Kekerasan Anti-Ahmadiyah KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH

49 milik JAI ditinggalkan begitu saja, tidak diurus. 9 Para Ahmadi juga mengalami kesulitan administrasi kependudukan. Seorang Ahmadi Cikeusik mengaku sulit mengurus surat pindah karena aparat desa setempat tidak mau melayani permintaan itu. 10 Deskripsi peristiwa Cikeusik di atas tidak hanya menampilkan kebrutalan dan kekejaman massa anti Ahmadiyah tetapi juga menunjukan keberhasilan gerakan anti Ahmadiyah memobilisasi massa dalam jumlah yang tidak sedikit. Selanjutnya, penulis akan menganalisis proses mobilisasi anti Ahmadiyah sebelum kekerasan pada 6 Februari 2011 terjadi.

B. Menciptakan Potensi Mobilisasi Anti Ahmadiyah

Kekerasan anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten merupakan manifestasi konflik yang sudah lama terjadi. Di bab tiga, penulis sudah menggambarkan bahwa ketika Suparman kembali mengaktifkan kegiatan Jama’at Ahmadiyah di Cikeusik pada 2010, para ulama dan pejabat setempat mempersoalkan kegiatan Suparman. Ketika Suparman mengaktifkan kembali kegiatan Ahmadiyah dan menolak untuk meninggalkan Ahmadiyah, para ulama ketua MUI Cikeusik dan pimpinan pondok pesantren di Cikeusik dan pejabat setempat kepala Desa Umbulan melakukan provokasi ke masyarakat agar tidak mengikuti ajaran Ahmadiyah. Di 9 Wawancara dengan A, Sekretaris Desa Umbulan di Umbulan, 14 Februari 2013. 10 Wawancara dengan AS, anggota Jema’at Ahmadiyah Cikeusik di Bogor, 11 Mei 2013. 50 acara-acara seperti pengajian atau hajatan warga mereka menuduh Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Pada April 2010, Lurah Johar, Kepala Desa Umbulan, menyampaikan ceramah di acara hajatan warga dengan mengatakan bahwa jangan sebut dirinya sebagai Lurah Johar jika tidak mampu membubarkan Ahmadiyah. Pada waktu dan di tempat berbeda, lurah juga mengatakan bahwa Ahmadiyah harus bubar karena sudah merusak masyarakat. 11 Salah satu ulama Desa Umbulan yang juga menjabat sebagai ketua MUI Cikeusik mengatakan bahwa dirinya, setiap mengisi ceramah di khotbah Jumat, pengajian kecamatan Cikeusik dan Desa Umbulan, selalu mengingatkan kepada masyarakat setempat agar tidak mengikuti ajaran Ahmadiyah karena sesat dan menyesatkan. Dia juga melontarkan berbagai argumen tentang kesesatan Ahmadiyah di forum pengajian. Misalnya, dia mengatakan bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Tadzqiro adalah kitab suci Ahmadiyah. Menurut dia ajaran Ahmadiyah menyimpang dari Ahlussunah Wal Jamaah yang sudah dianut oleh warga Cikeusik. 12 Salah satu warga Desa Umbulan menceritkan pengalamnya tentang pengajian tabligh akbar yang di dalam isi ceramah acara menyinggung Ahmadiyah: 11 Berita Acara Pemeriksaan BAP, Saksi Suparman atas Perkara Pidana Penghasutan, Serang: Polda Banten, 24 Februari 2011, 4. 12 Wawancara dengan AM, Ketua MUI Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 27 Februari 2013. 51 “Saya pernah mengikuti pengajian tabligh akbar di salah satu kecamatan Pandeglang. Isi ceramah menyinggung tentang kesesatan Ahmadiyah. Penceramah juga mengatakan bahwa darah anggota Jamaah Ahmadiyah halal untuk ditumpahkan.” 13 Masyarakat Pandeglang sangat antusias mengikuti pengajian mingguan atau bulanan. Apalagi jika pengajian mengusung tema tablig akbar dan mengundang penceramah kondang, maka ratusan hingga ribuan masyarakat hadir. Antusiasme masyarakat dalam pengajian dan rasa hormat terhadap Kiai merupakan ladang subur pemuaian mobilisasi konsensus menjadi mobilisasi tindakan. Penyebaran kebencian terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, melalui forum pengajian dan ceramah di Masjid adalah hal yang umum terjadi di Indonesia. Hasil penelitian SETARA INSTITUTE menunjukan bahwa 47,4 responden yang tersebar di 10 provins Indonesia memperoleh informasi kesesatan Ahmadiyah melalui forum pengajian dan ceramah di masjid. Sedangkan 16,8 melalui media massa, 2,2 melalui bacaan, dan 33,7 tidak menjawab. 14 Dalam konteks gerakan sosial, penggunaan masjid dan tempat pengajian untuk memobilisasi serupa dengan penggunaan gereja oleh gerakan hak-hak sipil di Amerika. 15

C. Jaringan Perekrutan Anti-Ahmadiyah

13 Wawancara dengan R. 14 Tim Setara Institute, Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011, 101. 15 Quintan Wictorowicz, Pendahuluan: Aktivisme Islam dan Teori Gerakan Sosial, dalam Quintan Wictorowicz ed, Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus terj, Yogyakarta: Gading Publishing dan Yayasan Paramadina, 2012, 51. 52 Ada beberapa jaringan yang digunakan para anti-Ahmadiyah dalam mengubah potensi mobilisasi konsensus menjadi mobilisasi aksi. Jaringan- jaringan itu seperti kiai atau pemuka agama dan santri pondok pesantren, jawara, dan masyarakat biasa. Melalui jaringan ini para anti Ahmadiyah memobilisasi massa dalam jumlah ribuan. Awal dari pemanfaatan jaringan-jaringan ini adalah ketika pihak anti Ahmadiyah Cikeusik, seperti Lurah Johar, Ketua MUI, dan Sofwan guru di sekolah Madrasah Cikeusik merasa kecewa dengan hasil kesepakatan antara Suparman dan Kejari Pandeglang. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membicarakan keputusan itu bersama warga di pengajian Kecamatan Cikeusik. Mereka juga minta agar K.H. Ujang Muhamad Arif ikut membantu mengatasi persoalan Ahmadiyah di Cikeusik. 16 K.H. Ujang mulai dihubungi pada pertengahan Januari 2011. Ketika itu, Sofwan, guru Madrasah Tsanawiyah MTS Hunibera, Cikeuruh Wetan, menemui Kiai Baghawi, Sekretaris II MUI Cikeusik. Dia meminta Baghawi menghubungi K.H. Ujang, mengundangnya sebagai pembicara tablig akbar di Ranca Senang, dengan tujuan menekan Suparman. Baghawi langsung menghubungi K.H. Ujang, yang menyatakan kesanggupannya, meski kapan acaranya berlangsung masih harus menunggu kesepakatan warga Cikeusik. 17 16 Berita Acara Pemeriksaan BAP, Saksi Johar Saksi Johar atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan Serang: Polda Banten, 22 Februari 2011, 7-8. 17 Berita Acara Pemeriksaan BAP, Saksi Sofwan atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan Serang: Polda Banten, 24 Februari 2011. 3.