Nilai Hba2 Pada Anemia Defisiensi Besi

(1)

NILAI HbA2 PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI

T E S I S

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar magister Kedokteran Dalam Bidang Patologi Klinik Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH: Dr.SYAHRIAL

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

Medan, November 2011

Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar Magister Kedokteran Dalam Bidang Patologi Klinik di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas sumatera Utara Medan.

Disetujui:

Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Pror. DR. dr. Ratna A. Ganie, SpPK-KH, FISH) NIP. 19487111979032001

( Dr. Soegiarto Gani, SpPD) NIP. 197103222005011004

Disyahkan oleh:

Ketua Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H.Adam malik Medan

Ketua Program Studi Departemen Patologi Klinik FK-USU/ RSUP H.Adam malik Medan

(Prof . dr. Adi K. Aman, SpPK-KH, FISH) NIP. 194910111979011001

(Pror. DR. dr. Ratna A. Ganie, SpPK-KH, FISH) NIP. 19487111979032001


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh karena kasih karunia-Nya, sehingga saya dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan karya tulis (tesis) yang berjudul Nilai Hba2 Pada Anemia Defisiensi Besi.

Selama saya mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, saya telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini. Untuk semua itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tiada terhingga kepada :

Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, FISH, sebagai pembimbing saya yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan proses penyusunan, sampai selesainya tesis ini.

Yth, dr. Soegiarto Gani, SpPD, pembimbing II dari Deparmen Ilmu Penyakit dalam yang sudah memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

Yth. Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH, FISH selaku Ketua Departemen Patologi Klinik yang banyak memberikan bimbingan dan


(4)

kesempatan sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, FISH sebagai Ketua Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Sumatera utara, yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi sejak awal pendidikan dan menyelesaikannya.

Yth, dr. Ricke Loesnihari SpPK-K, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Sumatera utara, yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi sejak awal pendidikan dan menyelesaikannya.

Yth, Prof. dr. Herman Hariman, PhD, SpPK-KH, FISH, yang memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan selama saya mulai pendidikan sampai menyelesaikan penulisan tesis ini.

Yth, Prof. dr. Burhanuddin Nasution, SpPK-KN, FISH, yang banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama pendidikan dan menyelesaikan penulisan tesis ini

Yth, Prof. dr. Iman Sukiman, SpPK-KH, FISH (Alm), dr. R.

Ardjuna M Burhan, DMM, SpPK-K (Alm), dr. Muzahar, DMM, SpPK-K, dr. Tapisari Tambunan, SpPK-K, dr. Zulfikar lubis, SpPK-K, dr. Ozar

Sanuddin SpPK-K, dr. Farida Siregar, SpPK, dan dr. Nelly Elfrida SpPK, semuanya guru-guru saya yang telah banyak memberikan petunjuk, arahan selama saya mengikuti pendidikan Spesialis Patologi


(5)

Klinik dan selama penyelesaian tesis ini. Hormat dan terimakasih saya ucapkan.

Yth, Dr. Arlinda Sari, MKes, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan bimbingan di bidang statistik selama saya memulai penelitian sampai selesainya tesis saya, terimakasih banyak saya ucapkan.

Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, para analis dan pegawai, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerja sama yang diberikan kepada saya, sejak mulai pendidikan dan selesainya tesis ini.

Hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bupati Deli Serdang dan Kepala Dinas Kesehatan Deli Serdang, yang telah memberi izin kepada saya untuk mengikuti Program Studi Dokter Spesialis Patologi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Ucapan terimakasih juga kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

Terimakasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada ayahanda Syarifuddin dan ibunda Zaleka Caniago, yang telah membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan moril dan materil


(6)

kepada ananda selama ini. Begitu juga ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak mertua Dr. H Agus Salim Harahap, MSc (Alm) dan ibu mertua Hj. Tetty Maulina Siregar yang memberikan dorongan, bantuan moril dan materil kepada saya dan keluarga.

Akhirnya terimakasih yang tiada terhingga saya sampaikan kepada Istri tercinta Dr. Sri Asdelina Harahap yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan motivasi dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Juga untuk putriku yang tersayang Nisrina Amanda Risya yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang selama saya mengikuti pendidikan.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita semua.

Medan, November 2011 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel ... Daftar Gambar ... ... ... iii ... iii

Daftar Lampiran ... Daftar Singkatan ... iv v BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Hipotesa Penelitian ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 1.6. Kerangka Konsepsional ... 6 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Defenisi ... 8

2.2. Epidemiologi ... 9

2.3. Etiologi... 10

2.4. Patofisiologi ... 12

2.4.1.Pembentukanhemoglobin... 12

2.4.2. Metabolisme besi ... 13

2.5. Anemia defisiensi besi... 15


(8)

2.7. Pemeriksaan laboratorium ... 19

2.8. Diagnosis ... 22

2.9. Diagnosis banding ... 23

2.10. Penatalaksanaan ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Disain penelitian ... 29

3.2. Tempat dan waktu penelitian ... 29

3.3. Populasi dan subjek penelitian ... 29

3.3.1. Populasi penelitian ……… 29

3.3.2. Subjek penelitian ………... 30

3.4. Perkiraan besar sampel ………... 31

3.5. Analisa data ....………... 31

3.6. Bahan dan cara kerja ……….. 32

3.6.1. Bahan dan pengolahan sampel... 32

3.6.2. Cara pemeriksaan laborarorium ………... 32

3.6.2.a. Pemeriksaan ferritin ... 33

3.6.2.b. Pemeriksaan analisa hemoglobin ……….. 3.6.3. Kontrol kualitas... 3.7. Ethical clearance dan informed consent………... 3.8. Kerangka operasional……….. 34 38 39 40 BAB IV. HASIL PENELITIAN ……….. BAB V. PEMBAHASAN ………... BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 41 54 57 DAFTAR PUSTAKA ... 58


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel 4

Karateristik sampel

Hasil berdasarkan nilai HbA2

42 43 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10

Korelasi antara HbA2 dan MCV pada ADB Korelasi antara HbA2 dan MCH pada ADB Korelasi antara HbA2 dan MCHC pada ADB Korelasi antara HbA2 dan ferritin pada ADB Korelasi antara HbA2 dan RBC pada ADB Korelasi antara HbA2 dan MCV pada kontrol Korelasi antara HbA2 dan MCH pada kontrol Korelasi antara HbA2 dan MCHC pada kontrol Korelasi antara HbA2 dan ferritin pada kontrol Korelasi antara HbA2 dan RBC pada kontrol

44 45 46 47 48 49 50 51 52 53


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2

: :

Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian Formulir persetujuan setalah penjelasan

64 65 Lampiran 3

Lampiran 4

Lampiran 5 Lampiran 6

: :

: :

Status pasien

Surat persetujuan komite etik penelitian bidang kesehatan FK USU

Data penelitan Daftar riwayat hidup

66

66 68 70


(11)

DAFTAR SINGKATAN ADB SI TS TIBC TfR sTfR Hb MCV MCH MCHC WHO FEP SKRT HbA2 : : : : : : : : : : : : : :

Anemia defisiensi besi Serum Iron

Transferin saturation

Total Iron Binding Capacity Transferin receptor

Serum transferin receptor Hemoglobin

Mean Corpuscular Volume Mean Corpuscular Hemoglobin

Mean Corpuscular hemoglobin Consentration Wolrd Health Organization

Free Erythrocyte Porphyrin

Survei Kesehatan Rumah Tangga Hemoglobin Adult 2


(12)

RINGKASAN

Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), sehingga diperlukan transfusi yang adekuat dan teratur untuk mengurangi komplikasi anemia, mendukung pertumbuhan yang normal, mengurangi keluhan dan tanda-tanda fisik yang abnormal. Hemokromatosis merupakan akibat yang tidak bisa dihindari pada pasien yang mendapat transfusi regular karena tubuh manusia mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mengeliminasi kelebihan besi, sehingga bila tidak diterapi dengan kelasi yang adekuat akan terjadi fibrosis, sirosis hati, penyakit jantung, diabetes dan gangguan fertilitas.

Pengukuran kadar serum feritin merupakan tes yang umum digunakan untuk menilai kelebihan besi pada pasien TM karena mudah dikerjakan, tersedia di banyak laboratorium dan relatif murah serta mempunyai korelasi yang baik dengan LIC yang diukur melalui biopsi hati. Tiga penelitian berbeda sepakat bahwa kejadian sirosis hati sangat jarang terjadi pada penderita hemokromatosis dengan serum ferritin dibawah 1000 ng/mL. Menurut penelitian Waalen J dkk, semua kasus sirosis pada penderita hemokromatosis terjadi dengan kadar feritin diatas 1000 ng/mL.

