Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang: pendekatan mobilisasi

(1)

KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH DI CIKEUSIK,

PANDEGLANG: PENDEKATAN MOBILISASI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : Siswo Mulyartono

107033203232

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama NIM

Program Studi

: Siswo Mulyartono :107033203232

: Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH

DI

CIKEUSIK,

PANDEGLANG: PENDEKATAN MOBILISASI

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 30 Desember 2013

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Menyetujui Pembimbing


(3)

l.

2.

3.

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

KEKERASAN ANTI AHMADIYAH DI CIKEUSIK, PANDEGLANG:

PENDEKATAN MOBILISASI

Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syari f Hidayatull ah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di

Universitas Islam

Negrr (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Desember 2013


(4)

PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

KEKERASAN ANTI.AHMADryAH DI CIKEUSIK, PANDEGLANG:

PENDEKATAN MOBILISASI

Oleh

Siswo Mulyartono r07033203232

Telah di pertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla pada tanggal l7

Januari 2014. Skripsi ini telah

di terima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua,

NIP. 19730927 200501

I

003

Penguji II,

fra.

hv.-*"

;

Dr. Sirojudin Aly

NIP. 19540605 200112

l

001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal l7 Januai 2014 Ketua Program Studi

FISIP UIN Jakarta

Sekretaris,

212 t99203

I

004

NIP. 196 3 200103

I

002


(5)

i

ABSTRAKSI

Skripsi ini memusatkan perhatian peristiwa kekerasan anti Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, pada 06 Februari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara mendalam mobilisasi anti-Ahmadiyah dan mencari faktor yang menyebabkan mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan melibatkan massa dalam jumlah ribuan. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan interpretatif. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Kerang teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema mobilisasi Bert Klandersmans: penciptaan potensi mobilisasi, pemanfaatan jaringan, motivasi untuk berpartisipasi dan penyingkiran penghambat partisipasi.

Penelitian menemukan bahwa sejak Ahmadiyah di Cikeusik mulai melakukan aktifitas keagamaan, penciptaan potensi mobilisasi sudah dilakukan oleh para anti-Ahmadiyah untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik. Usaha penciptaan mobilisasi digunakan untuk mencari dukungan pembubaran. Dukungan untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik semakin kuat ketika jaringan-jaringan seperti kiai, santri, dan jawara digunakan untuk memobilisasi massa anti-Ahmadiyah. Tetapi dukungan saja tidak cukup untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik. Mobilisator anti-Ahmadiyah harus menyediakan insentif kolektif dan selektif serta menyingkirkan penghalang partisipasi supaya dukungan bisa direalisasikan dalam bentuk keterlibatan pembubaran. Dengan memfokuskan variabel penciptaan potensi mobilisasi, jaringan, motivasi tindakan dan penyingkiran penghalang partisipasi, penelitian ini menemukan tiga faktor yang memfasilitasi mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa terjadi dan memperoleh dukungan massa dalam jumlah ribuan. Faktor-faktor itu adalah jaringan, kepemimpinan gerakan, dan kegagalan polisi dalam menangani konflik anti-Ahmadiyah.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Penulis melakukan penelitian ini ketika peristiwa kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang telah berlalu selama dua tahun. Tentu saja waktu dua tahun belum terlalu lama, memungkin penulis bisa mencari informasi dan bahan penulisan secara mudah. Tetapi rentang waktu peristiwa yang belum lama itu juga menjadi penghambat dalam memperoleh data di lapangan.

Ketika penulis mengunjungi Desa Umbulan Cikeusik untuk mengumpulkan data, ada penolakan dari beberapa informan yang akan diwawancarai. Sebab, mereka takut ketika disuruh mengingat kembali persitiwa Cikeusik. Beruntung, penulis menjumpai beberapa informan yang mau diwawancarai meski tidak diizinkan untuk direkam dan tidak boleh disebutkan nama aslinya jika mau dijadikan rujukan. Oleh karena itu, dalam penulisan kutipan wawancara di bab pembahasan, ada beberapa informan yang menggunakan inisial.

Penulis juga merasa beruntung ketika diizinkan Pengadilan Negeri Serang untuk mengcopy dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian dan hasil persidangan peristiwa Cikeusik. Dari dokumen-dokumen itu penulis memperoleh banyak data tentang persitiwa Cikeusik.

Penulis semakin merasa mudah menyelesaikan penelitian ini ketika menemukan bahan tambahan dari teman-teman Jama’at Ahmadiyah, memungkinkan penulis bisa memasukkan informasi dari pihak Ahmadiyah.


(7)

iii

Akhirnya, penulis harus mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memudahkan segala urusan terkait penulisan skripsi ini.

Penulis juga berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA, beserta seluruh staf jajarannya.

2. Bapak Dr. Ali Munhanief selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik. Terima kasih Pak Ali sudah mau menjadi pembimbing skripsi ini di tengah kesibukannya yang sangat padat.

3. Bapak M. Zaki Mubarak selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Politik yang tanpa mengenal

keluh dan kesah dalam menghadapi mahasiswa yang penuh masalah. 5. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina yang telah

melibatkan penulis dalam penelitian “Pemolisian Konflik Agama.” Tanpa bantuan PUSAD skripsi ini mustahil bisa selesai. Sebagian besar data yang ada di skripsi ini diambil dari tulisan penulis di penelitian PUSAD. Semoga saja Januari bisa diterbitkan.

6. Kak Ihsan Ali Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) yang rela meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan anak-anak muda. Kak Ihsan adalah guru sekaligus teman bahkan orangtua bagi penulis. Semoga Allah membalas semua kebaikan Kak Ihsan.


(8)

iv

7. Bang Samsu Rizal Panggabean yang selalu menumbuhkan ide-ide segar bagi penulis.

8. Teman-teman di PUSAD Paramadina: Pak Taufiq, Aya, Imelda, Bom-Bom, dan Uki.

9. Buya Khaeril Azhar (Penulis Jakarta Post) yang selalu mengganggu penulisan skripsi ini.

10.Teman-teman di Forum Muda Paramadina: Ayu Melisa, Irsyad Rapshady, dan Kak Husni Mubarak. Penulis banyak belajar dari mereka.

11.Teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI): Erwin, Dodi Iskandar, Rafsanjani, Roy, Rizal, Didi Manakara, Maulana, Cendy, Abda, Ripai Tobri, Yusuf Albana, Nana Saehuna, Ali Imron, Hodari, Naza, Sukron Hadi, Ismail, Adis, Mila, Lilis, Ira, Rangga dan Indra. Selama di dunia ini masih ada mahasiswa yang rajin baca buku, selama itu pula FORMACI akan tetap ada.

12. Teman-teman di Ilmu Politik: Betet, M Yan, Cak Ipul, Adi Ridwan Syam, Neneng, Siti, Kentung, Deni, Lupi, Iceng, Zamiral, Aisyah, dan lainnya. 13.Kedua orang tua penulis: Bapak Suripto dan Ibu Roisah yang dengan sabar

menunggu anaknya bisa wisuda. Terima kasih juga untuk Siska Ayuningtyas (adik) dan Sri Purwaningsih (kakak).

14. Para Ahmadi yang syahid di Cikeusik. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kalian.


(9)

v

Penulis

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... ... vi

DAFTAR BAGAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka... 12

E. Metode Penelitian ... 14

F. SistematikaPenulisan ... 16

BAB II KERANGKA TEORI A. Kekerasan ... 18

B. Mobilisasi ... 20

BAB III DINAMIKA KONFLIK ANTI-AHMADIYAH A. Demografi Kabupaten Pandeglang ... 28

B. Sejarah Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang ... 31

C. Dinamika Konflik ... 32

BAB IV KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH A. Kekerasan Anti-Ahmadiyah... ... 46

B. Menciptakan Potensi Mobilisasi Anti-Ahmadiyah ... 49

C. Jaringan Perekrutan Anti-Ahmadiyah ... 51

D. Memotivasi untuk Berpartisipasi ... 58

E. Penyingkiran Penghalang Mobilisasi... ... 62

BAB V PENUTUP Kesimpulan ... 64


(10)

vi

DAFTAR TABEL


(11)

vii

DAFTAR GAMBAR

Bagan I.A.1. Persebaran Kekerasan Anti-Ahmadiyah di Indonesia... ... 9

Bagan II.B.1. Langkah-Langkah Menuju Partisipasi ... 23


(12)

1

Bab I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Sejarah Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah sejarah konflik sektarian di dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pada awal perkembangannya hingga saat ini, keberadaan JAI sebagai organisasi masyarakat dan aliran Islam masih ditentang oleh sebagian umat Islam Indonesia. Penolakan terhadap JAI dilakukan dengan sangat keras, misalnya teror maupun kekerasan. Tetapi, tidak jarang penolakan berlangsung secara damai, melalui dialog atau debat terbuka. Konflik Ahmadiyah di Indonesia tidak hanya melibatkan penganut Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah, tetapi juga pemerintahan setempat.

Sejarah perkembangan JAI bisa dilihat jauh sebelum masa kemerdekaan. Pada awalnya, sekitar Desember 1922, dua pemuda lulusan sekolah Sumatera Thawalib memutuskan untuk menuntut ilmu ke India. Dua pemuda itu adalah Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Sebenarnya mereka berencana melanjutkan sekolah ke Mesir. Tetapi karena sudah banyak orang mencari ilmu ke Mesir, sumber Islam dari tempat lain perlu dicari. Sumber lain itu adalah India yang dianggap memiliki tokoh-tokoh dan perguruan Islam berkualitas. Atas saran Zainuddin Labai El Yunisiah dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, dua pemuda itu


(13)

2

belajar ke India. Belakangan, pelajar lain, Zaini Dahlan menyusul ke India dan bergabung dengan mereka.1

Para pemuda itu akhirnya mulai mengenal ajaran Ahmadiyah ketika menetap di Lahore. Karena tertarik dengan ajaran Ahmadiyah, mereka memutuskan untuk melakukan ziarah ke makam pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza Ghulam Ahmad di Qodian. Selain itu, tujuan mereke ke Qodian adalah untuk mempelajari dan mendalami ajaran Ahmadiyah. Mereka juga sempat bertemu

dengan Hazrat Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud dan melakukan bai’at

sebagai tanda telah menjadi anggota Ahmadiyah.2

Tidak lama kemudian, mereka meminta Khalifah II untuk berkunjung ke Indonesia. Tetapi permintaan ini belum bisa dipenuhi dan diganti dengan pengiriman Maulana Rahmat Ali ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah.3 Maulana Rahmat Ali adalah tokoh penting dalam sejarah awal JAI.

