PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH AHMADIYAH DI CIKEUSIK (Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV).

(1)

PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA

BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH

AHMADIYAH DI CIKEUSIK

(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)

SKRIPSI

Oleh :

ANDALIA RISNOVA 0743010286

YAYASAN KESEJAHTERAAN, PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2011

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA

BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH

AHMADIYAH DI CIKEUSIK

(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)

Disusun Oleh :

ANDALIA RISNOVA NPM. 0743010286

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing

Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2001

Mengetahui, DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2001

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(3)

PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA

BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH

AHMADIYAH DI CIKEUSIK

(Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)

Oleh : ANDALIA RISNOVA

NPM. 0743010286

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 12 Mei 2011.

Pembimbing Tim Penguji

1. Ketua

Dra. Sumardjijati, MSi Dra. Sumardjijati, MSi

NIP. 19620323 199309 2001 NIP. 19620323 199309 2001

2. Sekretaris

Dra. Herlina Suksmawati, MSi NIP. 19641225 199309 2001 3. Anggota

Yuli Candrasari, S.Sos, MSi NPT. 37107 94 00271 Mengetahui,

DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2001

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamin. Segala puji bagi Allah SWT Rabb Semesta Alam yang telah memberi rahmat berupa kesehatan, kesempatan, serta ilmu sehingga kita menjadi makhluk yang bermanfaat. Sholawat serta salam juga tertuju pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW hingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini. Proposal ini merupakan tugas akhir penyelesaian studi S1 Program Studi Komunikasi. Adapun Proposal ini diberi judul ”Pembingkaian Media Atas Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara warga dengan Jemaah Ahamdiyah di Cikeusik” (Studi Analisis Framing Pemberitaan Peran Polisi dalam Peristiwa Bentrokan Antara Warga Dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV Periode 6 Februari – 4 Maret 2011)

Dalam penyusunanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Sumardjijati, MSi selaku Dosen Pembimbing yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat, motivasi serta banyak informasi baru bagi penulis. Dengan adanya bantuan serta bimbingan maka penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(5)

2. Bapak Juwito, S.Sos, MSi selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, MSi selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

4. Dosen Penguji yang memberikan saran dan kritik yang membangun dan dosen–dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

5. Seluruh keluarga besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

6. Orang Tua, atas semua dukungan dan do’a yang tiada henti.

7. Suamiku tercinta .:Ricco:. terima kasih atas semua dukungan, do’a serta pengorbanannya.

8. Si kecil .:JiLi:. yang paling ganteng, kehadiranmu membuat bunda makin semangat.

9. Jesika, Ayu, Christina, Erika, Della, Yulia ”Thanks a lot, nat!”

10.Semua pihak yang melancarkan dan memudahkan dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan proposal ini masih banyak kekurangan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mempergunakannya dalam berbagai aspek. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

Sidoarjo, 13 Maret 2011

Penulis

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GRAFIK (GAMBAR) ...xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

ABSTRAKSI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3.Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 12

1.4.2. Manfaat Praktis... 12

BAB IIKAJIAN PUSTAKA ... 13

2.1.Jurnalisme Televisi Sebagai Media Massa... 13

2.2. Peran Media Massa dalam Mengkonstruksi Realitas... 24

2.3. Berita Merupakan Hasil dari Konstruksi Realitas ... 29

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(8)

2.3.1. Teknis Tayangan Berita Televisi... 35

2.3.2. Perbedaan berita straight news dengan berita komprehensif dan berita investigatif ... 40

2.4. Moda Komunikasi... 40

2.5. Analisis Framing ... 42

2.5.1. Framing dan Proses Produksi Berita... 48

2.6. Model Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 49

2.6.1. Proses Framing ... 50

2.6.2. Perangkat Framing... 51

2.7. Kerangka Berpikir ... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 66

3.1. Metode Penelitian ... 66

3.2. Subjek dan Objek Penelitian... 68

3.3.Unit Analisis ... 68

3.4. Populasi dan Korpus Penelitian ... 68

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 73

3.6. Teknik Analisis Data ... 73

3.7. Langkah–Langkah Analisis Framing ... 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 77

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 77

4.1.1. Gambaran Umum TV One ... 77

4.1.2. Gambaran Umum Metro TV ... 82

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(9)

4.2. Frame TV One ... 91

4.2.1. Berita TV One, Apa Kabar Indonesia, Selasa, 8 Februari 2011, 07:24 WIB ... 92

4.2.2. Berita TV One, Kabar Siang, Selasa, 8 Februari 2011, 12:07 WIB ... 104

4.2.3. Berita TV One, Kabar Petang, Rabu, 9 Februari 2011, 18:34 WIB .... 113

4.3.Frame Metro TV ... 124

4.3.1. Berita Metro TV, Metro Siang, Rabu, 9 Februari 2011, 11:31 WIB... 124

4.3.2. Berita Metro TV, Metro Siang, Selasa, 15 Februari 2011 12:12 WIB 139 4.3.3. Berita Metro TV, Metro Hari Ini, Sabtu, 19 Februari 2011, 17:07 WIB ... 148

4.3.4. Berita Metro TV, Top Nine News, Jumat, 4 Maret 2011, 21:07 WIB 158 4.4. Frame TV One dan Metro TV ... 169

4.4.1. Frame Masing-masing Berita TV One dan Metro TV... 171

4.4.2. Perbandingan Frame TV One dan Metro TV... 172

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 174

5.1.Kesimpulan ... 174

5.2. Saran... 175

DAFTAR PUSTAKA ... xv

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Fungsi Media bagi Individu ... 18 Tabel 2.2. Kerangka Analisis Bingkai Model Pan dan Kosicki ... 53 Tabel 4.3. Naskah Berita ”Mabes Polri Kirim Tim Khusus” ... 92 Tabel 4.4. Frame TV One ”Mabes Polri Kirim Tim Khusus” dengan Model Framing

Pan dan Kosicki... 103 Tabel 4.5. Naskah Berita ”Polisi Sudah Tetapkan Tersangka Kasus Ahmadiyah”.... 104 Tabel 4.6. Frame TV One ”Polisi Sudah Tetapkan Tersangka Kasus Ahmadiyah”

dengan Model Framing Pan dan Kosicki... 112 Tabel 4.7. Naskah Berita ”Polisi Buru 3 Provokator Penyerangan Jemaah Ahmadiyah”

... 113 Tabel 4.8. Frame TV One ”Polisi Buru 3 Provokator Penyerangan Jemaah

Ahmadiyah” dengan Model Framing Pan dan Kosicki ... 123 Tabel 4.9. Naskah Berita ”Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas” ... 124 Tabel 4.10. Frame Metro TV ”Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas” dengan Model

Framing Pan dan Kosicki... 137 Tabel 4.11. Naskah Berita ”20 Polisi Diperiksa Terkait Tragedi Cikeusik”... 139 Tabel 4.12. Frame Metro TV ”20 Polisi Diperiksa Terkait Tragedi Cikeusik” dengan

Model Framing Pan dan Kosicki... 147 Tabel 4.13. Naskah Berita ”Lima Polisi Terancam Sangsi Kasus Cikeusik” ... 148 Tabel 4.14. Frame Metro TV ”Lima Polisi Terancam Sangsi Kasus Cikeusik” dengan

Model Framing Pan dan Kosicki... 157 Tabel 4.15. Naskah Berita ”Tiga Anggota Polsek Cikeusik jadi Tersangka”... 158

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(11)

Tabel 4.16. Frame Metro TV ”Tiga Anggota Polsek Cikeusik jadi Tersangka” dengan Model Framing Pan dan Kosicki... 168 Tabel 4.17. Frame Berita TV One dan Metro TV Terkait Peristiwa Bentrokan antara

Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik ... 171 Tabel 4.18. Frame TV One dan Metro TV Mengenai Pemberitaan dalam Peristiwa

Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik ... 172

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(12)

DAFTAR GRAFIK (GAMBAR)

Grafik (Gambar) 2.1. Perspektif alternatif menyangkut fungsi dan tujuan media massa

... 14

Grafik (Gambar) 2.2. Proses Konstruksi Terhadap Realitas dalam Komunikasi Massa ... 27

Grafik (Gambar) 4.3. Struktur Organisasi TV One ... 81

Grafik (Gambar) 4.4. Logo TV One ... 82

Grafik (Gambar) 4.5. Struktur Organisasi Metro TV ... 87

Grafik (Gambar) 4.6. Logo Metro TV ... 88

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Korpus di TV One... 177 Lampiran 2. Korpus di Metro TV... 180 Lampiran 3. Surat Penugasan Pembimbing Skripsi... 184

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(14)

 

ABSTRAKSI

ANDALIA RISNOVA, PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN

PERISTIWA BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH

AHMADIYAH DI CIKEUSIK (Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa

Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media

Televisi TV One dan Metro TV Tanggal 6 Februari – 4 Maret 2011)

Pemberitaan tentang kekerasan dalam agama di dunia pertelivisian terus

didengungkan seiring dengan berlalunya waktu. Tak henti-hentinya konflik antar

umat beragama yang mendera negeri ini disiarkan oleh berbagai media termasuk

media televisi. Tampilan berita yang berkaitan dengan konflik antar umat beragama

tersebut ditampilkan secara berbeda oleh masing masing media televisi berdasarkan

ideologinya sendiri-sendiri. Salah satunya adalah berita peristiwa bentrokan antara

warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

ingin dilihat bagaimanakah perbedaan media televisi membingkai pemberitaan

peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Penelitian

ini juga bertujuan untuk mengetahui kecenderungan pemberitaan TV One dan

Metro TV dalam mengkonstruksi realitas tentang peristiwa bentrokan antara warga

dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik.

