Dimensi-dimensi Adversity Quotient Adversity Quotient .1 Definisi Adversity Quotient

inspirasi dan, sebagai akibatnya, menjadi pemimpin-pemimpin yang baik. Climbers selalu menemukan cara untuk membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers selalu menerima tantanga-tantangan dan terus berjuang walaupun resiko yang ada sangat berat. Climbers juga menyambut baik perubahan yang terjadi.

2.2.3 Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Menurut Stoltz 2007 Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang dapat mengukur kemampuan individu dan dapat mengevaluasi dimensi-dimensi yang dimilikinya. Dimensi-dimensi pembentuknya adalah CO 2 RE, yaitu; a. C = Control Kendali C mempertanyakan: “Berapa banyak kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?” Dimensi C menunjukkan bagaimana seseorang merasa memiliki kendali terhadap peristiwa yang dialaminya. Mereka yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya daripada mereka yang memiliki adversity quotient lebih rendah. Akibatnya, mereka yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak lagi kendali dibandingkan mereka yang memiliki adversity quotient lebih rendah mereka lebih sedikit menghasilkan kendali. Semakin rendah adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya orang tersebut merasakan bahwa peristiwa-peristiwa yang buruk berada di luar kendali locus of control eksternal, dan sedikit orang mampu mencegahnya atau membatasi kerugian-kerugiannya. Rendahnya kendali yang dirasakan memiliki pengaruh yang sangat merusak terhadap kemampuan seseorang untuk mengubah situasi. Orang-orang yang sangat rendah kemampuan pengendalinya sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan. Sebaliknya orang yang memiliki dimensi C yang tinggi merasa bahwa pada setiap kejadian ia memiliki kendali didalamnya, sehingga ia dapat mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik sesuai dengan keinginannya locus of control internal. b. O 2 = Origin dan Ownership Asal usul dan Pengakuan O 2 mempertanyakan dua hal: “Siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan?” dan Sampai sejauh manakah individu mengakui akibat-akibat kesulitan itu?” Orang yang adversity quotientnya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, seseorang melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul origin kesulitan tersebut. Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah itu membantu individu belajar. Dengan menyalahkan diri sendiri, individu cenderung merenungkan, belajar, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Yang kedua, rasa bersalah itu menjurus pada penyesalan. Penyesalan dapat memaksa individu untuk meneliti batin dan mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang dilakukan idividu itu menyakiti hati orang lain. Semakin tinggi adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai pekerjaannya dan kesulitan sebagai sesuatu yang terutama berasal dari pihak luar. Dengan kata lain mencerminkan kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya. Semakin rendah adversity quotient individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang terutama merupakan kesalahannya dan mengangap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai keberuntungan yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Individu menganggap dirinya sebagai asal mula peristiwa-peristiwa buruk bisa berakibat parah pada tingkat stres, ego, dan motivasi. Mereka juga menolak pengakuan, dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab untuk menagani situasi. c. R = Reach jangkauan Dimensi ini mempertanyakan: “sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian- bagian lain dari kehidupan saya?” Respon-respon dengan adversity quotient yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Jadi, semakin rendah adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan sebagai sesuatu yang merasuki wilayah-wilayah lain kehidupannya. Sedangkan semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, individu akan merasa semakin lebih berdaya dan perasaan kewalahan akan berkurang. d. E = Endurance daya tahan Dalam dimensi ini pertanyaannya adalah “ Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung?” “dan Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?” Semakin rendah skor E seseorang semakin besar kemungkinannya menganggap kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya orang yang memiliki skor E yang tinggi akan mengganggap bahwa kesulitan dan penyebabnya hanya bersifat sementara, sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesulitan yang dihadapi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lorraine Johnsons dan Stuart Biddle dalam Stoltz, 2007 menunjukkan bahwa individu yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan penyebab yang stabil cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha yang mereka lakukan. Oleh karena itu semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, atau bahkan permanen. Individu juga akan mengangap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan individu untuk bertindak. Sebaliknya individu yang memiliki adversity quotient dan skor dalam dimensi ini yang rendah, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai peristiwa yang berlangsung lama, dan mengaggap peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Ini bisa menunjukkan jenis respon-respon yang memunculkan perasaan tak berdaya atau hilangnya harapan. Lama-kelamaan, individu akan merasa sinis terhadap aspek-aspek tertentu dalam hidupnya. Individu mungkin akan cenderung kurang bertindak melawan kesulitan sebagai sesuatu yang permanen.

2.2.4 Pohon Kesuksesan