kesulitan, sedangkan orang sukses tidak berhenti pada saat ia belum berhasil. Bagi orang yang sukses, kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda. Dan
Rasulullah pun mengalami serta melalui berbagai masalah yang sangat berat sebelum Islam mendunia. Kegagalan harus diterima sebagai sebuah upaya pembelajaran yang
membuat individu menemukan sebuah pemikiran, penyempurnaan, metode dan tujuan yang lebih jelas.
Menurut Ginanjar 2004 Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Dengan Adversity
Quotient seseorang bagai diukur kemampuannya dalam mengatsi setiap persoalan
hidup untuk tidak berputus asa.
Dari beberapa pengertian maka dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.
2.2.2 Fungsi Adversity Quotient dan Tipe-tipe Orang Menurut Adversity Quotient
Menurut Stoltz 2007 fungsi Adversity Quotient adalah: • Adversity Quotient memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan
menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. • Adversity Quotient juga meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan
dan siapa yang akan hancur.
• Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal.
• Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan
Menurut Stoltz 2007 keberhasilan seseorang dalam mencapai suatu tujuan atau kesuksesan tidak hanya cukup IQ dan EQ, tetapi yang paling terpenting adalah AQ.
Karena menurutnya banyak orang yang memiliki IQ atau EQ tinggi gagal dalam menunjukkan kemampuannya, tetapi ada orang yang memiliki IQ atau EQ biasa saja
mereka berhasil mencapai tujuannya.
Stoltz menggambarkan tentang kesuksesan seseorang seperti dibawah ini: AQ
EQ IQ
Stoltz 2007 mengatakan bahwa untuk memahami peran Adversity Quotient dalam melanjutkan pendakian disaat orang lain telah menyerah, maka haruslah terlebih
dahulu merumuskan gunungnya dan ketiga kategori respons terhadap tantangan- tantangannya secara tepat.
Menurut Stoltz 2007 sesorang dilahirkan mempunyai dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Menurutnya mendaki adalah menggerakan tujuan hidup ke
depan, apa pun tujuan itu. Dalam hal ini adalah tujuan para residen untuk pulih.
Dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki tersebut merupakan perlombaan naluriah residen melawan jam dalam menyelesaikan program-program yang ada di
BNN semampu mereka dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka mereka bisa merasakan dorongan ini untuk pulih. Hal ini sesuai dengan orang-orang yang selamat
dari maut karena penyakit kankernya. Tinjauan kembali yang seketika mengenai seluruh kehidupan para penderita kanker dan mengetahui “apa yang sebenarnya
penting” dalam hidup ini, sering mengubah tingkah laku mereka menjadi sangat berbeda. Orang-orang tersebut membangkitkan energi yang baru ditemukan pada hal-
hal yang benar-benar penting dalam hidupnya, yang berkaitan dengan tujuan mereka. Stoltz 2007.
Stoltz 2007 mengelompokkan orang ke dalam tiga tipe pendaki puncak keberhasilan, yaitu quitter mereka yang berhenti, camper mereka yang berkemah,
dan climber para pendaki, yaitu; 1.
Quitters menurut definisinya, menjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan
yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Mereka juga memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Ironisnya, seiring
dengan berlalunya waktu, Quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang ingin mereka elakan dengan memilih tidak mendaki. Dan
saat yang paling memilukan dan menyedihkan adalah sewaktu mereka Quitters menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang telah
dijalani ternyata tidak menyenangkan.
• Ciri-ciri Quitters, yaitu; mereka sering menjadi sinis, murung, dan mati
perasaannya. Atau, mereka menjadi pemarah dan frustasi, menyalahkan semua orang di sekelilingnya, dan membenci orang-orang yang terus
mendaki. Quitters sering juga menjadi pecandu, entah itu pecandu alkohol, narkoba, atau acara-acara televisi yang tidak bermutu. Quitters
mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran. Quitters juga selalu melarikan diri dari pendakian, yang berarti juga mengabaikan
potensi yang mereka miliki dalam kehidupan ini. Quitters memperlihatkan sedikit ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Mereka
juga mengambil risiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali saat mereka harus menghindari tantangan-tantangan yang besar.
Quitters cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari
komitmen-komitmen yang sesungguhnya. Quitters kalah dalam wilayah- wilayah pertumbuhan dan pemenuhan yang paling kaya, yaitu hubungan-
hubungan yang mendalam dan bermakna. Para Quitters menggunakan bahasa yang sifatnya membatasi.
2. Campers menurut definisinya adalah menghindarkan dari pengalaman yang
mungkin dapat menimbulkan perubahan besar dalam hidupnya. Campers adalah satis-ficer dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi. Mereka
Campers puas dengan mencukupkan diri, dan tidak mau mengembangkan diri. Campers berhasil mencukupi kebutuhan dasar mereka, yaitu makanan,
air, rasa aman, tempat berteduh, nahkan rasa memiliki. Mereka telah melewati kaki gunung. Dengan berkemah, emreka mengorbankan bagian puncak
Hirarki Masllow, yaitu aktualisai diri, dan bertahan pada apa yang telah mereka miliki. Akibatnya, Campers menjadi sangat termotivasi oleh
kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak, dan mencari rasa aman.
• Ciri-ciri Campers, yaitu; menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit
semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apa pun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan
yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Campers bisa melakukan pekerjaan yang menutut kreatifitas
dan mengambil risiko dengan penuh perhitungan, tetapi biasanya mereka mengambil jalan yang aman. Kreatifitas dan kesedian mengambil resiko
hanya dilakukan dalam bidang-bidang yang ancamannya kecil sekali. Para Campers
menggunakan bahasa yang sifatnya kompromi.
3. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-
kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.
Climbers selalu menjalani hdupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang
mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan bisa merasakan gairahnya. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang
sesungguhnya, dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan. Climbers sering merasa sangat yakin pada
sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat mereka bertahan manakala tantangan terasa menakutkan dan sulit ditaklukan,
serta setiap harapan untuk maju mendapat tantangan baru. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap
negatif dan sudah memutuskan bahwa jalanya tidak mungkin ditempuh.
• Ciri-ciri Climbers, yaitu; Climbers selalu menyambut baik terhadap
tantangan-tantangan yang ada, dan mereka hidup dengan pemahaman bahwa hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka juga
bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang sangat tinggi, dan bertjuan untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers merupakan
katalisator tindakan; mereka cenderung membuat segala sesuatunya terwujud. Climbers selalu membangkitkan diri pada pertumbuhan dan
belajar seumur hidup. Climbers bekerja dengan visi. Mereka juga penuh
inspirasi dan, sebagai akibatnya, menjadi pemimpin-pemimpin yang baik. Climbers
selalu menemukan cara untuk membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers selalu menerima tantanga-tantangan dan terus berjuang
walaupun resiko yang ada sangat berat. Climbers juga menyambut baik perubahan yang terjadi.
2.2.3 Dimensi-dimensi Adversity Quotient