Landasan teori yang digunakan sebagai rujukan analisis antara lain, Jurnalisme

Televisi Sebagai Media Massa, Peran Media Massa dalam Mengkonstruksi Realitas,

Berita Merupakan Hasil dari Konstruksi Realitas, Moda Komunikasi, serta landasan

teori model framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing dengan

menggunakan teori yang dikembangkan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M.

Kosicki. Unit analisisnya adalah item berita tentang peristiwa bentrokan antara

warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik yang berupa naskah berita pada

media televisi TV One dan Metro TV tanggal 6 Februari – 4 Maret 2011. Populasi

berita di TV One ada 8 berita, sementara Metro TV sebanyak 10 berita dan yang

dijadikan korpus ada 3 berita dari TV One dan 4 berita dari Metro TV.

Hasil dari penelitian ini berdasarkan analisis data yang didapat dari naskah

berita yang menjadi korpus di kedua media televisi tersebut yaitu TV One

membingkai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di

Cikeusik cenderung lebih pro (apresiasi atau menyanjung) peran polisi dalam

peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik

berdasarkan realitas bagusnya peran aktif polisi untuk menangani dan mengusut

peristiwa bentrokan Cikeusik. Sedangkan Metro TV cenderung lebih kontra dan

terkesan menjatuhkan peran polisi dalam peristiwa bentrokan antara warga dengan

jemaah Ahmadiyah di Cikeusik berdasarkan realitas buruknya peranan polisi dalam

mengatasi peristiwa bentrokan ini.

Kata kunci : Framing, peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah

di Cikeusik, TV One, Metro TV, Pan dan Kosicki.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(15)

+++++BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Pemberitaan tentang kekerasan dalam agama di dunia pertelivisian terus didengungkan seiring dengan berlalunya waktu. Tak henti-hentinya konflik antar umat beragama yang mendera negeri ini disiarkan oleh berbagai media. Tampilan berita yang berkaitan dengan konflik antar umat beragama tersebut tidak hanya dimuat pada media televisi saja, isu yang menghebohkan ini juga dijadikan topik utama pada pemberitaan di media cetak maupun media elektronik. Media cetak seperti, surat kabar, tabloid dan majalah. Sedangkan media elektronik seperti, radio, televisi dan media online.

Berita yang berkaitan dengan SARA ini menjadi headline berita utama di berbagai media cetak di Surabaya, seperti surat kabar dan majalah, Jawa Pos, SURYA, Radar Surabaya, Republika, Kompas, dll. Juga menjadi topik utama dalam media elektronik seperti radio dan televisi swasta, salah satunya adalah stasiun radio swasta di Surabaya yaitu SS FM (Suara Suarabaya). Secara internasional media online juga ikut memberitakan konflik antar umat beragama, diantaranya seperti, situs liputan6.com, kompas.com, detik.com, dan arrahmah.com.

Dalam website Liputan 6 SCTV pada 10 Februari 2011, berjudul ‘Jangan Abaikan Kekerasan Atas Nama Agama’. Wartawan menuliskan, bentrokan di Cikeusik,

Pandeglang, Banten, Minggu, 6 Februari 2011 adalah salah satu bentuk

penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah hingga menyebabkan korban tewas. Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah kepres pembubaran Ahmadiyah tidak

kunjung keluar dan itu membuat Ahmadiyah merasa leluasa untuk kembali Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(16)

menyebarkan ajaran sesat mereka. Wartawan juga memuat pernyataan yang dikeluarkan oleh Djoko Suyanto, selaku Menkopolhukan. Djoko Suyanto menegaskan bahwa pemerintah mengakui kesulitan mengatasi masalah Ahmadiyah. Meski sudah dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan menetapkan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang, namun pengawasan dan pembinaan yang diamanatkan oleh keputusan tersebut urung dilaksanakan. Ahmadiyah tetap menjadi sasaran kemarahan yang memicu bentrokan dengan sebagian warga muslim.

Pemberitaan yang dimuat surat kabar Republika edisi 7 Februari 2011, wartawan surat kabar ini memaparkan keberadaaan Ahmadiyah adalah sebuah penistaan agama bagi umat Islam. Ketika pengikut Ahmadiyah meyakini ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad orang India yang di akhir hayatnya membusuk karena kusta. Sebuah penghinaan yang menyakitkan hati umat Islam, ketika pengikut Ahmadiyah berkeyakinan bahwa agamanya juga Islam. Padahal jelas sekali bahwa Islam adalah ajaran terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir Rasululloh Muhammad SAW sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya. Selain itu, insiden ini juga terjadi akibat kekesalan warga yang mengaku resah dengan aktifitas Ahmadiyah di daerahnya hingga banyak diantara saudara-saudaranya yang menjadi pengikut aliran sesat itu. Untuk itu beberapa tokoh masyarakat meminta Parman sebagai ketua Ahmadiyah di daerah itu untuk menghentikan kegiatannya dan kembali ke jalan yang benar, yaitu Islam. Karena MUI sudah menyatakan bahwa Ahmadiyah itu sesat. Pernyataan Ketua MUI Banten KH Wahaf Afif yang dimuat dalam berita ini mengatakan bahwa MUI Banten sudah mengirim surat kepada Kejaksaan Tinggi Banten mengenai pembubaran Ahmadiyah diseluruh Banten.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(17)

Arrahmah.com1,pada 7 Februari 2011 melansir selain desakan warga dan saran dari tokoh-tokoh masyarakat, Kapolres Pandeglang AKBP Alex Fauzy Rasyad juga telah menasehati Parman ketika sedang bersama istrinya yang berkewarganegaraan Filipina meminta perlindungan ke Polres Pandeglang untuk menghentikan kegiatan itu karena khawatir akan memicu situasi yang tidak kondusif. Namun Parman tidak mengindahkan saran-saran tersebut, dia malah mengeluarkan pernyataan yang membakar emosi warga dan seolah menantang warga. Akhirnya insiden ini berbuntut 6 orang anggota Ahmadiyah tewas dan lainnya luka-luka serta 1 orang warga yang tangannya terkena bacokan anggota Ahmadiyah dan hampir putus, Namun hampir semua media massa dan media elektronik seperti kompas dan situs www.detik.com yang mengambil sumber dari Kepolisian hanya menyebut 4 orang tewas dan 5 luka-luka.

Sedangkan pada media televisi, berita tersebut menjadi tema utama dalam program berita berbagai stasiun televisi, baik nasional maupun lokal, juga menjadi topik pembicaraan dalam acara talk show diberbagai media televisi, seperti pada dua stasiun televisi swasta nasional, TV One dalam program Apa Kabar Indonesia dan Metro TV dalam program Today’s Dialogue.

Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan kepentingan, konflik dan fakta yang komplek dan beragam. Menurut Antonio Gramsci,

1

Arrahmah.com merupakan website berita dunia Islam dan berita Jihad Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(18)

Media adalah sebuah ruang dimana ideologi dipresentasikan. Ini berarti di satu sisi media dapat menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legimetasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga dapat menjadi alat ukur dalam membangun kultur dan ideologi tandingan. Hal ini berkaitan dengan cara pandang atau perspektif yang digunakan oleh masing-masing pihak (Eryanto, 2003:47).

Masing-masing institusi media tentunya memiliki ideologi serta visi dan misi tersendiri. Ideologi tersebut akan mempengaruhi kebijakan redaksional media. Seseorang wartawan yang bekerja di suatu media dengan kebijakan redaksional tertentu, tentunya akan mencari, meliput, menulis, dan melaporkan peristiwa atau realitas berdasarkan kebijakan redaksional media. Kebijakan redaksional tersebut akan membatasi kebebasan wartawan tersebut dalam memahami dan mempersepsikan sebuah realitas. Intinya, bahwa seorang wartawan, bagaimana cara dia menuliskan sebuah berita, akan mencerminkan ideology intitusi media dimana dia bernaung. Sikap atau tendensi sang wartawan dalam meliput atau melaporkan sebuah berita akan sekaligus menunjukan sikap dan tendensi medianya.

Dengan membandingkan beberapa pemberitaan di media, baik cetak maupun elektronik, sangat mungkin akan ditemukan kesimpulan yang setara, bahwa tidak mungkin media apapun dapat lepas dari bias-bias, baik yang berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya (Kaimudin, 2008:3).

Media bukanlah saluran yang bebas, media tidak sepenuhnya sama persis seperti apa yang digambarkan, memberitakan apa adanya, cerminan dari realitas yang terjadi dalam kehudupan sehari-hari. Media yang kita lihat, justru mengkonstruksi sedemikian rupa terhadap realitas yang ada. Ini semua terkait dengan bagaimana cara pandang media untuk membingkai atau mengkonstruksi suatu realitas tertentu.

Dalam merekontruksi berita, masing-masing media menseleksi isu-isu tertentu dan menekankan atau menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realitas. Dari cara media Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(19)

menseleksi isu dan aspek-aspek tertentu berita, akan terlihat bagaimana tendensi atau kecenderungan media tersebut terhadap berita yang mereka buat.

Berita yang dilihat di televisi bukanlah cerminan dari peristiwa atau realitas itu sendiri, melainkan sebuah hasil rekontruksi dari realitas. Dan yang menjadi agen rekontruksi berita adalah wartawan. Dengan kata lain, berita yang kita konsumsi adalah hasil rekontruksi atas peristiwa menurut perspektif wartawan.

Berita tentang peristiwa bentrokan antara warga dan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik adalah salah satu bukti yang dapat menunjukan betapa media-termasuk media televisi-sulit untuk bersikap independen dan objektif secara absolut. Bagaimana media tersebut mengkonstruksi sebuah peristiwa menjadi berita akan memperlihatkan bagaimana kecendrungan media tersebut terhadap peristiwa yang diberitakan.