Melalui dia, JAI pada masa awal perkembangannya, bisa mendirikan Pengurus Besar (PB) dan beberapa cabang di Indonesia.

Pada 2 Oktober 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan. Di tempat itu, dia berhasil mengajak beberapa masyarakat untuk masuk ke Ahmadiyah. Karena sedang terjadi konfrontasi antara Islam dengan pemerintahan kolonial Belanda, maka Maulana Rahmat Ali disuruh Gubernur Aceh untuk meninggalkan Tapaktuan. Sepeninggalan Maulana Rahmat Ali, Ahmadiyah di Tapaktuan bisa

1 Murtolo, “Sejarah Singkat Perkembangan Jema’at Ahmadiyah di Indonesia selama 50

Tahun, Sinar Islam 15(Januari 1976): 11.

2Murtolo, “Sejarah Singkat,” 12. 3Murtolo, “Sejarah Singkat,” 12.


(14)

3

melakukan kegiatan keagamaannya. Tetapi, akhirnya mereka dilarang melakukan salat Jumat di tempat sendiri dan harus salat bersama-sama di masjid umum. Raja juga melarang para Ahmadi untuk berkumpul.4

Pada 1926, Maulana Rahmat Ali tiba di Padang. Pada tahun itu, Kegiatan dia di Padang sempat membuat gempar masyarakat setempat. Tahar Sutan Marajo mendirikan Komite Mencari Hak (KMH) untuk mempertemukan mubalig Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau. Tujuannya untuk melakukan debat antara pihak Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah. Acara debat hanya diikuti para murid ulama Minangkabau dan mubalig Ahmadiyah. Akhirnya, KMH membubarkan diri dan Jema’at Ahmadiyah resmi didirikan di Padang.5

Perkembangan Ahmadiyah di Padang semakin kuat ketika pada 1929, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan kembali ke Padang setelah belajar di Qodian. Jumlah anggota Ahmadiyah di Padang semakin banyak, kira-kira delapan puluh orang. Dalam melakukan kegiatan keagamaan, seperti salat berjamaah, mereka menyewa rumah. Belakangan, mereka diberi musala oleh Demang Sutan Rajad untuk digunakan sebagai tempat ibadat anggota Ahmadiyah. Tetapi, musala itu akhirnya disegel, membuat para Ahmadi kembali mengadakan kegiatan keagamaannya di rumah sewaan.6

Penyebaran Ahmadiyah tidak berhenti di Sumatera. Pada 1931, Maulana Rahmat Ali memutuskan untuk pergi ke Jawa, tepatnya Jakarta. Keputusan ini

4Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13. 5Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13

-14.

6Murtolo, “Sejarah Singkat,”


(15)

4

merupakan sejarah penting dalam perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. selain melakukan dakwah di kota-kota besar yang ada di Jawa, Maulana Rahmat Ali membentuk Pengurus Besar (PB) Ahmadiyah. Pembentukan pengurus besar berawal dari konferensi pada tahun 1935 di Jakarta yang dihadiri tokoh-tokoh Ahmadiyah Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk struktur PB dan menamai organisasi Ahmadiyah Indonesia yang disebarkan oleh Maulana Rahmat Ali sebagai Ahmadiyah Qodian Departemen Indonesia (AQDI).7

Dalam rangka penyempurnaan, PB berusaha menyesuaikan organisasi AQDI dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di Qodian. Oleh karena itu, pada 12 dan 13 Juni 1937 diadakan konferensi di Masjid Hidayat, Jalan Balikpapan Jakarta. Konferensi tidak hanya menghasilkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Ahmadiyah, tetapi nama AQDI diganti dengan AADI (Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia). Pada Desember 1949 di Jakarta, AADI mengadakan muktamar untuk menetapkan AD/ART terbaru dan mengganti

nama AADI menjadi JAI (Jema’at Ahmadiyah Indonesia).8

Nama JAI masih digunakan sampai sekarang.

Penyebaran Ahmadiyah di Jawa bukan tanpa resistensi dari ulama setempat. Pada awal-awal kegiatan dakwah di Jawa, Maulana Rahmat Ali beberapa kali melakukan debat dengan anggota Persis (Persatuan Islam). Debat berlangsung secara terbuka dan damai, bahkan beberapa peserta debat dari pihak non-Ahmadiyah memutuskan untuk masuk ke non-Ahmadiyah. Ketika Maulan Rahmat Ali

7

Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), 195.

8


(16)

5

mengintensifkan dakwah di Jawa, cabang-cabang Ahmadiyah hampir tersebar di kota-kota besar yang ada di Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Singaparna, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Manislor, Cimahi, dan Ciamis), Jawa Tengah (Purwokerto, Yogyakarta, Kebumen, Banjarnegara, semarang, Salatiga, Magelang), dan Jawa Timur (Surabaya).9

Perkembangan Ahmadiyah di Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif aman dibandingkan Jawa Barat. Di Jawa Barat sering terjadi debat antara mubalig Ahmadiyah dengan ulama setempat. Para anggota Ahmadiyah juga mengalami kekerasan, bahkan beberapa dibunuh oleh DI/TII (Darul Islam dan Tentara Indonesia). Kekerasan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan keyakinan, tetapi lebih bermuatan politik. Warga Ahmadiyah di Jawa Barat menolak untuk bergabung dengan DI/TII untuk memberontak ke pemerintahan Indonesia.10 Jawa

Barat merupakan basis kekuatan DI/TII. Tidak jarang DI/TII melakukan teror dan kekerasan terhadap warga yang menolak mendukung DI/TII.11

Pada tahun 1952, Ahmadiyah mulai melakukan dakwah di Indonesia bagian timur. Tetapi hanya beberapa wilayah saja yang disentuh oleh mubalig Ahmadiyah, yakni Ujung Pandang, Lombok, dan Sulawesi Utara. Resistensi terjadi hanya di wilayah Lombok. Seorang Ahmadi di Lombok, Junaidi dihadang

9Murtolo, “Sejarah Singkat,” 17

-34.

10Murtolo, “Sejarah Singkat,” 28. 11

Solahudin, NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), 53-77.


(17)

6

di tengah jalan oleh beberapa orang. Mereka memukuli dan menikamnya beberapa kali.12

Jaminan perlindungan hukum bagi kegiatan Ahmadiyah di Indonesia akhirnya diakui ketika pada 31 Maret 1953, berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, Ahmadiyah mendapat status badan hukum. Pengakuan itu diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup seluruh organisasi agama di Indonesia bagi yang telah disahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya secara resmi oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hukum.13 Belakangan, Ahmadiyah juga

sudah diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, yaitu sekitar 1970an, keberadaan Ahmadiyah relatif aman. Tetapi kondisi mulai berubah ketika pada 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian, merujuk kepada JAI, merupakan aliran di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Aliran Ahmadiyah Qodian di beberapa negara juga mulai dilarang untuk dikembangkan, misalnya di Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Kerajaan Arab Saudi. Ahamdiyah Qodian juga dilarang oleh Organisasi Islam Internasional, yakni Rabithah Alam Islami.14

12Murtolo, “Sejarah Singkat,” 35. 13

Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, 291-292.

14

M Atho Mudzhar, Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Masalah Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: tidak terbit, 11 November 2008), 2.


(18)

7

Munculnya fatwa MUI pada 1980 telah membuat sikap penolakan terhadap JAI menguat kembali. Para anti-Ahmadiyah sering menjadikan fatwa sebagai dasar legitimasi untuk tindakan kekerasan dan intoleransi terhadap JAI. Fatwa MUI merupakan salah satu pemicu tindak kekerasan dan intoleransi di masyarakat.15 Ketika MUI mengeluarkan fatwa, persekuasi Ahmadiyah terjadi di

beberapa tempat, misalnya di Sulawesi Selatan (1981), Kalimantan Barat, Surabaya, Parong, Bogor (1981), Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor Timur dan Jakarta (1990). Persekuasi telah mengakibatkan bangunan penduduk, musala, dan masjid milik JAI rusak.16

Demokratisasi pasca-Orde Baru tidak serta merta mengakhiri polemik seputar Ahmadiyah. Hak dan kebebasan dalam politik hadir mengikuti gelombang reformasi. Tetapi untuk jaminan kebebasan berkeyakinan dan beragama masih menjadi perkara yang rumit bagi Indonesia, terutama pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sepanjang periode pemerintahan SBY, yaitu tahun 2004 sampai 2013, persekusi terhadap JAI terjadi di hampir semua provinsi Indonesia. Persekusi bisa berlangsung satu hingga dua kali, tiga sampai lima kali, dan lebih dari enam kali dalam setahun (lihat gambar I.A.1).

Sejak 2005, sumber utama mobilisasi kekerasan Islamis terhadap Ahmadiyah maupun terhadap kelompok lain adalah koalisi vigilante-vigilante

15

Luthfi Assyaukani, “Fatwa and Violence in Indonesia,” Journal of Religion and Society

11 (2009).

16


(19)

8

radikal yang bertindak tanpa peduli hukum.17 Maraknya persekusi terhadap

Ahmadiyah juga tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dalam menangani konflik Ahmadiyah. Pemerintah SBY lebih banyak mendengar kata MUI dibanding konstitusi. Akibatnya, MUI semakin percaya diri dalam melarang keberadaan JAI.

Gambar I.A.1 Persebaran Anti-Ahmadiyah di Indonesia (2004-2013)

Sumber: Human Rights Working Group (HRWG)

17

Julie Chernov Hwang, Peaceful Islamist Mobilization in the Muslim World (New York: Palgrafe Macmillan, 2009), 96.


(20)

9

Pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa JAI bukan bagian dari Islam dan pengikutnya dianggap murtad. Pada tahun yang sama, MUI juga ikut merumuskan rekomendasi kepada presiden untuk melarang JAI. Akhirnya, pada 9 Juni 2008, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang berisi pembekuan aktivitas JAI.18 Kemunculan SKB

Tiga Menteri tidak serta merta menghentikan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Tabel I.A.1 menunjukan kekerasan anti-Ahmadiyah yang terjadi sepanjang 2008-2011.