Telah lama dikenal satu zat warna sintetis yaitu Indocyanine Green (ICG) yang telah digunakan untuk menguji cadangan hati yang merupakan gabungan fungsi hati yang dinilai melalui parenkim hati, sistem


(13)

retikuloendotelial dan aliran darah pada hati yang terdiri dari arteri utama, vena porta, vena hepatika dan aliran darah mikrovaskuler. Dimana zat tersebut 95% terikat pada albumin dan secara khusus dan cepat dipindahkan dari plasma oleh sel parenkim hati tanpa mengalami metabolisme ke dalam empedu. Indocyanine Green tidak mengalami sirkulasi enterohepatik atau ekstrahepatik. Indocyanine Green mempunyai sensitivitas 85.7% dan spesifisitas 88.9% sebagai indikator prognostik pada gagal hati akut 28

Penelitian dilakukan untuk mengetahui persentase retensi Indocyanine Green menit ke-15 pada penderita talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis. Penatalaksanaan penelitian dilakukan secara potong lintang pada periode Agustus 2010 sampai November 2010 dengan memeriksa persentase retensi Indocyanine Green menit ke-15 pada 20 orang penderita talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis yang dirawat di Ruang Rawat Inap Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan 7 orang penderita talasemia mayor yang belum mengalami hemokromatosis sebagai kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

dan mempunyai nilai retensi normal 3.5-10.6% pada menit ke-15 setelah diinjeksikan secara intravena.

Pada penelitian didapatkan kadar feritin rata-rata pada kelompok talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis (5119 ± 3123,5 ng/dL) lebih tinggi dari pada kelompok yang non hemokromatosis (599,9 ± 262,5 ng/dL) dan pada uji statistik independent t test didapatkan perbedaan bermakna kadar feritin diantara kedua kelompok (p = 0,001). Hasil dari enzim


(14)

transaminase (ALT dan AST) dan globulin menunjukkan adanya peningkatan pada kelompok talasemia mayor yang hemokromatosis, dimana nilai AST (94,75 ± 57,25 U/L), ALT (109,9 ± 46,59 U/L), dan nilai globulin (3,7 ± 0,79 g/dL) dibandingkan dengan kelompok talasemia yang non hemokromatosis, dimana nilai AST (41,57 ± 16,16 U/L), ALT (17,86 ± 9,62 U/L), dan nilai globulin (3,04 ± 0,22 g/dL). Setelah dilakukan uji statistik independent t test didapati perbedaan bemakna diantara kedua kelompok tersebut (p< 0,05).

Hasil rata-rata persentase retensi Indocyanine Green pada menit ke 15 pada kelompok talasemia mayor hemokromatosis adalah 8,05 ± 2,56% sedangkan pada kelompok talasemia mayor yang non mengalami hemokromatosis adalah (3,29 ± 0,76%). Setelah dilakukan uji statistik independent t test, didapatkan perbedaan yang bermakna persentase retensi Indocyanine Green pada kedua kelompok (p = 0,0001).

Dengan menggunakan uji korelasi Pearson pada kelompok talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis didapatkan korelasi yang bermakna antara R15 ICG dengan AST, Total Protein dan globulin. Pada uji Korelasi juga didapatkan korelasi yang kuat antara R15 ICG dan feritin pada kelompok talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis.

Dari penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna R15 ICG antara talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis dibandingkan dengan yang non hemokromatosis dan terdapat korelasi yang kuat antara R15 ICG dengan feritin pada kelompok talasemia mayor yang mengalami hemokromatosis. Hal ini mencerminkan adanya gangguan dan penurunan fungsi ekskresi akibat hemokromatosis. Pada penelitian ini juga dijumpai


(15)

perbedaan bermakna kadar AST dan ALT antara talasemia mayor yang hemokromatosis dengan non hemokromatosis yang menunjukkan adanya proses nekrosis hepatosit pada talasemia mayor yang hemokromatosis


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin

Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit ,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan mempunyai BM 64.000 dalton. Heme disintesis di mitokondria dan penggabungan globin terjadi di sitoplasma eritrosit yang sedang berkembang. Bagian Heme pada hemoglobin terdiri dari sebuah atom Fe yang terletak ditengah-tengah struktur porfirin. Setiap molekul hemoglobin mengandung 4 heme. (1,2)

Globin adalah suatu protein yang terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida. Rantai polipeptida ini terdiri dari 2 pasang rantai dengan jumlah, jenis dan urutan asam amino tertentu.(2,3) Masing-masing rantai polipeptida mengikat 1 gugus heme. Sintesis globin terjadi di eritroblast dini atau basofilik dan berlanjut dengan tingkat terbatas sampai di retikulosit. Gen-gen untuk sintesis globin terletak di kromosom 11 ( rantai gamma,delta & beta ) dan kromosom 16 ( rantai alfa ).Manusia mempunyai 6 rantai polipeptida globin yaitu rantai α dan non α yang terdiri dari β, γ, δ, ε, ζ.. (3,4)


(17)

Pada orang normal ada 7 sintesis rantai globin yang berbeda yaitu : 4 pada masa embrio seperti Hb Gower 1 ( ζ2ε2 ), Hb Gower 2 ( α2ε2 ), Hb Portland 1 ( ζ2 ε2 ), dan Hb Portland 2 (ζ2 γ2 ). Hb F (α2γ2 ) adalah Hb yang predominant pada saat kehidupan janin dan menjadi hemoglobin yang utama setelah lahir. Hb A (α2β2 ) adalah hemoglobin mayor yang ditemukan pada dewasa dan anak-anak. Hb A2 (α2δ2 ) dan Hb F ditemukan dalam jumlah kecil pada dewasa ( kira-kira 1,5 - 3,5 % dan 0,2 – 1,0 % ). Perbandingan komposisi Hb A, A2 dan F menetap sampai dewasa setelah umur 6 – 12 bulan. Pada orang dewasa , HbA2 kira-kira 1,5% -- 3,5% hemoglobin total, Persentasenya jauh lebih rendah dari pada waktu dilahirkan, kira-kira 0,2% - 0,3% meningkat pada saat dewasa pada 2 tahun pertama. Kenaikan yang tajam terjadi pada 1 tahun pertama dan naik dengan perlahan pada 3 tahun kelahiran.(5,6)

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah klinis yang dalam beberapa keadaan relative mudah didiagnosa dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium status besi konvensional seperti serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin dan serum feritin.(7,8) Serum iron menunjukkan variasi diurnal, dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada sore hari dibandingkan pagi hari.(9,10,11) Pada ADB nilai TIBC meningkat, tetapi dapat normal atau menurun pada keadaan inflamasi dan hypoalbuminemia.(12) Gambaran darah tepi ADB adalah mikrositer. Diagnosa


(18)

banding untuk anemia mikrositer adalah ADB, talasemia, anemia sideroblstik dan anemia penyakit kronis.

Nilai feritin yang rendah merupakan diagnosa untuk ADB. WHO merekomendasikan kosentrasi feritin < 12ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun.

(13,14)

(15,16,17)

Penelitian di Bali dengan memakai feritin serum < 12 ug/l dan 20 ug/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%.(18,19) Penelitian Mast AE dkk dengan memakai feritin <12 ug/l mendapatkan sensitivitas 25% dan spesivisitas 98%. Akan tetapi dengan memakai feritin < 30 ug/l didapati sensitivitas 92% dan spesitivisitas 98%.(19)

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai pada negara berkembang maupun maju. Prevalensi anemia defisiensi besi 2 – 5 % diantara laki-laki dewasa dan wanita post menstruasi dinegara maju,

dan sering pada pasien-pasien yang mengunjungi gastroenterolog (4–13%). Penyebab anemia defisiensi besi pada wanita pre-menopause

adalah kehilangan darah pada saat menstruasi, dan perdarahan menopause.

(20,21,22)

Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia. Martotmojo dkk memperkirakan anemia defisiensi besi pada laki-laki 16 – 59 % dan 25 – 84 % pada wanita tidak hamil. Di India, Amerika Latin dan Filipina prevalensi anemia defisiensi besi pada perempuan hamil berkisar antara 35 – 59 %. Dari penelitian yang


(19)

pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%.(20,23) Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah 10gr/dl sedangakan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%.(21) Pauline di Jakarta juga menambahkan selama kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia.(22) Selain itu data menunjukkan bahwa bayi dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki kecendrungan hampir 2 kali lipat menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi terbesar (82,6%) dibandingkan propinsi lain di Indonnesia.(22,23)

Perubahan hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses biologi berupa diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor yang mempengaruhi eritroid dan dikontrol oleh faktor hormonal.(5) Komponen utama dari Hemoglobin adalah HbA dengan struktur molekular α2β2, nilai normalnya 95 - 98 %. Hemoglobin minor mengandung rantai HbF (α2γ2) nilai normalnya 0,5 – 0,8 % atau HbA2 (α2δ2 ) nilai nomalnya 1,5 – 3,5 %. Pada orang dewasa, nilai kuantitas HbA2 normal adalah 1,5% - 3,5%.(5,6) Nilai


(20)

kuantitas HbA2 dapat menurun pada thalassemia-α dan anemia defisiensi besi.(24) Pada kelompok normal kadar HbA2 2,9% ± 0,4 sedangkan pada anemia defisiensi besi kadarnya 2,7% ± 0,6.(25)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas dapatlah dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

Apakah ada perbedaan nilai HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan kontrol?