Diantara banyak stasiun televisi yang memberitakan tentang konflik Ahmadiyah. Ada dua stasiun televisi swasta nasional yang dipilih oleh peneliti untuk dianalisa, yaitu TV One dan Metro TV. Dua stasiun televisi yang saat ini sedang bersaing dan sama-sama mengusung konsep news.

Sepanjang periode 6 Februari – 4 Maret 2011, TV One dalam berbagai program berita unggulannya menyiarkan 6 berita, sementara Metro TV menyiarkan sebanyak 10 berita yang berkaitan dengan bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik. Untuk berita yang berkaitan dengan peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, peneliti mengambil 3 berita dari TV One dan 4 berita dari Metro TV sebagai korpus dalam penelitian ini.

Pada hari Rabu, 9 Februari 2011 pukul 19:34 WIB, pemberitaan dalam program Kabar Petang di TV One menyiarkan berita berjudul ‘Polisi Buru 3 Provokator Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(20)

Penyerangan Jemaah Ahmadiyah’. Dalam tayangan berita tersebut, TV One menayangkan pernyataan Brigjen Agus Kusnaedi, Kepala Kepolisian Polda Banten. Agus Kusnaedi yang menegaskan bahwa pihaknya masih melakukan pengejaran pada calon tersangka, karena bukti-bukit sudah cukup kuat mengarah pada para calon tersangka. Kepolisian Polda Banten masih mengejar tiga tersangka diduga provokator aksi penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Guna menangkap ketiganya, polisi telah menyebarkan foto-foto calon tersangka tersebut. Pasca penyerangan, kepolisian Polda Banten terus melakukan upaya penyelidikan terkait dengan penyerangan ahmadiyah di dikampung pendeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Sementara itu, Metro TV dalam program Metro Siang pada hari Rabu, 9 Februari 2011 pukul 13:31 WIB menyiarkan berita berjudul ‘Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas’. Dalam tayangan berita tersebut dipaparkan pendapat Permadi, seorang budayawan, tentang tragedi bentrokan di Cikeusik yang memakan korban. Dalam berita tersebut, Permadi menuturkan "Saya tidak akan menyinggung akar masalahnya karena itu sudah lama terpendam. Tapi kejadian Cikeusik kemarin itu kesalahan ada pada aparat. Sudah diketahui sejak Jumat, kenapa tidak disiapkan pengamanan? Dengan melihat tanda-tanda di Cikeusik, polisi tidak mencegah. Sedangkan dengan mahasiswa ditendang, digebuk, dan sebagainya. Tetapi pada tragedi Cikeusik ini cuma dipegang bajunya, lalu dilepaskan lagi. Bahkan polisi lari, inilah yang namanya meninggalkan tugas". Sejumlah pengamat, seperti Politikus Partai Gerindra dan Yudi Latief, pendiri Nurcholis Madjid Society yang dijadikan narasumber dalam tayangan berita itu menambahkan anggapan senada, bahwa tragedi Cikeusik menodai toleransi umat beragama di Indonesia. Mereka menilai kasus penyerangan dilatari masalah

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(21)

keagamaan diakibatkan ketidaktegasan pemerintah dan kegagalan aparat mengantisipasi timbulnya kerusuhan.

Dari pemberitaan mengenai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, TV One dan Metro TV memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menkonstruksi realitas dan mengemas berita tersebut. Perbedaan itu akan dibuktikan peneliti, bagaimana media tersebut mengkonstruksi sebuah peristiwa menjadi berita akan memperlihatkan bagaimana kecenderungan dan keberpihakan dalam dua lembaga penyiaran tersebut terhadap peristiwa bentrokan di Cikeusik. TV One lebih memberikan apresiasi pada peran aktif dan kerja polisi mengatasi dan menuntaskan masalah bentrokan, dengan menyajikan berita yang menunjukkan upaya polisi memburu pelaku-pelaku sebagai otak bentrokan. Contohnya ‘Polisi Buru 3 Provokator Penyerangan Jemaah Ahmadiyah’. Sedangkan Metro TV lebih kepada memberikan kritikan tajam dan terkesan menyalahkan pihak polisi yang tidak bisa menjalankan tugasnya untuk mencegah terjadinya bentrokan. Contohnya berita ‘Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas’.

Mengenai keberpihakan isi berita yang disajikan dua media televisi yaitu TV One dan Metro TV tentang berita peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, TV One merefleksikan kepentinganya dengan menonjolkan peran polisi dalam menuntaskan bentrokan ini dengan tujuan untuk mengapresiasi kerja polisi. Sedangkan pemberitaan di Metro TV terkait dengan berita bentrokan Ahmadiyah tersebut, lebih cenderung mengarah pada mengkritik dan menjatuhkan kredibilitas polisi sebagai pengayom masyarakat yang justru membiarkan kerusuhan terjadi dan meresahkan masyarakat.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(22)

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti menggunakan paradigma kontruktivis dalam penelitian ini, dengan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memiliki karakteristik antara lain: memberikan penilaian (evaluatif) menggunakan konsep dalam analisisnya secara teoretis, menginterpretasi, berujung pada evaluasi, dan interpretasi dapat diperdebatkan (Berger, 2000).

Subyek penelitian adalah TV One dan Metro TV dan yang menjadi objek penelitian adalah pemberitaan peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Berita-berita tersebut diambil dari berbagai program berita unggulan masing-masing stasiun televisi. Analisis yang digunakan dibatasi pada naskah berita dan gambar video berita TV One tanggal 6 Februari 2011 - 9 Februari 2011 dan Metro TV tanggal 7 Februari – 4 Maret 2011. Teknik pengumpulan data secara primer (berupa naskah dan gambar berita TV One dan Metro TV) dan data sekunder (studi literatur, buku, arsip, dokumen dan sebagainya yang mendukung penelitian).

Untuk melihat perbedaan media dalam mengungkapkan suatu peristiwa (realitas), peneliti memilih menggunakan metode analisis framing (bingkai) sebagai metode penelitian. Alasannya, karena dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara media dalam mengkonstruksi fakta. Framing ialah sebuah cara bagaimana media menyajikan peristiwa dan mengkonstruksi fakta. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas atau peristiwa. Media menseleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat khalayak (Eriyanto, 2002 : 66-67). Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(23)

atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya yang menentukan fakta-fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis dalam Sorbur, 2006 : 162).

Ada dua esensi utama dari framing tersebut. Pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan.

Digunakannya metode analisis framing dalam penelitian karena framing merupakan analisis yang dilakukan media untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain). Pembingkaian tersebut merupakan konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan makna dan cara tertentu. Framing digunakan media untuk menojolkan atau memberikan penekanan aspek tertentu sesuai dengan kepentingan media. Akibatnya hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting dan lebih mengena dalam pikiran khalayak (Kriyantono, 2006 : 252).

Ada 4 model dalam analisis framing, antara lain Murray Edelmen, Robert N. Entman, William A. Gamson maupun Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (Eriyanto, 2002 : 188-225). Namun, pada penelitian ini perangkat framing yang peneliti gunakan untuk mengkonstruksi peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah menjadi berita di media televisi adalah metode analisis framing (bingkai) milik Zhongdang Pan dan Gerard M. Kosicki. Menurut Pan dan Kosicki,

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(24)

framing dikembangkan dengan empat struktur besar yaitu, struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retoris.

Pemilihan model Pan & Kosicki karena metode inilah yang paling sesuai untuk menganalisis berita-berita yang ada di media televisi. Yang bisa dianalisis dari gaya bahasa, sudut pandang, ungkapan, semantik (hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya tanda lingustik terdiri dari bunyi bahasa). Model ini menjabarkan framing sebagai cara pandang wartawan dari dua konsepsi yaitu, konsepsi psikologis (yang melihat frame semata sebagai persoalan internal pikiran) dan sosiologis (yang lebih tertarik melihat frame dari sisi bagaimana lingkungan social dikonstruksi seseorang).

Sedangkan metode analisis yang digawangi oleh Murray Edelmen lebih condong pada bagaimana politisi menciptakan bahasa dan simbol politik untuk mempengaruhi opini publik. Edelman melihat bagaimana para politisi dengan menggunakan kata-kata tertentu untuk menarik dukungan publik dan mempengaruhi pendapat umum, dan menciptakan pendapat umum tertentu yang menguntungkan dirinya. Politik, dalam kaca mata Edelman, tidak lain adalah permainan simbol-simbol. Lewat simbol tersebut, realitas politik diciptakan dan dibentuk. Khalayak diajak berpikir dengan kata dan simbol yang dibuat untuk memenangkan dukungan publik. Sehingga model ini tidak sesuai untuk pemberitaan yang akan diteliti pada penelitan ini, yaitu pemberitaan yang berkaitan dengan Agama.

Model lainnya dari Robert N. Entman lebih pas digunakan untuk analisis framing media cetak karena dalam metode ini, berita dianalisis dari teksnya dan bagaimana membuat pesan moral dan menekankan penyelesaian (Kriyantono, 2006 : 256). Berita yang ditayangkan di media televisi tidak menyampaikan pesan moral dan Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(25)

penyelesaian, sedangkan media cetak, baik itu surat kabar ataupun majalah, si penulis berita (wartawan) mencantumkan opininya terhadap pemberitaan yang ditulis disertai pesan moral dan penyelesaiannya.

