61
“Pada saat pemilihan kepala desa, yaitu pada 2010, setiap calon kepala desa berjanji akan membubarkan Ahmadiyah jika terpilih sebagai kepala desa. Johar
salah satu calon kepala desa. Ironisnya, ketika Johar menemui Suparman tidak menyinggung soal Ahmadiyah. Mungkin karena Suparman punya saudara banyak
di Cikeusik jadi bisa rugi kalau Suparman tidak mendukung dia. ”
44
Hal yang sama juga diceritakan oleh Sekretaris Desa Umbulan terkait sikap Johar terhadap Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten:
“Sebagai aparat pemerintahan, seharusnya lurah netral, tidak berpihak. Tetapi karena lurah jabatan politis maka tunduk oleh tuntuan massa. Lurah
Johar sering ditegur oleh warga yang anti-Ahmadiyah: kapan membubarkan Ahmadiyah Cikeusik?”
45
Pengejaran insentif selektif berbentuk sosial juga ditemukan dalam partisipasi pembubaran Ahmadiyah. Salah satu kiai yang ikut dalam pembubaran
Ahmadiyah mengatakan bahwa dirinya bersedia diajak K.H Ujang untuk membubarkan Ahmadiyah karena untuk menjaga hubungan dengan para kiai.
46
Meski demikian, alasan untuk menjaga hubungan dengan para kiai pada dasarnya mengandung pengejaran insentif material. Para kiai yang menuruti
ajakan K.H Ujang adalah pemuka agama yang takut tidak dilibatkan sebagai pembicara di acara pengajian, ceramah khajatan warga, atau maulid nabi.
44
Wawancara dengan R.
45
Wawancara dengan A.
46
Berita Acara Pemeriksaan BAP I, Saksi Ahmad Bai Mahdi, 5.
62
Kegiatan mengisi ceramah merupakan sumber mata pencaharian bagi para ulama anti-Ahmadiyah.
47
E. Penyingkiran Penghalang Mobilisasi
Ada beberapa penghalang mobilisasi anti-Ahmadiyah. Pertama, terkait dengan penentuan waktu pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik. Waktu merupakan
sumberdaya penting dalam gerakan sosial. Para anti-Ahmadiyah di Cikeusik memilih waktu pembubaran pada hari Minggu, 6 Februari 2011. Pemilihan waktu
tersebut bukan asal-asalan tetapi berdasarkan pertimbangan kondisi masyarakat secara umum dan mempermudah mobilisasi.
Setiap hari minggu masyarakat Pandeglang banyak menghabiskan waktu luangnya untuk menghadiri pengajian. Bulan Februari merupakan musim
menjamurnya pengajian maulid nabi di wilayah Pandeglang. Seandainya pelaksanaan pembubaran pada hari selasa dan di luar musim maulid akan susah
memobilisasi massa.
48
Kedua, terkait polisi. Para mobilisator, terutama K.H. Ujang Muhamad Arif sudah merencanakan agar pembubaran Ahmadiyah tidak terdengar Polisi.
Indikatornya ketika dia menyebarkan sms himbauan agar isi pesan itu jangan dikasih tahu polisi.
47
Wawancara dengan AU.
48
Wawancara R.
63
Selain itu, K.H Ujang juga memberikan informasi palsu kepada polisi terkait pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Pada 5 februari
2011, sekitar jam 24.00 WIB, Yayat Supriyatna Intelkam Polres Pandeglang bersama Tim Kominda Komunitas Intel Daerah sempat mendatangi rumah K.H
Ujang Muhamad Arif. Tujuannya untuk menanyakan kepastian pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik. Yayat Supriyatna memperoleh jawaban dari K.H Ujang
Muhamad Arif bahwa pembubaran Ahmadiyah tetap dilaksanakan tetapi hanya dilakukan oleh masyarakat Cikeusik bukan FPI.