1.3. Hipotesa

Ada perbedaan nilai HbA2 antara penderita anemia defisiensi besi dibandingkan dengan kontrol.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk melihat besarnya nilai HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mendapatkan nilai HbA2 pada penderita anemia defesiensi besi dan pada kontrol


(21)

2. Untuk mengetahui nilai parameter hematologi (Hb,MCV, MCH, MCHC dan RBC) dan ferritin rata-rata pada penderita anemia defisiensi besi dan pada kontrol

3. Untuk melihat korelasi (hubungan) antara nilai HbA2 dan MCV, MCH, MCHC, RBC, dan ferritin.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan pada klinisi tentang nilai HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi.


(22)

1.5.1. KERANGKA KONSEPSIONAL

Kadar HbA2

Kriteria Ekslusi

Kriteria Inklusi


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Pada pertengahan abad XVI, kekurangan zat besi digambarkan sebagai penyakit yang dikenal sebagai Klorosis.(26,27) Orang yang pertama sekali memakai istilah Klorosis adalah Verandeus untuk menggantikan nama ” de morbo vergineo ” yang dikemukan oleh Johannes Lange pada tahun 1554 untuk suatu penyakit dengan gejala-gejala muka pucat kehijauan, palpitasi, edem, sakit sendi, dan gangguan gastrointestinal berupa obstipasi, serta nyeri tekan pada epigastrium. Klorosis merupakan suatu anemia kekurangan zat besi yang dijumpai pada gadis-gadis berumur 14-17 tahun dan ibu-ibu muda.(26,27) Gambaran klinis dari penyakit tersebut ialah muka pucat warna kuning kehijauan sebagai akibat dari kadar zat besi dalam darah yang tidak adekuat, disamping adanya kebutuhan zat besi yang meningkat untuk pertumbuhan dan karena haid.

Anemia defisiensi besi ialah anemia yang secara primer disebabkan oleh kekurangan zat besi dengan gambaran darah yang beralih secara


(24)

progresif dari normositer normokrom menjadi mikrositik hipokrom dan memberi respon terhadap pengobatan dengan senyawa besi (WHO).(21,22) Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin atau hematokrit kurang dari batas normal sesuai usia (bayi dan anak) atau jenis kelamin (dewasa). Akibatnya, berkurangnya kemampuan menghantarkan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh yang optimal.

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.

(28,29,30)

(22,31,32)

2.2. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja 26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9% remaja wanita kekurangan besi. sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. (22,28)


(25)

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%.(20,23) Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah 10gr/dl sedangkan untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%.(21) Pauline di Jakarta juga menambahkan selama kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia.(22) Selain itu data menunjukkan bahwa bayi dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki kecendrungan hampir 2 kali lipat menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir normal dari ibu yang tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki prevalensi terbesar (82,6%) dibandingkan propinsi lain di Indonnesia.(22,23)

2.3. ETIOLOGI

Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap. Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran,


(26)

kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka, salak). Selain itu anak terkadang sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein kedelai.

Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang adalah infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.

(33,34)

(21,35)

Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator

Americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum duodenaltinale). Jumlah

kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih 2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100ml/hari.

Pemakaian obat-obatan yang dapat mengganggu agregasi trombosit, misalnya aspirin dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang akan berakhir menjadi anemia defisiensi besi.

(21,35)

(21)

Penyebab lain perdarahan gastrointestinal dan malaria terutama di daerah endemik. Pada masa pubertas terutama perempuan perdarahan karena haid yang berlebihan (>80 ml/hari) dapat juga menyebabkan anemia defisiensi besi.

Beberapa keadaan yang mengakibatkan gangguan fungsi maupun perubahan anatomi saluran pencernaan menyebabkan malabsorbsi besi seperti malnutrisi energi protein, infeksi usus, pasca bedah usus.

( 21,,23)

Pertumbuhan yang sangat cepat disertai dengan penambahan volume

darah yang banyak akan meningkatkan kebutuhan akan besi. Pada akhir tahun pertama berat badan anak mencapai 3 kali berat badan lahir.


(27)

Pertumbuhan yang pesat dijumpai juga pada bayi lahir prematur dan pada masa pubertas.

Berdasarkan keterangan di atas, anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.

(28,36)

(21,28)

2.4. PATOFISIOLOGI

2.4.1. Pembentukan Hemoglobin

Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam keadaan biasa (tidak ada anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum

tulang), sumsum tulang memproduksi 500x109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit.(37,38) Molekul Hb

terdiri dari 1.globin, 2. protoporfirin dan 3. besi (Fe). Globin dibentuk sekitar ribosom sedangkan protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat dari transferin.

Dalam keadaan normal 20% dari sel sumsum tulang yang berinti adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti pembentuk eritrosit ini biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke dalam sinusoid.

(37,39)

Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan


(28)

terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom).

Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh 1. kurang gizi, 2. gangguan absorbsi Fe (terutama dalam lambung), 3. kebutuhan besi yang meningkat akan besi (kehamilan, perdarahan dan dalam masa pertumbuhan anak). Sehingga menyebabkan rendahnya kadar transferin dalam darah. Hal ini dapat dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit hanya memiliki reseptor transferin bukan reseptor Fe.

(21,37,42)

(37,38)

2.4.2. Metabolisme Besi

Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferin merupakan suatu ikatan besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa tingkatan. Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh pengaruh alkali.(38) Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah yang berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini dipergunakan untuk sintesis hemoglobin.(38,43)


(29)

Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makan mengandung vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut , sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.(43,44)

Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesis hemoglobin. Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas dan karena perdarahan sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.

Kebutuhan rata-rata zat besi per hari : (38,43)

- 0-6 bulan 3 mg

(45)

- 7-12 bulan 5mg - 1-3 tahun 8 mg - 4-6 tahun 9 mg - 7-9 tahun 10 mg

- 10-12 tahun pria : 14 mg wanita : 14 mg - 13-15 tahun 17 mg 19 mg


(30)

- hamil : + 20 mg

- menyusui : 0-12 bulan + 2 mg

Jumlah zat besi pada bayi kira-kira 400mg yang terbagi sebagai berikut : - massa eritrosit 60%

(38)

- feritin dan hemosiderin 30% - mioglobin 5-10%

- hemenzim 1% - besi plasma 0,1%

Pengeluaran besi dari tubuh yang normal adalah : - bayi 0,3-0,4 mg/hari

- anak 4-12 tahun 0,4-1mg/ hari - wanita hamil 2,7 mg/hari

Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari pengeluarannya, karena besi dipergunakan untuk pertumbuhan. (38)

2.5. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:(37,46)


(31)

• Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.

• Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau

iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk

menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total

iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)

meningkat. • Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.


(32)

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi (28

Hemoglobin

)

Tahap I (Normal)

Tahap II (sedikit menurun)

Tahap III (menurun jelas) Mikrositik hipokrom Cadangan besi

(mg)

<100 0 0

Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40 TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410 Saturasi transferin

(%)

20-30 <15 <10

Feritin serum (ug/dl)

<20 <12 <12

Sideroblas (%) 40-60 <10 <10 FEP (ug/dl

eritrosit)

>30 >100 >200


(33)

2.6. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis ADB sering terjadi perlaban dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. (21,28)

Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi seperti:(21,47,48)

• Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postcricoid

oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus.

• Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh

• Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin

• Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S. aureus menurun. Gejala iritabel berupa berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya perhatian terhadap sekitar tapi gejala ini dapat hilang setelah diberi pengobatan zat besi beberapa hari.


(34)

Pada beberapa pasien menunjukkan perilaku yang aneh berupa pika yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu karena rasa kurang nyaman di mulut yang disebabkan enzim sitokrom oksidase yang mengandung besi berkurang.(11,26 )

2.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total

iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, feritin).(28,35)

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).(21,49)

Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infeksi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya terjadi pada penderita dengan perdarahan yang masif.