Berbeda dengan William A. Gamson & Andre Modigliani yang menyatakan framing adalah ide sentral yang didukung oleh wacana lain. Hal inilah yang membuat model ini tidak sesuai dengan konsep pemberitaan di televisi. Selain itu, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gagasan ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghasilkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Konstruksi makna disini merupakan sebuah kemasan (package) yaitu rangkaian ide yang menunjukan isu apa yang akan dibicarakan dan isu mana yang relevan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka yang menjadi permasalahan dari penelitian ini adalah:

Bagaimana TV One dan Metro TV membingkai pemberitaan mengenai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik periode tanggal 6 Februari – 4 Maret 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana TV One dan Metro TV membingkai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik periode 6 Februari – 4 Maret 2011.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(26)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah kajian dalam bidang ilmu komunikasi terutama yang menggunakan metode kualitatif pada umumnya, melalui paradigma konstruktivis dengan menggunakan analisis framing pada khususnya. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengetahuan tentang strategi yang digunakan media dalam membingkai realitas sosial dalam berita mengenai peristiwa bentrokan antara warga dengan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi jurnalis serta institusi media massa, khususnya TV One dan Metro TV dalam mengkonstruksi realitas dan membingkainya ke dalam berita serta menyampaikan berita kepada khalayak.

2. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa ilmu komunikasi yang tertarik dengan penelitian teks media khususnya yang menggunakan metode analisis framing.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Jurnalisme Televisi Sebagai Media Massa

Manusia tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi adalah salah satu kebutuhan vital manusia sebagai mahkluk sosial. Dewasa ini komunikasi tidak hanya menyangkut satu orang ke orang lainnya tetapi melibatkan khalayak luas yang kemudian disebut sebagai komunikasi massa. Keberadaan komunikasi massa ini terkait erat dengan media massa sebagai institusi sosial yang menyebarkan pesan ke khalayak luas. Media massa (mass media) merupakan singkatan dari media komunikasi massa, merupakan channel of mass communication, yaitu saluran, alat, atau sarana yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa (Dirgahayu, 2007 : 17).

Media massa mampu hadir dan eksis di tengah masyarakat karena fungsinya dalam menghubungkan satu orang dengan orang lainnya dalam berbagai kepentingan. Lebih dari itu, penyampaian sebuah berita di media massa ternyata menyimpa subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan dipandang sebagai sesuatu yang penuh objektivitas. Namun berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita menyimpan ideologis atau latar belakang seorang penulis. Seorang penulis pasti akan memasukan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh dilapangan. (http://www.oke.or.id/tutorial/kapita.doc)

Kompleksnya kehidupan media dapat dilihat dalam gambar berikut :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(28)

Perspektif Alternatif Menyangkut Fungsi dan Tujuan Media Massa

Grafik (Gambar) 2.1. Perspektif alternatif menyangkut fungsi dan tujuan media massa. Sumber: (McQuail, 2000 : 74)

Dari gambar diatas, terlihat betapa kehidupan media berada di tengah-tengah aneka kepentingan, baik yang berada di dalam maupun di luar institusi media itu. Institusi media sebagai bagian dari sistem kenegaraan, maka kepentingan nasional/negara/bangsa yang dirumuskan oleh kalangan pembuat kebijakan akan menentukan mekanisme operasionalisme media massa dalam menjalankan fungsi dan tujuannya. Bagi para pengusaha/pemiliknya, media massa merupakan sarana bisnis. Sedangkan bagi para komunikator massa khususnya kalangan wartawan dan karyawan media massa lainnya, yang diutamakan adalah kepuasan profesi.

Altscull (1984) berpendapat bahwa media merefleksikan ideologi pihak yang membiayainya. Ada 4 aspek yang dijabarkan. Pertama, di dalam pola yang formal,

Media Massa Masyarakat/Bangsa Kesempatan perolehan Suara Masyarakat Sumber Informasi budaya, pemakaian Khalayak Media Sarana Kontrol atau perubahan Kekuasaan Kelas Dominan Kerja kepuasan Komunikator massa Kelas Lemah Integrasi kontrol

pencapaian Keuntungan

Pemilik Media

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(29)

media diatur oleh negara. Kedua, di dalam pola komersial, media merefleksikan ideologi pada pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di dalam pola kepentingan (interest), isi media merefleksikan ideologi pihak yang membiayai media seperti partai politik atau kelompok keagamaan. Dan yang terakhir, di dalam pola yang informal media merefleksikan tujuan pada kontributor yang ingin mempromosikan pandangan mereka sendiri (Novianti, 2006 : 43).

Kerangka media (media frame) merujuk pada format media (media format). ”The internal organization or logic of any shared symbolic activity” Format media adalah organisasi internal atau logika dari setiap aktivitas simbolis yang dibagi (McQuail, 2000 : 297). Format media tidak sekedar menunjukan pengelompokan atau kategorisasi dari isi liputan, namun juga mengambarkan unit-unit ide dari bentuk dominasi dan representasi. Unit-unit ide dari dominasi dan representasi hadir sebagai wujud dari format media. Seperti yang diasumsikan oleh Pamela J.Shoemakaer dan Stephen D. Reese bahwa produser dan wartawan pada industri media yang berbeda cenderung untuk memiliki perbedaan nilai, dimana akan menghasilkan berbagai bentuk produk yang kontekstual dan memberi efek yang berbeda (Perry, 2002 : 111).

Proses produksi, jenis liputan, ide kreatif program, dan isi media yang unik juga harus memenuhi standar dan cukup familiar baik bagi produser/editor atau juga bagi audiens/khalayak. Spesifikasi dan standarisasi semacam ini terdiri dari pertimbangan ekonomis, teknologi dan budaya (McQuail, 2000 : 294-296).

1) Pertimbangan ekonomis merupakan tekanan efisiensi untuk meminimalisir biaya, mengurangi konflik dan juga memastikan kontinuitas dan ketercukupan dari sumber-sumber informasi.

2) Pertimbangan teknologi digunakan untuk lebih memaksimalkan sumber daya

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(30)

media massa dengan biaya rendah. Inovasi teknis selalu berbasis pada keputusan-keputusan profesional dan ekonomis, dan jurnalis beradaptasi dalam hal tujuan, keterampilan dan rutinitas para jurnalis terhadap perangkat baru tersebut.

3) Pertimbangan budaya merupakan bentuk dari standarisasi pola budaya kerja media, mulai dari standarisasi proses peliputan, pengeditan sampai dengan proses presentasi berita. Pada sebuah media, isi media yang dikelompokan dalam berita, olahraga, hiburan, drama/film/sinetron dan iklan merupakan contoh standarisasi budaya media yang mengikuti tradisi budaya kerja, mengikuti selera pasar.

Ada 7 tahap besar yang dapat menggambarkan perkembangan media massa secara umum dari masa kemasa (Junaedi, 2007 : 27-29). Tahap pertama adalah adanya buku dan perpustakaan. Tahap kedua, ditandai dengan adanya media cetak dalam bentuk koran. Pada fase ini, koran merupakan sarana untuk menyampaikan informasi terkini ke khalayak luas dengan cepat. Tahap ketiga, ditandai dengan penemuan film melalui pita seluloid. Film dianggap bukan hanya sebagai media hiburan namun media massa yang mampu menjangkau khalayak yang jauh lebih luas daripada koran. Tahap keempat adalah penemuan teknologi penyiaran melalui televisi dan radio. Jangkauan televisi dan radio lebih luas dari pada 3 media yang ditemukan terlebih dahulu. Tahap kelima adalah perkembangan rekaman musik. Tahap keenam adalah penemuan internet yang memungkinkan terjadinya interkonektifitas antar pemakai. Tahap ketujuh adalah adanya revolusi media dengan ditandai dengan lahirnya jurnalisme online. Bentuk-bentuk media massa sebagai mainstream media adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, film, tape recorder, video, dan cassette recorder.

Media massa baik itu cetak maupun elektronik bahkan memegang peranan penting dalam berbagai sendi kehidupan. McQuail (1994) mengungkapkan beberapa

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(31)

fungsi penting media ditopang oleh beberapa asumsi antara lain media massa merupakan sumber kekuatan–alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja sebagai individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif; media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. Secara umum, McQuail juga mengklasifikasikan 5 tujuan media yakni informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi.

Sejarah media massa memperlihatkan bahwa sebuah teknologi baru tidak pernah menghilangkan teknologi yang lama, melainkan mensubtitusikanya. Radio tidak menggantikan surat kabar, namun menjadikannya sebuah alternatif, menciptakan sebuah kerajaan dan khalayak baru. Demikian pula dengan televisi, meskipun televisi melemahkan radio, tetapi tidak dapat secara total mengeleminasinya.

Televisi, merupakan perkembangan medium setelah radio yang dikemukakan dengan karakternya yang spesifik yaitu audio visual. Peletak dasar utama teknologi pertelevisian tersebut adalah Paul Nipkow dari Jerman yang dilakukan pada tahun 1884.Ia menemukan sebuah alat yang kemudian disebut sebagai Jantra Nipkow atau

Nipkow Sheibe.

Sebagai bagian dari media massa, media televisi pun memiliki dan menjalankan fungsi-fungsi media massa, seperti yang diungkapkan McQuail dan kawan-kawan dalam memberikan tipologi fungsi media bagi individu dalam sebuah kerangka yang berdasarkan 4 unsur besar.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(32)

Fungsi Media Bagi Individu

No. Fungsi Penjelasan

1 Informasi • Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi

yang berkaitan dengan lingkungan terdekat,

masyarakat dan dunia

• Mencari bimbingan menyangkut berbagai

masalah praktis, pendapat, dan hal-hal lain

yang berkaitan dengan penentuan pilihan

• Memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum

• Belajar, pendidikan diri sendiri

• Memperoleh rasa damai melalui penambahan

pengetahuan

2 Identitas Pribadi • Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi

• Menemukan model perilaku

• Mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai lain

(dalam media)

• Meningkatkan pemahaman tentang diri

sendiri

3 Integrasi dan interaksi sosial • Memperoleh pengetahuan tentang keadaan

orang lain; empati sosial

• Mengindetifikasikan diri dengan orang lain

dan meningkatkan rasa memiliki

• Menemukan bahan percakapan dan interaksi

sosial

• Memperoleh teman selain dari manusia

• Membantu menjalankan peran sosial

• Memungkinkan seseorang untuk dapat

menghubungi sanak keluarga, teman dan

masyarakat

4 Hiburan • Melepaskan diri atau terpisah dari

permasalahan

• Bersantai

• Memperoleh kenikamatan jiwa dan estetis

• Mengisi waktu

• Penyaluran emosi

• Membangkitkan gairah seks

Tabel 2.1. Fungsi Media Bagi Individu.