Tabel I.A.1. Kekerasan Anti Ahmadiyah di Indonesia (2008-2011)19

Sumber Laporan Tahun Jumlah Kasus

CRCS

2008 10

2011 20

Setara Institute

2008 193

2009 33

2010 50

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Persekusi yang paling tragis terhadap JAI dan menyedot banyak perhatian dari media nasional dan Internasional adalah peristiwa yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang pada 6 Februari 2011. Peristiwa Cikeusik melibatkan massa dalam

18

International Crisis Group (ICG), Indonesia: Implikasi SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah (Jakarta: ICG, 7 Juli 2008), 1-2.

19

Untuk laporan CRCS lihat, Tim Center Religious and Cross-cultural Studies (CRCS),

Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 (Jogjakarta: CRCS, Januari 2012), 34-35. Lihat juga, Tim Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2008 (Jogjakarta: CRCS, Desember 2008), 12. Untuk laporan

Setara Institute lihat, “Ahmadiyah, Idul Adha dan Konstitusi,” tersedia di http://www.setara-institute.org: Internet; diunduh pada 4 November 2012.


(21)

10

jumlah ribuan. Akibatnya, tiga Jema’at Ahmadiyah dibunuh secara sadis, lima anggota lainnya mengalami luka berat, perusakan rumah dan pembakaran kendaraan milik JAI.20 Selain itu, buntut dari peristiwa ini adalah pemerintahan

daerah di Banten dan tempat lain mengeluarkan peraturan daerah berisi pelarangan terhadap JAI.21

Peristiwa Cikeusik merupakan peristiwa pertama dalam sejarah konflik sektarian di Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya nyawa dan melibatkan massa dalam jumlah ribuan untuk menyerang JAI. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa penting untuk meneliti secara mendalam tentang proses mobilisasi anti-Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten dengan menggunakan teori mobilisasi. Selanjutnya penelitian ini akan diberi judul: Kekerasan Anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang: Pendekatan Mobilisasi.

B. Pertanyaan Penelitian

Fokus utama penelitian ini adalah proses mobilisasi anti-Ahmadiyah sebelum kekerasan terjadi pada 6 Februari 2011. Ada beberapa pertanyaan utama yang akan dijawab dalam penelitian ini:

1. Bagaimana proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang berlangsung?

20

Tim Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), NEGARA TAK KUNJUNG TERUSIK: Laporan Hak Asasi Manusia Peristiwa penyerangan Jamaah Ahmadiyah Cikeusik 6 Februari 2011 (Jakarta: KONTRAS, 2011). 16.

21


(22)

11

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan melibatkan ribuan massa?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian tentang konflik dan kekerasan terhadap masyarakat secara umum dan JAI secara khusus, dengan menggunakan pendekatan mobilisasi masih sangat jarang. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini:

1. Untuk menggambarkan secara mendalam proses mobilisasi kekerasan terhadap Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.

2. Menjelaskan bagaimana mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah memperoleh dukungan dan melibatkan masyarakat.

3. Menemukan faktor-faktor utama yang memengaruhi mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah bisa terjadi.

Ada dua manfaat utama dalam melakukan penelitian ini. Pertama, manfaat teoritis. Meskipun objek penelitian ini sangat terbatas yaitu hanya satu kasus, penulis percaya bahwa hasilnya bisa memperkaya khasanah ilmu politik khususnya bidang sosiologi politik.

Penelitian ini juga bisa dijadikan titik awal untuk melangkah lebih jauh dalam menjelaskan kasus kekerasan anti-Ahmadiyah secara umum dengan memperluas penelitian secara komparatif. Melalui penelitian ini, penulis mencoba menguji teori mobilisasi, sejauh mana validitas teori ini bisa diterapkan kepada kasus kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang.


(23)

12

Kedua, manfaat praktis. Dengan melakukan penelitian ini, penulis berharap bisa memberikan informasi kepada siapa saja yang ingin mengetahui proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Selain itu, penulis percaya bahwa hasil penelitian ini memiliki kontribusi konstruktif bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menangani konflik seputar Ahmadiyah di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Usaha teoritis untuk menjelaskan peritiwa Cikeusik dengan menggunakan pendekatan mobilisasi belum pernah dilakukan. Kebanyakan dalam bentuk pelaporan peristiwa. Laporan KONTRAS, Setara Institute, dan CRCS lebih banyak mengulas kronologi kejadian.22

Selain mengulas kronologi kejadian, laporan-laporan itu lebih menyorot peran negara dalam menjaga kebebasan beragama. Laporan-laporan itu menemukan bahwa negara telah gagal melindungi hak dan kekebasan beragama bagi JAI di Cikeusik Pandeglang Banten.

Proses mobilisasi yang terkait bagaimana para pelaku berinteraksi satu sama lain, dan bagaimana mereka mampu memanfaatkan peluang dan sumberdaya yang ada, tidak diulas secara mendalam di laporan-laporan itu. Faktor-faktor yang memungkinkan mobilisasi kekerasan terjadi tidak dipaparkan secara jelas.

22

Lihat Tim KONTRAS, NEGARA TAK KUNJUNG TERUSIK, 5-24. Lihat juga Setara Institute, POLITIK DISKRIMINASI REZIM SUSILO BAMBANG YUDHOYONO: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011 (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, Januari 2011), 105-122. Lihat juga CRCS, Laporan Kehidupan Beragama 2011, 61-67.


(24)

13

Wawan H Purwanto mengulas peristiwa Cikeusik pada aspek sesudah peristiwa dan implikasinya terhadap ketahanan nasional dan hubungan luar negeri Indonesia. Temuan utamanya adalah bahwa peristiwa Cikeusik bisa mengganggu stabilitas ketahanan nasional dan hubungan luar negeri Indonesia. Sebab Indonesia dipandang sebagai negara demokratis yang berpenduduk mayoritas muslim dan sebagai negara yang menjalin hubungan ekonomi dan perjanjian tentang perlindungan Hak Asasi Manusi di kancah Internasional.23 Studi ini tidak

mengulas banyak soal proses mobilisasi anti-Ahmadiyah di Cikesuik Pandeglang Banten.

Skripsi Mawahibur Rahman dalam “Kronologi Tragedi Ciekeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik),” mengulas secara detail tentang kronologi kejadian. Dengan menggunakan hasil wawancara dari para Ahmadi yang ada di tempat kejadian, dia menyimpulkan bahwa peristiwa Cikeusik adalah bagian konspirasi pemerintah untuk melumpuhkan JAI.24 Tulisan Mawahibur

tidak mengulas bagaimana para anti-Ahmadiyah merekrut dan mengumpulkan massa untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.

Dari karya-karya tentang kekerasan anti-Ahmadiyah di atas, perhatian terhadap mobilisasi anti-Ahmadiyah belum mendapatkan perhatian yang memadai. Penelitian ini ingin mengisi kekosongan itu dengan memusatkan pada aspek mobilisasi para anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.

23

Wawan H Purwanto, Tragedi Cikeusik: Pembelajaran dari Kasus Ahmadiyah (Jakarta: CMB Press, 2011).

24

Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013).


(25)

14

E. Metode Penelitian

Ada beberapa cara dalam melakukan riset ilmu sosial, diantaranya adalah studi kasus, eksperimen, survey, telaah sejarah, dan analisis terhadap dokumen-dokumen yang berisi informasi-informasi. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, bergantung pada tiga kondisi: (a) bentuk pertanyaan riset, (b) luas kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa yang akan diteliti, (c) kadar fokusnya terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari cerita historis.25 Terkait

hal itu, penulis menggunakan metode studi kasus untuk menemukan penjelasan empiris secara mendalam tentang mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

Studi kasus merupakan strategi riset yang bersandarkan pada investigasi empiris secara mendalam terhadap satu atau sejumlah kecil fenomena untuk mengeksplorasi konfigurasi dari tiap kasus. Selain itu, studi kasus juga digunakan untuk menjelaskan ciri-ciri dari sebuah sekumpulan fenomena yang sangat besar atau sama melalui pengembangan dan evaluasi penjelasan teoritis.26Metode studi

kasus memungkinkan peneliti untuk menangkap ciri peristiwa kehidupan nyata, misalnya lingkaran kehidupan individu, proses menegerial dan organisasi, perubahan tetangga, hubungan internasional, dan perkembangan industri, secara holistik dan mendalam.27

25

Robert K Yin, Case study research: design and methodhs (United Kingdom: Sage Publications, 2003), 1.

26

Charles Ragin, Fuzzy Set Social Science (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 68-87.

27


(26)

15

Berdasarkan bentuk dan tujuan penelitian studi kasus, riset dengan menggunakan bentuk ini bisa dibedakan menjadi empat jenis: (a) deskriptif, (b) interpretatif, (c) pengujian hipotesis, (d) evaluasi teori.28 Penulis akan

menggunakan jenis studi kasus yang bersifat deskriptif dan interpretatif. Dengan deskriptif, penulis mencoba menggambarkan kasus yang diteliti secara sistematis. Melalui interpretatif, penulis menggunakan kerangka teori mobilisasi untuk menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Banten.

Untuk mencapai tujuan penelitian, deskriptif-interpretatif, penulis akan menggunakan dua teknik pengumpulan data. Pertama, riset kepustakaan yang meliputi penelusuran kumpulan dokumen hasil laporan kepolisian dan persidangan kasus penyerangan Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, peraturan daerah, buku-buku, dokumen/arsip resmi pihak-pihak yang terlibat konflik Jemaat Ahmadiyah, kliping koran, jurnal, majalah, dan berbagai sumber lainya yang relevan dengan masalah penelitian.

Kedua, wawancara secara mendalam dengan informan terpilih sesuai

pedoman wawancara. Pertanyaan terbuka dan tidak berstruktur akan digunakan dalam penelitian ini. Dalam pemilihan informan, peneliti berupaya secara selektif dan teliti.29 Langkah ini digunakan sebagai upaya untuk memperoleh informasi

28

Pascal Venesson, “Case studies and process tracing: theories and practices”, dalam

Approaches and Methodologies in the Social Sciences: A Pluralist Perspective, disunting oleh Donatella Della Porta dan Michael Keating (New York: Cambridge University Press, 2008), 227-228.

29

Ada empat kriteria utama dalam pemilihan informan: (a) Informan harus dekat dengan budaya dan kedudukannya sangat signifikan dengan peristiwa yang diteliti, (b) Individu-individu yang terlibat dalam peristiwa yang diteliti, (c) Orang yang memiliki waktu dengan peneliti, (d) Individu yang memiliki informasi banyak tentang objek yang diteliti. Lihat W. Laurance Neuman,


(27)

16

yang lengkap dan akurat sehingga dapat menggambarkan dan menjelaskan kasus penelitian secara sistematis.