(35)

Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositopenia 28%.(31,35)

Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun yang terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/TIBC x 100%, merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh.(28,31) SI (7%) dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya. Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan. Titik pemilah ( cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 µg/l,

tetapi ada juga yang memakai < 15 µg/l. untuk daerah tropik dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya perlu dikoreksi.(28,31) Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin seum <12 µg/l dan < 20 µg/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum <40 µg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%).(31)


(36)

Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum <20 µg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai dengan 50-60 µg/l masih dapat menunjukan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun dilapangan karena cukup reliabel dan praktis. Angka feritin serum normal dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 µg/l dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.(28,31)

Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel.(28,35) Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.(28,35)


(37)

2.8. DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit.(33) Titik pemilah anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik.(33) Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai interfensi besi dan deplesi besi.(33,34) WHO merekomendasikan konsentrasi konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase akut sehingga nilainya meningkat pada keadaan inflamasi. Pengukuran protein fase akut yang berbeda dapat membantu menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini meningkat menandakan dijumpai inflamasi. (33,34)

Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. (21,28,35)


(38)

Menurut WHO, dikatakan anemia bila: (2)

Laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl Anak umur 6-12 tahun hemoglobin < 12 g/dl Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin < 11 g/dl

2.9 . DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom mikrositik lain (Tabel 3). Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Sedangkan lainnya adalah lead poisoning/ keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. (28,50)

Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat memperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor


(39)

terutama β thalassemia didapatkan basophilic stippling, dapat diseratai peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2.(21,36)

Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.(31,36)

Table 2 : Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB(31) Pemeriksaan

Laboratorium

Anemia defisiensi Besi

Thalasemia Minor

Anemia Penyakit Kronis

MCV Menurun Menurun N/Menurun

Fe serum Menurun Normal Menurun

TIBC Naik Normal Menurun

Saturasi transferin Menurun Normal Menurun

FEP Naik Normal Naik


(40)

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan

ADB tetapi didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar

lead dalam darah. Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan

oleh gangguan sintesis heme, bisa didapat atau herediter.(22) Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.(21,36)

2.10. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pada penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. (21,28)


(41)

Pemberian preparat besi

Pemberian preparat besi peroral

Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).(21,28)

Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi/ kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.(28) Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di bawah ini.(35,36)


(42)

Preparat terapi besi per oral :(21) - Fe sulfat (20 % Fe)

- Fe fumarat (33 % Fe) - Fe succinate (12 % Fe) - Fe gluconate (12 % Fe)

Respons terhadap pemberian besi pada ADB

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan. (24,35)

Tabel 3 : Respons pemberian besi

Waktu setelah Pemberian besi Respons

12-24 jam

Penggantian enzim besi intraselular, keluhan subjektif berkurang, nafsu makan bertambah

36-48 jam

Respons awal dari sumsum tulang hiperplasia eritroid

48-72 jam

Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5-7


(43)

Pemberian preparat besi parenteral

Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:(24,35)

Dosis besi (mg) — BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,

Hemoglobin A2

Hemoglobin normal diluar periode neonatal adalah hemoglobin A dan dua hemoglobin kecil, yaitu; hemglobin A2 dan hemoglobin F. Pada orang dewasa, Hemoblobin A2 (HbA2) sekitar 1,5- 3,5% hemoglobin total. Persentase tersebut jauh lebih rendah saat lahir sekitar 0,2-0,3%, dengan kenaikan tingkat dewasa pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi ada kenaikan yang lambat pada umur tiga tahun. Pada dewasa normal HbA2 menunjukan distribusi yang normal. Pengurangan sintesis HbA2 dianggap sebagai gangguan yang diperoleh, yaitu sebagai akibat dari kekurangan zat besi atau terganggunya pengiriman zat besi untuk mengembangkan sel-sel eritroid.(5,6)


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara analisa deskripsi dengan metode cross

sectional study

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU RSUP Dr H Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Penyakit Dalam FK USU RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan pada bulan September 2010 sampai November 2010

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah pasien-pasien yang berkunjung ke Poliklinik Penyakit Dalam dan Pasien yang dirawat di bangsal Bagian Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan dan kontrol orang sehat.


(45)

3.3.2. Subjek penelitian

Pasien dengan diagnosa anemia defisiensi besi menurut kriteria WHO yaitu laki-laki dewasa : hemoglobin < 13 g/dl, perempuan dewasa: hemoglobin < 12 g/dl dan nilai feritin < 15ug/L . Kemudian ditelusuri rekam medis untuk mencatat status pasien, seperti nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, alamat, pemeriksaan laboratorium lain, diagnosa dan terapi yang sudah diterima pasien.

Subjek penelitian ini harus memenuhi kriteria berikut ini : Kriteria inklusi

- Anemia defisiensi besi menurut WHO:

- Anemia :

i. laki-laki dewasa : hemoglobin < 13 g/dl ii. Perempuan dewasa: hemoglobin < 12 d/dl

- Feritin < 15 ug/L

- - Umur > 18 tahun

- Bersedia mengikuti penelitian ( persetujuan tertulis)

Kriteria Esklusi

- Pasien yang baru menerima transfusi dalam 3 bulan terakhir - Tidak bersedia ikut dalam penelitian


(46)

3.4. PERKIRAAN BESAR SAMPEL

n = (Zα + Zβ) Sd 2 d

n = (1,96 – 1,282) 0,5 2 0,25

n = 30 keterangan:

N = jumlah sample

Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan. Untuk α = 0,05 → Zα = 1,96.

Zβ = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai β yang ditentukan . untuk β = 0,10 → Zβ = 1,282

Sd = simpangan baku = 0,5

d = selisih rata-rata yang berulang = 0,25

3.5. ANALISA DATA

Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 18. Analisa data dilakukan dengan perhitungan statistik. Untuk melihat perbedaan Kadar HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi dibandingankan dengan kontrol digunakan uji T tes karena kedua kelompok yang diamati berdistrbusi


(47)

normal. Sedangkan untuk melihat korelasi antar variabel digunakan korelasi Pearson.

3.6 BAHAN DAN CARA KERJA 3.6.1 Bahan dan pengolahan sampel

Bahan penelitian adalah darah yang diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti tanpa stasis yang berlebihan. Tempat punksi vena terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah yang diambil menggunakan spuit disposable syringe 5 cc tanpa antikoagulan, kemudian darah dalam diposable syringe 2,5 cc dimasukkan ke tabung EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap, morfologi darah tepi, Hb elektroforesa dan 2,5 cc lagi dimasukkan ke tabung tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan SI, TIBC, dan ferritin.

3.6.2. Cara kerja pemeriksaan laboratorium

a. Pemriksaan darah lengkap mengunakan alat electronic counter cell dyne 3700 system.

b. Pemeriksaan morfologi darah tepi dengan pembuatan sediaan apus darah tepidan menggunakan pewarnaan Giemsa.

c. Pemeriksaan feritin dengan menggunakan alat Cobas 6000 d. Pemeriksaan anlisa hemoglobin dengan metode Hb elektroforesa


(48)

pada media gel agarosa pH 8,5 dan kadar fraksi hemoglobin secara relative diukur secara densitometri

3.6.2.a. Pemeriksaan Feritin Prinsip sandwich

1. Inkubasi pertama: 10 ul sampel, antibodi spesifik feritin monoclonal biotinylasi, dan antibody spesifik feritin yang dilebel dengan komplek ruthenium membentuk kompleks sandwich. 2. Inkubasi kedua: setelah ditambahkan streptavidin yang dilapisi

mikropartikel, komplek yang terbentuk berikatan dengan fase solid melalui interaksi biotin dengan streptavidin. Campuran reaksi diaspirasi dalam cell pengukur dimana mikropartikel secara magnetic ditangkap pada permukaan elektroda. Substansi yang tidak berikatan dibuang melalui Procell.

3. Aplikasi voltase (tegangan) pada elektroda kemudian menginduksi emisi chemilukinescent yang diukur oleh photomultiplier.

4. Hasil ditetapkan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument yang dihasilkan secara khusus oleh kalibrasi 2 titik dan master kurva dihasilkan melalui reagen barcode.

5. Komposisi reagent

M mikropartikel yang dilapisi streptavidin 0,72 mg/ml. R1 anti feritin antibody biotiylasi.


(49)

R2 anti feritin antibody monoclonal yang dilabel dengan kompleks ruthenium.Sampel/ specimen: serum.

3.6.2.b. Pemeriksaan analisa hemoglobin

Metode : Hb elektroforesa pada pH alkali 8,5 dengan media gel agarosa. Prinsip : Apabila hemoglobin diletakkan pada suatu media penunjang gel agarosa dalam larutan dapar dengan pH alkali 8,5 dalam medan listrik, maka hemoglobin dapat dipisahkan menjadi beberapa fraksi. Fraksi hemoglobintersebut bermigrasi dari katoda ke anoda dengan kecepatan berbeda-beda tergatung besar dan jenis muatan listrik masing-masing. Fraksi hemoglobin kemudian diwarnai dengan amido blackdi mana kadarnya dikuantifikasi secara densitometri pada λ 570 dan digambarkan dalam bentuk

electrophoregram. Desitometri adalah modifikasi dari spektrofotometri yaitu

menukur cahaya yang di transmisikan oleh media penunjang untuk menentukan konsentrasi dari zat-zat yang mengabsorbsi cahaya yang ada dalam media penunjang tersebut. Sinar monokromatik (putih) yang melalui media penunjang akan diukur menggunakan photodetector, yang berfungsi untuk mengubah energi cahaya menjadi energi listrik sesusuai dengan intensitas cahaya yang mengenai suatu permukaan yang sensitif. Signal yang dideteksi oleh photodetector merupakan absorbance dari sample yang telah diwarnai pada media penunjang di mana kadarnya menunjukan


(50)

konsentri sample. Densitometer secara otomatis akan mencatat sebagai grafik dari absorbsi tersebut sebagai area di bawah puncak kurva dan hasilnya sebagai persentasi dari total.