Sumber: Dennis McQuail dan kawan-kawan (McQuail, 2000 : 72)

Televisi merupakan sebuah agen yang bertindak untuk mendefinisikan su-isu atau permasalahan yang sedang terjadi, siapa yang ikut terlibat didalamnya, dan lain sebagainya menurut versi masing-masing televisi. Sebagai bagian dari institusi komunikasi massa formal, jurnalisme televisi pun menganut ciri-ciri dan sifat-sifat media massa, yaitu :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(33)

1) Komunikator melembaga : yaitu orang yang menyampaikan pesanya merupakan suatu lembaga tertentu bukan perorangan.

2) Pesan teroganisir : yaitu pesan yang disampaikan harus konkrit, jelas dan terorganisir.

3) Program Kontinyu : yaitu program yang ditayangkan harus berkelanjutan dan bertahap.

4) Periodik : yaitu ditayangkan dalam jangka waktu yang cepat.

5) Universal : yaitu program yang ditayangkan merupakan suatu berita menyeluruh.

6) Komersial : yaitu suatu program yang memiliki nilai jual atau komersial.

7) Memiliki status hukum : yaitu setiap media harus memiliki status hukum atau ijin Khusus media.

8) Aktualitas pesan tinggi : yaitu berita yang paling baru merupakan berita yang paling berharga, maka aktualitas sangat diperlukan.

9) Simultan / publikatif : yaitu media merupakan sesuatu yang harus dipublikasikan.

10) Profesional : yaitu harus bekerja secara professional dengan porsinya.

11) Komunikasi heterogen : yaitu komunikasi bebas dan beraneka ragam.

Perkembangan teknologi pertelevisian saat ini sudah sedemikian pesat sehingga dampak siaranya menyebabkan seolah-olah tidak ada lagi batas antara satu Negara

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(34)

dengan Negara lainya terlebih setelah digunakannya satelit untuk memancarkan signal

televisi. Inilah yang disebut sebagai globalisasi di bidang informasi.

Sebenarnya secara subtansial televisi mempunyai posisi dan peranan yang sama dengan media cetak dan radio. Hanya saja operasionalisasinya dalam masyarakat menjadi sangat menentukan karena besar jangkauan yang dicapai. Harold Laswell (1960) menyatakan sebagai berikut:

1) The survellaince of the environment, yaitu mengamati lingkunganya.

2) The correlation of the part of society in responding the environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran, karena komunikator lebih menekankan pada seleksi evaluasi dan interpretasi.

3) The tranmision of the sosial heritage from one generation to the next, yaitu menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.

Tentu saja ketiga peran televisi diatas menyiratkan bahwa pada dasarnya memberikan penilaian pada media massa sebagai alat atau sarana yang secara sosiologis menjadi perantara untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Dalam menyatakan sifat televisi, Frank Jefkins (1994) mengungkapkan :

1) Televisi dapat mencapai khalayak yang besar sekali, dan mereka itu tetap dapat mengambil manfaat sekalipun tidak bias membaca.

2) Televisi dapat dipakai untuk mengajarkan banyak subjek dengan baik. Akan tetapi, pengajaran itu akan lebih efektif bila diikuti dengan diskusi dan aktifitas lain.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(35)

3) Televisi bersifat otoritatif dan bersahabat.

Dari sifat televisi seperti diatas dimungkinkan untuk menimbulkan kecenderungan orang untuk menonton televisi. Terkait dengan peranannya, televisi memiliki kelemahan dan juga keunggulan. Karena setiap teknologi pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Maka kelemahan serta keunggulan dari televisi tersebut adalah antara lain :

Kelemahan :

1) Jangkauan pemirsa massal, sehingga pemilahan (untuk kepentingan pembidikan pangsa pasar tertentu) sering sulit dilakukan.

2) Iklan relatif singkat, tidak mampu menyampaikan data lengkap dan rinci (bila diperlukan konsumen).

3) Relatif mahal.

4) Pembuatan iklan TV cukup lama.

5) Penggunaan model itu-itu saja.

Kelebihan :

1) Kesan realistik : audio-visual.

2) Masyarakat lebih tanggap : ditonton dalam suasana santai, rekreatif.

3) Adanya repetisi / pengulangan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(36)

4) Adanya pemilahan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat.

5) Ideal bagi para pedagang eceran.

6) Terkait erat dengan media lain.

Dalam prinsip jurnalistik kriteria layak berita di surat kabar dan di media televisi, relatif juga sama. Hanya, di media televisi ada penekanan lebih besar pada aspek

visual (gambar). Hal yang bisa dipahami, karena televisi adalah media audio-visual.

Di media cetak, seperti di harian Kompas, bisa menulis berita atau artikel dengan

byline, mencantumkan namanya sendiri di tulisan tersebut. Meskipun setiap tulisan yang di muat itu sudah melalui proses penyuntingan oleh orang lain, baik dari segi bahasa atau pun content, tetapi tetap bisa mengklaim bahwa itu adalah tulisan karya “saya”. Bisa dibilang, 90 persen dari materi yang dimuat itu adalah karya saya.

Di media televisi, tampil secara individual itu sulit dilakukan, karena semua paket berita ataupun tayangan benar-benar dikerjakan secara kolektif. Untuk liputan berita pun minimal sudah harus dikerjakan berpasangan, oleh seorang reporter dengan seorang camera person. Walaupun, bisa juga dilakukan seorang diri sebagai VJ (video journalist).

Namun, menjadi VJ jelas merupakan tugas berat yang merepotkan. Peran “VJ” ini biasanya lebih banyak dilakukan untuk menyiasati kekurangan tenaga camera person. Jadi, reporter diharapkan juga bisa memegang kamera.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(37)

Belum lagi menyebut, hasil liputan ini harus diedit oleh seorang editor, yang ditugasi khusus untuk itu. Peran seorang editor sangat penting, karena hasil liputan yang bagus pun bisa jadi berantakan, jika dikerjakan oleh editor yang buruk.

Perbedaan yang lain, di media surat kabar, kemajuan (baca: peningkatan tiras atau sirkulasi, serta pemasukan iklan) surat kabar itu tidak mudah di distribusikan pada peran individu atau rubrik tertentu.

Seberapa sering sebuah surat kabar mengadakan survey pembaca? Berbeda dengan data rating dan share stasiun TV, yang dipasok oleh AGB Nielsen setiap minggu (bahkan setiap hari), pengelola surat kabar tak mungkin mengadakan survey setiap minggu atau setiap bulan. Jadi, kecuali karena perilaku jurnalis yang jelas terlihat (misalnya, sering membolos, atau sering terlambat menyerahkan tulisan), agak sulit untuk menilai kinerja seorang jurnalis di surat kabar.

Ini sangat berbeda dengan di media televisi, yang setiap minggu (bahkan kini setiap hari) ada data rating dan share setiap program, yang dipasok oleh lembaga pemeringkat AGB Nielsen. Setiap minggu, jelas terlihat, program mana yang share

dan ratingnya ambruk, dan program mana pula yang meningkat.

Jadi, setiap produser yang menangani program TV tertentu, tidak bisa bersembunyi atau “lepas tangan” jika rating dan share sebuah stasiun TV merosot drastis, dengan melihat angka rating dan share setiap programnya, dengan mudah bisa ditunjuk produser-produser mana saja yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan itu. Ini tentu ada untung-ruginya.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(38)

Untungnya, kinerja setiap produser atau jurnalis di media TV sangat transparan. Setiap orang bisa menilai, karena ada ukuran kinerja yang jelas, yaitu rating dan share

setiap program. Ini memberi tuntutan pada setiap produser dan crew program yang dipimpinnya, untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja.

Walaupun, bisa saja di debat bahwa angka rating dan share itu tidak identik dengan kualitas program. Namun, dalam iklim industri media televisi sekarang, bottom line-nya memang bukan pada kualitas program, tetapi pada keuntungan dari pemasukan iklan.

2.2. Peran Media Massa dalam Mengkonstruksi Realitas

Teori konstruksi sosial atas realitas dikemukakan oleh Peter L. Berger dan

Thomas Luckman (1998), yang menyatakan realitas terbentuk secara sosial melalui komunikasi. Berger dan Luckman menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas tidak di bentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi terbentuk secara sosial melalui komunikasi. Individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif melalui tindakan dan interaksinya. Dengan pemahaman ini realitas berwujud ganda/plural.Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan dan lingkungan sosial, yang dimiliki masing-masing individu.

Manusia akan mengkonstruksikan segala sesuatu yang tidak tersedia untuk dirinya dari alam. Hasil konstruksi ini dapat mempengaruhi dan membentuk pikiran serta tindakan dalam interaksi sosial.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(39)

Konstruktivisme, merupakan suatu doktrin dimana persepsi, ingatan, dan struktur mental kompleks lainnya disusun secara aktif oleh pikiran (Colman, 2001, Dictionary of Psychology). Jadi persepsi, ingatan, dan struktur mental kompleks tersebut dikonstruksi secara aktif, bukan realitas obyektif yang tersedia di hadapan kita sehingga kita memperolehnya secara alami begitu saja. Gagasan mengenai konstruktivisme pertama dimunculkan psikolog Inggris Sir Frederic Charles Bartlett

(1932) untuk menjelaskan fenomena temuannya tentang ingatan manusia. Kemudian berkembang di tangan psikolog seperti Richard Ulrich (konstruksi terkait persepsi),

Richard Gregory (konstruksi pikiran sebagai penyebab ilusi visual), dan Jean Piaget

(konstruksi mental dalam diri anak-anak), (Colman, 2001).

