayanan psikis, konseling perkawinan, dan pelayanan rehabilitasi sosial.

Berikut penjelasan mengenai pelayanan-pelayanan yang ada di P2TP2A Kota Tangerang Selatan yaitu :

1. Pelayanan Medis

Pelayanan medis yaitu bantuan kepada korban KDRT yang mengalami luka fisik yang membutuhkan pengobatan dan ingin melakukan visum untuk bukti kepada pihak Kepolisian apabila klien/korban KDRT ingin melaporkan pelaku.

Menurut Dr. Henry Richardson bahwa peran pekerja sosial medis tujuan akhirnya ialah membantu pasien menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk mencari dan mempergunakan perawatan medis, untuk mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi lebih lanjut, dan

untuk mempertahankan kesehatannya.4 Dimana peran pekerja sosial

medis ini dilakukan oleh Staf Penerima Pengaduan.

Korban KDRT yang datang ke P2TP2A dengan kondisi fisik yang terluka, maka Staf Penerima Pengaduan akan mendampingi korban ke Kepolisian untuk melapor, setelah mendapat surat dari Kepolisian, korban akan dirujuk ke rumah sakit untuk melakukan visum terkait luka

3

Brosur P2TP2A Kota Tangerang Selatan.

4

Johnston, Relasi Dinamis antara Pekerja Sosial dengan Klien dalam Setting Rumah Sakit, h. 38.


(65)

fisiknya sebagai bukti pada saat ingin melanjutkan untuk melaporkan pelaku.

Pelayanan medis secara langsung di Kantor P2TP2A memang tidak ada, karena Kantor P2TP2A hanya sebagai tempat pelayanan pengaduan, dan hanya terdapat ruang konsultasi hukum, rumah aman (shelter)5 bagi klien/korban KDRT yang membutuhkan tempat tinggal sementara dengan batas maksimal 3 hari 2 malam.

P2TP2A dalam memberikan pelayanan medis berkoordinasi dengan rumah sakit, terutama rumah sakit umum (biasanya RSUD, kecuali visum diluar RSUD) dan 25 puskesmas yang sudah paham dalam penanganan korban tindak kekerasan. Untuk rumah sakit swasta masih belum berkoordinasi tetapi pihak P2TP2A sudah menitipkan ke Dinas Kesehatan agar rumah sakit swasta juga paham dalam penanganan korban tindak kekerasan.

Klien/korban KDRT yang membutuhkan pengobatan segera atau harus melakukan visum maka Staf Penerima Pengaduan akan mendampingi sebagaimana dikatakan Bu Dini Staf Penerima Pengaduan sebagai berikut:

“Nah dari situ kalau memang keadaannya seperti yang tadi saya bilang, dia lebam-lebam semuanya nih habis dipukuli trus dia ingin melaporkan pelakunya, kita utamakan adalah visum, nah itu nanti akan jadi bukti otentik saat dia pelaporan di Kepolisian, kalau kasusnya ini ditindaklanjuti sampai ke tahap pengadilan. Nah itu kita harus segera karena kan kalau lebam itu bisa hilang jadi kita harus segera visum, nah visum ini ditanggung secara gratis oleh P2TP2A.”6

5

Observasi Peneliti pada Rabu, 18 Februari 2015, lihat lampiran I.

6


(66)

Untuk memperkuat data, peneliti juga mewawancarai Bu Listya Wakil Ketua II P2TP2A, ia mengatakan:

“mereka butuh visum atau pelayanan kesehatan, mereka biasanya didampingi untuk ke pelayanan kesehatan. Nah rumah sakit dan puskesmas se-Tangsel ini semuanya sudah jejaringnya kita. Hanya rumah sakit umum ya terutama, kalo rumah sakit swastanya belum, tapi kalo rumah sakit umum mereka sudah

menerima dari P2TP2A.”7

Jadi klien/korban KDRT yang membutuhkan pelayanan medis berupa pengobatan dan visum akan segera dirujuk ke rumah sakit, dimana sebelum melakukan visum, Staf Penerima Pengaduan P2TP2A mendampingi klien/korban KDRT untuk melapor ke Kepolisian agar mendapat surat pengantar melakukan visum di rumah sakit yang ditunjuk dari Kepolisian.

Apabila ada klien/korban KDRT yang membutuhkan pelayanan medis lebih lanjut seperti rawat inap maka P2TP2A akan mengkoordinasikan dengan Dinas Kesehatan. Karena P2TP2A tidak mempunyai anggaran untuk rawat inap dan lain-lain, tetapi untuk visum sudah ada anggarannya.

2. Pelayanan Hukum

P2TP2A bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LBH PAHAM) dalam memberikan pelayanan hukum, yaitu Konselor Hukum yang berasal

lampiran II.

7

Wawancara Pribadi dengan Hj. Listya Windyarti, S.Sos, MKM, Tangerang Selatan, 07 April 2015, lihat lampiran VI.


(1)

168

HASIL DOKUMENTASI

Gambar 7

Sarana pendukung berupa sofa agar klien lebih nyaman untuk menceritakan masalahnya.

Gambar 8


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kelurahan Durian Kecamatan Medan Timur Kota Medan

10 114 91

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (PPT) Kabupaten Situbondo)

0 29 17

DAMPAK KEKERASAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kabupaten Situbondo)

0 5 17

PERANAN UPT P2TP2A (UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK) DALAM PENANGANAN DAN PENNGGULANGAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI KOTA BANDUNG.

14 122 44

Pemetaan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Provinsi Bali.

0 0 4

PERAN PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) DALAM MENJAMIN HAK PERLINDUNGAN BAGI ANAK KORBAN PENCABULAN DI KABUPATEN WONOGIRI.

0 0 7

Efektivitas Collaborative Governance Pelayanan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS).

1 5 14

Pemetaan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sumatera Barat

0 0 16

MANAJEMEN PELAYANAN KONSELING TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PUSAT PELAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 1 108

KINERJA PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) KOTA DEPOK DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK TAHUN 2017

1 37 178