49
Pada kenyataannya, aksi dilakukan dengan melibatkan warga di luar Cikeusik dan anggota FPI Pontang
Serang.
49
Berita Acara Pemeriksaan BAP, Saksi Yayat Supriyatna. Serang: Polda Banten,13 Februari 2011. 3-4
64
BAB V KESIMPULAN
Konflik yang melibatkan warga Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah di Cikeusik telah berlangsung sejak awal kedatangan Ahmadiyah pada 1992. Konflik
mulai mereda ketika Khaerudin Barus dan Suparman menghentikan aktivitas penyebaran Ahmadiyah di Cikeusik. Konflik mulai menguat kembali ketika
Suparman mengaktifkan kegiatan JAI di Cikeusik pada 2010. Serangkaian dialog dilakukan pemerintahan setempat untuk menyelesaikan
konflik Ahmadiyah di Cikeusik secara damai. Namun, usaha tersebut gagal karena pada 6 Februari 2011, ribuan massa anti-Ahmadiyah melakukan pembubaran
Ahmadiyah di Cikeusik secara paksa. Akibatnya, pembubaran berakhir dengan kekerasan: tiga anggota JAI dibunuh dan lainnya luka-luka, rumah dan kendaraan
milik JAI dirusak dan dibakar. Usaha untuk melakukan mobilisasi pembubaran Ahmadiyah dilakukan oleh
warga Cikeusik yang anti-Ahmadiyah sudah dimulai sejak Suparman mengaktifkan kembali kegiatannya. Tetapi upaya ini masih terbatas pada
mobilisasi konsensus, yaitu perjuangan gagasan pelarangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik. Di tempat pengajian, masjid, dan hajatan warga, para anti-
Ahmadiyah melakukan provokasi dan menyebarkan kebencian dengan mengatakan Ahmadiyah “sesat” dan “menyesatkan”.
Rencana pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik terkordinir dan dikelola dengan matang ketika K.H Ujang mulai dilibatkan. Dia menggunakan
pengaruhnya untuk memobilisasi massa. Di tangan K.H Ujang sumber-sumber
65
potensial bagi mobilisasi digerakkan dengan menggunakan jaringan para kiai, santri, tokoh masyarakat dan jawara. K.H Ujang juga berhasil merumuskan
insentif kolektif bagi para anti-Ahmadiyah. Insentif kolektif berupa pelarangan Ahmadiyah di Cikeusik dengan cara
menekan Suparman untuk keluar dari Ahmadiyah atau jika tetap menganut Ahmadiyah harus pergi dari Cikeusik. Insentif kolektif tersebut akan berhasil
dicapai jika melibatkan massa dalam jumlah banyak. Bentuk insentif kolektif dan cara perolehannya yang seperti itu membuat para anti-Ahmadiyah merasa perlu
terlibat dalam pembubaran. Partisipasi di dalam pembubaran juga dipengaruhi karena pengejaran
terhadap insentif selektif. Penulis menemukan bahwa insentif selektif yang ingin diperoleh adalah insentif selektif berbentuk material berupa kekuasaan politik dan
uang. Meskipun ada kiai yang mengatakan bahwa keterlibatannya dalam pembubran Ahmadiyah untuk menjaga hubungan dengan para kiai, pada akhirnya
mengarah ke insentif selektif berbentuk material, yaitu uang. Para mobilisator Ahmadiyah juga melakukan penyingkiran terhadap
beberapa penghambat mobilisasi massa. Pertama, hambatan waktu. Para mobilisator memilih waktu pembubaran menyesuaikan kondisi masyarakat
Pandeglang. Pembubaran direncakan pada 6 Februari 2011 karena pada waktu itu bertepatan dengan hari minggu dan banyak kegiatan maulid nabi. Masyarakat
Pandeglang umumnya menggunakan hari minggu untuk pengajian. Hal tersebut dianggap memudahkan untuk memobilisasi massa.