Sampel: Darah segar denga antikoagulan EDTA, sitrat atau heparin. Bila diperlukan sample dapat di simpan selama 5 hari pada suhu 2-8 ºC.

Bahan dan reagen :

1) Bahan dan reagen dalam kit: • Agarosa gel

Merupakan bahan yang siap digunakan. Setiap gel mengandung agarosa 0,8 g/dL, buffer alkaline pH 8,5±1 dan bahan-bahan tambahan lain yang tidak berbahaya pada konsentrasi tertentuuntuk hasil yang optimum. Kegunaan sebagai penunjang untuk Hb elektroforesa.

• Buffred strip

Merupakan sponge buffer yang siap untuk digunakan, mengandung alkaline 9,2±0,2 dan bahan-bahan tambahan lain yang tidak berbahaya pada konsentrasi tertentuuntuk hasil opmtimum. Kegunaan untuk reservoir buffer elektroforesa dan perantara kontak antara gl dan elektroda.

• Amidoblack stain

Setelah diencerkan dengan air suling, larutan pewarna ini berisi acid solution 0,4 g/dL, ethylene glycol 6,7% dan bahan-bahan tambahan


(51)

lain yang tidak berbahaya pada konsentrasi tertentu untuk hasil yang optimum. Kegunaan untuk mewarnai gel setelah Hb elektroforesa • Hemolysing solution:

Merupakan yang siap digunakan, mengandung buffer alkaline dan bahan-bahan tambahan lain yang tidak berbahaya pada konsentrasi tertentu untuk hasil yang optimum. Kegunaan untuk menghemolisa seldarah merah.

• Applicator

Berguna untuk melakukan pekerjaan, dimana1 applicator untuk 1 sampel.

• Filter paper

Berguna untuk menghisap kelebihan kelembaban permukaan gel sebelum sample dikerjakan.

2) Destaining solution

Mengandung citric acid 0,05 g/dL

Kegunaan untuk membersihkan kelebihan dan noda latar belakang dari gel, serta membilas kompartemen staining sesudah tahap pencucian. 3) Hydrasys wash solution

Mengandung buffer alkaline pH 8,8±0,3 san sodium azide.

Kegunaan untuk membersihkan kompartemen staining HYDRASYS. 4) Saline


(52)

Alat-alat :

1) HYDRASYS System SEBIA PN 1210 2) Micropipetttor, manual atau otomatis

3) Wet storage chamber, terdapat dalam alat HYDRASYS 4) Container kit

5) Pipet 10 µl dan 200 µl

6) Densitometer/scanner dengan software PHORESIS

Persiapan sample:

1) Darah segar denga antikoagulan EDTA disentrifus dengan Kecepatan 5000 rpm selama 5 menit kemudian dipisahkan plasmanya .

2) Cuci sel darah merah dengan 10 volume saline sebanyak 3 Kali.

3) Hemolisiskan 10 µl sel darah merah dengan 130 µl Hemolysing solution.

4) Vortex selama 10 detik dan inkubasikan selama 5 menit pada Temperature kamar.

Cara kerja :

1) Masukkan 10 µl hemolisat kedalam masing-masing sumuran (well) pada applicator.


(53)

3) Letakkan bufferedstrip pada electrode carrier. 4) Serap buffr pada gel dengan kertas filter.

5) Beri air 120 µl pada bad migration (tempat migrasi) kemudian letakkan gel.

6) Letakkan applicator pada applicatorcarrier pada posisi 4.

7) Jalankan alat untuk memulai proses migrasi dan tunggu sampai selesai.

8) Pindahkan gel dari bad migration ke bad staining.

9) Setelah selesai pindahkan gel ke scanner dan di letakkan lurus jangan melengkung.

10) Scan gel dengan software phoresis.

3.6.3. Kontrol kualitas

Kontrol kualitas untuk ferritin dilakukan elecsys Preci Control tumor Marker 1 dan 2, dilakukan setiap 24 jam, setiap pemakaian reagent kit baru dan setelah selesai kalibrasi. Nilai konsentrasi kontrol harus masuk dalam range yang ditetapkan untuk menjamin akurasi assay feritin. Untuk menentukan migrasi menyertakan setiap pemeriksaan dengan sample control darah normal dan abnormal yang sudah diketahui. Sampel control berasal dari penderita di RSUP H. Adam Malik Medan yang disimpan dalam aliquot dan dibekukan hingga saat pemeriksaan maksimum selama 1 minggu. Sebelum dilakukan pemeriksaan sampel


(54)

penelitian, dilakukan pemeriksaan sampel control normal dan abnormal terlebih dahulu untuk memastikan kualitas kontrol masih baik.

3.7. Ethical clearance dan informed consent

Ethical clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Inform consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh kelurganya

yang ikut bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.


(55)

3.8 Kerangka operasional

Darah lengkap

Hb↓,Hct↓,RBC↓,MC

H↓,MCV↓,MCHC↓

Hb elekroforesis & Densitometri

Anemia defisiensi besi

Kimia Klinik

SI↓,TIBC↑/N,

Feritin ↓

Apus Darah Tepi

Bentuk Eritrosit Abnormal

Hasil dari HbA,HbA2,HbF


(56)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Selama periode september 2010 sampai dengan November 2010 telah dilakukan penelitian secara cross sectional dengan memeriksa kadar HbA2 pada 30 orang penderita anemia defisiensi besi yang dirawat diruang penyakit dalam RSUP H ADAM MALIK medan dan sebagai kontrol 30 orang normal sehat.

Dari hasil penelitian didapatkan penderita anemia defisiensi besi 14 orang laki-laki (46,7%) dan 16 orang perempuan (53,3%), sedangkan pada kontrol dijumpai 16 orang laki-laki (53,3%) dan 14 orang perempuan (46,7%). Hasil seperti terlihat pada tabel 1 uji statistik menunjukan tak ada perbedaan antara kelompok pasien dengan kontrol (p > 0,05 ).


(57)

Tabel. 1 Karakteristik sampel

Karakteristik Kontrol

(n=30)

Pasien (n=30) Jenis Kelamin (n,%)

- Perempuan - Laki-laki Umur (n,%) 21-30 31-40 41-50 51-60

Hb (Mean ± SD)(g%) RBC (Mean ± SD)

(106/mm3) MCV (Mean ± SD)(fl) MCH (Mean ± SD)(pg)

MCHC (Mean ± SD) (g%) 14 (46,7%) 16 (53,3%) 2 (6,7%) 19 (63,3%) 9 (30,0%) 0 (%) 13,63 ± 1,11

4,52± 0,4

82,49 ± 2,66 28,58 ± 0,85 32,74 ± 0,86

16 (53,3%) 14 (46,7%) 4(13,3%) 20 (66,7%) 5 (16,7%) 1 (3,3%) 6,23 ± 2,15 3,58 ± 0,98

61,1± 7,05 17,19 ± 3,51

26,86± 1,83

Feritin (Mean ± SD) (ug/L)

110,32 ± 24,01 7,36 ± 1,62

Berdasarkan kelompok umur (tabel 1) didapatkan penderita anemia defisiensi besi usia 21-30 (4 orang {13,3%}), usia 31-40 (20 orang {66,7%}), usia 41-50 (5 orang {16,7%}), usia 51-60 (1 orang {3,3%}). Sedangkan pada kontrol usia 21-30 (2 orang {6,7%}), usia 31-40 (19 orang {63,3%}), usia 41-50 (9 orang {30,0%}), usia 51-60 (0 orang { 0%}). Hasil uji statistik menunjukan tak ada perbedaan antara kelompok pasien dengan kontrol (p > 0,05 ).


(58)

Pada tabel.1 didapati kadar Hb pada penderita anemia defisiensi besi dengan mean ± SD adalah 6,23 ± 2,15 dibandingkan dengan kontrol 13,67 ± 1,11, dijumpai perbedaan bermakna (p<0,05) . Nilai MCV pada pasien 61,10 ±

7,05 dibandingkan dengan kontrol 82,49 ± 2,66. Nilai MCHpada pasien 17,19

± 3,51 dibandingkan dengan kontrol 28,58 ± 0,85. Nilai MCHC pada pasien 26,86 ± 1,83 dibandingkan dengan kontrol 32,74 ± 0,86, dari nilai-nilai MCV, MCH, MCHCdijumpai perbedaan bermakna (p<0,05). Nilai RBC pada pasien 3,58 ± 0,98 dibandingkan dengan kontrol 4,52 ± 0,40 dijumpai perbedaan bermakna (p<0,05). Demikian juga nilai Ferritin pada pasien 7,36 ± 1,62

dibandingkan dengan kontrol 110,32 ± 24,01. Hasil uji statistik menunjukan perbedaan bermakna dengan p<0,05

Pada tabel.4 didapati kadar HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi dengan mean ± SD adalah 1,99 ± 0,50, dan pada kontrol 3,43 ± 0,28. Hasil uji statistik dijumpai perbedaan bermakna dengan p<0,05.