Informan yang dinilai representatif dan memahami masalah yang berhubungan langsung dengan kekerasan anti-Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang akan digunakan sebagai sampel penelitian. Penulis akan membagi informan ke dalam empat kelompok. Pertama, warga non-Ahmadiyah di sekitar tempat kejadian atau warga sekitar. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu saksi dan warga non-Ahmadiyah yang terlibat dalam mobilisasi anti-Ahmadiyah. Kedua, pengurus atau korban selamat dari Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Banten.

Ketiga, salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari Kabupaten Pandeglang sampai Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten. Keempat, salah satu pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai kelurahan yang menangani konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab I membahas pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan literatur, dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Seluruh kerangka teori, konsep-konsep dan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini akan dibahas dalam Bab II.

Pembahasan selanjutnya, Bab III, penulis akan fokus pada dinamika konflik Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Sebelum memasuki pembahasan


(28)

17

dinamika konflik, penulis akan mengenalkan profil demografi Pandeglang dan Cikeusik. Selanjutnya, pembahasan sejarah Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

Proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah akan dibahas dan dianalisis dalam bab IV. Bab ini merupakan inti dari persoalan yang diangkat dalam penelitian. Dengan teori mobilisasi, penulis akan menggambarkan dan menjelaskan proses bagaimana kekerasan anti-Ahmadiyah berlangsung dan faktor-faktor apa saja yang memungkinkan mobilisasi anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang bisa terjadi. Temuan-temuan utama dari bab IV juga akan diulas kembali secara singkat di bagian kesimpulan dari penelitian ini yaitu bab V.


(29)

18

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Kekerasan

Para sarjana ilmu sosial mendefiniskan kekerasan secara berbeda-beda bahkan saling bersaing. Dari definisi yang berbeda-beda itu, setidaknya bisa dikategorikan menjadi tiga definisi. Pertama, secara sempit, kekerasan bisa diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik yang dilarang oleh aturan normatif yang sah. Kedua, secara intermediate, kekerasan merupakan penggunaan kekuatan fisik apa pun. Ketiga, secara luas, kekerasan berarti semua perampasan (pencabutan) hak asasi manusia.1

Dari tiga definis itu, kekerasan nampak berhubungan dengan penggunaan kekuatan fisik. Mary Jackman memberikan penambahan cakupan dari kekerasan. Menurut dia, kekerasan bisa diartikan sebagai tindakan yang mengakibatkan orang terluka. Tindakan kekerasan bisa berbentuk verbal, tertulis, atau serangan fisik dan jenis lukanya bisa berbentuk kerugian material dan sosial, tekanan psikologis, atau kerusakan fisik.2 Penulis akan menggunakan definisi ini dalam

menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan kolektif. Disebut kolektif karena melibatkan banyak orang. Kekerasan kolektif merupakan penggunaan kekuatan oleh, setidaknya, dua

1

Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (New York: Random House, 1978), 174.

2

Mary Jackman, “License to kill: violence and legitimacy in expropriative social relations,” dalam John T. Jost dan Brenda Major, edt, The Psychology of Legitimacy: Emerging Perspectives on Ideology, Justice, and Intergroup Relations (New York: Cambridge University Press, 2001), 443.


(30)

19

warga sipil (non-state actor) untuk menyerang orang atau harta benda yang tujuannya untuk menciptakan klaim sosial atau politik.3

Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang juga dikategorikan sebagai bentuk gerakan sosial. Michael Usseem mengartikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif terorganisir yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial. Sedangkan Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan di antara warga negara dan negara.4

Berbeda dengan dua definisi itu, McCarthy dan Zald menerjemahkan gerakan sosial sebagai upaya terorganisir yang mencerminkan preferensi kelompok masyarakat untuk mengadakan perubahan di dalam elemen struktur masyarakat yang bernilai secara sosial.5 Della Porta dan Mario Diani melangkah

lebih jauh dengan mengatakan bahwa gerakan sosial adalah bentuk aktivisme yang khas dalam masyarakat sipil. Bentuk aktivisme yang khas mereka artikan sebagai aksi kolektif yang mencerminkan dimensi konfliktual terhadap lawan sosial dan politik tertentu, terjadi dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang

3

Charles Tilly, The Politics of Collective Violence (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 21.

4

Fauzi, Ihsan Ali, “Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya „Orang Luar’ dan „Orang

Dalam,’ dalam Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan, dan Studi Kasus (terj), disunting oleh Quintan Wictorowicz (Yogyakarta: Gading Publishing dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2012), 11.

5

Mayer N Zald & John D Mc Carthy, Social Movement in an Organizational Society (New Jersey: Transaction Publishers, 2003), 40.


(31)

20

mana aktor-aktor yang terlibat diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi ikatan koalisi dan kampanye bersama.6

Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk menjelaskan kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia: penjelasan berdasarkan motif dan kesempatan. Penjelasan yang berorientasi pada motif melihat kekerasan sebagai (a) usaha untuk mempromosikan atau mempertahankan gagasan, tradisi dan nilai kelompoknya; (b) untuk memperoleh keuntungan material; (c) ekspresi dari kekecewaan atau kemarahan.7

Penjelasan yang berdasarkan kesempatan mengatakan bahwa motif merupakan faktor penting dalam kekerasan tetapi kekerasan tidak bisa terjadi jika tidak ada kondisi struktural yang memfasilitasinya. Kondisi struktural itu bisa berbentuk demokratisasi atau desentralisasi pemerintahan, misalnya.8

Belakangan, penjelasan kekerasan di Indonesia mulai menggunakan teori yang dikembangkan oleh teoritisi gerakan sosial.9 Penulis akan menggunakan

pendekatan mobilisasi yang dikembangkan oleh salah satu teoritisi gerakan sosial yaitu Bert Klandersmans.

B. Mobilisasi

6

Donatella Della Porta and Mario Diani, Social Movements and Introduction, edisi kedua (USA:Blackwell Publishing, 2006), 33-62.

7

Contoh studi kekerasan yang berorientasi pada motif adalah Horowitz. Lihat, Donald Horowitz, The Deadly Ethnic Rio, (Los Angelos: University of California Press, 2001).

8

Contoh pendekatan kesempatan ada pada studi Bertrand. Lihat, Jacques Bertrand,

Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).

9

Salah satu riset tentang kekerasan di Indonesia yang menggunakan teori gerakan sosial adalah Dave McRae. Lihat, Dave McRae, A Few Poorly Organised Men Interreligious Violence in Poso, Indonesia (Belanda: Brill, 2013).


(32)

21

Secara konvensional, mobilisasi diartikan sebagai proses yang memungkinkan sebuah individu atau kelompok untuk terlibat di dalam kehidupan publik.10 Teoritisi konflik dan gerakan sosial, Anthony Oberschall, mengartikan

mobilisasi sebagai proses pengumpulan sumberdaya seperti keanggotaan individu dalam kelompok untuk bersatu dan berkomitmen supaya memperoleh tujuan bersama, mempertahankan kepentingan kelompok, dan menantang keberadaan struktur dominasi.11

Mobilisasi juga bisa diartikan sebagai proses pembentukan struktur gerakan, baik untuk menyiapkan maupun melakukan tindakan protes yang ditujukan kepada aktor atau publik di luar gerakan. Mobilisasi membutuhkan sumberdaya seperti individu, uang, pengetahuan, wacana, dan sarana-sarana teknis lainnya untuk memproses dan mendistribusikan informasi dan memengaruhi individu.12

Mobilisasi terdiri dari dua jenis: mobilisasi konsensus dan mobilisasi aksi. Mobilisasi konsensus merupakan usaha pembangkitan dukungan sikap atau proses yang harus dilalui sebuah organisasi gerakan sosial untuk mencoba mendapatkan dukungan bagi pandangannya. Mobilisasi aksi merupakan usaha pembangkitkan dukungan perilaku atau usaha untuk partisipasi individu.13

Mobilisasi konsensus menyiratkan usaha memperjuangkan pikiran orang, sedangkan mobilisasi aksi berarti usaha memperjuangkan sumberdaya mereka

10

Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 42.

11

Anthony Oberschall, “Theories of Social Conflict,” Annual Review of Sociology 4 (1978): 291-315.

12

Dieter Rucht, The Organizational Structure of New Social Movements in a Political Context, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, dan Mayer N. Zald, Comparative Perspectives on Social Movements (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 153.

13

Bert Klandermans, “Mobilization and Participation: Social-Psychological Expansions of Resource Mobilization Theory,” American Socialogical Review 49 (1984): 583-600.


(33)

22

seperti uang, waktu, keterampilan, kepakaran mereka. Hal itu berkaitan dengan peralihan dari sebagai simpatisan menjadi partisipan aktif. Mobilisasi konsensus yang sukses akan menumbuhkan sejumlah pendukung potensial, orang-orang yang bersimpati kepada gerakan, yang bersedia mendukung dengan cara tertentu dan tidak harus berarti siap untuk berpartisipasi di dalam segala bentuk aksi kolektif. Mobilisasi aksi yang sukses mampu mengubah sebagian besar simpatisan menjadi partisipan dalam kegiatan gerakan-gerakan tertentu.14

Ada empat langkah menuju mobilisasi. Dari sudut pandang organisatoris, empat langkah menuju mobilisasi dukungan terhadap gerakan adalah menciptakan potensi mobilisasi, membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, menstimulasi motivasi berpartisipasi dan menyingkirkan penghalang partisipasi.15

Dari sudut pandang individu, ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial melibatkan empat langkah yang saling berhubungan, yaitu orang pertama-tama menjadi bagian dari potensi mobilisasi, kemudian menjadi target mobilisasi; berikutnya, dia menjadi termotivasi untuk berpartisipasi, dan, pada langkah terakhir, menyingkirkan penghalang berpartisipasi.16

Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan simpati dari beberapa segmen populasi. Istilah potensi mobilisasi merujuk pada para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu cara tertentu oleh gerakan sosial. Termasuk di dalamnya adalah semua orang yang mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada

14

Bert Klandermans, The Social Psychology of Protest (USA: Blackwell Publishers, 1997), 7.

15

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 23.