Konstruktivisme sosial sendiri, pertama kali dipopulerkan Peter Ludwig Berger

dan Thomas Luckmann melalui buku The Sosial Construction of Reality, terbit tahun 1966. Inti gagasan konstruksi sosial realitas Berger dan Luckmann adalah, realitas dikonstruksi secara sosial. Realitas di sini diwujudkan antara lain sebagai kejadian hidup sehari-hari. Menggambarkan kenyataan hidup sehari-hari, Berger menulis:

Kenyataan hidup sehari-hari diterima begitu saja sebagai kenyataan. dan tidak memerlukan verifikasi tambahan selain kenyataannya yang sederhana. Kenyataan ini memang sudah ada di sana, sebagai faktisitas2 yang memaksa

dan sudah jelas dengan sendirinya… Meskipun saya dapat menyangsikan kenyataannya, saya merasa wajib untuk menangguhkan

kesangsian seperti itu selama saya bereksistensi secara rutin dalam kehidupan sehari-hari. Penangguhan kesangsian itu begitu kuat sehingga untuk mencabutnya… saya harus melakukan suatu peralihan yang sangat besar.” (Berger dan Luckmann, 1966 : 34).

2

Kenyataan bahwa manusia diluar kemauannya terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu, mengandaikan kebebasan eksistensial manusia untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(40)

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, realitas dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas tesebut merupakan realitas subjektif dan realitas objektif sekaligus. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan lingkungan yang berbeda-beda yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi objektif – sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar atau dalam istilah Berger tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan. Hal itu misalnya dapat dilihat dari rumusan intitusi, aturan-aturan yang ada dan sebagainya. Dalam perspektif konstruksi sosial, kedua realitas tersebut saling berdialektika. Seseorang akan mencurahkan ketika bersinggungan dengan kenyataan (eksternalisasi), sebaliknya, ia juga akan dipengaruhi oleh kenyataan objektif yang ada (internalisasi).

Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan-Berger menyebutnya sebagai momen, yang terdiri dari tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi; kedua, objektivasi; ketiga, internalisasi. Dialektis menganggap masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(41)

…Ketika seseorang mewawancarai narasumber, di sana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa ke dalam berita. Di sana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan narasumber. Belum termasuk bagaimana hubungan dan kedekatan antara wartawan dengan narasumber. Proses dialektis di antara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca di surat kabar atau kita lihat di televisi (Eriyanto, 2002 : 18 – 19).

Secara institusi, proses konstruksi terhadap realitas dalam komunikasi massa dapat dijelaskan dalam gambar berikut.

Grafik (Gambar) 2.2. Proses Konstruksi Terhadap Realitas dalam Komunikasi Massa. Sumber: (Hamad, 2007 : 184)

WACANA SEBAGAI HASIL KONSTRUKSI

PUBLIK PROSES

KONSTRUKSI REALITAS

OLEH MEDIA

Hasil: makna,

opini,

Faktor Eksternal Faktor Internal

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(42)

Dalam gambar diatas, proses konstruksi isi media dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal media tersebut. Faktor-faktor internal tersebut adalah politik redaksional tertentu, kepentingan politik para pengelola media termasuk relasinya dengan kepentingan politik tertentu. Sedangkan faktor eksternal bisa berupa tekanan pasar pembaca, sistem politik yang sedang berlaku dan kekuatan-kekuatan lainnya. Hasil dari proses konstruksi itulah yang kemudian tampak dalam produk media massa yang dinikmati publik yang menghasilkan makna, opini, citra dan motif.

Dalam pandangan konstruksionis, media dipandang sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas….Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan (Eriyanto, 2002 : 23).

Isi media, misalnya menurut Brian McNair (1994:39:58) dapat lebih ditentukan oleh :

Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political-economy approach). Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita (organizational approach).

Gabungan berbagai faktor, baik internal media atau pun ekternal media (culturalis media)

Sedangkan Pamela J. Shoemanker dan Stephen D. Reese dalam buku

Mediating the Message : Theories of Influences on Mass Media Content (1996) memandang bahwa telah terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dalam isi media. Pertarungan itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1) Latar belakang awak media (wartawan, editor, kamerawan, dan lainya).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(43)

2) Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita. Misalnya, berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan berita yang dibeli dari kantor berita.

3) Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai job description. Misalnya, bagian marketing dapat mempengaruhi agar diproduksi isi media yang dijual kepasar.

4) Kekuatan ekstra media, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya, politik, hukum, kebutuhan khalayak, agama, dan lainnya).

5) Ideologi (misalnya ideologi negara)

2.3. Berita Merupakan Hasil dari Konstruksi Realitas

Berita, dalam pandangan konstruktivis, bukanlah realitas obyektif yang semata hadir di luar sana, yang disajikan oleh organisasi media sebagaimana adanya. Berita bukan sekedar serangkaian peristiwa di luar sana, yang disampaikan reporter berita di layar kaca, yang kita dengarkan sambil menyiapkan makan malam atau menemani kita membersihkan rumah. Kehadiran berita melalui medium, seringkali telah begitu biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menerimanya begitu saja,

taken for granted.

Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses internalisasi dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah eksternalisasi. Dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut (Eriyanato, 2002 : 17).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(44)

Berita, menurut pandangan konstruktivisme adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Berita juga hasil produksi organisasi. Realitas yang melanda wartawan diserap untuk kemudian dieksternalisasi sebagai produk pemaknaan. Oleh sebab itu, penganut konstruktivisme berpendapat, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Realitas bukan sesuatu yang ada di luar dan tinggal diambil. Realitas tercipta lewat konstruksi dan sudut pandang tertentu wartawan. Dasarnya bahwa berita dalam pandangan konstruksionis di pandang sebagai konstruksi atau bentuk dari wartawan yang menulisnya, berdasarkan ideology dari media yang menaunginya.

Tetapi dalam pandangan konstruksionis, Dalam bahasa Carey dikatakan demikian:

News is not information but drama. It does not describe the world but portrays an arena of dramatic forces and action; it exists solely in historical time; and its invites our participation on the basis of our assuming, often vicariously, sosial roles within it. (berita itu ibarat seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa). (James W. Carey dalam Eriyanto, 2002 : 25).

Tuntutan dan kepentingan organisasi media, beranggapan wartawan bukanlah mahkluk yang tanpa ideologi. Dalam menjalankan perannya, mereka selalu mempunyai kecenderungan untuk memihak sesuai dengan keyakinan yang melekat pada dirinya. Hal itulah, yang menyebabkan berita tidaklah produk yang merefleksikan realitas namun merupakan hasil dari rekonstruksi yang terjadi di lapangan. Oleh karena itulah kedudukan institusi televisi swasta, tidak bisa dianggap sebagai sebuah saluran yang netral dan pasif sekedar kumpulan medium yang melaporkan realitas sosial.

Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(45)

atau media. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran (Eriyanto, 2002 : 25-26).

Dalam pandangan konstruksionis, persoalannya bukanlah pada bagaimana laporan yang baik dan buruk, apakah laporan tersebut mengandung bias ataukah tidak. Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya. Artinya, kalau ada seorang wartawan yang menulis berita dari satu sisi, mewawancarai hanya satu pihak, dan memasukkan banyak opini pribadi tidak kemudian dinilai sebagai benar atau salah, tetapi memang wartawan melakukan itu semua dalam kerangka pembenaran tertentu.

Berita bukanlah representasi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja journalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir didalam khalayak (Eriyanto, 2002 : 26).

Berita merupakan hasil perdebatan antara pekerja media dalam menentukan berita mana yang disiarkan dan berita mana yang tidak disiarkan, sudut pandang mana yang diambil dan sudut pandang mana yang dieliminasi, aspek apa saja yang ditonjolkan dan aspek mana saja yang dibuang. Bahkan, juga terjadi proses seleksi dalam penentuan siapa yang menjadi nara sumber dan pertanyaan apa yang diajukan, sebelum menghasilkan berita. Perbedaan apa yang dibuang dan apa yang disajikan membuat berita antara media yang satu dengan media yang lainnya berbeda, walaupun membahas realitas yang sama.

Masyarakat seringkali menganggap realita yang terjadi seperti apa yang diungkap oleh media. Padahal sebelum menjadi berita, suatu realitas tersebut telah mengalami konstruksi oleh nara sumber ataupun pelaku/pekerja media. Konstruksi menghasilkan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(46)

beberapa fakta atau informasi yang dihilangkan dan beberapa fakta atau informasi lain yang ditonjolkan. Konstruksi realitas media selalu mewarnai proses produksi media. Proses konstruksi realitas oleh media massa salah satunya dipengaruhi oleh bagaimana realitas dalam media massa ditulis dan diseleksi.

Penulisan realitas ini tentunya terkait dengan bahasa yang digunakan. Bagi media massa, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan fakta. Namun, bahasa merupakan salah satu alat yang digunakan media massa dalam menentukan gambaran yang hendak ditanamkan kepada publik.

Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Sehingga melalui bahasa akan diketahui tujuan atau maksud dari penulis dalam hal ini wartawan dalam sebuah realitas (Hamad, 2004 : 12). Realitas memang aspek eksternal bahasa, tetapi hal ini

tidak berarti bahwa realitas yang tercermin dalam bahasa bebas dari campur tangan manusia. Realitas yang tercermin dalam bahasa merupakan realitas yang sudah menjadi pengalaman manusia si pemakai bahasa, baik pengalaman objektif maupun pengalaman subjektif (Baryadi, 2007 : 4).