Tabel 2. Perbandingan nilai HbA2 antara pasien dan kontrol

Parameter Kontrol

(n=30)

PASIEN (n=30)


(59)

Gambar 1. Korelasi antara nilai HbA2 dan MCV pada pasien anemia Defisiensi besi

Keterangan: r : 0,334 p : 0,072

Gambar ini menunjukan tidak ada korelasi antara nilai HbA2 dan MCV pada pasien anemia defisiensi besi degan coefficiennt of correlation,


(60)

Gambar 2. Korelasi antara nilai HbA2 dan MCH pada pasien anemia defisiensi besi

Keterangan: r : 0,378 p : 0,039

Gambar ini menunjukan korelasi positif lemah antara nilai HbA2 dan MCH pada pasien anemia defisiensi besi dengan coefficient of correlation, r= 0,378, p= 0,039


(61)

Gambar 3. Korelasi antara nilai HbA2 dan MCHC pada pasien anemia Defisiensi besi

Keterangan: r : 0,358 p : 0,052

Gambar ini menunjukan tidak ada korelasi antara nilai HbA2 dan MCHC

pada pasien anemia defisiensi besi dengan coefficiennt of correlation, r= 0,358, p= 0,052.


(62)

Gambar 4. Korelasi antara nilai HbA2 dan Ferritin pada pasien anemia defisiensi besi

H

Keterangan: r : 0,411 p : 0,024

Gambar ini menunjukan ada korelasi antara nilai HbA2 dan Ferritin pada pasien anemia defisiensi besi dengan coefficiennt of correlation, r= 0,411, p= 0,024.


(63)

Gambar 5. Korelasi antara nilai HbA2 dan RBC pada pasien anemia defisiensi besi

Keterangan: r : 0,472 p : 0,008

Gambar ini menunjukan ada korelasi antara nilai HbA2 dan RBC pada pasien anemia defisiensi besi dengan coefficiennt of correlation, r= 0,472, p= 0,008


(64)

Gambar 6. Korelasi antara nilai HbA2 dan MCV pada kelompok kontrol

Keterangan: r : 0,440 p : 0,015

Gambar ini menunjukan ada korelasi positif lemah antara nilai HbA2 dan MCV pada kelompok kontrol dengan coefficiennt of correlation, r= 0,440, p= 0,015


(65)

Gambar 7. Korelasi antara nilai HbA2 dan MCH pada kelompok kontrol

Keterangan: r: 0,391 p: 0,033

Gambar ini menunjukan ada korelasi positif lemah antara nilai HbA2 dan MCH pada kelompok kontrol dengan coefficiennt of correlation, r= 0,391, p= 0,033


(66)

Gambar 8. Korelasi antara nilai HbA2 dan MCHC pada kelompok kontrol

Keterangan: r : 0,565 p : 0,001

Gambar ini menunjukan ada korelasi positif lemah antara nilai HbA2 dan MCHC pada kelompok kontrol dengan coefficiennt of correlation, r= 0,565, p= 0,001


(67)

Gambar 9. Korelasi antara nilai HbA2 dan Ferritin pada kelompok kontrol

Keterangan: r : 0,401 p : 0,040

Gambar ini menunjukan ada korelasi antara nilai HbA2 dan feritin pada kelompok kontrol dengan coefficiennt of correlation, r= 0,401, p= 0,040


(68)

Gambar 10. Korelasi antara nilai HbA2 dan RBC pada kelompok kontrol

Keterangan: r : 0,494 p : 0,012

Gambar ini menunjukan ada korelasi antara nilai HbA2 dan RBC pada kelompok kontrol dengan coefficiennt of correlation, r= 0,494, p= 0,012


(69)

BAB V

PEM BAH ASAN

Pengujian pemeriksaan laboratorium secara konvensional untuk mendiagnosis anemia defisiensi besi dengan pengukuran feritin serum, SI, saturasi transferin dan TIBC.(32,34) Analisa hemoglobin elektroforesis adalah metode yang paling sering digunakan untuk investigasi tipe hemoglobin, termasuk nilai HbA2. Pada anemia defisiensi besi nilai HbA2 menurun.(25) Pada tabel 1 dan 2 didapatkan penderita anemia defisiensi besi 14 orang laki-laki (46,7%) dan perempuan 16 orang (53,3%), tidak menunjukan perbedaan yang bermakna p < 0,05, hasil ini menunjukan kejadian anemia defisiensi besi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Nilai Hb rata-rata 6,23 (SD ± 2,15). Nilai Hb 6,23 (SD ± 2,15) menunjukan nilai abnormal yang artinya adanya anemia pada subjek penelitian.Dari beberapa keadaan anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai hampir identik dengan perdarahan menahun. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara pada wanita paling sering karena gangguan menstruasi.(32 )


(70)

Nilai indeks eritrosit seperti terlihat

Kadar HbA2 dari penelitian ini pada penderita anemia defisiensi besi dengan mean ± SD adalah 1,99 ± 0,50, dan pada kontrol 3,43 ± 0,28. Hasil uji

pada tabel 3 nilai MCV pada pasien 61,10 ± 7,05 dibandingkan dengan kontrol 82,49 ± 2,66. Nilai MCH pada pasien 17,19 ± 3,51 dibandingkan dengan kontrol 28,58 ± 0,85. Nilai MCHC pada pasien 26,86 ± 1,83 dibandingkan dengan kontrol 32,74 ± 0,86, dari nilai-nilai MCV, MCH, MCHC dijumpai perbedaan bermakna (p<0,05), dari hasil diatas didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan nilai MCV, MCHC,dan MCH menurun. Nilai hipokrom mikrositer berbanding lurus dengan nilai anemia.(32) Nilai RBC pada pasien 3,58 ± 0,98 dibandingkan dengan kontrol 4,52 ± 0,40 dijumpai perbedaan bermakna (p<0,05), hal ini disebabkan pembentukan eritrosit di sumsum tulang menurun serta bentuk eritrosit kecil-kecil. Keadaan ini terjadi oleh karena kurangnya bahan baku besi untuk eritropoesis.(32) Nilai ferritin merupakan gambaran dari cadangan besi didalam tubuh. Kadar ferritin dapat diukur dari serum dengan batasan nilai dianggap anemia defisiensi besi jika nilai ferritin < 12 ug/dl.(32) Pada penelitian ini didapati nilai Ferritin pada subjek 7,36 ± 1,62 dibandingkan dengan kontrol 110,32 ± 24,01. Hasil uji statistik menunjukan perbedaan bermakna dengan p<0,05. Maka jelas terbukti bahwa subjek menderita anemia defisiensi besi.


(71)

statistik dijumpai perbedaan bermakna dengan p<0,05. Kadar HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi terjadi penurunan.

Pada penelitian dengan 30 pasien anemia defisiensi besi dan 30 orang pasien kontrol, Didapati bahwa tidak ada korelasi antara nilai HbA2 dan MCV pada pasien anemia defisiensi besi, pada kelompok kontrol ada korelasi positif lemah. Sedangkan antara nilai HbA2 dan MCH pada pasien anemia defisiensi besi menunjukan nilai korelasi positif lemah, sama dengan pada kelompok kontrol. Nilai HbA2 dan MCHC pada pasien anemia defisiensi besi menunjukan tidak ada korelasi, pada kelompok kontrol ada korelasi positif lemah. Nilai HbA2 dan Ferritin pada pasien anemia defisiensi besi didapati adanya korelasi. Demikian juga dengan nilai HbA2 dan RBC, hasil sama juga didapat pada kelompok kontrol.


(72)

BAB V I

K ESI M PU LAN

1. Nilai HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi menurun dibandingkan nilai kontrol, walaupun masih dalam batas terendah nilai rentang normal. 2. Dijumpai hubungan antara nilai HbA2 dengan ferritin dan nilai RBC pada anemia defisiensi besi, dan juga pada kelompok kontrol.


(73)

DAFTAR PUSTAKA

1. Caterina Borgna-Pignatti,Renzo Galanello ;Thalassemia and Related Disorders : Quantitative Disorders of Haemoglobin Synthesis, in Wintrobe’s Clinical Haematology, Edit John Greer et all,11th ed, vol I,Lipincott Williams and Wilkins,Philadelphia,2004 : 1319 -1352.

2. David J.Weatherall ; Thalassemia, in Williams Haematology, edit Ernest Beuttler et al, 6th ed, Mc Graw Hill, New York, 2001, hal 547 – 574

3. Dacie JV, Lewis SM.Practical Haematology on Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia ,8th ed : Churchill Livingstone ,1996 : 231 -256

4. A.V Hoffbrand,J.E.Pettit ;Talassemia , in Kapita Selekta Haematologi, 2nd ed,cetakan ke 6, EGC, Jakarta, 1996, hal 78 – 84

5. Barbara J. Bain. Haemoglobinopathy Diagnosis. 2nd ed. Published by

Blackwell Publishing, 2006, 12-13.