16


(34)

23

kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari gerakan sosial pun dapat bersimpati kepada organisasi tersebut sehingga bisa menjadi calon potensial untuk dimobilisasi.17

Gambar II.B.1 Langkah-langkah menuju partisipasi

Potensi mobilisasi gerakan juga menetapkan sampai sebatas mana kampanye mobilisasi dapat berhasil. Hanya orang-orang yang telah mengembangkan kerangka aksi kolektif vis a vis penyebab gerakan yang

17

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 23. Bersimpati terhadap gerakan Tidak menjadi target mobilisasi Menjadi target mobilisasi Tidak termotivasi untuk berpartisipa si Termotivas i untuk berpartisipa si Tidak berpartisipasi Berpartisipasi Tidak bersimpati terhadap gerakan


(35)

24

membentuk potensi mobilisasi. Seseorang yang belum mengembangkan kerangka semacam itu tidak akan merasa perlu untuk berpartisipasi dalam gerakan, meskipun kesediannya sangat diharapkan.18 Kerangka aksi kolektif merupakan

seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta bahwa partisipasi di dalam aksi kolektif tampak berarti.19

Seberapa pun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki jaringan perekrutan untuk aksi, maka gerakan tidak akan mampu mengaktifkan potensinya.20 Jaringan-jaringan, biasanya terdiri dari orang-orang

yang homogen dan berpikiran sama, merupakan sumber utama para calon perekrutan.21 Partisipasi seringkali bukan karena kekuatan gagasan atau bahkan

sikap individu, melainkan akibat keberakaran mereka dalam jaringan-jaringan.22

Individu-individu yang menduduki posisi di dalam jaringan perekrutan adalah objek sekaligus subjek mobilisasi. Disebut objek karena mereka sendiri perlu dimobilisasi agar mau ikut bekerja di dalam kampanye mobilisai. Disebut subjek karena setelah termobilisasi mereka akan menjadi aktif memobilisasi orang lain.23

18

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 24.

19

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 17

20

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 24.

21

Snow, Zurcher, dan Ekland-Olson, “Social Networks and Social Movements: A

Microstructural Approach to Differential Recruitment.” American Sociological Review 45 (1980): 791.

22McAdam, “Culture and Social Movements,” Dalam Enriquez Larafta, Hank Johnston,

dan Joseph Gusfield (ed.), New Social Movements: From Ideology to Identity (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 36-37

23


(36)

25

Untuk menstimulasi motivasi berpartisipasi, suatu gerakan harus memengaruhi terhadap kerugian dan keuntungan partisipasi yang dirasakan. Motivasi menunjukan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi kesedian saja tidak mencukupi untuk berpartisipasi. Kesedian itu hanya akan berubah menjadi partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Organisasi gerakan sosial di tahap akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang.24

Kesediaan untuk berpartisipasi di dalam aksi kolektif merupakan fungsi dari dua macam insentif, yaitu insentif kolektif dan selektif. Insentif kolektif dihubungkan dengan pencapaian tujuan kolektif. Semua insentif kolektif bersifat inklusif, yakni, begitu tujuan yang dimaksud terealisasi, maka setiap orang mendapatkan keuntungan, termasuk orang-orang yang tidak pernah memberikan kontribusi terhadap terealisasinya tujuan itu. Sebaliknya, insentif selektif hanya memengaruhi orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif.25

Insentif selektif terbagi menjadi dua kategori, sosial atau non-sosial. Insentif sosial melibatkan reaksi orang lain yang signifikan, misalnya pasangan hidup teman, atau kolega, terhadap partisipasi individu yang bersangkutan; sedangkan insentif non-sosial menyangkut hal-hal, seperti jumlah uang dan waktu yang dihabiskan oleh yang bersangkutan, bagaimana partisipasinya akan memengaruhi pekerjaannya, dan resiko fisik yang mungkin diterimanya (misalnya dipukuli).26

24

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 25.

25

Klandermans, The Social Psychology of Protest, 26-27.

26


(37)

26

Gambar II.B.2 Motivasi untuk berpartisipasi

Menilai tujuan aksi

Harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai*

Keuntungan Kolektif

Insentif-insentif selektif: sosial dan non sosial

Partisipasi

* Harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai: - harapan tentang perilaku orang lain

- harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai bila banyak orang ikut berpartisipasi

- harapan bahwa partisipasinya akan meningkatkan kemungkinan sukses


(38)

27

BAB III

DINAMIKA KONFLIK ANTI AHMADIYAH

Pandeglang, kabupaten yang dikenal dengan “Seribu Kiyai dan Sejuta Santri,” mendadak ramai dibicarakan, baik oleh media lokal, nasional, maupun internasional. Sebab, di salah satu desa Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten yang letaknya sangat jauh dari keramaian kota, terjadi kekerasan sektarian yang melibatkan puluhan warga Ahmadiyah dan ribuan non-Ahmadiyah.

Bagi sebagaian orang, persekusi anti-Ahmadiyah mungkin hal yang biasa terjadi karena, seperti digambarkan dalam bab satu, terjadi di hampir semua provinsi Indonesia. Tetapi konflik anti Ahmadiyah di Cikeusik adalah konflik yang sangat berbeda dengan tempat lain. Berbeda dalam artian melibatkan banyak orang dan mengakibatkan nyawa orang melayang.

Dalam sejarah konflik sektarian di Indonesia, peristiwa Cikeusik adalah yang pertama kali konflik sektarian menimbulkan kematian. Bagaimana dan mengapa konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan hingga menimbulkan kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan mengulas dinamika konflik sebelum kekerasan terjadi. Tujuannya untuk menggambarkan konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan. Sebagian dari bab ini dan selanjutnya bab empat akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan terkait mobilisasi anti-Ahmadiyah. Sebelum memasuki pembahasan itu, penulis akan


(39)

28

memaparkan demografi Kabupaten pandeglang dan kemunculan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

A. Demografi Kabupaten Pandeglang

Kabupaten Pandeglang terletak di sebelah barat daya Provinsi Banten. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Serang di sebelah Utara, Kabupaten Lebak di sebelah Timur, Samudera Hindia di sebelah Selatan, dan Selat Sunda di sebelah Barat. Luas wilayah Kabupaten Pandeglang adalah 274.689,91 Ha atau 2.747 Km2 dan terbagi ke dalam 35 kecamatan, 322 desa dan 13 kelurahan.1

Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang berdasarkan sensus penduduk pada Mei 2010 adalah 1.149.610 orang.Dilihat dari segi agama, jumlah penduduk yang memeluk agama Islam sebanyak 1.154.375, Protestan 2.344, Katolik 258, Budha 2.353, dan Hindu 1.552 warga. Dari data tersebut, jelas bahwa kaum Muslim mendominasi Pandeglang. Hal ini juga tampak dari jumlah rumah ibadah yang ada di sana, yang terdiri dari: masjid, 1.730; musala/langgar, 2.246; tiga gereja Protestan; dan satu vihara.2

Berdasarkan data BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan pekerjaan utama penduduk adalah pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan;

1

Kabupaten Pandeglang, Gambaran Umum, tersedia di http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=NA==: Internet; diakses pada 5 April 2013.

2

Tim Kementrian Agama Provinsi Banten. Rencana Strategis Kementrian Agama Kantor Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2014. Banten: Kementrian Agama Provinsi Banten, tersedia di http://banten.kemenag.go.id/: Internet; diunduh pada 5 April 2013.


(40)

29

industri; perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; dan jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.3

Tidak ada data pasti mengenai berapa jumlah penganut Ahmadiyah di Kabupaten Pandeglang. Tetapi ada dua kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang sering dikaitkan dengan JAI, yaitu Kecamatan Cisata dan Cikeusik. Sampai saat ini kurang lebih ada empat kepala keluarga yang menganut Ahmadiyah di Cisata. Sedangkan di Cikeusik, Jamaah Ahmadiyah ada dua puluh lima anggota dan semuanya sudah pindah akibat insiden kekerasan pada 6 Februari 2011.4

Kecamatan Cikeusik berbatasan dengan Kabupaten Lebak di bagian Timur, Kecamatan Angsana dan Munjul di bagian Utara, dan Kecamatan Cibaliung dan Cibatu di bagian Barat. Di bagian Selatan, Kecamatan Cikeusik berbatasan dengan laut Jawa. Kecamatan Cikeusik terdiri dari empat belas desa. Salah satunya adalah Desa Umbulan, lokasi kekerasan anti-Ahmadiyah.5

Hampir mayoritas penduduk di Kecamatan Cikeusik berprofesi sebagai petani. Sekitar tahun 1950an banyak penduduk dari Cirebon Jawa Barat menempati wilayah Kecamatan Cikeusik. Perpindahan ini mengakibatkan penduduk Cikeusik, saat ini merupakan percampuran antara penduduk lokal (sunda Banten) dan Cirebon. Dari segi keagamaan, mayoritas penduduk memeluk agama Islam. Hampir di setiap desa yang ada di Kecamatan Cikeusik memiliki

3

Kabupaten Pandeglang. Gambaran Umum. 4

Wawancara dengan Yusuf Baihaki, Bendahara MUI Kabupaten Pandeglang dan anggota FKUB Pandeglang di Pandeglang, 11 Februari 2013.

5

Wawancara dengan Yayan Sofyan, Sekretaris Kecamatan Cikeusik, Pandeglang di Cikeusik, 14 Februari 2013.


(41)

30

pondok pesantren. Masing-masing desa kurang lebih memiliki sepuluh pondok pesantren.6

Pondok pesentren yang ada di Cikeusik secara khusus dan Pandeglang secara umum, memiliki jumlah santri, paling sedikit sekitar dua puluhan. Hubungan satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya relatif harmonis dan saling bekerja sama. Mereka saling mengundang untuk mengisi acara keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW. Hubungan tersebut terbentuk karena adanya ikatan kekeluargaan antara satu kiai dengan kiai lain yang sama-sama memiliki pondok pesantren tetapi beda wilayah. Selain itu, karena adanya hubungan guru-murid, misalnya pengasuh pondok pesantren A pernah mengaji di pondok pesantren B.7

Kedudukan kiai di Pandeglang secara umum dan Cikeusik secara khusus, sangat dihormati masyarakat. Kiai dianggap memiliki kekuatan supranatural yang bisa memberikan ilmu kekebalan dan kelancaran dalam urusan perdagangan. Oleh karena itu, kegiatan pengajian-pengajian mingguan di Pandeglang selalu ramai. Tujuan mengikuti pengajian tidak hanya untuk belajar agama, tetapi sekaligus mencari barokah dari kiai.8

Kelas sosial lain yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Pandeglang adalah jawara. Jawara ditakuti oleh masyarakat umum karena dianggap memiliki ilmu kebal. Meski demikian, kedudukan jawara berada di

6

Wawancara dengan Yayan Sofyan.