Selanjutnya, berita dilihat dalam kaitannya dengan posisi penjaga gawang yang ada dalam organisasi media itu. Tanpa kesulitan kita dapat melipatgandakan definisi berita beberapa kali: berita bukanlah apa yang disepakati oleh seluruh wartawan, melainkan apa yang disiarkan oleh pemegang fungsi utama dalam pers, yakni “penjaga gawang” seperti reporter yang berpengaruh dan editor. Berita juga dapat diartikan apa yang dikira oleh wartawan menarik khalayak yang dibayangkan mereka. Dua sudut pandang ini mengindikasikan bahwa berita sebagai produk dari media massa khususnya media televisi bukanlah proses sederhana. Berita bukanlah semata-mata mekanisme biasa seorang wartawan menuliskan ulang kejadian di lapangan. Tidak ada

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(47)

kriteria tentang apa berita itu karena berita bukanlah hal atau produk yang tetap, melainkan berita adalah proses pembuatan berita.

Sebuah teks berupa berita haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Teks berita, menurut paradigma konstruktivis adalah hasil konstruksi realitas (Eriyanto, 2002 : 37). Selain teks dan naskah, berita di media televisi masih mempunyai elemen-elemen lain. Beberapa elemen berkerja sama untuk menciptakan pesan visual dari berita televisi antara lain :

1) Video

Video mengandung rangkaian adegan yang berupa gerakan, kata-kata yang menceritakan tentang produk perusahaan. Video berperan penting untuk memberikan informasi kepada khalayak tentang seluk-beluk produk perusahaan.

2) Audio

Berita televisi merupakan media audio visual sehingga elemen radio menjadi penting.

3) Talent

Berita audio visual di televisi selain menggunakan kata–kata juga menggunaka cerita atau gambar agar menarik. Hal tersebut juga dimaksudkan agar khalayak menjadi semakin tahu akan arti berita tersebut.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(48)

4) Setting

Dalam berita televisi memerlukan tempat untuk pengambilan adegan. Pemilihan tempat harus sesuai dengan jalanya cerita sehingga menarik.

5) Lighting

Pencahayaan dalam berita haruslah tepat untuk membuat berita dapat menarik untuk dilihat. Selain itu penggunaan kombinasi harus baik untuk menarik khalayak akan suatu berita.

6) Pacing

Setiap khalayak mempunyai daya tangkap yang berbeda, karena itu, pembuat berita harus merancang beritanya sedemikian rupa agar berita itu mudah dimengerti dan ditangkap oleh khalayak. Pacing adalah bagian keseluruhan pengakhiran pesan atau dengan kata lain hasil berita.

Berita adalah bentuk hiperteks. Hipertekstualitas juga berhubungan dengan bentuk fluids (cair) dari berita. Berita tidak lagi terikat dengan deadline, jam tayang atau batasan-batasan waktu dan tempat. Pada sisi produksi, berita menjadi konstruksi yang terbuka, mudah di update dan dikembangkan. Sementara pada sisi konsumsi, khalayak tidak terikat lagi dengan jam siar, model terbitan (harian, mingguan, bulanan, koran pagi atau sore) karena keputusan untuk memperoleh berita terletak sepenuhnya di tangan mereka. Berita adalah fakta/realitas yang dilaporkan terus menerus, diubah dan direproduksi secara periodik, tanpa henti (endless update) dan konsumsi setiap

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(49)

saat setiap tempat. Interaktivitas adalah kemampuan hubungan resiprokal antara audiens/users dengan jurnalis/produser.

2.3.1. Teknis Tayangan Berita Televisi

Berita televisi merujuk pada praktik penyebaran informasi mengenai peristiwa terbaru. melalui media televisi. Acara berita bisa berlangsung dari beberapa detik hingga beberapa jam dengan menyajikan perkembangan terbaru peristiwa-peristiwa lokal/regional maupun internasional. Stasiun televisi biasanya menyajikan program berita sebagai bagian dari acara berkalanya, dan disiarkan setiap hari pada waktu-waktu tertentu. Kadang-kadang acara televisi juga bisa diselipi dengan 'berita sekilas' untuk memberikan laporan mutakhir mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi atau berita dadakan lain yang penting.

Hal-hal teknis dalam televisi yang harus diperhitungkan adalah pesan media televisi sifatnya sekilas sehingga pesan cepat terlupakan. Metode paling sederhana di dalam penempatan gambar di televisi adalah metode Trianggulasi

(menempatkan benda tepat di bagian tengah layar) ketika mengambil gambar seseorang, harus diperhitungkan komposisi pada ruang kosong di atas kepala. Inilah yang disebut: Head Room (ruang kepala) ketika melakukan pengambilan gambar, kamera tidak boleh melewati garis arah gerakan disebut: Garis Imajiner Hal-hal yang harus diperhatikan :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(50)

1.Televisi sifatnya sekilas pesan cepat terlupakan, konsekuensi: harus membuat kata/kalimat yang mudah diingat.

2.Pesan Televisi disajikan dalam bentuk audio-visual (suara dan gambar) “No Picture no News”, konsekuensi: jangan memberikan penjelasan terhadap gambar.

3.Gambar dalam televisi sangat terbatas, konsekuensi: kamera harus merekam apa yang ingin diketahui pemirsa.

4.Televisi lebih mengutamakan gambar (visual), konsekuensi: mendahulukan ada gambarnya, ketimbang artistik gambar.

5.Pemirsa lebih tertarik pada gambar dari pada kata-kata.

Kemasan berita televisi:

1)Berita Copy

a. Berita copy merupakan cara paling dasar dan sederhana dalam menyampaikan berita di televisi. Berita Copy dibuat jika peristiwanya sangat penting.

b. Bisa dibuat dengan cepat, karena tidak perlu persiapanyang terlalu banyak. c. Tidak ada gambar, karena berita baru saja terjadi, bahkan mungkin masih

berlangsung.

d. Bisa dilakukan dengan cara “phono” (penyiar menelepon langsung reporter yang berada di lokasi kejadian).

e. Jika memiliki perangkat SNG, bisa ditayangkan langsung dari lokasi kejadian on the spot.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(51)

f. Presenter tampil di layar, membacakan berita copy secara utuh dari awal sampai akhir.

g. Lamanya berita copy antara 30-45 detik

2)Readers atau Grafix

a. Readers/Grafix merupakan cara paling dasar berikutnya.

b. Format ini digunakan jika sebuah peristiwa baru saja terjadi dan reporter belum memiliki akses untuk merekam gambar kejadian ke dalam kaset video.

c. Presenter hanya tampil membacakan intro diikuti dengan tayangan grafis (data, angka, peta lokasi, still foto, dll.)

d. Presenter masih terus membacakan berita, ketika gambaratau grafis tersebut ditayangkan, akhir dari berita readers/grafix, bisa di wajah anchor atau di gambar yang ditayangkan. Lamanya berita Readers/Grafix: 15-30 detik.

3)Clips Only

a. Intro dibacakan anchor, disusul dengan Sync Narasumber.

b. Berita Clips Only, akan dimunculkan jika Narasumbe rmerupakan orang yang sangat penting.

c. Atau jika sync dari narasumber “menghebohkan”. d. Intro yang dibacakan Anchor maksimum 3 kalimat. e. Lamanya berita Clips Only: 40-45 detik.

f. Intro memuat: Topline, Background dan Context.

g. Topline: kalimat pertama dari sebuah intro-Background: latar belakang fakta, mengapa peristiwa terjadi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(1)

Jendral Polisi Timur Pradopo (KAPOLRI) : “Kita tidak menghendaki pelanggaran hukum, artinya yang melanggar hukum ditindak tegas, siapapun itu”.

Wartawan : “Siapa indikasi pelakunya, pak?”.

Timur : “Menunggu perkembangan kita sedang mengidentifisir, terimakasih ya…”

Komjen Polisi Ito Sumardi (KABARESKRIM POLRI) : “Dimana saat ini pengendalian disana langsung dibawah wakapolri, bahwa wakapolri disana sekarang dengan fungsi Intelejen kemudian kepolisian dari reserse kemudian binmas kemudian direktur Sabarang jadi semua pejabat utamanya hadir disana dibawah kendali langsung dari Wakapolri. Intinya disini kita ingin mengolah TKP karena ini kan kejadian yang ditangani polri atau kejadian pidana sehingga nanti dari hasil penyelidikan yang dilakukan secara mendalam, baru kita lihat faktor penyebabnya apa, siapa saja yang terlibat siapapun yang terlibat perbuatan pidana itu akan kita proses. Tidak melihat dari kelompok mana tapi bicara dari perorangan. Barang siapa pun juga. Oleh karena itu, kapolri juga menyampaikan agar masyarakat bisa melihat ini tidak dari bentuk solidaritas tapi barang siapa yang berbuat salah, baik dari kedua belah pihak kita akan proses sesuai dengan hukum yang berlaku”.

Wartawan : “Sudah ada yang ditangkap belum, pak?”.

Ito : “Ya, sebagian masih kita periksa saksi-saksi, saya perkembangan belum lihat tapi tadi pagi sudah cukup banyak”.

Wartawan : “Mabes polri kirim orang kesana tidak, untuk tambah perkuatan?”.

Ito : “Jadi yang dikirim kesana Pak Karobin ops. langsung yang menyidik masalah di Polres, direktur di Pidum Pak Agung saat ini ada di TKP dan Polsek. Kemudian Kapus Inafis Pak Subekti, beliau sekarang sedang melakukan olah TKP kemudian ada direktur Sabara, kemudian dari direktur Karomaninal kemudian dari Provos, dari Intelejen, semuanya lengkap.