6. Iheanyi E Okpala, Practical Management of Haemoglobinopathies, Blackwell Publishing, 2007, 10-12.


(74)

7. Jayaraness S and Sthaneshwar P. Serum soluble transferrin receptor in hypochromic microcytic anaemia. Singapore Med J, 2006;49(2):38-42.

8. Thomas M. Habermann; Amit K. Ghosh. Mayo Clinic Internal Medicine Mayo Clinic Scientific Press Informa Health Care, 2008, 348-350

9. Wowwood M, Hoffbrand A.V. Iron metabolisme, Iron deficiency and disorders of haem synthesis in Postgraduate haematology. 5th ed. Blackell Publishing, 2005: 26-43

10. Brugna C, Iron Deficiency and Erythropoiesis: New diagnostic approaches Clin Chem, 2003; 49 (10):1573-78.

11. Douglas C. Tkachuk, Jan V. Hirschmann, Wintrobe's Atlas of Clinical Hematology, 1st ed, Lippincott Williams & Wilkins, 2007, 1-3.

12. Andrews Nancy S,,Iron Deficiency and Related Disease in Wintrobe’s Clinical Hematology, 10th edition,Lipincott Williams &Wilkins, USA, 980-1009.

13. Killip S, Bennett JM and Chambers MD. Iron deficiency anemia. AAFP, 2007; 671-8.

14. Dacie and Lewis Practical Haematology, 10th ed., Churchill Livingstone, 2006, Chapter 7.

15. World Health organization prevalence of anemia 1993-2005 in WHO Global Database on Anemia, World Health Organization, 2008.


(75)

16. World Health Organization. Methode of Assessing iron status in iron deficiency anemia assessment and control a guide for programme managers, WHO, 2001,33-43.

17. Paul G. Schmitz, Kevin J. Martin, Internal Medicine Just The Facts, The McGraw-Hill Companies, 2008, 352-355.

18. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi dalam buku ajar ilmu dalam, Edisi IV, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK-UI. Jakarta, 2006:634-40.

19. Mast AE, Blinder ma, Gronowski AM, Chumley C, Scott M. Clinical utility of the soluble transferring receptor and comparison with serum feritin in several population. Clinchem,44:1,1998,45-51.

20. Syamsi,BR. 2005. Hubungan Defisiensi besi dengan perkembangan fungsi kognitif. Anemia defisiensi besi. Yogyakarta: Medika fakultas Kedokteran UGM.

21. Soegijanto, S. 2004. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta: IDI.

22. Soemantri,AG.2005.Epidemiology of iron deficiency anemia. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta.Medika Fakultas Kedokteran UGM.

23. Endang,P.2008.Jangan anggap enteng anemia pada anak.Diakses

dari

24. Ratna Akabari Ganie, 2004. Kajian DNA Thalassemia Alpha di Medan. USU Press: 41.


(76)

25. http:// www.uhod.org/pdf/ PDF_289.pdf.

26. Andrews Nancy S,,Iron Deficiency and Related Disease in Wintrobe’s Clinical Hematology, 10th edition,Lipincott Williams &Wilkins, USA, 980-1009.

27. Beutler, Ernest, Disorder of Iron Metabolisme in William Hematolgy, 7 thedition, Mc Graw-Hill Medical, New York, 2006, 511-553.

28. Raspati H, Reniarti L, dkk. 2006. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

29. Drew Provan, Charles R. J. Singer, et al, Oxford Handbook of Clinical Haematology, 2nd ed, Oxford University Press, 2004, 56-58.

30. Rebecca A. Miksad, Patricia A. Delamora, George Keith Meyer, Last Minute Internal Medicine, The McGraw-Hill Companies, 2008, 263-266.

31. Behrman Kliegman, Arvin. 2004. Anemia Defisiensi Besi. Nelson’s Textbook of Pediatrics. Edisi 18 pp 1691-1694. Jakarta. EGC.

32. Bakta I Made. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit: EGC, 2007, 34-36. 33. Dwiprahasto,I.2005.Terapi anemia defisiensi besi berbasis bukti.

Anemia defisiensi besi.Yogyakarta.Medika Fakultas Kedokteran UGM.

34. Ridwan,A.2007.Anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di


(77)

35. Abdussalam,M. 2005.Diagnosis, pengobatan pencegahan anemia defisiensi besipada bayi dan anak.Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM.

36. Wahyuni AS. 2004. Anemia Defisiensi Besi Pada Balita. Diakses dari

37. Reksodiputro, H.1994.Mekanisme anemia defisiensi besi.Diakses dari

38. Negara NS.2005.Bioavailibilitas zat besi. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM.

39. Drew Provan, ABC of Clinical Haematology, 3th edition, Blackwell Publishing, 2007, 1-5

40. Harald Theml, Heinz Diem, Torsten Haferlach, Color atlas of

hematology Practical Microscopic and Clinical Diagnosis, 2nd revised edition, Georg Thieme Verlag, 2004, 128-132.

41. Hillman, Robert S.; Ault, Kenneth A.; Rinder, Henry M, Hematology in Clinical Practice, 4th Edition. McGraw-Hill, 2005, chapter 5.

42. Kenneth R. Bridges, Howard A. Pearson, Anemias And Other Red

Cell Disorders, The McGraw-Hill Companies, 2008, 281-283.

43. Hasan,R, Alatas, H.2002. Anemia defisiensi besi. Ilmu kesehatan anak jilid1.Jakarta.Penerbit:Bagian Ilmu kesehatan anak FKUI.

44. Paul G. Schmitz, Kevin J. Martin, Internal Medicine Just The Facts, The McGraw-Hill Companies, 2008, 352-355.


(78)

45. Almatsies, S.2005. Penuntun diet. Jakarta.Penerbit: PT.Gramedia.

46. A Victor Hoffbrand, Daniel Catovsky, et al, Postgraduate Haematology,6th ed, Blackwell Publishing, 2005, 27- 30 & 38-40.

47. Pustaka Utama.. Ursula,PR.2005.Neurodevelopment and cognitives in

children with iron deficiency anemia. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM.

48. Riswan M. 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil di Beberapa Praktek Bidan Swasta Dalam Kotamadya Medan. Diakses

dari

49. Barbara J. Bain, Blood Cells A Practical Guide, 4th ed, Blackwell Publishing, 2006, 283-284.

50. Stephen J. McPhee, Maxine A. Papadakis, Current Medical Diagnosis & Treatment, 48th ed, McGraw-Hill, 2009, Chapter 13


(79)

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi/Siang, Bapak/Ibu

Pada hari ini, saya dr. Syahrial, saat ini sedang menjalani pendidikan Dokter Spesialis patologi Klinik FK USU, ingin menjelaskan kepada bapak/ibu tentang penelitian yang akan saya lakukan berjudul: ”Nilai HbA2 pada anemia defisiensi besi”. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti besarnya nilai HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi.

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel darah sebanyak 6 cc pada lengan kiri,. Penelitian ini dilakukan langsung oleh saya beserta tim yang ahli dibidangnya masing-masing. Sejauh ini belum ada laporan efek samping yang berbahaya. Kerahasiaan data pasien akan tetap dijaga oleh peneliti.

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat memberi masukan pada klinisi tentang nilai HbA2 pada anemia defisiensi besi.

Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam penelitian ini adalah sukarela. Bila keterangan saya berikan masih belum jelas atau ada hal-hal yang belum jelas, Bapak /Ibu dapat langsung bertanya kepada saya.

Atas bantuan dan kerjasama saya ucapkan terimakasih.

Nama : dr. Syahrial

Alamat : Jalan Pimpinan N0 139 Medan Telepon : 081396969603

Medan, 14 september 2010


(80)

Lampiran 2.

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK FK-USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama ;

Umur :

Jenis Kelamin : Pekerjaan :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta manfaat dan resiko penelitian yang berjudul “Nilai HbA2 pada penderita anemia defisiensi besi” dan memahami bahwa subyek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya maka saya setuju ikut penelitian ini dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang telah disepakati.

Dengan ini biaya ditanggung peneliti.

Medan, 2010

Mengetahui Yang menyatakan

Penanggung jawab penelitian Peserta uji klinik

(Nama jelas) (Nama jelas)

Saksi


(81)

Lampiran 3.

STATUS PASIEN

Nama :

Tanggal Lahir : Jenis kelamin : Suku / Bangsa : Pekerjaan : Alamat sekarang :

MR :

ANAMNESE

Keluhan Umum : Anamnese :

RPO :


(82)

STATUS PRESENT

TD : RR :

HR : ikterus

* Coret yang tidak perlu HASIL LABORATORIUM

DARAH LENGKAP

NO PEMERIKSAAN HASIL

1 Hb 2 MCV 3 MCH 4 MCHC 5 RBC

STATUS BESI

NO PEMERIKSAAN HASIL

1 Feritin

DIAGNOSA : THERAPI : 1.