7

Wawancara dengan R, warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 28 Februari 2013.

8


(42)

31

bawah para kiai atau pemuka agama. Sebab, para jawara menimba ilmu agama dan kekebalan ke kiai-kiai setempat. Para kiai dan jawara juga memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahan setempat. Pengaruh ini disebabkan karena para kiayi dan jawara sering memobilisasi masyarakat untuk mendukung calon tertentu dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun kepala desa (Pilkades).9

B. Sejarah Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten

Keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik tidak bisa dilepaskan dari JAI Cabang Kabupaten Rangkasbitung Banten yang berdiri pada Juli 1958. Dari cabang ini berdiri juga cabang-cabang lain seperti di Cilegon dan Serang. Basiumawajiaya menjadi tokoh penting dalam pendirian cabang-cabang itu dan persebaran Ahmadiyah di Banten.10

Sekitar tahun 1989, roda perjalanan dakwah Ahmadiyah di Banten dipegang oleh Khairudin Barus. Dari Khaerudin Barus, dakwah di wilayah Banten semakin sistematis. Melalui Komite Tabligh Banten (KTB), lembaga dakwah yang diinisiasi oleh Khaerudin Barus, setiap cabang Ahmadiyah yang ada di Banten memiliki wilayah pentablighan yang harus dikelola. Salah satu daerah yang disasar KTB adalah Cikeusik yang merupakan binaan dari Jema’at Kebayoran. Pada tahun 1990-an Khaerudin Barus beserta anggota Jemaat Kebayoran melakukan kegiatan dakwah di Cikeusik.11

9

Wawancara dengan R.

10

Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013), 8-9.

11


(43)

32

Salah satu warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik menuturkan pengalaman dia ketika diajak Khaerudin Barus untuk masuk ke Jamaah Ahmadiyah:

“Sekitar tahun 1991, Khaerudin Barus mengajak saya dan warga lainnya untuk berkunjung ke Parung, Pusat Jamaah Ahmadiyah, dengan menggunakan bus. Salah satu rombongan itu adalah Matori, orang tua Suparman yang merupakan ketua Ahmadiyah Cikeusik. Sebagian warga yang ikut mungkin sudah tahu dan sebagian yang lain, termasuk saya, tidak tahu tujuan ke Parung untuk apa. Ketika sudah di Parung kami semua dikenalkan tentang ajaran Ahmadiyah. Sebagian warga yang ikut mungkin sudah tahu tentang Ahmadiyah dan sebagian yang lain belum tahu, termasuk saya. Saya sendiri mengenal Khaerudin Barus sebagai tukang tanah yang kaya, bukan sebagai pendakwah dari Ahmadiyah. Setelah dikenalkan tentang Ahmadiyah kita diajak masuk ke Ahmadiyah dengan cara baiat. Sebagian warga mau dibaiat dan masuk Ahmadiyah, sebagian yang lain

belum siap, termasuk saya dan Matori.”12

Pada 1992, Suparman masuk menjadi jemaah. Awalnya, dia menentang. Dia, yang nyantri di Madrasah Aliyah Mathlaul Anwar, sempat berdebat dengan Khaerudin. Namun, belakangan, Suparman tertarik dengan Ahmadiyah dan dibaiat sebagai anggota.Setelah masuk, dia memutuskan untuk belajar di Kampus Mubarak, Bogor. Belakangan, dia dan Khaerudin menyebarkan Ahmadiyah di Cikeusik.13

C. Dinamika Konflik

Kehadiran Ahmadiyah bukan tanpa penolakan dari para pemuka agama setempat. Sekitar 1992, beberapa ulama dan aparat desa menuduh Suparman menggangu keamanan dan melaporkannya ke Koramil (Komando Rayon Militer)

12

Wawancara dengan R.

13


(44)

33

Cikeusik. Akibatnya, Suparman diminta menghentikan aktivitas dakwah. Tapi Suparman mengabaikan permintaan tersebut. Bahkan dia sempat beberapa kali berdebat soal agama dengan Koramil Cikeusik.

Menurut satu versi, pada suatu malam, lima tentara Koramil mendatangi rumah Suparman. Mereka memintanya menghentikan dakwah. Karena tetapmenolak, akhirnya pihak Koramilmemukuli Suparman di depan pos ronda dekat jembatan Cibaliung. 14 Karena peristiwa ini, Khaerudin memutuskan untuk

menghentikan sementara kegiatan dakwah. Dia mengajak Suparman pindah ke Jakarta dan menitipkannya ke Kampus Mubarok, Bogor. Pada 1994, dia membawa Suparman berdakwah di Filipina.15 Sejak itu, sebagian warga Cikeusik

yang sudah masuk Ahmadiyah keluar dan sebagian yang lain tetap menjadi anggota Ahmadiyah, tanpa mengajak orang lain.16

Pada 2005, Suparman kembali ke Indonesia, tapi tidak ke Cikeusik. Dari 2005 hingga 2009, dia aktif di Cabang Ahmadiyah Balikpapan, Jakarta Pusat. Meski aktif di Jakarta, dia sering datang ke Cikeusik mengunjungi orangtuanya. Baru belakangan, Agustus 2009, dia resmi diangkat sebagai mubalig untuk wilayah Cikeusik dan sekitarnya.17 Menurut AS, Suparman mulai menempati

rumah di Penduey, Umbulan, Cikeusik, pada April 2010. Rumah itu digunakan sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah atau sering disebut“rumah missi”.18

14

Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 20-21.

15

Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.

16

Wawancara dengan R.

17

Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.

18


(45)

34

Ketika Suparman mengaktifkan kembaliJAI di Cikeusik, penolakan pun muncul. Penolakan mengencang ketika dia menempati rumah missi:

Aktivitas Suparman di rumah itu membuat ulama setempat marah. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saya beberapa kali mendatangi rumah Suparman dan memintanya untuk melakukan ibadah bersama dengan warga lainnya. Saya sering mengingatkan Suparman agar jangan melakukan salat Jumat di tempat itu. Kalau di luar salat Jumat, silahkan saja. Ketika saya berkata seperti itu, yang ada hanya berdebat. Suparman jago berdebat soal agama.19

Para ulama semakin marah ketika beredar isu bahwa Suparman akan membangun tempat kegiatan Ahmadiyahterbesar di Indonesia. Suparman juga diduga mengajak warga untuk masuk ke Ahmadiyah dengan imbalan materi. Ini menguatirkan para ulama, karena sebagian warga Cikeusik tergolong miskin.20

Terkait ini, salah satu anggota Ahmadiyah Cikeusik menolaknya sebagai tidak benar. Dia juga membantah isu bahwa AhmadiyahCikeusik tertutup.Menurutnya, mereka bergaul dengan warga setempat,ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat seperti kerja bakti.21

Usaha menyelesaikan konflik Ahmadiyah Cikeusik dilakukan oleh kepala desa setempat. Tetapi, alih-alih memfasilitasi secara netral antara pihak Ahmadiyah dan anti-Ahmadiyah, kepala desa justru memperkeruh konflik. Sebab,dia meminta Suparman untuk membubarkan Ahmadiyah dan ikut memprovokasi warga untuk tujuan yang sama.

19

Wawancara dengan A, Sekretaris DesaUmbulan di Umbulan, 14 Februari 2013.

20

Wawancara dengan R.

21


(46)

35

Pada Agustus 2010, Suparman dipanggil secara pribadi oleh Kades Umbulan. Suparman datang ditemani Atep Suratep. Pertemuan berlangsung selama satu jam, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Dalam pertemuan tersebut, Suparman menjelaskan, dia mubalig Ahmadiyah dan Atep Suratep sekretarisnya. Kades sempat meminta Suparman untuk keluar dari Ahmadiyah. Tetapi saran itu ditolak.22

Merasa secara personal gagal menekan Suparman, Kades akhirnya melibatkan unsur pemerintahan setempat untuk membubarkan Ahmadiyah. Upaya ini dimulai pada September 2010, ketika Kades memanggil Suparman secara resmi ke kantor desa. Pertemuan dihadiri Suparman, Kades dan beberapa pejabat Desa Cikeusik. Kades kembali menyarankan agar Suparman keluar dari Ahmadiyah. Namun Suparman tetap menolak.

Pada bulan yang sama, pihak kelurahan melaporkan persoalan ini kekecamatan Cikeusik. Pihak kecamatan menindaklanjutinya dengan memanggil Suparman dan Atep ke kantor kecamatan.23 Beberapa kali Suparman bertemu

dengan pihak kecamatan. Inti pertemuan itu adalah meminta Suparman keluar dari Ahmadiyah. Suparman pun kembali menolak permintaan itu.

Menurut Sekdes, alasan Suparman menolak permintaan itu adalah karena JAI diakui secara sah oleh pemerintah atau memiliki badan hukum. Bahkan Suparman pernah menunjukan bukti itu di forum pertemuan. Suparman juga

22

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 22 Februari 2011), 6.

23


(47)

36

percaya bahwa Ahmadiyah tidak “sesat” dan “menyesatkan” seperti tuduhan MUI

dan ulama setempat. Suparman sering berdebat dengan MUI dan ulama setempat untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bagian Islam dan tidak sesat.24

Sekitar Oktober 2010, pihak kecamatan memutuskan untuk menghubungi Bakorpakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan Masyarakat) Pandeglang. Selanjutnya, pihak Bakorpakem melakukan pertemuan di kantor kecamatan Cikeusik dengan Suparman. Pertemuan juga dihadiri Kades, sekretaris kecamatan, MUI Pandeglang dan Cikeusik, dan para ulama di wilayah Cikeusik. Seperti pertemuan sebelumnya, Suparman diminta keluar dari Ahmadiyah, dan Suparman tetap menolak.25

Upaya menekan JAI Cikeusik juga dilakukan unsur-unsur lain. Di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya, Pandeglang, sejumlah mahasiswa yang berasal dari Cikeusik melakukan aksi menuntut agar Atep Suratep, yang kebetulan anggota civitas akademika, dikeluarkan dari kampus. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, mereka sendiri yang akan keluar.26

Sekitar November 2010, Kiai Muhamad beserta 15 rekannya melakukan demonstrasi anti-Ahmadiyah atas nama Gerakan Muslim Cikeusik (GMC) di

Mapolsek Cikeusik. Usaha ini berawal dari usulan Majelis Ta’lim Kampung

24

Wawancara dengan A.