2) Polisi Sudah Tetapkan Tersangka Kasus Ahmadiyah

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

Kabar Siang / Selasa, 8 Februari 2011, 12:07 WIB

Kami tadi sudah mengabarkan dari program breaking news, dimana AKBP Gunawan menyatakan bahwa sudah ada penajaman kasus dari peristiwa ini dan terus diselidiki bahwa hingga saat ini dari proses berkembangnya penyelidikan dan kasus yang dilakukan tim kepolisian, sudah ada satu nama yang diindikasikan menjadi tersangka namun penahanan belum dilakukan karena terus dilakukan penajaman atau spesifikasi dari sosok orang tersebut. Sejauh mana dia terlibat dalam aksi yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiyah tersebut, dan saat ini Inafis atau Finger Print Identification

System terus melakukan olah TKP, seperti pengambilan gambar dan juga

melakukan pembatasan berupa pemasangan garis polisi meskipun pada satu hari sebelumnya telah dilakukan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi data dan bahan-bahan dan kemudian akan dibawa ke Jakarta untuk proses identifikasi lebih lanjut.

3) Polisi Buru 3 Provokator Penyerangan Jemaah Ahmadiyah

Kabar Petang / Rabu, 9 Februari 2011 18:34 WIB

Kepolisian daerah Banten telah menetapkan seorang tersangka dalam kasus penyerangan warga ke pengikut Ahmadiyah di kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Polisi juga masih memburu tiga tersangka yang diduga provokator penyerangan. Foto tiga tersangka tersebut telah disebar hingga ke polsek-polsek. Kepolisian daerah Banten kini harus melakukan penyelidikan terkait kasus penyerangan Ahmadiyah di kampung Pandeuy desa Umbulan Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(3)

kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Setelah menetapkan satu tersangka berinisial U, polisi kini memburu tiga tersangka lainnya.

Brigjen Agus Kusnaedi (KAPOLDA Banten) : “Kita sekarang lagi diupayakan pekerja ya, nanti kalau ada…”.

Tersangka itu terlihat melakukan perusakan mobil dan rumah korban. Sementara ketiga orang lainnya yang masih diburu adalah provokator yang perannya cukup besar dalam menyulut kerusuhan pada hari Minggu, 6 Februari kemarin. Guna memudahkan pencarian, kepolisian telah menyebarkan foto-foto tersangka kerusuhan itu untuk diketahui petugas di polsek-polsek setempat dan menurut kapolda Banten Brigjen Kapolda Agus Kusnaedi, pihaknya pun sudah mengantongi bukti-bukti cukup kuat yang mengarah pada para tersangka.

LAMPIRAN 2

Korpus di Metro TV :

1) Permadi: Polisi Meninggalkan Tugas

Metro Siang / Rabu, 9 Februari 2011 11:31 WIB

Sementara itu sejumlah pihak menilai kasus kekerasan di Cikeusik telah menodai toleransi antara umat beragama di Indonesia. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak tegas dan aparat gagal mengantisipasi timbulnya kerusuhan. a) Kautsar Azhari Noer (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah) : “Orang

Indonesia itu mayoritas saya kira toleransi. Saya kira kelompok kecil yang tidak toleran. Ya, tapi meskipun yang tidak tolera itu jumlahya tidak banyak tapi kan menodai agama pada seluruhnya secara keseluruhan.”

b)Permadi (Budayawan) :“Saya tidak akan menyinggung akar masalahnya karena itu sudah lama terpendam. Tapi kejadian Cikeusik kemarin itu Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

kesalahan ada pada aparat. Sudah diketahui sejak Jumat, kenapa tidak disiapkan pengamanan? Dengan melihat tanda-tanda di Cikeusik, polisi tidak mencegah. Sedangkan dengan mahasiswa ditendang, digebuk, dan sebagainya. Tetapi pada tragedi Cikeusik ini cuma dipegang bajunya, lalu dilepaskan lagi. Bahkan polisi lari, inilah yang namanya meninggalkan tugas.”

c) Chairul Huda (Staff Ahli KAPOLRI) : “Dalam konflik dalam masyarakat bukan persoalan Ahmadiyah dengan sebagian umat Islam tapi persoalannya antara negara dengan sebagian umat Islam tapi persoalannya antara negara dengan Ahmadiyah. Negara harus mengambil sikap tegas terhadap hal ini. Dikatakan bahwa hal ini dilarang, dikatakan bahwa Ahmadiyah tidak boleh disebarkan di Indonesia atau mau dikatakan boleh tapi siapa yang mengganggu harus berhadapan dengan negara, harusnya seperti itu. Jadi jangan dibiarkan ini menjadi peluang bagi masyarakat untuk mengambil tindakan sendiri-sendiri. Berkenaan dengan hal ini memang menjadi tugas polisi yang ada di depan dalam melindungi masyarakat, mengenai hal-hal yang kemudian timbul konflik lapangan seperti ini.”

d)Yudi Latief (Pendiri Nurcholis Madjid Society) : “Disini pada tingkatan yang sifatnya representatif, antisipatif, itu negara sudah gagal pada tingkatan yang sifatnya antisipatif. Meski negara menyangkut kasus-kasus konflik keagamaan ada begitu banyak preseden, ada begitu banyak peristiwa sebelumnya yang bisa mudah meledak menjadi amuk. Mestinya aparat penegak hukum sudah mengantisipasi bukannya menunggu sampai ada korban. Ini sudah ada korban pun masih ada tidak ada suatu kecepatan untuk mobilisasi. Dukungan antara aparat itu nampak tidak ada koordinasi sama sekali.”

2) 20 Polisi Diperiksa Terkait Tragedi Cikeusik

Metro Siang / Selasa, 15 Februari 2011 12:12 WIB

Inilah Headline News pukul 12 WIB

Pemirsa, 20 polisi dari Polda Banten diperiksa menyusul insiden penyerangan warga terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(5)

Banten. Beberapa waktu lalu. Pemeriksaan intensif terhadap 20 anggota polisi dilakukan di Mapolda Banten. Mereka adalah petugas yang berada dilokasi saat bentrokan terjadi antara warga dengan jemaah Ahmadiyah. Dari 20 yang diperiksa, 2 anggota adalah dari anggota kapolsek Cikeusik, polisi AKP Supur dan Kanit Intel Cikeusik, Iptu Hasan, Wakapolda Banten Kombes Pol. Nandang Jumantara menyatakan pihaknya saat ini sudah 64 saksi, 20 orang diantaranya adalah anggota polisi.

3) Lima Polisi Terancam Sangsi Kasus Cikeusik

Metro Hari Ini / Sabtu, 19 Februari 2011 17:07 WIB

Propam Polda Banten sampai saat ini telah memeriksa 24 anggotanya terkait penyerangan jemaah Ahmadiyah di desa Umbulan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Menurut Kabid Humas Polda Banten AKBP Gunawan, 5 anggota polisi diantaranya berstatus terperiksa dan jika terbukti bersalah, kelimanya terancam sangsi disiplin. Selain itu, Propam juga sudah memeriksa 14 anggota polisi sebagai saksi sedangkan 5 lainnya dianggap tidak bersalah. Sejauh ini, Polda Banten telah menetapkan 9 orang tersangka dalam kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah. Seluruh tersangka kini mendekam dalam tahanan PAM Polda Banten.

4) Tiga Anggota Polsek Cikeusik jadi Tersangka

Top Nine News / Nusantara / Jumat, 4 Maret 2011 21:07 WIB

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

Selamat malam…

Polri kembali menetapkan 3 tersangka baru dalam kasus bentrokan Cikeusik, Pandeglang, Banten yang menewaskan 4 orang. Ketiga tersangka tersebut merupakan anggota Polsek Cikeusik yang dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya. Kadif Humas Mabes Polri Irjen Polisi Ahmad Bahrul Alam menyatakan ketiga tersangka tersebut yaitu, Bripka TBAS, Bripda Y dan Bripda SBI. Ketiganya telah menjalani sidang komisi etika dan disiplin polri dan telah dikenakan sangsi penahanan khusus selama selama 21 hari. Berkas ketiganya telah dilimpahkan ke Kejaksaan dengan ditetapkannya 3 anggota polisi tersebut sebagai tersangka, maka jumlah keseluruhan tersangka dalam kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah Cikeusik menjadi 16 orang.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


Dokumen yang terkait

Konstruksi Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Pemberitaan Dalam Frame Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV)

0 47 112

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG BENCANA KABUT ASAP (Analisis Framing Pemberitaan Bencana Kabut Asap di Televisi Nasional Metro TV dan Televisi Lokal Duta TV)

0 7 23

KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 2 14

KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 0 17

OBJEKTIVITAS PEMBERITAAN BENTROKAN WARGA DENGAN FPI DI KENDAL (Analisis Objektivitas Pemberitaan Bentrokan Warga dengan FPI di Kendal Pada Media Online Kompas.com Juli 2013).

0 4 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Ideologi Politik Jokowi di Media Massa (Studi Kasus Pemberitaan di Metro TV, TV One, dan Kompas TV)

0 0 14

ETIKA PEMBERITAAN PARTAI POLITIK DI TELEVISI (KASUS PEMBERITAAN PARTAI DEMOKRAT DI METRO TV DAN TV ONE)

0 0 10

Analisis Wacana Kritis Kasus Penyerangan Terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik

0 0 8

PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH AHMADIYAH DI CIKEUSIK (Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV)

0 0 26

OBJEKTIVITAS PEMBERITAAN BENTROKAN WARGA DENGAN FPI DI KENDAL (Analisis Objektivitas Pemberitaan Bentrokan Warga dengan FPI di Kendal Pada Media Online Kompas.com Juli 2013)

0 0 21