Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian non medical narkotik dan obat-obatan adiktif yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia pemakainya. Berbagai jenis narkoba yang mungkin disalahgunakan adalah tembakau, alkohol, obat-obat terlarang dan zat yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang diisap dari asapnya. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan ketergantungan zat narkoba, jika dihentikan maka si pemakai akan “sakaw” sakit. Willis, 2005. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin memprihatinkan. Sasarannya bukan lagi remaja dan orang dewasa, namun telah merambah sampai ke anak-anak Sekolah Dasar SD. Hingga Juni 2007, angka penyalahgunaan narkoba di tingkat anak-anak SD tercatat 3.853 kasus, lebih banyak dibandingkan pada tingkat perguruan tinggi yang 764 kasus data Badan Narkotika Nasional BNN. Peredaran narkoba di kalangan siswa SD diduga dilakukan oleh bandar narkoba dengan cara merekrut tenaga kurir dari siswa-siswa SD untuk menembus lapisan remaja dan anak-anak. Dalam peredarannya, narkoba tersebut dicampur dengan makanan permen yang menarik serta banyak disukai siswa. Republika Online, 2008. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rutter 1980 dalam Hawari, 2002 bahwa penyebab remaja terlibat penyalahgunaanketergantungan NAZA antara lain; Kedua orangtua bercerai atau berpisah broken home by divorce or separation: resiko pada anak lak-laki 50, pada anak perempuan 20. Hubungan kedua orangtua ayah dan ibu tidak harmonis poor marriage: resiko pada anak laki-laki 40, pada anak perempuan 15. Suasana rumah tangga yang tegang high tension: resiko pada anak laki-laki 50, pada anak perempuan 20. Dari hasil kalkulasi diperkirakan jumlah penyalahguna sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau sekitar 1,99 dari total seluruh penduduk Indonesia yang berisiko di tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26 coba pakai, 27 teratur pakai, 40 pecandu bukan suntik, dan 7 pecandu suntik. Penyalahgunaan narkoba pada kelompok bukan pelajarmahasiswa 60 lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajarmahasiswa 40. Menurut jenis kelamin, laki-laki 88 jauh lebih besar dari perempuan 12. Penyalahguna coba pakai lebih banyak di kelompok pelajar 90, sedangkan pada teratur pakai dan pecandu lebih banyak terjadi di bukan pelajarmahasiswa. BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI, 2008. Penelitian Hawari, 1990 membuktikan bahwa penyalahgunaan NAZA menimbulkan dampak antara lain; merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, perubahan perilaku menjadi anti-sosial, merosotnya produktifitas kerja, gangguan kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif. Hawari,1997. Hawari menjelaskan bahwa selain mengganggu jiwa, zat narkoba juga merusak organ fisik seperti lever, otak, paru, janin, pankreas, pencernaan, otot, endokrin dan libido. Zat tersebut juga mengganggu nutrisi, metabolisme tubuh, dan menimbulkan inveksi virus. Jika putus dari narkoba si pemakai akan mengalami ”sakaw” sakit. Pada peristiwa ini timbul gejala seperti air mata berlebihan lakrimasi, cairan hidung berlebihan rhinorea, pupil mata melebar, keringat berlebihan, mual, muntah, diare, bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia, agresif. Willis, 2005. Di tahun 1964 Badan Kesehatan Dunia menyatakan istilah “adiksi” tidak lagi menjadi istilah ilmiah dan menganjurkan menggantinya dengan istilah “ketergantungan obat.” Konsep ketergantungan zat mempunyai banyak arti yang dikenali secara resmi dan banyak arti yang digunakan selama beberapa dekade. Pada dasarnya, dua konsep telah diminta tentang definisi ketergantungan — ketergantungan perilaku dan ketergantungan fisik. Ketergantungan perilaku telah menekankan aktifitas mencari- cari zat substance-seeking behavior dan bukti-bukti pola penggunaan patologis, dan ketergantungan fisik telah menekankan efek fisik yaitu, fisiologis dari episode multipel penggunaan zat. Secara spesifik, definisi ketergantungan telah menggunakan adanya toleransi atau putus zat dalam kriteria klasifikasinya. Kaplan, Sadock, dan Greeb, 1997. Narkotika menurut Konversi Tunggal Narkotika 1961 adalah seluruh bagian dari tanaman papaver, koko dan ganja dengan tidak memandang apakah bagian tanaman tersebut mengandung zat aktif yang tergolong narkotika ataupun tidak Ma’sum, 1987. Sedangkan menurut menurut UU no 22, tahun 1997 Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan obat berbahaya. NAPZA adalah singkatan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika secara farmakologik adalah opioida, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Balai pengobatan sehat, 2010. Penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba perlu melakukan berbagai pendekatan. Terutama bidang psikiatri, psikologi, dan konseling. Jika terjadi ketergantungan narkoba maka bidang yang paling bertanggung jawab adalah psikiatri, karena akan terjadi gangguan mental dan perilaku yang disebabkan zat narkoba mengganggu sinyal penghantar syaraf yang disebut sistem neurotransmitter didalam susunan syaraf sentral otak. Gangguan neurotransmitter ini akan mengganggu 1 fungsi kogitif daya pikir dan memori, 2 fungsi afektif perasaan dan mood, 3 psikomotorik perilaku gerak, 4 komplikasi medik terhadap fisik seperti kelainan paru-paru, lever, jantung, ginjal, pancreas dan gangguan fisik lainnya. Willis, 2005. Dari hasil observasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa sebelum para residen masuk ke BNN menjalani proses rehabilitasi. Mereka waktu itu masih memakai narkoba, dan ketika itu mereka tidak memiliki aturan dalam hidupnya dan memiliki kepribadian yang buruk. Ketika mereka menjalani program di BNN, maka mereka dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan. Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan program-program yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah. Faktor yang menyebabkan pecandu susah lepas dari ketergantungan narkoba menurut Hawari 2002 terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyebutkan sebagai faktor kritis dan faktor menegangkan. Faktor sugesti craving adalah di mana residen tidak mampu menahan keinginan sugesti untuk memakai lagi NAZA. Selain itu faktor internal yang lain adalah stres, dalam hal ini residen tidak tahan terhadap tekanan-tekanan dalam menjalankan program. Stres membuat mereka menjadi seseorang yang mudah menyalahkan diri sendiri dan orang lain, kepribadian yang nekat, mudah frustrasi dan bingung, dan tidak mampu mengurus diri sendiri. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor teman. Ketika mereka bertemu teman sesama pemakai dulu, maka residen sangat mudah sekali terbujuk untuk memakai kembali narkoba. Fishben dan Ajzen 1975 menyebutkan bahwa intensi ditentukan oleh keyakinan mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan, keyakinan ini dapat berasal dari pengalaman perilaku seseorang di masa lalu, atau dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung mengenai perilaku tersebut. Jadi intensi pulih adalah niat seseorang untuk pulih yang berdasarkan keyakinan dan sumber yang diperlukan untuk pulih, dan juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya atau orang lain. Intensi pulih ini haruslah bersumber dari dalam diri residen. Atau dengan kata lain atas keinginan mereka sendiri dalam menjalani program-program yang ada di BNN yang sangat berat. Bila intensi bersumber dari dalam diri mereka sendiri, maka mereka memiliki keyakinan bahwa dirinya akan mampu terlepas dari ketergantungan narkoba, karena diasumsikan mereka yang datang untuk menjalankan pemulihan karena keinginan sendiri akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan mereka yang datang karena paksaan orang lain. Menurut Hawari 2002 kendala terberat dari para pecandu adalah adanya craving, yaitu keinginan yang kuat untuk menggunakan NAPZA masih sering muncul, selain itu keluhan lain seperti kecemasan dan atau depresi serta tidak bisa tidur insomnia merupaka faktor yang bisa membuat intensi untuk pulih para residen sangat rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi intensi pulih pada pecandu narkoba adalah adversity quotient, karena adversity quotient mempunyai tiga bentuk konsep. Pertama, adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Ketiga, adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektifitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Karena ketiga konsep ini sebagai pengetahuan, tolak ukur, dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki kehidupan seseorang dalam sehari- hari dan seumur hidup. Pengertian adversity quotient adalah respon seseorang dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya. Stoltz, 2007. Stoltz 2007 membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung: Pertama, Quitters yaitu mereka berhenti di tengah jalan dalam proses pendakian. Quitters ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Yang kedua adalah para Campers yaitu mereka yang tidak mencapai puncak, tetapi sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Orang-orang dalam tipe campers sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari tipe quitters . Yang ketiga adalah para Climbers yaitu mereka yang selalu optimis, selalu melihat harapan, dan tidak pantang menyerah dalam situasi apapun, sehingga orang- orang dalam tipe terakhir ini, merekalah yang akan mencapai puncak dan meraih keberhasilan. Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki sifat mendaki, Pendakian ini maknanya adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Secara naluri, dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan, tantangan dan kesulitan, dan AQ yang memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya. AQ memiliki peran dalam memberi tahu individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan. Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan menyerah dalam situasi sulit dalam proses pendakiannya, individu akan terus melewati situasi sulit dan rintangan-rintangan yang menghadang sampai ia menuju puncak yang diinginkan. Stoltz, 2007. Residen yang memiliki adversity quotient yang tinggi maka ia akan memiliki kepribadian yang tahan banting, memiliki kontrol pribadi yang baik, serta memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan berbagai tantangan hidup selama menjalani proses pemulihan dan setelah selesai proses pemulihan.

1.2 Identifikasi Masalah