25

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar, 6.

26


(48)

37

Cikareo, Desa Cikawaris.27 Bahkan pada bulan itu, ada selebaran dari GMC yang

berisi tuduhan “kesesatan” Ahmadiyah.

Pertemuan antara Suparman dan pihak anti-Ahmadiyah kembali diadakan pada 18 November 2011. Karena situasi Cikeusik tidak kondusif, pertemuan dilakukan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang. Suparman, Atep dan beberapa anggota Ahmadiyah lainnya (Deden Sudjana, Hasan Basri, Dade Sulaiman dan sebagainya) datang ke kantor kejari, namun hanya Suparman dan Atep yang diperbolehkan masuk ke ruangan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, Suparman diminta menandatangani surat pernyataan berisi: (a) menghentikan segala aktifitas Jamaah Ahmadiyah Cikeusik; (b) berbaur dengan masyarakat; (c) membubarkan diri. Suparman pun menolak tuntutan itu dan membuat pernyataan sendiri yang berisi: (a) siap menaati SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri tahun 2008; dan (b) siap berbaur dengan masyarakat dalam bidang sosial. Pernyataan yang dibuat Suparman akhirnya disepakati dalam pertemuan itu.28

Meskipun sudah dibuat keputusan, pihak-pihak yang menginginkan Suparman keluar dari Ahmadiyah, seperti Kades Umbulan dan MUI Cikeusik, tidak puas dengan hasiltersebut. Bagi mereka isi kesepakatan tetap saja membolehkan keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik. Mereka ingin Ahmadiyah

27

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) I, Saksi Hasanudin atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 07 Februari 2011), 1-5. Lihat juga Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Usep Sugandi atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 11 Februari 2011), 1-4.

28

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman atas Perkara Pidana Penghasutan


(49)

38

dibubarkan dan Suparman dan pengikutnya bertobat. Jika Suparman tetap tidak mau bertobat, dia harus pergi dari Cikeusik.29 Akhirnya, mereka merencanakan

pembubaran Ahmadiyah tanpa melibatkan, secara resmi, unsur pemerintahan.

Pada 30 januari 2011, Kanit Polsek Cikeusik sudah mengetahui bahwa ada rencana pembubaran Ahmadiyah Cikeusik. Dari informasi itu, dia membuat laporan ke Polsek Cikeusik dan Polres Pandeglang.30 Pada 1 Januari 2011, Kanit

Reskrim Polsek Cikeusik, Hasanudin, juga memperoleh kabar bahwa pada 6 Februari 2011 akan diadakan pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik.31 Kapolsek

Cikeusik juga mengetahui itu melalui informasi anggota pulbaket Polsek Cikeusik. Pada 2 Januari 2011, Kapolsek mengumpulkan para kanit untuk melakukan pendalaman dan memerintahkan Babinkantibmas menghimbau masyarakat supaya tidak bertindak anarkis.32

Akhirnya pihak Ahmadiyah Cikeusik juga mengetahui rencana pembubaran Ahmadiyah. Pada 2 Februari 2011, Atep Suratep mengetahui rencana pembubaran itu dan melaporkan kepada polisi, TNI (Tentara Nasional Indonesia), dan Kesbang setempat. Pada 4 Februari 2011, Atep juga memberitahu hal ini kepada Hasan Basri (Mubalig Ahmadiyah wilayah Banten) dan Dade Sulaiman (Ketua

29

Wawancara dengan AM, Ketua MUI Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 27 Februari 2013.

30

Wawancara dengan US, Kanit Intel Polsek Cikeusik di Cikeusik, 16 Februari 2013.

31

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Hasanudin (Serang: Polda Banten, 07 Februari 2011), 3.

32

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur atas Perkara Pidana Penghasutan


(50)

39

Administrasi Jamaah Ahmadiyah Rangkas Bitung dan Cikeusik).33 Pada hari yang

sama, Atep Suratep juga memberitahu kepada Suparman.34

Pada 5 Februari 2011, Jam 03.00, Kapolsek dan Danramil Cikeusik mendatangi rumah Suparman untuk memberikan surat panggilan ke Mapolsek Cikeusik terkait status keimigrasian istri Suparman, Haina Toang Aquino. Karena alasan itu, Suparman beserta istri dan satu anaknya, juga Atep Suratep berada di Mapolsek Cikeusik hingga jam 10.00 dan akhirnya mereka dipindahkan ke Mapolres Pandeglang. Pada waktu yang sama, Suparman sempat memberitahu kepada Mulyadi dan Tarno soal isu pembubaran dan menyuruh mereka untuk mengungsikan barang-barang berharga.35

Malam harinya, jam 20.00, seorang Ahmadi mengabarkan kepada Deden Sudjana bahwa Suparman sedang berada di Mapolres Pandeglang . Dia juga mendapatkan kabar bahwa rumah missi dalam keadaan kosong. Atas informasi itu, dia memutuskan untuk pergi ke Cikeusik dan menengok Suparman. Pada jam 22.00, dia menghubungi dua Ahmadi, Danang dan Maulana, untuk menemani ke Cikeusik. Tidak lama kemudian, Ahmadi dari Jakarta, Roni Pasaroni, Bebi, Arif Rahman Hakim, Warsono, dan Irwan ikut bersama Deden Sudjana. Ahmadi lainnya yang berasal dari Bogor (Candra, Masihudin, Ferdias) dan Serang36 (Arif

Rahman Ahmadi, Alfi, Yus Asaf, Afif, Yudi) juga ikut. Dengan demikian

33

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Atep Suratep. (Serang: Polda Banten, 24 Februari 2011). 6.

34

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman, 4.

35

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman, 4.

36


(51)

40

rombongan Ahmadi yang menuju ke Cikeusik berjumlah tujuh belas orang. Mereka semua datang ke Cikeusik dengan menggunakan dua mobil.

Pada 6 Februari 2011, jam 03.00, Kapolres Pandeglang memimpin apel di Mapolres Pandeglang terkait pengamanan pembubaran. Sekitar jam 04.00, tiga puluh tiga anggota Satuan Sabhara Polres Pandeglang (terdiri dari: dua puluh enam anggota Dalmas, Kasat Sabhara, Kanit Turjawali, PS. Kanit I Dalmas, PS. Kasubnit I Dalmas, dua pengendara mobil Dalmas, dan satu pengendara mobil kasat) diterjunkan ke rumah Suparman.37Sekitar jam 07.00, salah satu anggota

Reskrim, Suprapto, jalan menuju rumah Suparman.38 Pada saat yang sama,

Kapolsek Cikeusik melakukan pengarahan kepada delapan belas anggotanya yang akan diterjunkan ke rumah Suparman.39 Intinya, Kapolsek menghimbau

seandainya masih ada Jamaah Ahmadiyah Cikeusik di rumah Suparman agar dievakuasi.

Minggu, 6 Februari 2011, sekitar Jam 07.00, rombongan Deden Sudjana tiba di rumah Suparman. Tiga Ahmadi yang sebelumnya sudah ada di rumah Suparman menyambut mereka. Akhirnya, mereka semua berkumpul di ruang tamu. Deden Sudjana sempat memperkenalkan diri kepada tuan rumah dengan mengatakan bahwa kedatangan rombongan atas perintah Amir Nasional, tetapi jangan sampai terdengar oleh mereka. Dia juga mengatakan bahwa rumah

37

Kepala Kepolisian Resort Pandeglang, Lampiran Sprin Kapolres Pandeglang No: Sprin/286/II/2011 (Pandeglang: 4 Februari 2011).

38

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suprapto (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011), 3.

39

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011), 5.


(52)

41

Suparman adalah aset Jamaah Ahmadiyah yang harus dipertahankan dengan caranya terserah masing-masing. Selain itu, Deden Sudjana mengatakan dirinya akan berada di posisi paling depan. Sedangkan yang lain memposisikan diri sesuai ketrampilannya masing-masing. Deden Sudjana juga sempat menghimbau kepada Ahmadi yang ada di tempat itu agar tidak keluar jika tidak terjadi apa-apa.40

Kedatangan rombongan di atas diketahui beberapa warga setempat. Tentang hal ini, salah seorang warga bercerita:

“Hari minggu pagi, sekitar pukul 07.00, saya lihat ada dua mobil di rumah Suparman. Saya merasa aneh dan takut karena pada hari itu ada pembubaran Ahmadiyah dan Suparman sudah diamankan di kantor polisi, tetapi ada tamu di rumah Suparman. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya perkelahian, saya mengungsikan anggota keluarga saya. Saya sempat bertemu Suprapto, Babinmas Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik. Sayamengatakan kepada beliau bahwa ada tamu di rumah Suparman dengan menggunakan

dua kendaraan mobil.”41

Atas dasar pemberitahuan itu, Suprapto mencari Kades Umbulan, Johar. Mereka lalu mendatangi rumah Suparman dan meminta rombongan Ahmadiyah meninggalkan rumah karena ada rencana pembubaran. Tapi saran ini tidak dituruti.42 Tidak lama kemudian, sekitar pukul 09.30, Kanit Reskrim mendatangi

rombongan di rumah Suparman. Berikut ini transkripsi dialog pertemuan Kanit Reskrim (KR) yaitu Hasan, Deden Sudjana (DS) dan Ahmadi lainnya (AL), yang

40

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Arif Rahman Ahmadi atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 8 Maret 2011), 6.

41

Wawancara dengan R.

42

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suprapto atas Perkara Pidana Penghasutan


(53)

42

berhasil diperoleh dari skripsi Mawahibur Rahman43 dan sebagiannya

didokumentasikan dalam video yang beredar luas:

KR: Intinya sih gini....Kita hanya mengantisipasi karena gosipnya ada beberapa rombongan yang mau mampir kesini. Saran dari saya

sih...ya saya sih berharap tidak terjadi, jangankan korban jiwa,

materipun jangan sampai.

DS: Saya kebetulan ketua kamnas (Keamanan Nasional) Ahmadiyah, ingin meninjau lokasi di sini, yang saya dengar rumah ini ingin diobrak-abrik oleh orang-orang yang ingin merusak tatanan negara. Organisasi berkedok agama yang gak jelas maksudnya apa. Kalau Ahmadiyah bapak tahu-lah, kapan sih kita pernah bikin ribut.... Kalau mereka bapak bisa lihat, teriak Allahu Akbar nimpuk, teriak Allahu akbar bakar.