2.


(1)

Lampiran 6.

DATA KONTROL

NO NAMA UMUR LK/PR Hb MCV MCH MCHC FERRITIN HbA2 RBC HCT

1 F 40 LK 14,3 86,9 29,3 33,3 98,79 3,8 4,65 14,2

2 Z 41 LK 16,6 85,2 28,9 33,9 114,2 3,9 5,46 47,3

3 P 42 LK 15,4 83,6 30,9 33,3 142,5 3,4 5,32 46,3

4 G 38 LK 13,1 84,5 27,1 32,1 61,0 3,4 4,35 40,1

5 BS 42 LK 13,8 87,4 29,9 34,2 177 3,7 4,54 42.3

6 S 30 PR 12,4 79,8 27,5 32,8 136 3,7 5,21 37,3

7 SS 38 LK 16,4 85,8 29,2 33,9 138 3,5 5,32 47,1

8 J 32 PR 14,0 86,6 28,8 33,2 90 3,0 4,65 44,2

9 JS 35 PR 13,9 86,3 29,4 34,1 89 3,6 4,54 44,1

10 SC 42 LK 15,3 80,4 28,5 32,9 131 3,7 5,24 45,6

11 MY 42 LK 14,3 85,3 27,3 33,1 128 3,6 4,78 45,6

12 DL 36 LK 14,0 79,2 28,8 32,8 96 3,8 4,55 41,2

13 IH 40 LK 13,7 82,3 28,7 33,2 92 3,2 4,43 42.1

14 IG 39 LK 14,2 81,9 29,0 32,1 97 3,6 4,63 45,3

15 Y 36 PR 12,7 79,1 28,2 32,0 101 3,2 4,23 38,5

16 TW 37 PR 12,8 80,1 27,8 32,1 94 2,9 4,12 38,9

17 JM 43 LK 13,5 84,6 29,1 33,6 128 3,9 4,34 42,1

18 D 36 PR 12,4 80 0 28,0 32,7 89 3,2 4,12 37,4

19 FA 38 PR 12,9 79,8 28,1 32,3 98 3,1 4,21 39,2

20 RN 43 PR 12,6 80,2 27,7 31,8 127 3,2 4,12 38,8

21 T 36 PR 13,2 80,0 27,7 31,0 102 3,4 4,23 41,3

22 LS 37 PR 13,0 81,2 28,9 31,4 93 3,3 4,42 41,8

23 LN 37 PR 12,8 80,2 28,5 31,2 90 3,1 4,21 39,2

24 RH 41 LK 13,8 83,9 29,6 33,1 96 3,7 4,45 44,1

25 Y 38 PR 12,8 81,0 28,1 32,4 108 3,4 4,12 39,3

26 N 30 PR 12,4 79,6 27,6 32,1 94 3,2 4,21 38,5

27 D 36 PR 12,9 82,1 28,2 31,8 98 3,2 4,12 39,5

28 HLT 42 LK 13,7 84,6 29,7 33,7 148 3,7 4,35 42,3

29 ZS 36 LK 13,7 82,8 28,9 33,2 128 3,4 4,32 43,2

30 R 35 LK 12,5 80,2 28,0 32,8 125 3,2 4,23 34,4


(2)

DATA SAMPEL

NO NAMA UMUR LK/PR Hb MCV MCH MCHC FERRITIN HbA2 RBC HCT

1 K 38 PR 7,8 75,5 23,6 31,2 6,26 2,8 3,31 25,0

2 SS 42 PR 3,1 51,5 13,0 25,2 5,34 0,9 2,38 12,3

3 IS 32 LK 6,17 59,5 17,4 26,3 6,10 2,5 3,53 21,0

4 AS 45 LK 6,23 58,8 15,5 26,4 7,23 2,4 4,02 23,6

5 MY 43 LK 7,7 54,0 14,8 26,2 6,3 2,4 5,20 28,1

6 R 40 PR 6,03 53,9 14,1 26,1 8,26 2,6 4,29 23,1

7 KS 35 PR 8,57 58,9 16,4 27,5 11,1 2,8 4,92 29,0

8 IH 35 LK 9,23 68,4 20,9 30,7 10,4 2,9 4,78 32,7

9 BP 40 PR 4,59 53,6 12,9 24,2 5,23 2,4 3,56 19,1

10 JS 38 PR 5,68 61,0 15,1 24,7 6,2 1,9 3,77 23,0

11 K 47 LK 3,4 59,6 14,5 24,2 6,73 1,9 2,66 10,9

12 IS 33 LK 5,15 70,5 14,0 26,2 6,7 1,7 2,06 15,9

13 EP 33 LK 3,40 65,9 21,9 26,3 9,30 2,5 1,55 10,3

14 B 34 LK 9,34 63,4 22,5 27,0 8,42 1,9 3,97 29,1

15 SP 31 PR 5,13 49,6 12,6 25,4 7,4 1,7 4,07 20,2

16 NP 30 PR 8,23 71,6 22,7 29,6 8,2 1,7 3,63 26,7

17 AS 32 LK 10,4 64,7 20,6 29,7 9,23 2,3 5,06 32,7

18 R 32 LK 5,28 70,2 21,2 28,4 6,34 1,9 2,49 18,0

19 RS 29 PR 6,26 66,1 19,6 27,7 6,8 1,7 3,19 21,1

20 JM 34 LK 4,66 60,0 14,9 24,8 6,05 1,8 3,13 18,8

21 SS 36 PR 3,61 54,4 14,0 25,8 5,87 1,7 2,57 14,0

22 LT 30 PR 5,48 51,8 13,4 25,8 6,95 1,5 4,10 21,2

23 AB 30 LK 3,55 47,7 11,9 25,0 6,11 1,2 2,97 14,2

24 BS 35 LK 5,90 63,6 17,3 26,3 6,24 1,6 3,40 21,6

25 EL 32 PR 4,13 58,3 15,2 26,1 7,3 1,5 2,72 15,9

26 BG 54 PR 4,8 60,8 18,5 29,4 9,14 1,4 2,60 15,8

27 S 42 PR 9,8 68,4 21,0 26,9 8,41 1,9 4,80 32,8

28 RE 40 LK 5,4 63,6 17,3 27,6 4,66 1,7 3,13 19,6

29 LS 37 PR 9,3 67,9 20,6 27,8 8,32 2,6 4,79 32,1


(3)

Lampiran 6.

DAFTAR RIAWAYT HIDUP

IDENTITAS

Nama : Dr. Syahrial

Tempat, tanggal lahir : Medan, 2 Maret 1968

Suku/ bangsa : Minang/ Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Dokter, PNS

Mulai Pendidikan : 1 Juli 2007

Alamat : Jalan Pimpinan No. 139 Medan

Keluarga

Istri

Dr. Sri Asdelina Harahap

Anak


(4)

Pendidikan

1. SDN No 060809 Medan : Tahun 1981

2. SMPN 3 Medan : Tahun 1984

3. SMAN 5 Medan : Tahun 1987

4. Fakultas Kedokteran UISU : Tahun 1998

5. Mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran USU Medan mulai 1 Juli 2007 s/d sekaran

Riwayat Pekerjaan

1. Dokter PTT Puskemas Paringgonan, Kec Sibuhuan Kab Tapsel,

Propinsi Sumatera utara, tahun 1998-2002

2. Dokter PNS Puskemas Kinali Kec Kinali, Kab Pasaman Barat Sumbar,

tahun 2003-2004

3. Dokter PNS Puskesmas Talu Kec Talu , Kab Pasaman Barat Sumbar,

tahun 2004-2005

4. Dokter PNS Puskesmas Tiga Juhar Kec STM Hulu Kab deli Serdang

Sumut, tahun 2006-2007

Perkumpulan Profesi

1. Anggota IDI Medan

2. Anggota Muda PDS PATKLIN Cabang Medan

3. Anggota Konsil Kedoteran Indonesia


(5)

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

SEBAGAI PEMBICARA

National Scientific Meeting of the Indonesia association of clinical Pathologist,

Padang, 1-4 November 2008.

SEBAGAI PESERTA

1. Wet nad Dry Workshop of Hematology, Padang, 1-4 November 2008

2. NS1 pada DHF, Tiara Convention Hall, Medan, 2009

Laporan kasus

1. Sirosis Hati

2. Piodema yang Disebabkan oleh Staphilooccus aureus

3. Hepatitis B Akut

Sari pustaka

1.

Cobas 6000

2.

Derajat Kemurnian

3.

Pemantapan Kualitas di Bidang Kimia Klinik

4.

Ion Selektif Elektrod (ISE)

5.

Blood Gas Analyzer

6.

Pengelolaan Laborarotium


(6)

8.

Spektrofotometri dan Filterfotometer

9.

Peranan Sel Leukosit Neutrofil sebagai respon Imun terhadap

ProsesInflamasi

10.

Deep Vein Trhombosis