KR: Berbicara Allah, berbicara Allah tetapi tetap anarkis.

DS: Jadi saya sebagai ketua keamanan, datang kesini ingin meninjau keadaan di sini, karena kami mendengar di sinipara Ahmadi sudah dizolimi, ada konspirasi dari ormas-ormas berkedok agama seperti itu dan beberapa aparat desa. Apa sih masalahnya...? Kenapa mereka harus membenci Ahmadiyah. Ya kalau mereka gak suka dialog lah.... Jangan membakar, memaki, mengusir, melempar. Ini negara hukum. Mari kita tegakkan hukum sama. Lagipula ada SKB Tiga Menteri, keadaan masalah agama itu masalah pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Seperti lurah ikut-ikut, Muspika ikut-ikut. Gak boleh dong.... Ibaratnya Pak Parman (Suparman) mau diterkam harimau, bukan Pak Parman yang ditembak, harimaunya yang diusir.

KR: Kalau bicara Muspika...ada pengajian hari minggu, kita sudah menghalau meraka. Bahkan mereka GMC mendoktrin, memberi target kepada Muspika agar satu bulan harus bubar (jema’at), padahal tidak bisa begitu.... Akhirnya kita rapat dengan pihak Pak Parman, dengan pihak desa, sampai kecamatan, sampai empat kali kalo gak salah. Sampai kita laporkan ke Muspida, bahkan Muspida sudah pada turun kesini. Kita tidak memihak, tidak pro Ahmadiyah, tidak pro GMC. Kita kamtibmas dan harkamtibmas kita kan sebagai polisi. Jangan sampai dengan seperti ini, seolah-olah ada pertumpahan darah dsb. Intinya sih yang diinginkan GMC, Ahmadiyah tolong berbaur dengan kami, yang paling mencolok

43


(54)

43

adalah keluarga Pak Suparman tidak mau sembahyang Jumah berjamaah di masjid. Kalau luar hari Jumat silakan-silakan saja. DS: Gini Pak kalau kita bicara akidah....

KS: Betul....

DS: Islam ini udah jelas ada beberapa puluh golongan di dunia ini kan.... Jadi kalau masalah akidah, marilah kita dialog, masalah tafsir kan saling berbeda. Seperti Syiah dan Sunni saling bom-boman masjid. Kita kan sedih, sesama Islam. Masjid itu dibom, keesokannya masjid ini dibom.Malu kita kan Pak, masa Indonesia mau seperti itu.

KR: Itu yang ditumpangi kan orang yang tidak bertanggungjawab. DS: Oleh karena itu saya berterimakasih kalau bapak bisa berdiri di semua golongan. Karena kita capek melihat orang anarkis.

KR: Kita juga tidak tahu mana yang paling bener.

DS: Jadi kedatangan kami kesini adalah untuk meninjau, sama sekali tidak ada niat balas dendam. Tapi kalau mereka mulai memukul, tidak mungkin kita diam aja. Masa kita dipukulin, mobil kita dibakar, kita diam saja?

KR:44 Gini Pak, saya sudah monitor dari Cibaliung dan Cigeulis.

Ada segelintir orang naik kendaraan roda dua dan roda empat, makanya kami mendahului agar tidak kedahuluan oleh mereka. Kami dari Polres termasuk Dalmas telah merapat kesini. Tapi perkiraan kalau mereka melihat orang kita yang banyak mereka tidak jadi. Tapi namanya antisipasi, kita tidak tahu.... Ya, kalau yang datang segelintir orang, kalau yang datang meratus atau meribu? Kita juga namanya manusia, kalau bisa ya bertahan, kalau tidak ya apa boleh buat. Ya, misalnya, kalau saya mah, sampai kapanpun tidak akan berangkat dari sini, tahu-tahu kepala kita terlempar. Ya namanya manusia yang baiknya sedikit, yang jahatnya banyak. Makanya kita lihat situasi, kalau kira -kira membahayakan lebih baik menghindar, intinya sih itu saja.

DS: Kalau misalnya Bapak tidak mampu, lepaskan saja Pak. Biarkan bentrokan saja. Biar seru Pak, ya nggak? Habis mau bagaimana,

masa kita diam saja? … Jadi kalau memang kira-kira …

44

Mulai bagian ini dan selanjutnya, dialog bisa juga dilihat di video“Dialog Polisi dan

Jama’at Ahmadiyah Sebelum Tragedi Cikeusik,” tersedia di http://www.youtube.com/watch?v=Ojex2RC1kY8; Internet: diakses 12 November 2012.


(55)

44

AL: Kami siap Pak, tiap hari kami....

KR: Saya sangat tidak mengharapkan untuk seperti itu.

DS: Kalau misalkan kira-kira Bapak bilang wah kepolisian tidak sanggup, lepasin aja Pak, lepasin aja, paling juga banjir darah, seru

‘kan, ya nggak Pak?

Kekhawatiran para Ahmadi terhadap keamanan rumah Suparman bukan tanpa alasan. Selain kurang percaya kepada polisi, ini juga tumbuh karena maraknya perusakan terhadap aset Ahamdiyah di tempat-tempat lain dan aparat keamanan diam saja.Para Ahmadi yang datang ke Cikeusik tidak mau aset jamaah dirusak seperti di tempat lain.45

Selanjutnya, Kanit Reskrim keluar dari rumah Suparman dan melakukan kordinasi dengan Kapolsek, Kasat Intel dan Kasat Samapta.46 Mengetahui bahwa

usaha Kanit Reskrim gagal, maka Kapolsek dan Kasat Sabhara mendatangi Deden Sudjana.47 Polisi yang ada di tempat juga mulai berjaga-jaga. Mereka berjaga di

sekitar depan pelataran rumah Suparman dan jembatan sungai Cibaliung. Dua mobil Dalmas juga bersiaga di depan rumah Suparman sebelum salah satu mobil dipindahkan ke jembatan Cibaliung.48

Dari pemaparan bab ini bisa disimpulkan bahwa konflik anti-Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten telah berlangsung sejak lama, yakni awal masuknya Ahmadiyah di Cikeusik. Namun ada discontinuitas konflik ketika Suparman dan

45

Wawancara dengan WR, Mubalig Ahmadiyah Cilegon di Cilegon, 22 Desember 2013.

46

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur,3.

47

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Syahpudin atas Perkara Pidana Penghasutan, (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011). 2.

48 “Anti

-Ahmadiyah: Violence in Cikeusik,” tersedia di http://www.youtube.com/watch?v=iLb9VSI9BCw; Internet: diakses 12 November 2012.


(56)

45

Khaerudin Barus menghentikan aktivitas dakwahnya. Konflik berlanjut ketika Suparman mulai mengaktifkan kembali Jama’at Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

Konflik anti-Ahmadiyah semakin rumit ketika kedua belah pihak, baik warga Ahmadiyah dan penentangnya, melibatkan pihak-pihak di luar Cikeusik dalam menyelesaikan konflik. Di bab selanjutnya akan dijelaskan bagaimana para penentang Ahmadiyah di Cikeusik melibatkan ribuan masa dalam membubarkan Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten.


(1)

Foto Anggota Jamaah Ahmadiyah yang Menjadi Korban Kekerasan


(2)

(3)

Foto Bersama Pejabat Desa Umbulan Cikeusik Pandeglang Banten


(4)

SURAT PERNYATAAN

KESEDIAAN PEMBIMBING SKRIPSI Telah saya terima proposal skripsi sebagai berikut :

Nama NIM Fak/Prodi

Judul Skripsi

Siswo Mulyartono t07033203232

Ilmu Sosial dan Ilmu PolitiMlmu Politik

Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Banten : pendekatan

Mobilisasi

DenganinisayamenyatakanBERSEDIA/ffimenjadipembimbing

skripsi mahasiswa tersebut di atas.

Jakarta, 17 Desemb er 2012 Hormat Saya,


(5)

Nama NIM Fak/Prodi Judul Skripsi

Pembimbing

PRESENSI KONSULTASI BIMBINGAN SKIPSI MAHASISWA Siswo Mulyartono

107033203232

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Ilmu Politik

Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Banten : Pendekatan Mobilisasi Dr. Ali Munhanif

Materi yang Dikonsultasikan

uL.

0l-?*t'ztr

J^tq

t^4r--?reva-'"'

f^^ty{

L

1^

6

\/'/^

'

g"tA \ L \/*

&n-.'2r., a*"rLn

g'Y'"K&

v4\

Qu^a6.nO^r'^

V'^4

1

,V*a-.'+',-

W*

U^'b

S

kn^

f\/U/v-q1{/,vt

t" l-u--

\1/S

\n"l4a^ tVd

\/s_\

w1

a.n. Dekan Pembantu


(6)

KEMENTERIAN

AGAMA

UNI\rERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS

ILMU

SOSIAL

DAN

ILMU POLITIK

n. Kertamukti, Pisangan, Ciputat 15419 Jakarta Selatan

Telp. 021-747051 25, 7 4705696, Fax. 021-7 4702013, 7 4702013 Website : www.uinjkt.ac.id; E-mail : fi sip_uin@yahoo.com

Nomor

':

Un.01/F.11IKM.01,.3/M13/2013

Jakarta,20 Januari 20L3

Lampiran

:

-Hal

: PermohonanWawancara/Mencari Data Skripsi Kepada Yth.

di-Jakarta

Assalamu'alaikum Wr, Wb.

Dekan Fakultas

Ilmu

Sosial

dan

Ihnu Politik

(FISIP) Universibs Islam Negeri

(USi)

Syarif Hidayatullah jakarta, dengan

ini

menerangkan bahwa :

adalah benar mahasiswa FISIP

UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Program

Studi

Ilmu

Politik,

semester

K

tahun akademik 2A12/2A13, dan mohon

diberikan

izin

mengumpulkan

data

dalam rangka

penulisan Skripsi, dengan judul : "Gerakan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Bantenl'

Demikian, atas perhatian

dan

kerjasama Saudara,

kami

ucapkan terima

kasih-Wassalam.

A.n.

Wiwi

Nama

TempafTanggal lahir

NIM

Alamat H.P./Telp.

Siswo Mulyartono

Brebes, M November 1988

707033203232

[.

Semanggi I RT.001

/03

Ciputat Timur, Tangerang Selatan

085711060783

Tembusan: Dekan FISIP

NIP.l

SadiarotU

MA

, 101gg4032cfi t<